• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seorang pasien, laki-laki berusia 26 tahun, pekerjaan mahasiswa, datang ke Departemen Ilmu Penyakit Mulut pada tanggal 17 Mei 2008 dengan keluhan utama rasa nyeri yang hebat pada mulut dan terasa lengket sehingga sulit untuk membuka mulut. Pasien mengeluh demam dan gatal – gatal. Hal ini dialami pasien ± 1 minggu setelah mendapat terapi Carbamazepine, Dilantin dan Vit. K untuk pengobatan epilepsi yang dideritanya. Pada awalnya mengeluhkan batuk – batuk dan sesak nafas, sehari setelah mengkonsumsi obat Carbamazepin, Dilantin dan Vit. K. Saat itu pasien datang ke dokter umum kemudian mendapat terapi Beneflox dan Amoxicillin. Namun keluhan tidak berkurang bahkan pada muka timbul bintik – bintik kemerahan hingga ke seluruh tubuh dan keluhan juga ada pada genital pasien.

Riwayat medis : pada pasien ini dijumpai riwayat alergi, penyakit asma, penyakit lambung dan pernah mengonsumsi narkoba.

Pada pemeriksaan klinis dijumpai hiperemis pada konjungtiva mata dan lesi eritema pada wajah. Pada pemeriksan ekstra oral djumpai pembengkakan kelenjar limfe dan krusta merah kehitaman, ulser dan lengket pada bibir. Pada pemeriksaan intra oral dijumpai ulser, kandidiasis dan keadaan rongga mulut sulit diperiksa karena bibir lengket. Kesan oral hyegine os buruk. Pada seluruh tubuh dari dada, abdomen

hingga genital dijumpai lesi target, vesikel dan krusta yang meluas. Pada eksterimitas atas dan bawah dijumpai vesikel yang luas.

Gambar 12 : lesi vesikel, eritem, ulser dan krusta merah kehitaman pada dada, leher, lidah dan bibir, lesi lengket sehingga sukar untuk membuka mulut, konjungtivitis pada mata; kunjungan pertama

Pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium. Pasien di diagnosa banding dengan Eritema Multiformis Mayor, NET, Pemphigus vulgaris. Diagnosa sementara Eritema Multiformis Mayor kemudian pasien diberi terapi Prednison 5 mg tablet dengan dosis 3 x 2 selama 1 minggu, Sines tablet 1x1 dan Minosep gargle. Penggunaan obat – obatan sebelumnya yang diduga sebagai predisposisi dari Eritema Multiformis Mayor dihentikan. Pada pasien dianjurkan untuk menjaga oral hygiene, diet rendah garam tinggi protein dan kontrol 1 minggu kemudian. Bila lesi makin hebat dianjurkan segera ke dokter.

Pada kunjungan kedua pasien yaitu tanggal 24 Mei 2008 dijumpai kondisi pasien cukup baik dibandingkan kunjungan pertama. Keluhan bibir lengket tidak dijumpai lagi, konjungtivitis mulai membaik dan lesi pada seluruh tubuh berkurang.

Pasien kemudian di terapi Prednison 5 mg tablet yang di tapering – off dengan dosis 3 x 1 selama 1 minggu dan Minosep gargle. Pasien dianjurkan untuk kontrol 1 minggu kemudian.

Gambar 13 : lesi dileher berkurang, mata sudah tidak konjungtivits dan sedikit merah, bibir sudah tidak lengket ; kunjungan kedua

Pada kunjungan ketiga yaitu tanggal 3 juni 2008 dijumpai keadaan umum jauh lebih baik. Tidak dijumpai lagi lesi pada bibir, leher dan mata tidak hiperemis lagi. Namun pada lidah masih dijumpai sedikit ulser. Pasien di terapi dengan Prednison 5m tablet dengan dosis 2 x 1 selama 1 minggu.

Gambar 14: kondisi setelah kunjungan ketiga, lesi lebih sedikit, mata sudah tidak konjungtivits, bibir sudah tidak lengket, lidah sedikit ulser ; kunjungan ketiga

Pada kunjungan terakhir yaitu tanggal 10 juni 2008, tidak lagi dijumpai keluhan dan lesi pada tubuh dan pasien dinyatakan telah sembuh. Pasien diberikan

edukasi untuk menjaga kebersihan oral hygiene dan kesehatannya. Pasien diingatkan bahwa dirinya alergi terhadap Carbamazepin dan ia harus mengatakannya setiap datang berobat ke dokter.

Gambar 15: pasien sudah bersih dari lesi pada kunjungan terakhir

BAB 4

PEMBAHASAN

Penegakan diagnosa bahwa pasien ini menderita Eritema Multiformis mayor dilakukan berdasarkan anamnese dan pemeriksaan klinis, namun untuk mendapatkan diagnosa yang lebih spesifik lagi dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium. Berdasarkan anamnese didapati riwayat penggunaan carbamazepine bersama dilantin seminggu sebelum lesi di kulit dan mukosa muncul serta didapati demam, malaise dan gatal-gatal. Berdasarkan anamnese tersebut klinisi menduga kuat hubungannya carbamazepine sebagai faktor pencetus terjadinya Eritema Multiformis mayor. Selain anamnese, informasi yang diperoleh dari pemeriksaan klinis adekuat dan mencukupi dalam menegakan diagnosa bahwa penyakit ini Eritema Multiformis mayor. Ditemukannya Trias Klinis Klasik yang merupakan gambaran klinis Eritema Multiformis mayor. Pada kulit ditemukan lesi lepuh, lesi target, vesikel, eritema dan erosi yang meluas. Mukosa mulut pada pemeriksaan ekstra oral, dibibir ditemukan krusta merah kehitaman, lengket dan terdapat pembengkakan pada kelenjar limfe. Pada pemeriksaan intra oral, sulit dilakukan karena lesi yang lengket dan ditemukan oral hygiene yang buruk seperti pada lidah terdapat ulser dan kandidiasis, dan berdasarkan anamnese juga ditemukan lesi pada genital. Pada mata juga ditemukan mata merah dan gatal. Pemeriksaan laboratorium tidak lakukan, karena klinisi berpendapat bahwa dengan anamnese dan pemeriksaan klinis sudah dapat ditegakan

suatu diagnosa, namun sebaiknya klinisi melakukan pemeriksaan laboratorium untuk mendapatkan diagnosa yang lebih spesifik dan pemeriksaan yang optimal.

Pada kasus ini diduga lesi yang terjadi berhubungan dengan proses alergi obat. Klinisi menduga faktor pencetus yang kuat hubungannya sebagai penyebab penyakit ini ialah carbamazepine. Pemberian obat-obatan antikonvulsi seperti carbamazepine dapat menyebabkan alergi. Mekanisme terjadinya penyakit ini disebabkan sebagai reaksi hipersensitifitas tipe II dan III.1,13,19,21 Reaksi hipersensitifitas tipe II (reaksi sitotoksik) karena menurut klasifikasi Coomb dan Gel gejala reaksi tersebut bergantung kepada sel sasaran, dimana sasaran utama SSJ ialah pada kulit berupa destruksi keratinosit. Adanya reaksi imun sitotoksik mengakibatkan apoptosis keratinosit yang menyebabkan kerusakan pada jaringan kulit. Reaksi hipersensitifitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh pembentukan kompleks antigen, antibodi (IgG dan IgM) dalam sirkulasi darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen. Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi.13,19,21

Dalam hal ini penyakit pasien sudah mengarah kedalam bentuk mayor atau sering disebut dengan Sindrom Steven-Johnson (SSJ) dan penyakit ini mempunyai kesamaan dengan penyakit Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) yang juga merupakan diagnosa banding dari penyakit SSJ, untuk membedakannya perlu dilakukan pemeriksaan histopatologik berupa test Nikolsky yaitu dengan cara membaringkan

Bila terdapat epidermolisis maka dapat didiagnosa sebagai NET, tetapi apabila tidak ditemukan (test Nikolsky negatif) maka diagnosanya SSJ. Selain itu kondisi umum penderita NET lebih buruk daripada SSJ.1

Kunci utama perawatan lesi akibat alergi obat adalah menghentikan pemakaian obat yang diduga sebagai pencetus timbulnya penyakit. Jika pemakaian obat ini tidak dihentikan dan hanya menurunkan dosisnya maka alergi dapat timbul kembali dan dapat memperparah kondisi pasien.1 Dalam kasus ini klinisi menghentikan semua pemakaian obat-obatan yang diresepkan oleh dokter sebelumnya. Setelah melakukan penghentian pemakaian obat sebelumnya, klinisi melakukan perawatan dengan pemberian kortikosteroid Prednison 5 mg, antihistamin Sines tablet dan Minosep Gargle. Pemberian Prednison dilakukan secara tapering off karena pemberiannya lebih dari 3 hari yang berguna untuk mencegah efek withdrawal yang sering timbul apabila dilakukan penghentian terapi kortikosteroid secara tiba – tiba. Pada kunjungan kedua tidak lagi diberikan antihistamin Sines tablet karena keluhan gatal tidak dijumpai lagi. Pada kunjungan ketiga, pasien tidak diberikan terapi Minosep gargle karena pemberian hanya dianjurkan selama 2 minggu (penggunaan jangka pendek). Pasien dinyatakan sembuh pada kunjungan ke empat yaitu setelah 1 bulan mendapat terapi, dimana tidak dijumpai lagi keluhan maupun lesi pada tubuh. Pada kunjungan terakhir ini pasien diberikan edukasi.

Edukasi yang diberikan untuk kasus ini, agar menyeimbangkan nutrisi makanan dan melakukan olahraga. Pasien juga diminta untuk banyak minum air mineral (air putih). Bila obat antikonvulsi carbamazepin berperan sebagai pencetus maka

dianjurkan supaya pasien menghubungi dokter spesialis saraf yang lebih ahli agar mendapat perawatan yang lebih baik agar terhindar dari efek samping seperti penyakit eritema multiformis mayor. Selain itu pasien diminta agar hidup rileks dan mencegah terjadinya stres. Pasien harus menjaga kebersihan mulut, perlu di edukasi bagaimana menjaga kebersihan mulut dengan baik dan benar, sehingga pasien mengerti tentang kebersihan mulut.

BAB 5

KESIMPULAN

Carbamazepine merupakan obat golongan anti konvulsi, anti epilepsi dan pada kedokteran gigi digunakan pada kasus trigeminal neuralgia namun telah jarang digunakan mengingat efek sampingnya yang banyak. Obat ini dikontraindikasikan pada pasien yang hipersensitifitas terhadap carbamazepine, depresi sumsum tulang belakang, dan kehamilan. Obat ini mempunyai kelebihan sebagai obat anti epilesi namun obat ini juga mempunyai kekurangan yaitu efek samping seperti reaksi alergi pada kulit dan mukosa. Adanya reaksi hipersensitifitas terhadap obat ini merupakan salah satu penyebab terjadinya penyakit eritema multiformis.

Eritema Multiformis yang disebabkan obat carbamazepine maupun faktor lainnya memiliki gambaran klinis yang sama pada kulit dan membrana mukosa. Untuk memastikan diagnosa eritema multiformis yang disebabkan oleh obat carbamazepine diperlukan anamnese, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium yang tepat, untuk mendapatkan diagnosa yang lebih spesifik. Diagnosa yang tepat ialah perawatan yang efektif.

Lesi yang terjadi berupa lesi lepuh yang sakit dan gatal dijumpai pada mukosa mulut, bibir, muka, dan dibadan. Mata pasien sangat merah dan sakit, lesi juga terdapat di daerah genital. Perawatan dengan penghentian semua pemakaian obat sebelumnya, dimana carbamazepine diduga sebagai faktor pencetus terjadinya

penyakit ini dan pemberian kortikosteroid sistemik sangat membantu pada kasus ini. Penanganan kasus ini diperlukan kerjasama antar tenaga medis. Pada pemberian obat-obatan pada pasien perlu diketahui riwayat pemakaian obat sebelumnya untuk mempermudah dalam mendiagnosis dan perawatan. Edukasi sangat penting agar pasien dapat menghindari faktor pencetus serta menyadari bahwa apabila perawatan tidak dilakukan hingga tuntas maka rekurensi dapat terjadi kembali. Edukasi juga diberikan dalam meminimumkan efek samping dari perawatan dengan kortikosteroid, selain itu pasien harus dapat menjaga kesehatan tubuh dan rongga mulut untuk mencegah terjadinya rekurensi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hamzah M. Erupsi Obat Alergi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed.5 Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbitan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007 :154-158 dan 162-168

2. Langlais, Robert P. Miller, Craig S. Atlas berwarna kelainan rongga mulut yang lazim. edisi 1. Alih bahasa:Budi Susetyo. Jakarta:Hipokrates, 1994:90-91

3. Ganiswarna G Sulistia. Farmakologi dan Terapi, edisi 4, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Gaya Baru,2001:170-71

4. Utama W Harry, Kurniawan Dedy. Erupsi Alergi Obat.

<http://klikharry.wordpress.com/erupsi-alergi-obat.htm> (25 juli 2007)

5. Ermawati H. Yosepha. Penggunaan Carbamazepine Pada Pasien Pediatri. <http://yosefw.wordprees.com.penggunaan carbamazepine pada pasien pediatri/famakoterapi-info.htm> (31 Desember 2007)

6. Anonymous.Carbamazepine.<http://en.wikipedia.org/wiki/.com.Carbamazepi ne> (15 Januari 2009)

7. Amtha R, Penisilin sebagai salah satu agen penyebab eritema multiforme, Majalah kedokteran gigi. Jakarta: FKG USAKTI, 2000:5-9

8. Sonis ST, Fazio RC, Fang L. Principles and Practie of Oral Medicine. 2nd ed. Philadelphia:W.B Saunders co, 1995:377-81

9. Lubis Sjuaibah, Eritema multiformis mukosa mulut akibat larutan penyegar yang mengandung cinnamomum, Dentika Dental Journal, Jurnal Kedokteran Gigi-USU vol.7no.2 hlm 67-146. Medan : FKG-USU, 2002:110-113

10.Tjay Tan Hoan, Rahardja Kirana. Obat-Obat Penting Khasiat Penggunaan Dan Efek-Efek Sampingnya, edisi 5 cetakan kedua. Jakarta : PT.Elex Media Komputindo-Gramedia, 2002:391-399

11.Katzung G Bertram. Farmakologi Dasar Dan Klinik. edisi 6. Alih bahasa: Staf Dosen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Jakarta: EGC, 1994: 380-399

12.Anonymous. Tegretol. <http://mims.com/page.aspx?menuid=mng&name tegretol/> (11 Juni 2009)

13.Greenberg MS. Glick M. Ulcerative, Vesicular and Bullous Lesions. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and Treatment.10th ed. BC Decker Inc. Philadelphia: 2003:57-60

14.Regezi JA, Sciubba J. Oral Pathology, Clinical Pathologic Correlations. 4th ed. Philadelphia: W.B Saunders co, 2003:44-50

15.Pindborg.J.J. Atlas Penyakit Mukosa Mulut. Edisi keempat. Alih bahasa Wangsaraharja K. Binarupa Aksara. Jakarta.1994: 242-244

16.Scully C, Oral Maxillofacial Medicine the basis of diagnosis and treatment. London. Wright,2004:280-86

18.Greenberg. S Martin. Erythema Multiforme and related disorders. Oral Medicine. University College of London. Mosby. London.2007:642-654

19.Judarwanto Widodo. Alergi Dan Hipersensitifitas Obat.

<http://childrenallergyclinic.wordpress.com/alergi dan hipersensitifitas obat/> (12 Juni 2009)

20.F Femiano, A Lanza, C Buanaiuto, F Gombos, R Rullo, V Festa, N Cirillo. Original article : Oral manifestations of adverse drug reactions: guidelines, Naples,Italy. Journal compilation European Academy of Dermatology and Venereology,JEADV. 2008:8

21.Judarwanto Widodo. Sindrom Stevens - Johnson.

<http://childrenallergyclinic.wordpress.com/sindrom stevens-johnson/> (10 Juni 2009)

22.Huang Yen Li, Liao C.W, Chiou C.C, Lou P.J, Hu Philip, Ko Chang Fu. Fatal Toxic Epidermal Necrolysis Induced by Carbamazepine Treatment in a Patient Who Previously had Carbamazepine-induced Stevens-Johnson Syndrome. J Formos Med Assoc. Case Report. Vol.106 No.12. Taiwan: 2007; 1032-1037

23.Anonymous.ErythemaMultiforme.<http://aocd.org/skin/dermatologic_disease s/erythema_multiforme.html> (11 Juni 2009)

24.Sjamsoe Daili S.E, Menaldi L.S, Wisnu M.I. Penyakit Kulit Yang Umum Di Indonesia Sebuah Panduan Bergambar. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta :2005 ; 82-83

25.Kaufmann M.A, Patel M. Treatment of Trigeminal Neuralgia. <http://www.umanitoba.ca/carnial_nerves/trigeminal_neuralgia/manuscript/m edications.html> (12 Juni 2009)

Dokumen terkait