• Tidak ada hasil yang ditemukan

Carbamazepine (Anti Konvulsi) Dalam Terapi Epilepsi Sebagai Penyebab Eritema Multiformis Mayor (Laporan Kasus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Carbamazepine (Anti Konvulsi) Dalam Terapi Epilepsi Sebagai Penyebab Eritema Multiformis Mayor (Laporan Kasus)"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

CARBAMAZEPINE (ANTI KONVULSI) DALAM

TERAPI EPILEPSI SEBAGAI PENYEBAB

ERITEMA MULTIFORMIS MAYOR

(LAPORAN KASUS)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi

syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran gigi

Oleh :

TAUFIK ADRIAN NIM : 050600088

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Fakultas Kedoteran Gigi

Departemen Ilmu Penyakit Mulut

Tahun 2009

Taufik Adrian

Carbamazepine (Anti Konvulsi) Dalam Terapi Epilepsi Sebagai Penyebab

Eritema Multiformis Mayor (Laporan Kasus). ix + 44 halaman

Eritema Multiformis (EM) merupakan suatu reaksi hipersensitifitas akut pada

kulit dan membrana mukosa yang mempunyai keparahan yang bervariasi dengan

tanda khas lesi pada kulit yang menyebar simetris dan menyebabkan bermacam

bentuk lesi, dimana erupsi kulit mendadak dan bersifat rekuren. Bila perawatan

eritema multiformis ini tidak segera dilakukan, maka penyakit ini dapat berkembang

menjadi kedalam bentuk yang lebih berat yaitu EM mayor atau Sindrom

Stevens-Johnson (SSJ). Mukosa mulut mempunyai potensi untuk terjadinya reaksi

hipersensitifitas, dalam hal ini obat-obatan, bahan kimia, makanan, dan minuman

dapat menyebabkan terjadinya reaksi hipersensitifitas. Karena pada 70% pasien yang

menderita Eritema Multiformis ditemukan lesi dirongga mulut, sehingga membuat

peran dokter gigi sangat penting dalam perawatan penyakit ini. Jika penyakit ini

sudah berkembang kedalam bentuk yang lebih parah dan dibiarkan tanpa dilakukan

pengobatan dapat menyebabkan kematian.

Penulisan ini merupakan laporan kasus Eritema Multiformis dimana diduga

(3)

kedokteran gigi obat ini efektif untuk mengobati neuralgia trigeminal namun

memiliki banyak efek samping. Pada kasus ini eritema multiformis sudah

berkembang ke bentuk EM mayor dengan keadaan umum yang berat.

Penatalaksanaan untuk kasus ini ialah dengan penghentian semua pemakaian obat

sebelumnya, dimana carbamazepine diduga sebagai faktor pencetus terjadinya

penyakit ini dan pemberian obat kortikosteroid secara tapering off. Respon

penyembuhan terlihat semasa perawatan kontrol dilakukan yaitu seminggu setelah

pemberian obat dan gejala hilang keseluruhan setelah 3 minggu perawatan.

Penggunaan carbamazepine sangat luas dibidang tenaga medis, maka penting

bagi tenaga medis untuk mengetahui mekanisme dan efek samping carbamazepine

dalam menyebabkan manifestasi di dalam mulut berupa Eritema Multiformis. Selain

itu, perawatan dengan kortikosteroid juga dapat memberikan efek samping. Sehingga

tenaga medis haruslah mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang eritema

multiformis dan dapat melakukan diagnosa dan perawatan dengan tepat.

(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan

di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 3 Juli 2009

Pembimbing : Tanda tangan

Wilda Hafni Lubis, drg., MSi ……….. NIP. 131 284 665

(5)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji

pada tanggal 3 Juli 2009

TIM PENGUJI

KETUA : Wilda Hafni Lubis, drg., MSi

ANGGOTA : 1. Syuaibah Lubis, drg.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Carbamazepine Dalam Terapi Epilepsi Sebagai

Penyebab Eritema Multiformis Mayor (Laporan Kasus)“ sebagai salah satu syarat

untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran gigi di Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Sumatera Utara. Shalawat beserta salam juga penulis sampaikan kepada

junjungan Nabi Muhammad Rasulullah SAW atas suri teladan yang baik.

Ucapan terima kasih dengan segenap cinta dan ketulusan hati kepada keluarga

tersayang, penulis persembahkan kepada ayahanda H.Heldy BZ, dr.,MPH dan ibunda

Hj.Mariaty, juga kepada bang Rizka dan bang Indra, adikku Dina dan juga kak Nisa

atas segala perhatian, dukungan moril dan materil, motivasi, harapan dan doa, serta

cinta dan kasih sayang yang melimpah.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bimbingan dan

bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati dan

penghargaan yang tulus, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada :

1. Ibu Wilda Hafni lubis, drg., MSi sebagai Ketua Departemen Ilmu Penyakit

Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dan selaku dosen

pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam

(7)

2. Bapak Prof. H. Ismet Danial Nst, drg., Ph.d., Sp.Pros (K) selaku Dekan

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dan ibu Sondang Pintauli, drg.,

Phd selaku dosen pembimbing akademik.

3. Seluruh staf pengajar dan pegawai di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Sumatera Utara yang telah membimbing, mendidik dan membantu penulis selama

menuntut ilmu di masa pendidikan.

Terima kasih juga penulis sampaikan sampaikan atas segala semangat,

dukungan dan perhatian yang telah diberikan oleh TM, Amy, Shelly, Tiwi, Adiwika,

Pepenk, Haikal, bang Taufiqi, bang Qin, bang Uke, Bayu, Iman, W.I, kak Olie, kak

indah, kak Unun, Esti, kak Ida dan teman-teman stambuk 2005 lainnya atas bantuan,

semangat, motivasi dan kebersamaan di FKG USU, dan terima kasih yang sebesarnya

kepada Erwina atas segala doa, dukungan, motivasi dan kesabaran selama ini yang

diberikan kepada penulis.

Penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan

pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu dan masyarakat.

Medan, 3 Juli 2009

Penulis,

( Taufik Adrian )

(8)
(9)

2.2.6.1 Diagnosa... 21

2.2.6.1.1 Diagnosa Eritema Multiformis Minor... 21

2.2.6.1.2 Diagnosa Eritema Multiformis Mayor... 21

2.2.6.2 Diagnosa Banding... 23

2.2.7 Perawatan... 24

2.2.7.1 Perawatan Eritema Multiformis Minor... 24

2.2.7.2 Perawatan Eritema Multiformis Mayor... . 25

BAB 3 LAPORAN KASUS... 31

BAB 4 PEMBAHASAN... 35

BAB 5 KESIMPULAN ... 39

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Strukur kimia dari carbamazepine 5H- dibenzo[b,f]azepine-5-

carboxamide...7

2 Carbamazepine tablet ... ..8

3 Patogenesis eritema multiformis ... .13

4 Lesi target pada eritema multiformis...16

5 Ulkus dan krusta di intra oral pada eritema multiformis………...17

6 Bulla yang berisi cairan pada permukaan kulit ... .18

7 Pada mukosa bibir terdapat krusta hitam dan lengket dan pada palatum terdapat ulserasi yang luas ………..19

8 Konjungtivitis parah dan lesi-lesi kulit “berair” ; sindrom stevens jhonson...20

9 Pada sebagian besar wajah tampak eritema dan purpura, pada pipi kanan tampak sebagian erosi, bibir disertai krusta pendarahan kehitaman dan lengket ; sindrom steven-johnson………...20

10 Kiri-kanan : infeksi herpes simpleks, pemphigus vulgaris pada leher anak, pemphigus vulgaris labialis, ulkus apthosa, lichen planus...23

(11)

12 Lesi vesikel, eritem, ulser dan krusta merah kehitaman pada dada,

leher, lidah dan bibir lengket sehingga sukar untuk membuka

mulut, konjungtiviis pada mata ; kunjungan

pertama... ..32

13 Lesi dileher berkurang, mata sudah tidak konjungtivits dan sedikit

merah, bibir sudah tidak lengket ; kunjungan kedua...33

14 Kondisi setelah kunjungan ketiga, lesi lebih sedikit, mata sudah

tidak konjungtivits, dan bibir sudah tidak lengket; kunjungan ketiga...33

(12)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kulit dan membrana mukosa merupakan salah satu organ tubuh yang sangat

mudah memberikan suatu manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh.

Salah satu gangguan tersebut dapat disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas terhadap

suatu obat. Erupsi obat ini dapat terjadi akibat pemakaian obat yang telah diresepkan

ataupun juga obat-obat yang dijual bebas, termasuk campuran jamu-jamuan. Erupsi

kulit akibat alergi obat merupakan reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan

yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik dan topikal. Secara

sistemik obat tersebut masuk melalui mulut, hidung, rektum, vagina, suntikan atau

infus. Sedangkan secara topikal obat digunakan pada permukaan kulit yang dapat

menyebabkan alergi sistemik akibat penyerapan obat oleh kulit. Manifestasi klinis

akibat reaksi alergi terhadap suatu obat diantaranya; urtikaria dan angioedema, erupsi

makulapapular atau morbiliformis, fixed drug eruption (FDE), eritroderma (dermatitis

eksfoliativa), purpura, vaskulitis, reaksi fotoalergik, pustulosis eksantematosa

generalisata akut, Eritema Multiformis, Sindrom Stevens-Johnson (SSJ), Nekrolisis

Epidermal Toksis (NET). Namun tidak semua obat dapat mengakibatkan reaksi

alergi, hanya beberapa golongan obat 1-3% dari seluruh pemakainya akan mengalami

(13)

Menurut WHO sekitar 2% dari seluruh jenis erupsi obat yang tergolong

serius, karena reaksi alergi obat memerlukan perawatan di rumah sakit bahkan

mengakibatkan kematian. Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal

Toksis (NET) merupakan beberapa bentuk reaksi serius tersebut. Hasil survei

prospektif yang dilakukan oleh Boston Collaborative Drug Surveillance Program

menunjukkan bahwa reaksi kulit yang timbul terhadap pemberian obat adalah sekitar

2,7% dari 48.000 pasien yang dirawat pada bagian penyakit dalam dari tahun 1974

hingga 1993. Sekitar 3% dari seluruh pasien yang dirawat dirumah sakit, ternyata

mengalami erupsi kulit setelah mengkonsumsi obat-obatan. Data di Amerika Serikat

menunjukkan lebih dari 100.000 jiwa meninggal setiap tahunnya disebabkan erupsi

obat yang serius.4

Menurut bagian ilmu penyakit kulit dan kelamin RSCM/FKUI obat-obatan

yang sering menyebabkan alergi tersebut yaitu obat anti inflamasi non steroid

(AINS), antibiotik seperti penisilin dan derivatnya, sulfonamid, barbiturat dan

obat-obatan antikonvulsi (carbamazepine, fenitoin, fenobarbital). Pada penelitian yang

dilakukan Prof.Dr.dr.Adhi Djuanda selama 5 tahun (1998-2002), ditemukan 12

pasien menderita Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) tiap tahunnya yang disebabkan oleh

alergi obat, antara lain ; analgetik-antipiretik 45%, disusul Carbamazepine 20%, dan

jamu 13,3%.1

Carbamazepine ditemukan oleh ahli kimia Walter Schindler di Basel, Swiss

(14)

kompleks dan bangkitan tonik-klonik. Saat ini Carbamazepine merupakan

antiepilepsi utama di Amerika Serikat. Disamping kelebihan yang dimiliki oleh

Carbamazepine, obat ini juga memiliki beberapa efek samping. Efek samping yang

terjadi setelah pemberian obat dalam jangka waktu yang lama, berupa pusing, vertigo,

ataksia, diplopia, dan penglihatan kabur. Apabila dosis berlebih maka frekuensi

bangkitan akan meningkat berupa mual, muntah, diskrasia darah yang berat (anemia

aplastik, agranulositosis), dan reaksi alergi berupa dermatitis, eusinofilia,

limfadenopati dan splenomegali. Reaksi alergi merupakan bentuk efek samping yang

paling sering ditemui. Eritema Multiformis merupakan salah satu bentuk manifestasi

pada kulit dan mukosa mulut yang dapat terjadi akibat penggunaan obat ini, begitu

juga dengan Eritema Multiformis Mayor atau Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) yang

relatif sering dilaporkan.3,7

Mukosa mulut mempunyai potensi untuk terjadinya reaksi hipersensitifitas.

Berbagai macam substansi yang dapat menyebabkan terjadinya reaksi

hipersensitifitas bagi seseorang, antara lain obat-obatan, bahan kimia, makanan, dan

minuman. Salah satu penyakit akibat dari reaksi hipersensitifitas tersebut yang sering

dijumpai di bidang kedokteran gigi adalah Eritema Multiformis. Penyakit ini

merupakan penyakit kulit dan membran mukosa yang akut dan berbatas jelas ditandai

oleh adanya bercak-bercak kemerahan serta gambaran klinis yang bervariasi dan

tergolong dalam lesi-lesi vesikulobulosa. Umumnya terjadi pada orang dewasa muda,

(15)

Mengingat indikasi penggunaan Carbamazepine yang luas dibidang

kedokteran dan kedokteran gigi maka penting diketahui pengaruh atau efek samping

Carbamazepine dalam menyebabkan manifestasi di dalam mulut berupa Eritema

Multiformis. Pada skripsi ini akan dilaporkan suatu kasus carbamazepine (anti

konvulsi) dalam terapi epilepsi sebagai penyebab eritema multiformis mayor

(sindrom stevens-johnson).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan suatu masalah, yaitu :

- Bagaimana mekanisme Carbamazepine (anti konvulsi) sebagai penyebab

Eritema Multiformis Mayor?

- Bagaimana penanggulangan Eritema Multiformis Mayor yang disebabkan

oleh Carbamazepine (anti konvulsi)?

1.3 Tujuan dan Manfaat

Tujuan penulisan skripsi ini adalah :

- Untuk mengetahui bagaimana mekanisme Carbamazepine (anti konvulsi)

sebagai penyebab Eritema Multiformis Mayor.

- Untuk mengetahui bagaimana penanggulangan Eritema Multiformis Mayor

(16)

Manfaat penulisan skripsi ini adalah :

- Untuk menambah pengetahuan para dokter, dokter gigi, dan mahasiswa

kedokteran gigi faktor penyebab terjadinya Eritema Multiformis Mayor

salah satunya adalah Carbamazepine (anti konvulsi).

- Agar para dokter dan dokter gigi dapat melakukan penaggulangan yang

tepat terhadap penderita Eritema Multiformis Mayor akibat pengaruh

Carbamazepine (anti konvulsi).

1.4 Ruang Lingkup

- Skripsi ini menjelaskan laporan kasus penyakit mulut Eritema Multiformis

Mayor yang disebabkan oleh Carbamazepine (anti konvulsi).

- Definisi, insidensi, etiologi, patogenesis, klasifikasi, gambaran klinis,

diagnosa, diagnosa banding dan perawatan Eritema Multiformis.

- Deskripsi, indikasi dan kontraindikasi, struktur kimia, dosis,

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Carbamazepine 2.1.1 Deskripsi

Dewasa ini carbamazepine lazim digunakan sebagai obat anti konvulsan atau

anti epilepsi berupa kejang sebagian dengan gejala yang kompleks (psikomotor, lobus

temporal), kejang tonik-klonik (grand mal), pola kejang campuran, dan neuralgia

trigeminal. Selain itu dapat juga mengobati schizophrenia resisten dan gangguan atau

stres traumatis. Pada umumnya di kedokteran gigi obat ini digunakan dalam

perawatan neuralgia trigeminal. Obat ini di kontraindikasikan untuk pasien yang

hipersensitifitas terhadap carbamazepine, depresi sumsum tulang belakang, dan

kehamilan.3,5,25

2.1.2 Struktur Kimia dan Dosis

Carbamazepine merupakan senyawa trisiklik yang efektif untuk pengobatan

depresi bipolar. Meskipun belum jelas dari struktur dimensinya, carbamazepine

mempunyai banyak kesamaan dengan fenitoin. Struktur 3 dimensinya mirip dengan

fenitoin. Struktur ureid (-N-CO-NH2) dijumpai dalam cincin heterosiklik dari

sebagian besar obat-obat antiepilepsi termasuk carbamazepine. Nama sistematik

(18)

Gambar 1 : strukur kimia dari carbamazepine 5H- dibenzo[b,f]azepine-5-carboxamide 6

Dosis dewasa 100-200 mg 1-2 kali per hari, dosis ini ditingkatkan secara

bertahap sampai dengan 400 mg 2-3 kali per hari. Pada beberapa pasien dapat

meningkat sampai dengan 1600-2000 mg per hari, sedangkan pada anak-anak di

berikan 10-20 mg/kg BB per hari akan tetapi pemakaian tablet secara konvensional

kurang dianjurkan untuk anak dibawah 5 tahun oleh karena itu untuk anak-anak

dianjurkan dengan kemasan sirup. Untuk anak dibawah 1 tahun: 100-200 mg 1-2 kali

per hari ; 1-5 tahun: 200-400 mg 1-2 kali per hari ; 6-10 tahun: 400-600 2-3 kali per

hari ; 11-15 tahun : 600-1000 mg 3 kali per hari. Dosis ini penting, guna mencegah

efek samping yang di timbulkan oleh obat ini. Tidak di anjurkan menghentikan terapi

secara tiba-tiba. Pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah tepi dan tes

fungsi hati harus dilakukan sebelum terapi di mulai dan dilanjutkan secara berkala.12

Kemasan Carbamazepine tersedia dalam bentuk tablet, kapsul dan sirup dan beberapa

(19)

Gambar 2 : carbamazepine tablet 25

2.1.3 Farmakokinetik

Obat yang masuk ke dalam tubuh dengan cara sistemik, umumnya mengalami

absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Dari keseluruhan proses tersebut hal

ini dinamakan farmakokinetik.3 Carbamazepine di absorpsi di gastrointestinal.

Kecepatan absorpsi obat ini berbeda-beda. Dimana kadar puncak atau konsentrasi

puncak plasma obat ini akan tercapai pada 6-8 jam setelah pemberian obat. Jika obat

ini diberikan setelah makan maka absorpsi obat ini lambat, sehingga pasien lebih

toleran dengan dosis harian yang lebih besar.Bila dikonsumsi dalam bentuk tablet,

baik tablet kunyah maupun tablet konvensional, menghasilkan rata-rata kadar puncak

dalam 6-12 jam digunakan pada dosis tunggal. Bila digunakan dalam bentuk sirup

rata-rata mencapai kadar puncaknya dalam waktu 2 jam. 11,12

Distribusi Carbamazepine lambat dan volumenya kira-kira 1L/kg. Pengikatan

(20)

dimana dioksidasi menjadi metabolit epoksida yang bersifat antikonvulsan.

Carbamazepine diekskresi di ginjal melalui urin 72% dan 28% diekskresi melalui

feses.10-12 Waktu paruh dari ekskresi Carbamazepine rata-rata 36 jam dari dosis

tunggal per oral, kemudian menurun 20 jam setelah terapi lanjutan tergantung dari

lamanya pengobatan. Pada pasien yang menerima perawatan bersamaan dengan obat

yang menginduksi enzim di hati seperti (fenitoin, fenobarbital) dijumpai waktu

paruhnya berkisar 9-10 jam.11,12

2.1.4 Farmakodinamik

Mekanisme kerja carbamazepine sama halnya dengan fenitoin. Pada membran

permeabilitas menunjukkan bahwa carbamazepine menutup saluran natrium pada

konsentrasi terapi dan dapat menstabilkan membran neuron yang hiperaktif,

menghalangi kerusakan neuron yang berulang dan mengurangi perambatan sinaptik

impuls yang berasal dari luar.11,12 Interaksi obat carbamazepine pada peningkatan

kapasitas metabolik enzim hati dapat menyebabkan penurunan keadaan tetap

konsentrasi carbamazepine dan meningkatkan laju metabolisme primidon, fenitoin,

etsuksimid, asam valporat, dan klonazepam. Obat anti konvulsan seperti fenitoin dan

fenobarbital dapat menurunkan konsentrasi carbamazepine didalam darah.10,11

2.1.5 Efek Samping

Efek samping Carbamazepine cukup sering terjadi, antara lain berupa sedasi,

(21)

Efek samping yang terjadi dihubungkan dengan kadar dosis sehingga perlu

penyesuaian dalam pemberian obat ini. Efek samping lainnya seperti anoreksia,

demam, dermatitis (peruba han pigmentasi kulit, eritema multiformis, steven-johnson

syndrome, nekrolisis epidermal toksik, reaksi fotosensitivitas, urtikaria) dan

gangguan psikis. Selain itu obat ini juga mempunyai efek samping yang

mempengaruhi keadaan kardiovaskular, gastrointestinal, hati, neuromuskular dan

tulang, mata serta telinga. Carbamazepine juga dapat mengakibatkan gangguan pada

darah seperti anemia aplastik dan agranulositosis, hepatitis, dan lupus eritematosus,

oleh karena itu pasien harus dilakukan pemeriksaan darah setiap minggu per

bulan.3,5,8,10,12

2.2 Eritema Multiformis 2.2.1 Definisi

Eritema multiformis adalah suatu penyakit inflamasi akut pada kulit dan

membrana mukosa yang dapat menimbulkan berbagai variasi lesi kulit, erupsi kulit

mendadak dan bersifat rekuren.13 Eritema multiformis disebut juga reaksi

self-limiting hypersensitivity dengan karakteristik lesi target pada kulit atau lesi oral

ulseratif dan sangat bervariasi seperti terlihat dari namanya “multiformis”, merupakan

kombinasi dari bulla, papula, makula, dan ulser. Lesi stomatitis dan kutan merupakan

(22)

2.2.2 Insidensi

Eritema multiformis lebih sering terjadi pada laki-laki daripada wanita dengan

perbandingan 2:1. Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur dengan insiden

tertinggi pada usia dewasa muda antara 20-40 tahun dan hanya 20% kasus yang

terjadi pada anak-anak.7,11,15

2.2.3 Etiologi dan patogenesis 2.2.3.1. Etiologi

Penyebab utama dari penyakit eritema multiformis ini belum diketahui

dengan pasti. Meskipun demikian dicurigai penyakit ini disebabkan dari reaksi

hipersensitifitas dan beberapa faktor predisposisi, antara lain :1,2,7-9,13-18

• Alergi terhadap obat-obatan (barbiturat, penisilin, AINS seperti oxicam,

sulfonamid, obat-obatan antikonvulsan seperti carbamazepine, fenitoin,

fenobarbital)

Infeksi bakteri (Mycoplasma pneumoniae, Corynebacterium diphtheriae,

niesieria meningitidis, Mycobacterium tuberculosis, streptococcus

pneumoniae, Treponema pallidum)

• Infeksi jamur (Histoplasmosis, Coccidiodomycosis)

• Infeksi virus (Virus Herpes Simplex tipe 1 dan 2, Virus Varicella-Zoster)

• Penyakit Autoimun / gangguan imunitas

• Penyakit sistemik atau keganasan (tumor ganas, penyakit Crohn’s,

(23)

• Vaksinasi

• Faktor endrokin, seperti pada keadaan hamil atau haid

• Rangsangan fisik, seperti sinar matahari, hawa dingin, bahan kimia dan

radioterapi

• Makanan (penyedap makanan, coklat) dan minuman (larutan penyegar), stres

dan emosi

Dari beberapa faktor predisposisi tersebut, hanya 50% kasus faktor

penyebabnya dapat diidentifikasi. Pada umumnya reaksi hipersensitifitas yang paling

sering menyebabkan penyakit Eritema Multiformis adalah alergi terhadap

obat-obatan dan infeksi Virus Herpes Simplex ( VHS tipe I dan II).1,13,14

2.2.3.2 Patogenesis

Patogenesis Eritema Multiformis sulit diketahui. Diperkirakan disebabkan

oleh reaksi hipersensitifitas tipe II dan III.1,13,21 Pada reaksi hipersensitifitas tipe II

(reaksi sitostatik) ini disebabkan oleh obat sebagai antigennya yang memerlukan

penggabungan antara IgG dan IgM di permukaan sel. Hal ini menyebabkan efek

sitolitik atau sitotoksik oleh sel efektor yang diperantarai komplemen. Adanya reaksi

imun sitotoksik mengakibatkan apoptosis keratinosit yang menyebabkan kerusakan

pada jaringan kulit. Gabungan dari obat, antibodi dan komplemen ini terfiksasi pada

sel sasaran yaitu eritrosit, leukosit dan trombosit sehingga yang mengakibatkan lisis

(24)

sel sasarannya adalah eritrosit dan leukosit maka akan menimbulkan agranulositosis

dan anemia hemolitik. Kerusakan ini dapat terjadi apabila mengkonsumsi obat-obatan

seperti Carbamazepine, Penisilin, dan Sulfonamid. Menurut klasifkasi Coomb dan Gel,

Eritema Multiformis mayor atau SSJ disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas tipe II

(sitolitik), dimana gejala reaksi tersebut bergantung kepada sel sasaran, dimana sasaran

utamanya terdapat pada kulit berupa destruksi keratinosit.1

Terjadinya Eritema Multiformis berawal dari suatu deposisi dari kompleks

imun dalam mikrovaskular dari kulit dan mukosa.13 Pada reaksi hipersensitifitas tipe

III (reaksi kompleks imun) ditandai dengan pembentukan kompleks antigen, antibodi

(IgG dan IgM) dalam sirkulasi darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen.

Komponen yang diaktifkan kemudian melepaskan berbagai mediator diantaranya

enzim-enzim yang dapat merusak jaringan.1 Bila komplemen sudah terfiksasi,

komplemen membentuk C3a dan C5a (anafilaktoksin) yang merangsang sel matosit

dan basofil melepas granul. Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit

dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan

reaksi inflamasi yang terjadi.13,19,21

(25)

2.2.4 Klasifikasi

Berdasarkan keterlibatannya dikulit dan dimukosa mulut, Eritema Multiformis

dapat dibedakan menjadi 2 bentuk, yaitu:

2.2.4.1 Eritema Multiformis Minor

Eritema multiformis minor merupakan bentuk ringan dari Eritema

Multiformis dimana keterlibatannya terbatas hanya pada satu permukaan saja di kulit

atau di membrana mukosa, dan biasanya sering terjadi di mukosa mulut.17 Penyakit

ini dapat sembuh dengan sendirinya tanpa dilakukan perawatan dalam waktu 1-3

minggu atau sering disebut self-limited disease dan bersifat akut.Eritema multiformis

minor ini dapat terjadi sekali atau berulang dan jarang terjadi dalam bentuk kronik.

Penyebab Eritema multiformis minor biasanya selalu dihubungkan dengan Virus

Herpes Simplex (VHS). Komplikasi dari Eritema Multiformis minor berkembang ke

bentuk mayornya yaitu Sindrom Stevens-Johnson.2,13,15,18

2.2.4.2Eritema Multiformis Mayor

Eritema Multiformis mayor atau sering disebut Sindrom Stevens-Johnson

(SSJ) merupakan bentuk parah atau varian mayor dari Eritema multiformis. Pada

tahun 1922 oleh dua dokter Stevens dan Johnson menyelidiki penyakit yang diderita

pada dua pasien anak laki-laki, namun dokter tersebut tidak menemukan jawabannya.

(26)

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan penyakit dengan luka melepuh

seperti terkena luka bakar yang meluas dari kulit dan mukosa mulut dimana

keterlibatannya melibatkan dua atau lebih permukaan di kulit dan membrane mukosa,

dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat berupa eritema, vesikel,

bulla dan purpura. Eritema multiformis mayor ini sering mengenai anak-anak dan

orang dewasa muda terutama laki-laki. Penyebab utama Sindrom Steven-Johnson

(SSJ) lebih dari 50% ialah alergi obat. Sebagian kecil lainnya karena infeksi,

vaksinasi, neoplasma dan radiasi.1,2,13,17,20

Adapun bentuk parah atau varian mayor yang lebih berat dari Sindrom

Steven-Johnson (SSJ) ialah Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) atau disebut juga

Sindrom Lyell. Penyebab penyakit ini juga memiliki kesamaan dengan Sindrom

Steven-Johnson (SSJ) yaitu alergi obat dan umumnya terjadi pada orang dewasa akan

tetapi NET ini tidak tergolong ke dalam Eritema multiformis mayor. Nekrolisis

Epidermal Toksik (NET) ini merupakan penyakit yang lebih berat dari Sindrom

Stevens-Johnson (SSJ) dengan gambaran klinis yang sangat khas ialah epidermolisis

generalisata, disertai kelainan pada selaput lendir di orifisum dan mata. sehingga jika

pengobatannya tidak cepat dan tepat dapat menyebabkan kematian.1,22

2.2.5 Gambaran Klinis

2.2.5.1 Eritema Multiformis Minor

Erupsi Eritema Multiformis minor terjadi secara tiba-tiba, predileksi terdapat

(27)

bagian ekstensor ekstremitas lengan dan kaki. Gejala awal dari penyakit ini terjadi

demam rendah, malaise dan sakit kepala secara khas mendahului timbulnya lesi

selama 3-7 hari. Eritema multiformis minor mempunyai gambaran klinis dengan lesi

yang bervariasi pada mukosa mulut dibandingkan lesi pada kulit.2,1

Gambar 4 : lesi target pada eritema multiformis 17,18

Tanda klinis khas yang terdapat di kulit disebut lesi “iris”, lesi “target” atau

lesi “mata sapi” yang mana terdapat makula seperti cincin, merah-putih dan

konsentrik yang terdiri dari bagian tengah berupa vesikel atau eritema yang

keungu-unguan dikelilingi oleh lingkaran konsentris yang pucat atau putih, dan kemudian

lingkaran berwarna merah yang timbul dengan cepat di permukaan lengan dan kaki,

lutut, dan telapak tangan. Leher secara klasik bebas dari lesi kecuali pada kasus yang

sangat parah.1,2,13,16

Lesi Eritema multiformis minor ini terdistribusi secara simetris. Awalnya lesi

pada kulit berupa makula sirkuler, kecil dan merah dengan diameter dari 0,5-2 cm,

kemudian makula membesar dan membentuk daerah putih pucat atau jernih

(28)

timbul tanpa di sadari sampai akhirnya pecah dan menyatu. Pada umumnya ulkus

yang terbentuk lebar, kasar dan dangkal dengan tepi eritematosus. Kulit mengelupas

nekrotik dan pseudomembran fibrinosa secara khas menutupi ulkus tersebut dan

terdapat plak urtikaria yang tidak pecah.2,13

Gambar 5 : ulkus dan krusta di intra oral pada eritema multiformis17

Pada 70% pasien yang menderita Eritema Multiformis ditemukan lesi di

rongga mulut. Secara intraoral terihat makula bewarna merah, ulserasi multipel, dan

erosi dengan permukaaan fibrinosa yang bewarna kelabu-putih. Kelainan-kelainan ini

terbatas pada mukosa pipi, mukosa bibir, palatum dan lidah atau melibatkan seluruh

daerah tersebut. Gingiva jarang terlibat.2 Pada bibir ditemukan krusta pendarahan

yang gelap, merah-cokat yang khas. Lesi “target” mungkin juga dapat terlihat di bibir

(29)

2.2.5.2 Eritema Multiformis Mayor

Gejala awal dari Eritema Multiformis mayor atau Sindrom Stevens-Johnson

(SSJ) dari 30% kasus selama 1-3 minggu setelah mengkonsumsi obat biasanya

dimulai dengan demam tinggi, malaise, sakit kepala, batuk dan pilek, nyeri dada,

diare, muntah dan atralgia. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat.

Pada keadaan yang berat pasien akan mengalami kesadaran yang rendah, koma dan

dapat menyebabkan kematian.1,2,16

Pada Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) ini ditemui gambaran klinis yang khas

yang disebut Trias Klinis Klasik. Trias Klinis Klasik ini terdiri dari :1,2,13,16

1. Kelainan kulit

Kelainan kulit ini terdiri atas eritema, vesikel, dan bulla. Vesikel dan bulla

kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Di samping itu dapat juga

terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.

Gambar 6 : bulla yang berisi cairan pada permukaan kulit 23

2. Kelainan pada mukosa

(30)

menyebabkan penderita sukar atau tidak dapat menelan dan juga sukar bernafas.

Kelainan mukosa sering ditemui pada mukosa mulut (100%) dimana kelainan ini

terbatas pada mukosa pipi, bibir, palatum dan lidah, terdapat juga pada genital (50%)

berupa balanitis, vulvovaginitis, dan jarang terjadi pada hidung (8%) dan anus (4%).

Gambar 7 : pada mukosa bibir terdapat krusta hitam dan lengket dan pada palatum terdapat ulserasi yang luas 2

Kelainan yang tampak di bibir adalah krusta berwarna merah kehitaman yang

tebal. Kelainan dapat juga menyerang saluran pencernaan bagian atas (laring, faring

dan esofagus) dan saluran nafas atas (traktus respiratorius).

3. Kelainan mata

Kelainan mata sebanyak 80% diantara semua kasus. Kasus yang tersering

ialah konjungtivitis kataralis. Disamping itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen,

simblefaron, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. Komplikasi pada mata dapat

(31)

Gambar 8 : konjungtivitis parah dan lesi-lesi kulit “berair” ; sindrom stevens jhonson 2

Di samping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lainnya,

seperti: nefritis dan onikolisis.1 Terdapat juga lesi target yang khas pada wajah, dada

dan perut yang berkembang menjadi lesi vesikulobulosa “berair” dan sakit. Sama

halnya dengan Eritema Multiformis minor pada Sindrom Stevens-Johnson (SSJ)

gingiva jarang terkena bulla yang mengelupas dibandingkan dengan mukosa yang

tidak berkeratin. Lesi ulseratif dan hemoragik yang luas pada bibir dan daerah-daerah

yang terkelupas sangat sakit dan membuat pasien tidak dapat makan dan menelan

sehingga kebutuhan nutrisi tidak cukup, dehidrasi, kesehatan memburuk sehingga

mengharuskan pasien untuk dirawat inap di rumah sakit.2

Gambar 9 : pada sebagian besar wajah tampak eritema dan purpura pada pipi kanan tampak sebagian erosi, bibir disertai

krusta pendarahan kehitaman dan

(32)

2.2.6 Diagnosa dan Diagnosa Banding 2.2.6.1 Diagnosa

Diagnosa eritema multiformis dapat menjadi sulit untuk dideteksi dan penting

dalam membedakan penyakit ini dengan penyakit mulut lainnya. Pemeriksaan yang

akurat perlu dilakukan guna mendapatkan diagnosa yang tepat. Untuk menegakkan

suatu diagnosa Eritema Multiformis baik minor maupun mayor harus dilakukan

anamnese (identitas pasien, keluhan utama, riwayat medik), pemeriksaan klinis, dan

pemeriksaan laboratorium.

2.2.6.1.1 Diagnosa Eritema Multiformis Minor

Diagnosa Eritema Multiformis minor dapat ditegakkan secara klinis dengan

adanya lesi target, iris atau mata sapi pada kulit dan membrana mukosa. Pada kulit

terdapat dipunggung tangan, telapak tangan, bagian ekstensor ekstremitas lengan dan

kaki. Diameter kurang dari 3 cm dan simetris, selain itu juga terdapat kelainan pada

mukosa biasanya sering ditemui di mukosa mulut.13,17

2.2.6.1.2 Diagnosa Eritema Multiformis Mayor

Diagnosa Eritema Multiformis mayor atau Sindrom Stevens-Johnson (SSJ)

dapat diketahui melalui gambaran klinis dan manifestasi yang sesuai dengan trias

kelainan pada kulit, mukosa, dan mata serta terbentuknya lesi pada dua atau lebih

(33)

tinggi, malaise, sakit kepala, batuk dan pilek, nyeri dada, diare, muntah dan atralgia.

Selain itu, dapat didukung dengan pemeriksaan laboratorium, antara lain :1,2,16,17

• Pemeriksaan darah tepi (hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis, hitung

eosinofil total, LED).

• Pemeriksaan histopatologik (biopsi kulit, test nikolsky).

• Pemeriksaan imunologik (kadar imunoglobulin, komplemen C3 dan C4,

kompleks imun).

• Pengkulturan darah, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat

lesi.

Pengukuran kadar urea dan elektrolit, erythrocyte sedimentation rate (ESR).

Tes fungsi hati dan pemeriksaan sputum

Pemeriksaan laboratorium ini digunakan untuk mendapatkan hasil diagnosa

yang lebih spesifik. Pada pemeriksaan darah tepi, bila tidak ditemukan kelainan maka

diagnosa dapat diarahkan pada Eritema Multiformis minor. Apabila didapati kelainan

pada pemeriksaan darah tepi berupa leukositosis atau eosinofilia, maka dapat

dicurigai sebagai Eritema Multiformis mayor yang disebabkan karena infeksi ataupun

alergi. Pada kasus yang lebih berat, dapat terjadi anemia dan proteinuri ringan.1,16,17,21

Pemeriksan histopatologik dengan biopsi jaringan perilesional. Pemeriksaan ini

membantu dalam menegakan diagnosis dan membedakan dengan NET. Biopsi kulit

(34)

hiperplasia epitelia, dan spongiosis, vesikulasi di subeptiel atau intraepitel, serta infiltrasi

limfosit yang terus menerus, apoptosis keratinosit, nekrosis epitel.1,14,16

Pemeriksaan immunologi dapat Pemeriksaan serologi juga dapat membantu

dalam mendiagnosa Eritema Multiformis guna mengetahui faktor penyebabnya

seperti virus herpes simpleks, mikoplasma pneumoniae atau dari mikroorganisme

yang lain.16

2.2.6.2 Diagnosa Banding

Eritema Multiformis minor mempunyai tanda-tanda klinis yang sama dengan

penyakit mulut lainnya. Untuk membedakannya EM ditandai dengan adanya lesi target

pada kulit dan lokasi yang terkena umumnya terdapat di mukosa bukal, lidah, bibir,

palatum, dan ekstremitas. EM lebih sering terjadi pada usia remaja dan faktor

prediposisisnya akibat reaksi hipersensitifitas. EM dapat didiagnosis banding dengan

infeksi herpes simpleks, pemphigus vulgaris, pemphigoid membran mukosa, ulkus

apthosa, dan lichen planus 14

Gambar 10 : kiri-kanan : infeksi herpes simpleks, pemphigus vulgaris pada leher anak, pemphigus vulgaris labialis, ulkus apthosa, lichen planus 2

Eritema Multiformis mayor atau Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dapat

(35)

bentuk parah dari SSJ. Untuk menemukan perbedaannya perlu dilakukan test Nikolsky

yaitu dengan cara membaringkan pasien dan memeriksa bagian punggungnya apakah

terdapat epidermolsis generalisata. Bila terdapat epidermolisis maka dapat didiagnosa

sebagai NET, tetapi apabila tidak ditemukan (test Nikolsky negatif) maka diagnosanya

SSJ. Selain itu kondisi umum penderita NET lebih buruk daripada SSJ.1

Gambar 11 : penderita NET, terdapat epdermolisis generalisata diseluruh tubuh22

2.2.7 Perawatan

Perawatan yang terpenting pada kasus eritema multiformis ialah mengetahui dan

menghilangkan faktor penyebabnya terlebih dahulu. Bila obat sebagai faktor

penyebabnya, sebaiknya menghentikan pemakaian obat tersebut.1

2.2.7.1 Perawatan Eritema Multiformis Minor

Pada kasus ringan Eritema multiformis dirawat dengan tindakan suportif

termasuk menghilangkan simtomnya dengan kortikosteroid topikal, merawat lesi mulut

dengan anastesi topikal, kumur-kumur dengan antisepik, diet lunak atau cair, anti

(36)

Dapat diberikan pengobatan dengan kortikosteroid per oral, misalnya berupa

prednison 10 mg 3 kali sehari. Penyakit ini berjalan ringan dan sembuh dengan

sendirinya (self-limited disease) setelah 2-3 minggu. Antimikroba yang digunakan pada

pengobatan Eritema multiformis misalnya, aciclovir 200 mg atau 400 mg 4-5 kali

sehari dan valacyclovir 500 mg untuk Eritema multiformis yang disebabkan oleh

virus herpes simplex dan penggunaan tetrasiklin 250 mg 4 kali sehari yang

disebabkan oleh mycoplasma pneumoniae.1,13,17,18

2.2.7.2 Perawatan Eritema Multiformis Mayor a) Kortikosteroid

Kortikosteroid Sistemik

Pada kasus Eritema multiformis mayor (SSJ), Terapi suportif merupakan tata

laksana standar pada pasien SSJ. Bila keadaan umum pasien sedang dan lesi tidak

menyeluruh cukup diobati dengan kortikosteroid sistemik berupa prednison 30-50mg

3 kali sehari dengan cara tappering off (dimulai dari dosis awal lalu dikurangi secara

perlahan-lahan) dapat membantu mempersingkat masa penyembuhan. Pasien SSJ

umumnya datang dengan keadaan umum berat, membutuhkan cairan dan elektrolit,

serta kebutuhan kalori dan protein yang berat dan lesi menyeluruh, harus segera

diobati secara tepat dan cepat dan pasien harus dirawat inap.1,21

Penggunaan obat kortikosteroid sistemik merupakan tindakan life-saving. Pada

(37)

secara intravena dengan dosis permulaan 5mg 4-6 kali sehari. Pada umumnya masa

kritis dapat diatasi dalam beberapa hari (2-3 hari). Proses penyembuhan Eritema

multiformis mayor ini berlangsung selama 3-6 minggu.1,9,13,16

Penggunaan kortikosteroid sistemik masih kontroversi, ada yang

mengganggap bahwa penggunaan kortikosteroid sistemik pada anak bisa

menyebabkan penyembuhan yang lambat dan pemakaian kortkosteroid dosis tinggi

dapat menekan sistem kekebalan tubuh dan efek samping yang signifikan, akan tetapi

ada juga yang menganggap kortikosteroid menguntungkan dan menyelamatkan

nyawa. Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet yang sedikit

garam dan tinggi protein. Karena kortikosteroid bersifat katabolik dan setelah

seminggu diperiksa kadar elektrolit dalam darah.1, 13, 21

Kortikosteroid Topikal

. Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan pada kulit, apakah

kering atau basah. Bila keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% dan bila

keadaan basah perlu digunakan kompres larutan salin 1%. Kortikosteroid topikal

tidak diperbolehkan digunakan pada lesi kulit yang basah. Bulla di kulit dirawat

dengan kompres basah larutan burrow atau salin. Untuk lesi di mulut dapat diberikan

kenalog in orabase dan betadine gargle. Obat kumur anastesi topikal berguna untuk

(38)

yang mengalami nekrosis dapat dilakukan debridement. Untuk lesi di kulit yang

erosif dapat diberikan sofratulle atau krim sufadiazin perak. 1, 2, 18, 21

b) Antibiotik

Pada saat penurunan dosis kortikosteroid sistemik dapat timbul miliaria

kristalina yang sering diduga sebagai lesi baru, penanganan yang dilakukan

ialah dosis kortikosteroid tetap diturunkan dan diberikan antibiotik untuk

mencegah terjadinya infeksi. Untuk mengatasi infeksi, diberikan antibiotika

spektrum luas, biasanya dipergunakan gentamisin 5mg/kgBB/hari intramuskular

dalam dua dosis. Pemberian antibiotik selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan

uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Terapi infeksi sekunder

dengan antibiotika yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat

bakterisidal, dan tidak atau sedikit nefrotoksik. Obat yang memenuhi syarat

tersebut, misalnya siprofloksasin 400 mg 2 kali sehari intra vena, klindamisin 600

mg 2 kali sehari intra vena.1,21

Bila tappering off kortikosteroid tidak lancar sebaiknya dicari faktor

penyebabnya, mungkin terjadi alergi akibat antibiotik yang diberikan sehingga

menimbulkan lesi yang baru oleh karena itu perlu dilakukan penghentian pemakaian

antibiotik tersebut dan mengganti dengan antibiotik yang lain. Selain disebabkan oleh

alergi obat dapat juga disebabkan infeksi sehingga perlu dilakukan pengkulturan

(39)

c) Keseimbangan cairan atau elektrolit dan nutrisi

Hal yang perlu diperhatikan ialah mengatur keseimbangan cairan atau

elektrolit dan nutrisi, terlebih-lebih karena penderita sukar atau tidak dapat

menelan akibat lesi di mulut dan di tenggorokan dan kesadaran dapat menurun

akibat asupan nutrisi yang tidak cukup. Kesehatan yang buruk inilah yang

mengharuskan pasien untuk dirawat inap di rumah sakit. Untuk penanganan hal

ini dapat diberikan infus, misalnya berupa dektrose 5%, NaCl 9% dan laktat ringer

yang diberikan 8 jam sekali. Jika dengan terapi di atas belum tampak perbaikan

dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2

hari berturut-turut; teriebih-lebih pada kasus yang disertai purpura yang luas dan

leukopenia. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan Vit

C 500 mg atau 1000 mg sehari intra vena.1,2

d) Antihistamin

Antihistamin diberikan bila perlu saja, bila ada rasa gatal. Antihistamin yang

dapat diberikan adalah Setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5

mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Sedangkan untuk obat

Pheniramine hydrogen maleate (Avil) dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5

(40)

e) Perawatan lainnya

Pada perawatan mata dapat diberikan tetes mata dengan antiseptik untuk

mencegah sekuele okular. Selain itu, penggunaan Human Intravenous

Immunoglobulin (IVIG) dapat menghentikan progresivitas penyakit SSJ

dengan dosis total 3 gr/kgBB selama 3 hari berturut-turut (1 gr/kgBB/hari

selama 3 hari).2,21

f) Edukasi

Edukasi yang diberikan tenaga medis kepada pasien sangat penting

dilakukan, karena hal ini dapat membantu pasien untuk meningkatkan taraf

kesehatan pasien, dengan cara memberikan petunjuk tentang hal yang harus

dilakukan dan hal yang dielakan. Pasien diminta agar menyeimbangkan

kebutuhan nutrisi, memperbanyak minum air mineral dan berolah raga secara

teratur dan menjaga kesehatan tubuh dan rongga mulutnya, karena sebelumnya

kondisi kesehatan pasien sangat buruk dimana asupan nutisi yang kurang dan

dehidrasi. Pasien harus mengetahui riwayat pemakaian obat sebelumnya yang

dapat menyebabkan alergi dalam hal ini obat carbamazepine. Pasien juga

harus mengetahui penyakit ini dapat rekuren, dan sebaiknya pasien agar

kembali ke dokter apabila timbul lesi di kulit setelah meminum obat ini.3

Selain itu, efek samping perawatan juga harus diberi perhatian yang

serius. Karena perawatan penyakit ini menggunakan kortikosteroid, dimana

(41)

samping yang besar. Maka dokter harus memberikan edukasi kepada pasien

dalam meminimumkan efek samping dari kortikosteroid dengan menganjurkan

diet yang sedikit garam dan tinggi protein. Karena kortikosteroid bersifat

(42)

BAB 3

LAPORAN KASUS

Seorang pasien, laki-laki berusia 26 tahun, pekerjaan mahasiswa, datang ke

Departemen Ilmu Penyakit Mulut pada tanggal 17 Mei 2008 dengan keluhan utama

rasa nyeri yang hebat pada mulut dan terasa lengket sehingga sulit untuk membuka

mulut. Pasien mengeluh demam dan gatal – gatal. Hal ini dialami pasien ± 1 minggu

setelah mendapat terapi Carbamazepine, Dilantin dan Vit. K untuk pengobatan

epilepsi yang dideritanya. Pada awalnya mengeluhkan batuk – batuk dan sesak nafas,

sehari setelah mengkonsumsi obat Carbamazepin, Dilantin dan Vit. K. Saat itu pasien

datang ke dokter umum kemudian mendapat terapi Beneflox dan Amoxicillin.

Namun keluhan tidak berkurang bahkan pada muka timbul bintik – bintik kemerahan

hingga ke seluruh tubuh dan keluhan juga ada pada genital pasien.

Riwayat medis : pada pasien ini dijumpai riwayat alergi, penyakit asma,

penyakit lambung dan pernah mengonsumsi narkoba.

Pada pemeriksaan klinis dijumpai hiperemis pada konjungtiva mata dan lesi

eritema pada wajah. Pada pemeriksan ekstra oral djumpai pembengkakan kelenjar

limfe dan krusta merah kehitaman, ulser dan lengket pada bibir. Pada pemeriksaan

intra oral dijumpai ulser, kandidiasis dan keadaan rongga mulut sulit diperiksa karena

(43)

hingga genital dijumpai lesi target, vesikel dan krusta yang meluas. Pada eksterimitas

atas dan bawah dijumpai vesikel yang luas.

Gambar 12 : lesi vesikel, eritem, ulser dan krusta merah kehitaman pada dada, leher, lidah dan bibir, lesi lengket sehingga sukar untuk membuka mulut, konjungtivitis pada mata; kunjungan pertama

Pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan

laboratorium. Pasien di diagnosa banding dengan Eritema Multiformis Mayor, NET,

Pemphigus vulgaris. Diagnosa sementara Eritema Multiformis Mayor kemudian

pasien diberi terapi Prednison 5 mg tablet dengan dosis 3 x 2 selama 1 minggu, Sines

tablet 1x1 dan Minosep gargle. Penggunaan obat – obatan sebelumnya yang diduga

sebagai predisposisi dari Eritema Multiformis Mayor dihentikan. Pada pasien

dianjurkan untuk menjaga oral hygiene, diet rendah garam tinggi protein dan kontrol

1 minggu kemudian. Bila lesi makin hebat dianjurkan segera ke dokter.

Pada kunjungan kedua pasien yaitu tanggal 24 Mei 2008 dijumpai kondisi

pasien cukup baik dibandingkan kunjungan pertama. Keluhan bibir lengket tidak

(44)

Pasien kemudian di terapi Prednison 5 mg tablet yang di tapering – off dengan dosis

3 x 1 selama 1 minggu dan Minosep gargle. Pasien dianjurkan untuk kontrol 1

minggu kemudian.

Gambar 13 : lesi dileher berkurang, mata sudah tidak konjungtivits dan sedikit merah, bibir sudah tidak lengket ; kunjungan kedua

Pada kunjungan ketiga yaitu tanggal 3 juni 2008 dijumpai keadaan umum

jauh lebih baik. Tidak dijumpai lagi lesi pada bibir, leher dan mata tidak hiperemis

lagi. Namun pada lidah masih dijumpai sedikit ulser. Pasien di terapi dengan

Prednison 5m tablet dengan dosis 2 x 1 selama 1 minggu.

Gambar 14: kondisi setelah kunjungan ketiga, lesi lebih sedikit, mata sudah tidak konjungtivits, bibir sudah tidak lengket, lidah sedikit ulser ; kunjungan ketiga

Pada kunjungan terakhir yaitu tanggal 10 juni 2008, tidak lagi dijumpai

(45)

edukasi untuk menjaga kebersihan oral hygiene dan kesehatannya. Pasien diingatkan

bahwa dirinya alergi terhadap Carbamazepin dan ia harus mengatakannya setiap

datang berobat ke dokter.

(46)

BAB 4

PEMBAHASAN

Penegakan diagnosa bahwa pasien ini menderita Eritema Multiformis mayor

dilakukan berdasarkan anamnese dan pemeriksaan klinis, namun untuk mendapatkan

diagnosa yang lebih spesifik lagi dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium.

Berdasarkan anamnese didapati riwayat penggunaan carbamazepine bersama dilantin

seminggu sebelum lesi di kulit dan mukosa muncul serta didapati demam, malaise

dan gatal-gatal. Berdasarkan anamnese tersebut klinisi menduga kuat hubungannya

carbamazepine sebagai faktor pencetus terjadinya Eritema Multiformis mayor. Selain

anamnese, informasi yang diperoleh dari pemeriksaan klinis adekuat dan mencukupi

dalam menegakan diagnosa bahwa penyakit ini Eritema Multiformis mayor.

Ditemukannya Trias Klinis Klasik yang merupakan gambaran klinis Eritema

Multiformis mayor. Pada kulit ditemukan lesi lepuh, lesi target, vesikel, eritema dan

erosi yang meluas. Mukosa mulut pada pemeriksaan ekstra oral, dibibir ditemukan

krusta merah kehitaman, lengket dan terdapat pembengkakan pada kelenjar limfe.

Pada pemeriksaan intra oral, sulit dilakukan karena lesi yang lengket dan ditemukan

oral hygiene yang buruk seperti pada lidah terdapat ulser dan kandidiasis, dan

berdasarkan anamnese juga ditemukan lesi pada genital. Pada mata juga ditemukan

mata merah dan gatal. Pemeriksaan laboratorium tidak lakukan, karena klinisi

(47)

suatu diagnosa, namun sebaiknya klinisi melakukan pemeriksaan laboratorium untuk

mendapatkan diagnosa yang lebih spesifik dan pemeriksaan yang optimal.

Pada kasus ini diduga lesi yang terjadi berhubungan dengan proses alergi

obat. Klinisi menduga faktor pencetus yang kuat hubungannya sebagai penyebab

penyakit ini ialah carbamazepine. Pemberian obat-obatan antikonvulsi seperti

carbamazepine dapat menyebabkan alergi. Mekanisme terjadinya penyakit ini

disebabkan sebagai reaksi hipersensitifitas tipe II dan III.1,13,19,21 Reaksi

hipersensitifitas tipe II (reaksi sitotoksik) karena menurut klasifikasi Coomb dan Gel

gejala reaksi tersebut bergantung kepada sel sasaran, dimana sasaran utama SSJ ialah

pada kulit berupa destruksi keratinosit. Adanya reaksi imun sitotoksik mengakibatkan

apoptosis keratinosit yang menyebabkan kerusakan pada jaringan kulit. Reaksi

hipersensitifitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh pembentukan

kompleks antigen, antibodi (IgG dan IgM) dalam sirkulasi darah atau jaringan dan

mengaktifkan komplemen. Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit

dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan

reaksi inflamasi yang terjadi.13,19,21

Dalam hal ini penyakit pasien sudah mengarah kedalam bentuk mayor atau

sering disebut dengan Sindrom Steven-Johnson (SSJ) dan penyakit ini mempunyai

kesamaan dengan penyakit Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) yang juga merupakan

diagnosa banding dari penyakit SSJ, untuk membedakannya perlu dilakukan

(48)

Bila terdapat epidermolisis maka dapat didiagnosa sebagai NET, tetapi apabila tidak

ditemukan (test Nikolsky negatif) maka diagnosanya SSJ. Selain itu kondisi umum

penderita NET lebih buruk daripada SSJ.1

Kunci utama perawatan lesi akibat alergi obat adalah menghentikan pemakaian

obat yang diduga sebagai pencetus timbulnya penyakit. Jika pemakaian obat ini tidak

dihentikan dan hanya menurunkan dosisnya maka alergi dapat timbul kembali dan dapat

memperparah kondisi pasien.1 Dalam kasus ini klinisi menghentikan semua pemakaian

obat-obatan yang diresepkan oleh dokter sebelumnya. Setelah melakukan penghentian

pemakaian obat sebelumnya, klinisi melakukan perawatan dengan pemberian

kortikosteroid Prednison 5 mg, antihistamin Sines tablet dan Minosep Gargle. Pemberian

Prednison dilakukan secara tapering off karena pemberiannya lebih dari 3 hari yang

berguna untuk mencegah efek withdrawal yang sering timbul apabila dilakukan

penghentian terapi kortikosteroid secara tiba – tiba. Pada kunjungan kedua tidak lagi

diberikan antihistamin Sines tablet karena keluhan gatal tidak dijumpai lagi. Pada

kunjungan ketiga, pasien tidak diberikan terapi Minosep gargle karena pemberian hanya

dianjurkan selama 2 minggu (penggunaan jangka pendek). Pasien dinyatakan sembuh

pada kunjungan ke empat yaitu setelah 1 bulan mendapat terapi, dimana tidak dijumpai

lagi keluhan maupun lesi pada tubuh. Pada kunjungan terakhir ini pasien diberikan

edukasi.

Edukasi yang diberikan untuk kasus ini, agar menyeimbangkan nutrisi makanan

dan melakukan olahraga. Pasien juga diminta untuk banyak minum air mineral (air

(49)

dianjurkan supaya pasien menghubungi dokter spesialis saraf yang lebih ahli agar

mendapat perawatan yang lebih baik agar terhindar dari efek samping seperti

penyakit eritema multiformis mayor. Selain itu pasien diminta agar hidup rileks dan

mencegah terjadinya stres. Pasien harus menjaga kebersihan mulut, perlu di edukasi

bagaimana menjaga kebersihan mulut dengan baik dan benar, sehingga pasien

(50)

BAB 5

KESIMPULAN

Carbamazepine merupakan obat golongan anti konvulsi, anti epilepsi dan

pada kedokteran gigi digunakan pada kasus trigeminal neuralgia namun telah jarang

digunakan mengingat efek sampingnya yang banyak. Obat ini dikontraindikasikan

pada pasien yang hipersensitifitas terhadap carbamazepine, depresi sumsum tulang

belakang, dan kehamilan. Obat ini mempunyai kelebihan sebagai obat anti epilesi

namun obat ini juga mempunyai kekurangan yaitu efek samping seperti reaksi alergi

pada kulit dan mukosa. Adanya reaksi hipersensitifitas terhadap obat ini merupakan

salah satu penyebab terjadinya penyakit eritema multiformis.

Eritema Multiformis yang disebabkan obat carbamazepine maupun faktor

lainnya memiliki gambaran klinis yang sama pada kulit dan membrana mukosa.

Untuk memastikan diagnosa eritema multiformis yang disebabkan oleh obat

carbamazepine diperlukan anamnese, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan

laboratorium yang tepat, untuk mendapatkan diagnosa yang lebih spesifik. Diagnosa

yang tepat ialah perawatan yang efektif.

Lesi yang terjadi berupa lesi lepuh yang sakit dan gatal dijumpai pada mukosa

mulut, bibir, muka, dan dibadan. Mata pasien sangat merah dan sakit, lesi juga

terdapat di daerah genital. Perawatan dengan penghentian semua pemakaian obat

(51)

penyakit ini dan pemberian kortikosteroid sistemik sangat membantu pada kasus ini.

Penanganan kasus ini diperlukan kerjasama antar tenaga medis. Pada pemberian

obat-obatan pada pasien perlu diketahui riwayat pemakaian obat sebelumnya untuk

mempermudah dalam mendiagnosis dan perawatan. Edukasi sangat penting agar

pasien dapat menghindari faktor pencetus serta menyadari bahwa apabila perawatan

tidak dilakukan hingga tuntas maka rekurensi dapat terjadi kembali. Edukasi juga

diberikan dalam meminimumkan efek samping dari perawatan dengan kortikosteroid,

selain itu pasien harus dapat menjaga kesehatan tubuh dan rongga mulut untuk

(52)

DAFTAR PUSTAKA

1. Hamzah M. Erupsi Obat Alergi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed.5

Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Balai Penerbitan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Jakarta. 2007 :154-158 dan 162-168

2. Langlais, Robert P. Miller, Craig S. Atlas berwarna kelainan rongga mulut

yang lazim. edisi 1. Alih bahasa:Budi Susetyo. Jakarta:Hipokrates,

1994:90-91

3. Ganiswarna G Sulistia. Farmakologi dan Terapi, edisi 4, Bagian Farmakologi

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Gaya Baru,2001:170-71

4. Utama W Harry, Kurniawan Dedy. Erupsi Alergi Obat.

<http://klikharry.wordpress.com/erupsi-alergi-obat.htm> (25 juli 2007)

5. Ermawati H. Yosepha. Penggunaan Carbamazepine Pada Pasien Pediatri.

<http://yosefw.wordprees.com.penggunaan carbamazepine pada pasien

pediatri/famakoterapi-info.htm> (31 Desember 2007)

6. Anonymous.Carbamazepine.<http://en.wikipedia.org/wiki/.com.Carbamazepi

ne> (15 Januari 2009)

7. Amtha R, Penisilin sebagai salah satu agen penyebab eritema multiforme,

Majalah kedokteran gigi. Jakarta: FKG USAKTI, 2000:5-9

8. Sonis ST, Fazio RC, Fang L. Principles and Practie of Oral Medicine. 2nd ed.

(53)

9. Lubis Sjuaibah, Eritema multiformis mukosa mulut akibat larutan penyegar

yang mengandung cinnamomum, Dentika Dental Journal, Jurnal Kedokteran

Gigi-USU vol.7no.2 hlm 67-146. Medan : FKG-USU, 2002:110-113

10.Tjay Tan Hoan, Rahardja Kirana. Obat-Obat Penting Khasiat Penggunaan

Dan Efek-Efek Sampingnya, edisi 5 cetakan kedua. Jakarta : PT.Elex Media

Komputindo-Gramedia, 2002:391-399

11.Katzung G Bertram. Farmakologi Dasar Dan Klinik. edisi 6. Alih bahasa:

Staf Dosen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Jakarta:

EGC, 1994: 380-399

12.Anonymous. Tegretol. <http://mims.com/page.aspx?menuid=mng&name

tegretol/> (11 Juni 2009)

13.Greenberg MS. Glick M. Ulcerative, Vesicular and Bullous Lesions. Burket’s

Oral Medicine Diagnosis and Treatment.10th ed. BC Decker Inc. Philadelphia:

2003:57-60

14.Regezi JA, Sciubba J. Oral Pathology, Clinical Pathologic Correlations. 4th

ed. Philadelphia: W.B Saunders co, 2003:44-50

15.Pindborg.J.J. Atlas Penyakit Mukosa Mulut. Edisi keempat. Alih bahasa

Wangsaraharja K. Binarupa Aksara. Jakarta.1994: 242-244

16.Scully C, Oral Maxillofacial Medicine the basis of diagnosis and treatment.

London. Wright,2004:280-86

(54)

18.Greenberg. S Martin. Erythema Multiforme and related disorders. Oral

Medicine. University College of London. Mosby. London.2007:642-654

19.Judarwanto Widodo. Alergi Dan Hipersensitifitas Obat.

<http://childrenallergyclinic.wordpress.com/alergi dan hipersensitifitas obat/>

(12 Juni 2009)

20.F Femiano, A Lanza, C Buanaiuto, F Gombos, R Rullo, V Festa, N Cirillo.

Original article : Oral manifestations of adverse drug reactions: guidelines,

Naples,Italy. Journal compilation European Academy of Dermatology and

Venereology,JEADV. 2008:8

21.Judarwanto Widodo. Sindrom Stevens - Johnson.

<http://childrenallergyclinic.wordpress.com/sindrom stevens-johnson/> (10

Juni 2009)

22.Huang Yen Li, Liao C.W, Chiou C.C, Lou P.J, Hu Philip, Ko Chang Fu. Fatal

Toxic Epidermal Necrolysis Induced by Carbamazepine Treatment in a

Patient Who Previously had Carbamazepine-induced Stevens-Johnson

Syndrome. J Formos Med Assoc. Case Report. Vol.106 No.12. Taiwan: 2007;

1032-1037

23.Anonymous.ErythemaMultiforme.<http://aocd.org/skin/dermatologic_disease

s/erythema_multiforme.html> (11 Juni 2009)

24.Sjamsoe Daili S.E, Menaldi L.S, Wisnu M.I. Penyakit Kulit Yang Umum Di

Indonesia Sebuah Panduan Bergambar. Fakultas Kedokteran Universitas

(55)

25.Kaufmann M.A, Patel M. Treatment of Trigeminal Neuralgia.

<http://www.umanitoba.ca/carnial_nerves/trigeminal_neuralgia/manuscript/m

(56)

Gambar

Gambar
Gambar 1 :   strukur kimia dari carbamazepine 5H-         dibenzo[b,f]azepine-5-carboxamide 6
Gambar 2 :   carbamazepine tablet 25
Gambar 3 :   patogenesis eritema multiformis17
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sindrom syok adalah tingkat infeksi virus dengue yang terparah, di mana pasien akan mengalami sebagian besar atau seluruh gejala yang terjadi pada penderita demam

Selain itu, Pemkab juga dapat mengidentifikasi daerah atau kota di luar negeri yang memiliki karakteristik maupun citra brand yang relatif sama untuk

Dari sisi hukum acara pidana, yang dimaksud dengan saksi verbalisan atau disebut juga dengan saksi penyidik adalah seorang penyidik yang kemudian menjadi saksi atas suatu perkara

Tidak terkecuali dalam hal ini, al-Qur’an juga telah memaparkan berbagai macam penyebab konflik yang sering terjadi di masyarakat dengan memberikan bimbingan moral dan

Perbandingan laporan keuangan selama periode yang relatif pendek – dua atau tiga tahun – biasanya dilakukan dengan analisis perubahan tahun ke tahun dalam tiap-tiap akun.. Analisis

Letaknya yang superfisial menjadi target yang menguntungkan untuk pemeriksaan Si-AjaH, tetapi juga sering menjadi tantangan diagnostik tersendiri bagi ahli patologi,

OS juga menyangkal hidung sering gatal, bersin-bersin, maupun hidung yang tersumbat secara bergantian pada kanan dan kiri pada pagi atau malam hari.. Sejak 2,5 bulan yang

Low back pain adalah suatu sindrom klinik yang ditandai dengan gejala utama rasa nyeri atau perasaan lain yang tidak enak di daerah tulang punggung bagian bawah