• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Kasus Apendisitis Akut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Kasus Apendisitis Akut"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KASUS

APENDISITIS AKUT

Disusun Oleh :

(2)

DAFTAR ISI

Daftar Isi...1

Bab I Status Pasien...3

I. Identitas Pasien...3

II. Anamnesis...3

III. Pemeriksaan Fisik Generalis...5

IV. Pemeriksaan Penunjang...6

V. Resume...8

VI. Diagnosis...9

VII. Penatalaksanaan...9

VIII. Prognosis...10

IX. Laporan Operasi...10

Bab II Tinjauan Pustaka...12

I. Anatomi...12

II. Fisiologi...13

III. Epidemiologi...14

IV. Etiologi dan Patogenesis...14

V. Mikrobiologi...15

VI. Manifestasi Klinis...16

VII. Diagnosa Banding...20

VIII. Penatalaksanaan...23

IX. Perawatan Post-operatif dan Komplikasi...32

X. Prognosis...34

Bab III Pembahasan...35

(3)

BAB I STATUS PASIEN I. Identitas Pasien

 Nama Pasien : Ny. IM

 Jenis Kelamin : Perempuan

 Tanggal Lahir / Usia : 11 November 1963 / 51 tahun

 Pekerjaan : Ibu rumah tangga

 Alamat : Atsiri Permai, Raga Jaya

 Status Pernikahan : Menikah

 Suku : Batak

 Agama : Kristen Protestan

 Pendidikan Terakhir : D3

 Tanggal Masuk Perawatan : 9 November 2015

II. Anamnesis

A. Keluhan Utama

Nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS. B. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSPAD Gatot Soebroto dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS. Awalnya nyeri dirasakan di ulu hati lalu berpindah ke perut kanan bawah. Nyeri yang dirasakan tajam seperti ditusuk jarum dan hilang timbul sepanjang hari. Nyeri bertambah parah ketika pasien hendak bangun dari tempat tidur ataupun batuk dan membaik ketika pasien diam dan beristirahat. Pasien merasakan nyeri dengan skala 3 dari 10. Pasien juga mengeluhkan adanya mual dan muntah setelah mulai merasa nyeri. Sejak timbulnya gejala, nafsu makan pasien berkurang. 2 hari SMRS pasien mengalami demam. Pasien menyangkal mengalami sulit atau nyeri saat BAK ataupun gangguan pola BAB. Tidak ada riwayat penurunan berat badan drastis dalam beberapa bulan terakhir.

(4)

C. Riwayat Haid

a. Menarche : 13 tahun b. Lamanya haid : 5-7 hari

c. Siklus : teratur, 27-29 hari

d. Banyaknya : 2-3 kali ganti pembalut/hari e. Nyeri haid : tidak ada

f. HPHT : tahun 2014 D. Riwayat Penyakit Dahulu

a Hipertensi : Disangkal g. Diabetes Mellitus : Disangkal h. Penyakit Jantung : Disangkal

i. Asma : Disangkal

j. Riwayat Alergi : Tidak ada

k. Riwayat Operasi : 2 kali sectio-cesarea (1996 dan 1999) l. Riwayat Pengobatan : Tidak ada

E. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada.

F. Riwayat Sosial

Pasien menyangkal memiliki kebiasaan merokok, minum alkohol atau menggunakan obat-obatan rutin.

(5)

III. Pemeriksaan Fisik Generalis

A Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

G. Kesadaran : Compos mentis; GCS 15 (E4 M6 V5) H. Tanda Vital a Tekanan Darah : 110/80 mmHg m. Pernafasan : 20x/menit n. Nadi : 88x/menit o. Suhu : 37oC p. VAS : 3/10 I. Status Generalis a Kepala : Normocephal

q. Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, refleks pupil +/+

r. Hidung : Septum deviasi (-), mukosa normal, hipertrofi konka (-), sekret (-) s. Telinga: Normotia, sekret (-), serumen -/-, liang telinga lapang

t. Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1

u. Leher : Bentuk normal, KGB tidak teraba, kelenjar tiroid tidak teraba v. Thoraks

Jantung Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak Palpasi : Iktus kordis teraba

Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Paru-paru Inspeksi : Bentuk dan pergerakan dada simetris kanan-kiri Palpasi : Taktil vokal fremitus teraba simetris

Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, wheezing , rhonki -/-w. Abdomen

Inspeksi : Datar

Auskultasi : Bising usus (+) 8x/menit

Palpasi : Nyeri tekan titik McBurney (+), nyeri lepas titik McBurney (+), Rovsing sign (+), nyeri lepas indirek (+), defans muskular lokal(+), Psoas sign (-), Obturator sign (-), hepar dan limpa sulit dinilai karena nyeri

(6)

Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen x. Genitalia

Inspeksi : Vulva dan uretra tenang, fluor (-), fluxux (-) Inspekulo : Portio licin, OUE tertutup, massa (-), fluor (-), fluxux (-) Periksa Dalam : CUT sebesar telur ayam, antefleksim portio licin, kenyal,

OUE tertutup, massa (-), adneksa massa (-), parametrium lemas

y. Ekstremitas : Akral hangat, edema -/-, CRT < 2 detik

IV. Pemeriksaan Penunjang

A Pemeriksaan Laboratorium

Jenis Pemeriksaan Hasil (9 November 2015) Nilai Rujukan HEMATOLOGI Hemoglobin 12 12-16 g/dl Hematokrit 37 4.3-6.0 juta/pl Eritrosit 4.3 4.3 – 6.0 juta/μL Leukosit 14.170 4.800-10.800 /μL Trombosit 271.000 150.000-400.000 /μL MCV 86 80-96 fL MCH 29 27-32 pg MCHC 33 32-36 g/dL KOAGULASI Protombin Time (PT) - Kontrol 11,3 detik - Pasien 10,9 10,2 – 12,2 detik APTT - Kontrol 33,7 detik - Pasien 40,2 29,0-40,2 detik KIMIA KLINIK Ureum 24 20 – 50 mg/dL Kreatinin 0,9 0,5 – 1,5 mg/dL

Glukosa Darah Sewaktu 102 <140 mg/dL

Natrium 147 135 – 147 mmol/L

Kalium 4,8 3,5 – 5,0 mmol/L

Klorida 105 95 – 105 mmol/L

URINALISIS

(7)

Kejernihan Jernih Jernih

PH 6,5 4,6 – 8,0

Berat Jenis 1.020 1,010 – 1,030

Protein -/Negatif Negatif

Glukosa -/Negatif Negatif

Bilirubin -/Negatif Negatif

Nitrit -/Negatif Negatif

Keton -/Negatif Negatif

Urobilinogen -/Negatif Negatif – Positif 1

Eritrosit 1-1-1 < 2 /LPB

Leukosit 2-2-2 < 5 /LPB

Silinder -/Negatif Negatif /LPK

Kristal -/Negatif Negatif

Epitel +/Positif 1 Positif

Lain - lain -/Negatif Negatif

J. Alvarado Score

Temuan Poin Pasien

Perpindahan nyeri ke fossa iliaca dextra 1 1

Anoreksia 1 1

Mual atau muntah 1 1

Nyeri tekan : fossa iliaca dextra 2 2

Nyeri lepas : fossa iliaca dextra 1 1

Demam ≥36,3oC 1 1

Leukositosis ≥10 x 109 /L 2 2

Shift to the left of neutrophils 1 0

Total 10 9

(8)

K. Ultrasonografi (USG)

Hasil Pemeriksaan :

 Nyeri tekan probe +/-, tampak edematous pada apendiks dengan gambaran doughnut sign dengan tebal ±14,9 mm.

(9)

 Organ lainnya normal.

Kesan : sugestif apendisitis akut, organ intra-abdominal lainnya normal.

V. Resume

Pasien Ny. IM, perempuan berusia 51 tahun datang ke IGD dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS. Awalnya pada ulu hati lalu berpindah ke kanan bawah. Nyeri dirasa tajam seperti ditusuk jarum dan hilang timbul. Bertambah parah ketika hendak bangun dari tidur atau batuk dan membaik ketika diam dan beristirahat. Skala nyeri 3 dari 10. Terdapat mual, muntah dan penurunan nafsu makan. 2 hari SMRS mengalami demam.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang, compos mentis dan GCS 15. Tekanan darah 110/80 mmHg, pernafasan 20x/menit, nadi 88x/menit, suhu 37oC, dan VAS 3/10. Pada status generalis tidak ditemukan

kelainan, kecuali abdomen. Dari inspeksi didapatkan abdomen datar. Dari auskultasi didapatkan bising usus (+) 8x/menit. Dari palpasi didapatkan nyeri tekan titik McBurney (+), nyeri lepas titik McBurney (+), Rovsing sign (+), nyeri lepas indirek (+), dan defans muskular lokal(+). Dari perkusi didapatkan timpani di seluruh lapang abdomen.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis (14.170/μL). Selain itu pemeriksaan hematologi, koagulasi, kimia klinik, dan urinalisi masih dalam batas normal. Didapatkan skor 9 pada Alvarado score, yang diinterpretasikan sebagai kemungkinan besar apendisitis (skor ≥7). Dari pemeriksaan USG didapatkan kesan sugestif apendisitis akut, organ intra-abdominal lainnya normal.

VI. Diagnosis

Apendisitis akut

Diagnosa Banding : pelvic inflammatory disease, keganasan

VII. Penatalaksanaan

A Non-medikamentosa

(10)

Informed consent tindakan pembedahan apendektomi. L. Medikamentosa a Pre-operasi  IVFD RL 500 mL / 8 jam  Ketorolac 3 x 30 mg IV  Ceftriaxone 2 x 1 g IV z. Post-operasi  IVFD RL 500 mL / 8 jam  Ketorolac 3 x 30 mg IV  Ceftriaxone 2 x 1 g IV M. Tindakan

Open appendectomy cito

VIII. Prognosis

Ad vitam : ad bonam

Ad functionam : ad bonam Ad sanationam : ad bonam

IX. Laporan Operasi

Operasi apendektomi (9 November 2015).

1. Pasien supine di atas meja operasi dalam anastesi umum. 2. A dan antisepsis daerah lapangan operasi dan sekitarnya.

3. Insisi melewati titik McBurney menembus kutis, subkutis, fascia. 4. Saat peritoneum dibuka, tampak ileum.

5. Identifikasi caecum, tampak apendiks ukuran 6x2x1 cm, hiperemis, oedem, perforasi (-), pus (-), letak retrocaecal intraperitoneal.

6. Dilakukan apendektomi, putung apendiks dibenamkan dalam caecum dengan jahitan kantong tembakau.

7. Luka operasi dicuci dengan kassa lembab NaCl 0,9% steril. 8. Luka operasi ditutup lapis demi lapis.

(11)

Foto Hasil Operasi

Apendiks

(12)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA I Anatomi

Pada orang dewasa, rata-rata panjang apendiks adalah 6 hingga 9 cm; namun, dapat bervariasi antara <1 dan >30 cm. Diameter luarnya bervariasi antara 3 dan 8 mm, sedangkan diameter luminal antara 1 dan 3 mm.

Apendiks mendapat vaskularisasi dari appendicular branch dari ileocolic

artery. Arteri ini berasal dari belakang ileum terminal, memasuki mesoapendiks

dekat dengan basis apendiks. Drainase limfatik dari apendiks mengalir ke kelenjar getah bening (KGB) yang berada sepanjang ileocolic artery. Inervasi apendiks berasal dari elemen simpatis oleh pleksus mesenterik superior (T10-L1) dan aferen dari elemen parasimpatis oleh nervus vagus.

(13)

Secara histologis, apendiks dibungkus oleh 3 lapisan, yaitu lapisan luar serosa, merupakan ekstensi dari peritoneum; lapisan muskularis, yang tidak well

defined dan bisa tidak ada pada lokasi tertentu; dan lapisan submukosa dan

mukosa. Agregrat limfoid terjadi pada lapisan submukosa dan dapat menyebar hingga muskularis mukosa. Saluran limfatik terlihat jelas pada daerah agregat limfoid ini. Mukosanya mirip dengan kolon, kecuali densitas dari folikel limfoidnya. Kriptusnya berukuran dan berbentuk ireguler, kontras dengan kriptus kolon yang tampak lebih seragam. Kompleks neuroendokrin terbentuk oleh sel ganglion, sel Schwann, serat neural, dan sel neurosekretorik yang terletak tepat di bawah kriptus.

X. Fisiologi

Selama beberapa tahun, apendiks secara keliru diyakini sebagai organ vestigial tanpa fungsi yang diketahui. Saat ini apendiks dianggap sebagai organ imunologik yang secara aktif ikut berpartisipasi dalam sekresi imunoglobulin, khususnya imunoglobulin A.

Walau tidak ada peran yang jelas untuk apendiks dalam timbulnya penyakit manusia, telah dilaporkan adanya asosiasi terbalik antara apendektomi dan timbulnya kolitis ulseratif, menunjukkan fungsi protektif dari apendektomi.

(14)

Namun, asosiasi ini hanya ditemukan pada pasien yang diterapi apendektomi untuk apendisitis sebelum usia 20.

Asosiasi antara Crohn’s disease dan apendektomi lebih kurang jelas. Walaupun penelitian terdahulu menunjukkan bahwa apendektomi meningkatkan resiko timbulnya Crohn’s disease, penelitian lebih baru dengan teliti menilai waktu apendektomi berhubungan dengan onset Crohn’s disease membuktikan tidak adanya hubungan. Sebuah meta-analisis baru menunjukkan resiko signifikan

Crohn’s disease tidak lama setelah apendisitis. Resiko ini selanjutnya memudar,

menunjukkan adanya hubungan diagnostik (salah mengidentifikasi Crohn’s

disease sebagai apendisitis) daripada hubungan fisiologis antara apendektomi dan Crohn’s disease.

Apendiks dapat berfungsi sebagai tempat penyimpanan untuk rekolonisasi kolon dengan bakteri sehat. Satu penelitian retrospektif membuktikan bahwa apendektomi sebelumnya mungkin memiliki hubungan terbalik dengan infeksi Clostridium difficile berulang. Namun, pada penelitian retrospektif lain, apendektomi sebelumnya tidak mempengaruhi terjadinya infeksi C. difficile. Peran apendiks dalam merekolonisasi kolon tetap dicari kejelasannya.

XI. Epidemiologi

Resiko seumur hidup timbulnya apendisitis adalah 8,6% untuk laki-laki dan 6,7% untuk perempuan, dengan insiden tertinggi pada dekade kedua dan ketiga. Jumlah apendektomi untuk apendisitis telah menurun sejak 1950an pada sebagian besar negara. Di Amerika, mencapai jumlah insiden terendah menjadi 15 per 10.000 penduduk pada tahun 1990an. Sejak saat itu, terjadi kenaikan insidensi apendisitis non-perforasi. Alasannya tidak jelas, tetapi disarankan bahwa peningkatan penggunaan pencitraan diagnostik menyebabkan deteksi yang lebih tinggi dari apendisitis ringan yang mungkin tidak terdeteksi.

XII. Etiologi dan Patogenesis

Etiologi dan patogenesis dari apendisitis tidak sepenuhnya dimengerti. Obstruksi lumen karena fecaliths atau hipertrofi dari jaringan limfoid disarankan sebagai faktor etiologik utama dari apendisitis akut. Frekuensi obstruksi

(15)

meningkat seiring dengan keparahan proses imflamatorik. Fecaliths dan calculi ditemukan pada 40% kasus apendisitis akut simpel, pada 65% kasus apendisitis gangrenosa tanpa ruptur dan pada hampir 90% gangrenosa dengan ruptur.

Dahulu diyakini bahwa terdapat tahapan kejadian yang dapat diprediksi yang pada akhirnya berujung ruptur apendiks. Obstruksi proksimal pada lumen apendiks menyebaban closed-loop obstruction, dan sekresi normal yang terus-menerus oleh mukosa apendiks menyebabkan distensi. Distensi apendiks menstimulasi ujung saraf dari visceral afferent stretch fibers, menyebabkan nyeri tidak jelas, tumpul, menyebar pada regio umbilikus atau bagian bawah epigastrium. Distensi akan bertambah dengan sekresi mukosa terus-menerus dan multiplikasi cepat dari bakteri yang tinggal di apendiks. Hal ini menyebabkan refleks mual dan muntah, dan nyeri viseral bertambah. Seiring dengan bertambahnya tekanan pada organ, melebihi tekanan vena. Kapiler dan vena teroklusi tetapi aliran arteri tetap berlanjut, menyebabkan pembengkakan dan kongesti vaskular. Lalu proses inflamasi mengikutsertakan serosa apendiks, selanjutnya peritoneum parietalis. Hal ini menggambarkan karakteristik gejala perpindahan nyeri ke kuadran kanan bawah.

Mukosa apendiks rentan terhadap gangguan perfusi, sehingga integritasnya terganggu di awal proses, memberi peluang invasi bakteri. Daerah dengan perfusi yang paling sedikit yang paling terpengaruh: infark elipsoidal berkembang pada batas antimesenterik. Dengan berkembangnya distensi, invasi bakterial, gangguan perfusi, dan infarksi, perforasi terjadi, biasanya pada batas antimesenterik tepat setelah titik obstruksi. Tahapan ini tidak bisa dihindari, namun pada beberapa episode apendisitis akut dapat sembuh dengan sendirinya.

XIII. Mikrobiologi

Apendisitis dapat terjadi menimbulkan sekelompok gejala secara bersamaan, menyarankan asalnya infeksi. Namun, asosiasinya dengan bakteri kontagius dan virus telah ditemukan dalam sebagian kecil pasien apendisitis. Flora normal pada apendiks yang meradang berbeda dengan pada apendiks normal. Sekitar 60% aspirat dari apendiks yang meradang memiliki anaerob, dibandingkan dengan 25% aspirat dari apendiks normal. Sampel jaringan dari

(16)

dinding apendiks yang meradang (bukan aspirat luminal) secara visual semua menumbuhkan spesies Escherichia coli dan Bacteroides pada kultur.

Fusobacterium nucleatum/necrophorum, yang tidak ditemukan pada flora normal

caecum, telah diidentifikasi pada 62% apendiks yang meradang. Sebagai tambahan untuk spesies biasa lainnya (Peptostreptococcus, Pseudomonas,

Bacteroides splanchicus, Bacteroides intermedius, Lactobacillus), bacillus

anaerob gram negatif yang sebelumnya tidak dilaporkan telah ditemukan. Pasien apendisitis dengan gangren atau perforasi tampaknya memiliki lebih banyak invasi jaringan oleh Bacteroides.

XIV. Manifestasi Klinis

A Gejala

Apendisitis umumnya dimulai dengan nyeri menyebar di sekitar umbilikus yang nantinya terlokalisasi pada kuadran kanan bawah (sensitivitas 81%, spesifisitas 53%). Walaupun nyeri kuadran kanan bawah adalah salah satu tanda paling sensitif dari apendisitis, nyeri pada lokasi atipikal atau nyeri minimal sering menjadi presentasi awal. Variasi lokasi anatomis dari apendiks dapat berperan dalam membedakan perbedaan presentasi dari fase somatis nyeri.

Apendisitis juga memiliki hubungan dengan gejala gastrointestinal seperti mual (sensitivitas 58%, spesifisitas 45%) dan anoreksia (sensitivitas 68%, spesifisitas 36%). Gejala gastrointestinal yang timbul sebelum timbulnya nyeri menyarankan etiologi yang berbeda seperti gastroenteritis. Banyak pasien mengeluhkan sensasi obstipasi sebelum gejala nyeri timbul dan merasa bahwa defekasi dapat meredakan gejala nyeri abdomen. Diare dapat terjadi berhubungan dengan perforasi, terutama pada anak-anak.

N. Tanda

Awalnya, tanda vital dapat berubah secara minimal. Suhu tubuh dan nadi dapat normal atau sedikit meningkat. Perubahan yang lebih besar mengindikasikan terjadinya komplikasi atau diagnosa lain perlu dipertimbangkan.

Penemuan fisik ditentukan dari ada tidaknya iritasi peritoneum dan dipengaruhi oleh ruptur tidaknya organ saat pertama kali diperiksa. Pasien apendisitis biasanya bergerak perlahan dan lebih memilih berbaring telentang

(17)

karena iritasi peritoneum. Pada palpasi abdomen, ditemukan nyeri tekan maksimal pada atau sekitar titik McBurney. Pada palpasi dalam, sering dirasakan adanya resisten muskular (guarding) pada fossa iliaca dextra, lebih jelas dibandingkan dengan sisi sinistra. Saat tekanan dari tangan pemeriksa dilepaskan secara mendadak, pasien merasakan nyeri mendadak, yang disebut sebagai nyeri lepas (rebound tenderness). Nyeri tekan tidak langsung (Rovsing’s sign) dan nyeri lepas tidak langsung (nyeri pada kuadran kanan bawah saat kuadran kiri bawah dipalpasi) adalah bukti kuat terjadinya iritasi peritoneum. Nyeri lepas dirasa sangat tajam dan tidak nyaman bagi pasien. Sehingga disarankan untuk memulai memeriksa nyeri lepas tidak langsung dan nyeri ketok langsung terlebih dahulu.

Variasi anatomis pada apendiks yang meradang berujung pada deviasi penemuan fisik yang umum. Dengan apendiks retrocecal, penemuan pada abdomen bisa menjadi kurang jelas, dan nyeri tekan paling jelas pada pinggang (flank). Saat apendiks tergantung di dalam pelvis, penemuan pada abdomen bisa sama sekali tidak ditemukan, dan diagnosa apendisitis dapat terlewatkan. Nyeri rektal sisi kanan dikatakan dapat membantu dalam situasi ini, tetapi nilai diagnostiknya rendah. Nyeri pada ekstensi dari kaki kanan (psoas sign) mengindikasikan adanya fokus iritasi pada bagian proksimal dari muskulus psoas (menunjukkan apendiks retrosekal). Peregangan muskulus obturator internus melalui rotasi internal dari paha terfleksi (obturator sign) menyarankan inflamasi di dekat otot (menunjukkan apendiks pelvis). Peningkatan nyeri yang dirasakan saat batuk disebu Dunphy sign.

O. Pemeriksaan Laboratorium

Apendisitis berasosiasi dengan respon inflamasi yang berhubungan erat dengan keparahan penyakitnya. Sehingga pemeriksaan laboratorium adalah bagian penting dari diagnosa. Leukositosis ringan sering timbul pada pasien dengan apendisitis akut tanpa komplikasi dan biasanya dibarengi dengan

polymorphonuclear prominence. Jarang ditemukan leukosit >18.000 sel/mm3 pada

apendisitis tanpa komplikasi. Jumlah melebihi level ini meningkatkan kemungkinan dari apendiks yang perforasi dengan atau tanpa abses. Peningkatan konsentrasi C-reactive protein (CRP) adalah indikator kuat apendisitis, terutama apendisitis dengan komplikasi.

(18)

Leukosit bisa rendah karena lymphophenia atau reaksi septik, tetapi dalam situasi ini, proporsi neutrofil umumnya sangat tinggi. Maka seluruh variabel inflamasi harus dilihat secara bersamaan. Kemungkinan kecil adalah apendiks jika leukosit, proporsi neutrofil dan CRP dalam batas normal. Respon inflamasi pada apendisitis akut adalah proses dinamis. Awalnya, respon inflamasi bisa lemah. Elevasi CRP, pada umumnya, dapat terjadi penundaan hingga 12 jam. Respon inflamasi yang berkurang dapat mengindikasikan resolusi spontan.

Urinalisis dapat berguna untuk menyingkirkan saluran kencing sebagai sumber infeksi; namun, leukosit atau eritrosit dapat ditemukan dari iritasi ureter atau buli. Bakteriuria umumya tidak tampak.

P. Skoring Klinis

Diagnosis klinis apendisitis akut merupakan estimasi subjektif dari kemungkian apendisitis berdasarkan beberapa variabel yang secara individual diskriminator lemah; namun, digunakan secara bersamaan, memiliki nilai prediksi yang tinggi. Proses ini dapat dibuat menjadi lebih objektif dengan penggunaan sistem skoring klinis, berdasarkan variabel yang terbukti dapat membedakan dan diberi bobot yang sesuai. Skor Alvarado merupakan sistem penilaian yang paling tersebar luas. Khususnya berguna untuk menyingkirkan diagnosis apendisitis dan memilah pasien untuk manajemen diagnostik lanjutan.

(19)

Q. Pemeriksaan Pencitraan

Foto polos abdomen dapat menunjukkan adanya fecalith dan feses di dalam cecum berhubungan dengan apendisitis tetapi jarang membantu mendiagnosa apendisitis akut, namun dapat berguna dalam menyingkirkan patologi lain. Radiografi thoraks dapat membantu menyingkirkan nyeri alih dari lobus kanan bawah paru. Jika apendiks terisi barium enema, kecil kemungkinan apendisitis; namun pemeriksaan ini tidak diindikasikan pada keadaan akut.

Ultrasonografi (USG) dan computed tomography (CT) scan adalah pencitraan yang paling sering digunakan pada pasien dengan nyeri abdomen, terutama pada evaluasi kemungkinan apendisitis. Meta-analisis multipel telah dilakukan untuk membandingkan kedua modalitas. Rata-rata, CT-scan lebih sensitif dan spesifik dibandingkan dengan USG dalam mendiagnosa apendisitis.

Graded compression USG tidak mahal, dapat dapat dilakukan dengan

cepat, tidak membutuhkan medium kontras dan dapat digunakan pada pasien hamil. Apendiks diidentifikasi sebagai bowel loop buntu non-peristaltik berasal dari cecum. Dengan kompresi maksimal, diameter apendiks diukur dengan arah anterior-posterior. Penebalan dinding apendiks dan adanya cairan periappendiceal

(20)

kemungkinan besar menyarankan apendisitis. Apendiks yang mudah dikompresi berdiameter <5 mm menyingkirkan diagnosa apendisitis. Struktur lumen yang tidak dapat dikompresi (lesi target) dapat menjadi gambaran terjadinya apendisitis. Diagnosis sonografis apendisitis akut telah dilaporkan memiliki sensitivitas 55-95% dan spesifisitas 85-98%. USG juga efektif pada anak-anak dan perempuan hamil, walaupun aplikasinya terbatas pada akhir kehamilan. USG memiliki limitasi, terutama pada hasil yang operator-dependent.

Dengan CT-scan resolusi tinggi, apendiks yang meradang tampak terdilatasi (>5 mm) dan dindingnya menebal. Sering ditemukan tanda-tanda inflamasi, yaitu periappendicial fat stranding, penebalan mesoapendiks,

periappendiceal phlegmon, dan cairan bebas. Fecaliths sering terlihat; namun

keberadaannya bukan patognomonik apendisitis. CT-scan juga baik digunakan untuk mengidentifikasi proses inflamasi lainnya yang mirip apendisitis. Beberapa teknik CT telah digunakan, termasuk CT-scan fokus dan non-fokus dan CT-scan kontras dan non-kontras. Secara mengejutkan, semua teknik ini memiliki akurasi diagnostik yang identik : sensitivitas 92-97%, spesifisitas 84-85% dan akurasi 90-98%. Penambahan penggunaan kontras rektal tidak memperbaik hasil CT-scan.

Dibandingkan potensial kegunaan CT-scan, terdapat kerugian yang signifikan. CT-scan mahal, memaparkan pasien pada radiasi signifikan dan memiliki limitasi pada kehamilan. Alergi pada iodin atau kontras melimitasi pemberian kontras pada beberapa pasien, dan beberapa tidak bisa mentolerir konsumsi oral kontras luminal.

Dibandingkan dengan peningkatan penggunaan USG dan CT-scan, peluang kesalahan diagnosa apendisitis tetap konstan (15%). Persentase kesalahan diagnosa apendisitis secara signifikan lebih tinggi pada perempuan dibanding laki-laki (22% dibanding 9,3%).

XV. Diagnosa Banding

Diagnosa banding apendisitis akut secara esensial adalah diagnosis akut abdomen. Gambaran klinis identik dapat disebabkan oleh banyak proses akut di dalam rongga peritoneum yang menghasilkan kelainan fisiologis sama seperti apendisitis akut.

(21)

Akurasi diagnosis pre-operatif seharunys lebih tinggi dari 85%. Jika kurang dari itu, akan sering terjadi operasi yang tidak diperlukan dan diperlukan diagnosa banding pre-operatif yang lebih teliti.

Penemuan umum pada kasus diagnosa pre-operatif apendisitis yang salah– bersama-sama terjadi pada lebih dari 75% kasus– dalam urutan menurun dalam frekuensi adalah adenitis mesenterik akut, tidak ada kondisi patologis organik,

pelvic inflammatory disease (PID) akut, kista ovarium terpuntir atau ruptur folikel

graaf, dan gastroenteritis akut.

Diagnosa banding apendisitis akut bergantung pada 4 faktor mayor: lokasi anatomis dari apendiks yang meradang, tahapan dari proses (tanpa atau dengan komplikasi), usia, dan jenis kelamin pasien.

A Pasien Pediatri

Adenitis mesenterik akut adalah penyakit yang sering disalahartikan sebagai apendisitis akut pada anak-anak. Hampir setiap kali, terdapat infeksi saluran nafas atas atau belum lama mereda. Nyeri biasanya tersebar dan nyeri tekan tidak tepat terlokalisir seperti pada apendisitis. Terkadang ditemukan

voluntary guarding, tetapi jarang ditemukan true rigidiy. Limfadenopati umum

dapat ditemukan. Pemeriksaan labotarium hanya sedikit membantu penegakan diagnosa yang tepat, walaupun limfositosis relatif menyarankan terjadinya adenitis mesenterik. Observasi selama beberapa jam dapat dilakukan bila diagnosis dicurigai adenitis mesenterik dicurigai, karena merupakan penyakit

self-limited.

R. Pasien Geriatri

Divertikulitis atau karsinoma cecum (atau bagian sigmoid yang berada pada abdomen kanan bawah) perforata bisa jadi mustahil dibedakan dengan apendisitis. Hal ini perlu dipertimbangkan, terutama pada pasien yang lebih tua. CT-scan sering kali bermanfaat dalam menegakkan diagnosa pada pasien yang lebih tua dengan nyeri perut kanan bawah dan presentasi klinis atipikal. Pada pasien yang ditatalaksana secara konservatif, dianjurkan melakukan pemantauan berkala kolon (kolonoskopi atau barium enema).

(22)

S. Pasien Perempuan

Penyakit organ reproduksi internal perempuan yang dapat disalahartikan sebagai apendisitis (dalam urutan frekuensi menurun) adalah PID, ruptur folikel graaf, kista atau tumor ovarium terpuntir, endometriosis, dan kehamilan ektopik terganggu (KET). Alhasil, peluang salah diagnosa tetap lebih tinggi pada perempuan.

Pada PID, infeksi biasanya bilateral, tetapi jika hanya pada tuba kanan maka dapat menyerupai apendisitis akut. Mual dan muntah terjadi pada pasien apendisitis tetapi hanya sekitar 50% pada PID. Nyeri dan nyeri tekan biasanya lebih rendah dan terdapat nyeri goyang serviks. Diplokokus intraselular dapat tampak pada apusan sekret purulen vagina. Perbandingan kasus apendisitis dengan PID rendah pada perempuan di awal fase menstruasi dan tinggi pada fase luteal. Penggunaan hal ini secara teliti menurunkan insidensi penemuan negatif dalam laparoskopi pada perempuan muda hingga 15%.

Ovulasi biasanya menyebabkan tumpahnya sejumlah darah dan cairan folikuler yang cukup untuk menghasilkan nyeri perut bawah yang singkat dan ringan. Jika jumlah cairan cukup banyak dan berasal dari ovarium kanan, maka dapat menstimulasi apendisitis. Nyeri dan nyeri tekan biasanya menyebar, dan leukositosis dan demam biasa ringan atau tidak ada. Karena nyeri ini terjadi pada titik tengah siklus menstruasi, sering dinamakan mittelschmerz.

Kista serosa ovarium umum terjadi dan biasanya tidak menimbulkan gejala. Ketika kista sisi kanan mengalami ruptur atau torsio, manifestasinya serupa dengan apendisitis. Pasien mengalami nyeri perut kuadran kanan bawah, nyeri tekan, nyeri lepas, demam, dan leukositosis. Baik USG transvaginal dan CT-scan bisa membantu diagnosa.

Torsio memerlukan tatalaksana operatif darurat. Jika torsio yang terjadi komplit atau lama, pedicle mengalami trombosis, dan ovarium serta tuba menjadi gangren dan memerlukan reseksi. Namun, simple detorsion, fenestrasi kista dan fiksasi ovarium sebagai intervensi utama, diikuti dengan laparoskopi beberapa hari setelahnya, dapat dianjurkan karena sering kali sulit untuk menentukan secara pre-operatif viabilitas ovarium.

(23)

Implantasi blastokista pada tuba fallopii (biasanya pada bagian ampulla) dan ovarium. Ruptur tuba kanan atau kehamilan ovarium dapat menyerupai apendisitis. Pasien dapat memiliki riwayat menstruasi abnormal, baik melewatkan satu atau dua siklus atau hanya sedikit perdarahan vaginal. Sayangnya, pasien tidak selalu menyadari dirinya hamil. Timbulnya nyeri kuadran kanan bawah atau nyeri pelvis bisa menjadi gejala pertama. Diagnosa KET seharusnya relatif mudah. Adanya massa pelvis dan peningkatan kadar human chorionic

gonadotropin (hCG) merupakan karakteristiknya. Walaupun jumlah leukosit

sedikit meningkat, kadar hematokrit menurun sebagai akibat dari perdarahan intra-abdomen. Pada pemeriksaan vagina didapatkan nyeri goyang serviks dan nyeri tekan adneksa, dan diagnosa lebih pasti dapat ditegakkan dengan

culdocentesis. Adanya darah dan khususnya jaringan desidua adalah

patognomonik. Tatalaksana KET adalah operasi darurat.

XVI. Penatalaksanaan

A Awal

a Apendisitis Tanpa Komplikasi

1 Tatalaksana Operatif dibanding Non-operatif

Pada pasien dengan apendisitis tanpa komplikasi, tatalaksana operatif menjadi standar sejak McBurney melaporkan pengalamannya. Konsep tatalaksana non-operatif untuk apendisitis tanpa komplikasi berkembang dari observasi terhadap dua hal. Pertama, pasien berada dalam lingkungan dimana tatalaksana operatif tidak tersedia (misalnya kapal selam, ekspedisi ke daerah terpencil), tatalaksana dengan antibiotik saja telah dibuktikan efektif. Kedua, banyak pasien dengan tanda dan gejala konsisten dengan apendisitis yang tidak mencari pertolongan medis terkadang megalami resolusi spontan.

Beberapa penelitian observatif dan controlled trials telah dilaporkan hasil dari tatalaksana non-operatif dibanding operatif pada kasus yang diduga apendisitis tanpa komplikasi. Secara keseluruhan, telah dilaporkan 9% kegagalan jangka pendek (<30 hari) dengan tatalaksana non-operatif. Pada pasien yang gagal ditatalaksana secara non-operatif, hampir setengahnya mengalami apendisitis dengan komplikasi (perforasi atau gangren). Setelah 1 bulan, sekitar 1% pasien

(24)

menjalani apendektomi, dan 13% pasien yang awalnya berhasil ditatalaksana non-operatif mengalami apendisitis berulang, 18% peluang mengalami apendisitis dengan komplikasi. Tindak lanjut dilakukan tidak lebih dari 1 tahun pada semua penelitian. Sebagai tambahan sepertiga pasien menolak atau mundur dari tatalaksana non-operatif.

Sebagai perbandingan, apendektomi operatif menunjukkan angka kemunduran relatif lebih rendah (2%), proporsi apendisitis dengan komplikasi lebih rendah (25%), proporsi kecil apendiks normal (5%), dan kemungkinan kecil infeksi superfisial pada lokasi operasi (3,7%) serta abses intra-abdomen (1,3%).

Hasil penelitian ini harus dilihat dengan hati-hati mengingat tidak jelasnya seleksi pasien, manejemen diagnostik yang tidak lengkap pada pasien yang tidak dioperasi, gold standard yang tidak jelas untuk pasien yang dioperasi, dan tingginya kemungkinan beralih antara pilihan tatalaksana. Konsekuensi dalam hal penggunaan kasur rumah sakit, lama opname, morbiditas dari tatalaksana operatif yang ditunda setelah kegagalan tatalaksana non-operatif, diagnosa tertunda untuk pasien dengan kanker apendiks atau cecum, dan meningkatnya resiko resistensi terhadap antibiotik masih perlu diteliti lebih lanjut. Sehingga, tatalaksana operatif kasus yang diduga apendisistis tanpa komplikasi tetap menjadi standar perawatan. Sebagian sub-grup dengan apendisitis dengan komplikasi dapat membaik dengan tatalaksana non-operatif. Pasien yang memilih tatalaksana non-operatif harus dikonseling dengan baik berkaitan dengan resiko kegagalan tatalaksana dan apendisitis berulang.

10. Apendektomi Darurat dibanding Segera

Secara tradisional, apendisitis dianggap sebagai kedaruratan bedah. Setelah terdiagnosa, pasien akan langsung dibawa ke kamar operasi untuk tatalaksana operatif. Namun, penundaan dalam diagnosa, terbatasnya akses pada ruang operasi dan tatalaksana non-operatif menjadi tantangan keyakinan bahwa apendisitis adalah kedaruratan bedah.

Tiga penelitian retrospektif telah mengevaluasi peran pembedahan darurat atau segera dalam apendisitis tanpa komplikasi; grup yang darurat memiliki waktu untuk sampai ke ruang operasi <12 jam, dimana grup yang segera memiliki waktu 12-24 jam. Tidak ada peningkatan apendisitis dengan komplikasi yang secara

(25)

statistik berarti pada grup segera dibanding grup darurat. Begitu pula halnya dengan peluang terjadinya infeksi pada lokasi operasi, abses intra-abdomen, konversi menjadi luka terbuka, atau waktu operasi tidak menunjukan perbedaan antara kedua grup. Walau lama opname lebih lama pada grup segera, secara statistik dan klinis tidak berbeda pada grup darurat. Hal yang dapat menjadi pertimbangan untuk perawatan operatif segera dibanding darurat termasuk pemeriksaan klinis, waktu datang dari onset gejala dan durasi penundaan pembedahan. Pasien dengan tanda klinis perforasi, waktu datang lebih dari 48 jam setelah onset gejala dan penundaan tatalaksana definitif leih dari 12 jam berada di luar ruang lingkup penelitian ini.

Operasi darurat dibanding segera untuk apendisitis tanpa komplikasi bergantung pada institusi dan ahli bedah. Institusi tanpa kamar operasi dan staf yang langsung tersedia dapat mempertimbangkan apendektomi segera dibanding darurat.

b Apendisitis dengan Komplikasi

Apendisitis dengan komplikasi secara tipikal merujuk pada apendisitis dengan perforasi yang biasanya berkaitan dengan abses atau phlegmon. Angka insidensi tahunan apendisitis dengan perforasi sekitar 2 dalam 10.000 orang dan memiliki variasi rendah terhadap waktu, letak geografis dan usia. Proporsi apendisitis dengan perforasi, umumnya sekitar 25%, sering digunakan sebagai indikator kualitas perawatan. Perbedaan dalam proporsi hampir seutuhnya berkaitan dengan perbedaan insidensi apendisitis dengan perforasi. Proporsi rendah perforasi dapat menjadi konsekuensi dari angka deteksi yang lebih tinggi dan tatalaksana apendisitis awal atau mereda.

Anak-anak dengan usia di bawah 5 tahun dan pasien dengan usia di atas 65 tahun memiliki angka perforasi tertinggi (45% dan 51%). Proporsi perforasi meningkat dengan bertambahnya durasi gejala. Namun, tidak ada hubungan antara penundaan di dalam RS dengan perforasi. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar perforasi terjadi di awal, sebelum pasien sampai di RS.

Ruptur harus dicurigai dengan adanya peritonitis generalisata dan respon inflamasi kuat. Pada banyak kasus, ruptur tertampung dan pasien memperlihatkan peritonitis lokal. Pada 2-6% kasus, terdapat massa yang dapat dipalpasi pada

(26)

pemeriksaan fisik. Hal ini dapat mempresentasikan phlegmon yang berisikan anyaman lengkung usus yang menempel pada sekitar apendiks yang meradang atau abses periappendiceal. Pasien datang dengan massa telah mengalami gejala lebih lama, biasanya 5-7 hari. Membedakan apendisitis akut tanpa komplikasi dengan apendisitis akur dengan perforasi berdasarkan penemuan klinis sering kali sulit, tetapi penting untuk membuat perbedaan karena tatalaksannya berbeda. CT-scan dapat berguna dalam menegakkan diagnosa dan menentukan terapi.

1 Tatalaksana Operatif Dibanding Non-operatif

Pasien dengan tanda-tanda sepsis dan peritonitis generalisata harus segera dibawa ke kamar operasi bersamaan dengan resusitasi. Teknik pembedahan bergantung pada tingkat kenyamanan ahli bedah; namun, open appendectomy melalui insisi garis tengah bagian bawah kemungkinan harus untuk mengobati kasus komplikasi ini.

Pada pasien dengan apendisitis dengan komplikasi dan abses tertampung atau phlegmon tetapi peritonitis terlokalisasi (nyeri fokal kuadran kanan bawah), pilihan terapi menjadi lebih rumit. Sering kali, pasien ini memerlukan prosedur yang menantang dengan resiko tinggi timbulnya abses intra-abdomen pasca-operasi. Pilihannya termasuk tatalaksana operatif dibanding tatalaksana konservatif (antibiotik, istirahat usus, cairan, dan kemungkinan drainase per kutan).

Belum ada prospective randomized controlled studies yang membandingkan tatalaksana operatif dengan konservatif untuk apendisitis dengan komplikasi pada orang dewasa; semua penelitian adalah retrospective cohort

studies. Dua meta-analisis telah dilakukan. Pada analisis tahun 2007 oleh

Andersson dan Petzold dari 61 kasus tentang hal ini, mereka menegaskan bahwa tatalaksana awal operatif memberikan hasil yang lebih baik. Tatalaksana non-operatif termasuk cairan intravena, meminimalisir stimulasi gastrointestinal, antibiotik parenteral, dan drainasi per kutan jika dirasa sesuai. Morbiditas tatalaksana operatif segera adalah 36,5%, sedangkan 11% untuk tatalaksana konservatif. Dari pasien yang menjalani tatalaksana konservatif, 7,6% gagal dan menjalani tatalaksana operatif. Subgrup ini memiliki peluang rata-rata komplikasi sebesar 13,5%. Peluang berulang 7,4%, yang tidak mengharuskan apendektomi

(27)

interval. Pengarang menyimpulkan bahwa tatalaksana konservatif lebih dipilih dibanding operasi awal pada apendisitis dengan komplikasi.

Simillis dan koleganya mengadakan meta-analisis pada 17 penelitian. Mereka menegaskan bahwa tatalaksana konservatif berkaitan dengan angka rata-rata komplikasi, abses intra-abdomen, obstruksi usus, dan operasi ulang yang lebih rendah. Pengarang menyimpulkan bahwa tatalaksana konservatif lebih dipilih dibanding operasi awal pada apendisitis dengan komplikasi.

Pada literatur pediatrik, terdapat dua prospective randomized controlled

trials membuktikan bahwa intervensi operatif awal memiliki hasil yang sebanding

atau lebih dibanding tatalaksana konservatif, tetapi penelitian ini juga mengikutsertakan apendektomi interval untuk semua pasien dalam perhitungan mereka. St. Peter dan koleganya membuktikan bahwa 20% pasien gagal tatalaksana konservatif. Intervensi operatif awal memiliki hasil yang sebanding dengan apendektomi interval. Selain itu, Blakely dan koleganya menegaskan bahwa apendektomi interval, dibanding apendektomi awal, memiliki insidensi kejadian lanjutan yang lebih tinggi (50% dibanding 30%), abses intra-abdomen (37% dibanding 19%), obstruksi usus halus (10,4% dibanding 0%), dan kembali masuk RS (31% dibanding 8%). Sebagai tambahan, Blakely dan koleganya menegaskan bahwa 9% dari grup yang ditatalaksana konservatif mengalami apendisitis berulang. Pengarang menyimpulkan bahwa tatalaksana pembedahan segera lebih baik dibanding tatalaksana konservatif dengan apendektomi interval. 11. Apendektomi Interval setelah Tatalaksana Non-operatif

Apendektomi interval didefinisikan sebagai melakukan apendektomi setelah tatalaksana non-operatif awal berhasil pada pasien yang sudah tanpa gejala. Argumen utama melawan apendektomi interval adalah banyak pasien ditatalaksana konservatif tidak pernah mengalami gejala apendisitis, dan bagi yang umumnya mengalami gejala dapat ditatalaksana tanpa morbiditas tambahan. Argumen utama yang mendukung apendisitis interval adalah untuk mencegah timbulnya apendisitis di kemudian hari atau mengidentifikasi penyakit lain, seperti keganasan apendiks.

Hanya ada satu prospective randomized controlled trial kecil (n=40) yang menginvestigasi subjek ini. Pada literaturnya banyak terdapat small case series

(28)

dan retorspective cohort studies; tidak ada meta-analisis yang mengevaluasi subjek ini. Dari 1434 pasien yang diduga apendisitis dengan komplikasi dan telah berhasil ditatalaksana konservatif, 8,8% mengalami apendisitis berulang dengan rata-rata follow up selama 35 bulan. Insidensi apendisitis dengan komplikasi diikuti oleh kekambuhan rendah (2,4%). Keganasan ditemui pada 1,3% kasus dimana patologi dilaporkan. Banyak pasien tereksklusi dari penelitian karena gejala menetap, infeksi menetap, atau temuan keganasan pada kolonoskopi skrining.

Selain itu, dari 344 pasien yang diduga apendisitis dengan komplikasi, telah berhasil ditatalaksana konservatif, dan kemudian menjalani apendektomi interval, komplikasi pembedahan terjadi pada 9,4% pasien. Sebagian besar pasien menjalani apendektomi interval 2-4 bulan setelah gejala akut. Walau perincian operatif dan patologis tidak dilaporkan seragam pada pasien ini, banyak yang berlanjut mengalami tanda apendisitis atau abses pada waktu apendektomi interval; 3,6% pasien memiliki keganasan dimana patologi dilaporkan.

Peran apendektomi interval setelah keberhasilan tatalaksana konservatif apendisitis dengan komplikasi tidaklah jelas. Close clinical follow-up, pencarian menyeluruh riwayat gejala menetap, dan kolonoskopi skrining (saat usia pantas) sebaiknya digunakan untuk membantu mengarahkan diskusi dengan pasien mengenai peranan apendektomi interval setelah tatalaksana konsertatif apendisitis dengan komplikasi.

T. Operatif

a Open Appendectomy

Pada umumnya pasien pada posisi terlentang dan dalam anastesi umum. Seluruh abdomen telah disiapkan dan ditutup kain apabila insisi yang lebih besar dibutuhkan. Untuk apendisitis awal tanpa perforasi, insisi kuadran kanan bawah pada titik McBurney (sepertiga jarak dari spina iliaca anterior superior ke umbilikus) umumnya digunakan. Insisi McBurney (oblique) atau Rocky-Davis (transversal) pada kuadran kanan bawah dibuat. Jika diduga apendisitis perforasi atau diagnosa masih diragukan, dipertimbangkan untuk laparotomi garis tengah bawah. Walau telah dilaporkan bahwa posisi apendiks dapat berubah dengan kehamilan, penelitian prospektif telah membuktikan bahwa kehamilan tidak

(29)

merubah proporsi pasien dengan appendiceal base dalam 2 cm dari titik McBurney.

Setelah memasuki abdomen, pasien seharusnya diposisikan dalam posisi sedikit Trendelenburg dengan rotasi kasur ke kiri pasien. Jika apendiks sulit diidentifikasi, lokasi cecum harus diidentifikasi. Menelusuri taenia libera (taenia anterior), yang paling terlihat dari 3 taeniae coli, pada distal dasar apendiks dapat diidentifikasi.

Apendiks sering memiliki penempelan pada dinding lateral atau pelvis yang dapat dibebaskan dengan diseksi. Membelah mesenterium apendiks terlebih dahulu dapat memperjelas eksposur dasar apendiks. Appendiceal stump dapat ditangani dengan ligasi sederhana atau dengan ligasi dan inversi. Selama stump terlihat jelas dan dasar cecum tidak dilibatkan dalam proses inflamasi, stump dapat dengan aman diligasi. Obliterasi mukosa dengan electrocautery dengan tujuan menghindari timbulnya mucocele direkomendasikan oleh beberapa ahli bedah; namun, tidak ada data yang mengevaluasi resiko atau manfaat manuver pembedahan ini. Inversi stump dengan lipatan dari cecum juga telah dideskripsikan. Pemasangan surgical drains baik untuk apendisitis tanpa dan dengan komplikasi, dipraktekkan oleh banyak ahli bedah, tidak didukung oleh penelitian klinis. Nanah di abdomen harus diaspirasi, tetapi irigasi pada apendisitis dengan komplikasi tidak dirokemdasikan. Kulit juga dapat langsung ditutup pada pasien dengan apendisitis perforasi.

Jika apendisitis tidak ditemukan, pencarian metodis harus dilakukan untuk diagnosa alternatif. Cecum dan mesenterium harus diinspeksi. Usus halus harus dievaluasi dengan cara retrogade dimulai dari katup ileocecal. Keterlibatan

Crohn’s disease atau Meckel’s diverticulum harus menjadi prioritas utama. Pada

pasien perempuan, organ reproduksi harus diinspeksi dengan teliti. Jika ditemukan cairan purulen atau bilious, asalnya harus diidentifikasi. Sebagai contoh,

Valentino’s appendicitis, atau ulkus duodenal bergejala seperti apendisitis, harus

disingkirkan. Ekstensi medial insisi (Fowler-Weir) atau ekstensi superios dari insisi lateral pantas dilakukan jika evaluasi lebih lanjut dari abdomen bawah atau kolon kanan diperlukan. Laparoskopi selektif melalui insisi kuadran kanan bawah

(30)

juga telah dideskripsikan. Jika patologi abdomen atas ditemukan, insisi garis tengah harus dilakukan.

aa.Apendektomi Laparoskopik

Apendektomi laparoskopik yang pertama kali dilaporkan dilakukan pada tahun 1983 oleh Semm; namun, pendekatan laparoskopik tidak digunakan secara luas hingga nanti, setelah keberhasilan kolesistektomi laparoskopik. Ini mungkin karena inisisi kecil sudah umum digunakan dengan open appendectomy.

Apendektomi laparoskopik dilakukan dalam anastesi umum. Oro- atau

nasograstric tube dan kateter urin dipasang. Pasien dalam posisi terlentang

dengan lengan kiri terlipat dan diikat pada meja operasi. Baik ahli bedah dan asisten harus berdiri di sisi kiri pasien menghadap ke apendiks. Layar laparoskopi diposisikan pada sisi kanan pasien atau pada kaki kasur. Apendektomi laparoskopik standar umumnya menggunakan tiga saluran. Umumnya, saluran 10 atau 12 mm dipasang pada umbilikus, sedangkan saluran 5 mm dipasang pada supra-pubik dan kuadran kiri bawah. Pasien seharusnya dalam posisi Trendelenburg dan dimiringkan ke kiri.

(31)

Apendiks harus diidentifikasi sama halnya dengan pembedahan terbuka dengan menyusuri taenia libera/coli ke dasar apendiks. Melalui saluran supra-pubik, apendiks dipegang dengan mantap dan dielevasikan ke arah jam 10. “Appendiceal critical view” seharusnya didapatkan dengan taenia libera pada arah jam 3, ileum terminal pada arah jam 6 dan apendiks yang ditarik pada arah jam 10 untuk identifikasi dasar apendiks. Melalui saluran infra-umbilikus, mesenterium harus diseksi secara perlahan dari dasar apendiks dan dibuat jendela. Umumnya dasar apendiks di-staple setelah stapling mesenterium. Selain itu, mesenterium dapat dibagi dengan energy device atau clipped dan dasar apendiks ditahan dengan Endoloop. Stump harus diperiksa dengan seksama untuk memastikan hemostasis, transeksi komplit, dan memastikan tidak ada stump tertinggal. Apendiks diambil melalui lubang infra-umbilikus dengan retrieval bag.

ab. Laparoskopik Dibanding Open Appendectomy

Sudah terdapat beberapa randomized controlled trials prospektif yang membandingkan hasil laparoskopik dan open appendectomy. Beberapa meta-analisis telah dilakukan untuk mengevaluasi hasil kumulatifnya.

Apendektomi laparoskopik berkaitan dengan infeksi lokasi pembedahan yang lebih sedikit dibanding open appendectomy. Tetapi apendektomi laparoskopik berkaitan dengan meningkatnya resiko abses intra-abdomen dibanding open appendectomy. Dengan apendektomi laparoskopik lebih tidak nyeri, lama opname lebih singkat dan lebih cepat kembali ke aktivitas normal

(32)

dibanding open appendectomy. Apendektomi laparoskopik berkaitan dengan meningkatnya durasi opeasi dan biaya ruang operasi; namun rata-rata biaya hampir sama dibanding open appendectomy. Pasien cenderung lebih puas dengan apendektomi laparoskopik.

Sebagai tambahan, apendektomi laparoskopik memiliki keuntungan ketika diagnosa dipertanyakan, seperti pada pasien wanita dalam usia reproduktif, pasien lebih tua dengan kecurigaan keganasan, dan pasien obes dimana dibutuhkan insisi

open appendectomy yang lebih besar.

XVII. Perawatan Post-operatif dan Komplikasi

Perlu dilakukan observasi tanda vital untuk mengantisipasi adanya perdarahan dalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernafasan. Pasien dibaringkan dalam posisi Fowler dan selama 12 jam dipuasakan terlebih dahulu.

Setelah apendektomi tanpa komplikasi, peluang komplikasinya rendah, dan kebanyakan pasien dapat dengan cepat memulai diet dan dipulangkan pada hari yang sama atau sehari setelahnya. Terapi antibiotik post-operatif tidak diperlukan.

Di sisi lain, apendektomi dengan komplikasi, peluang komplikasinya meningkat dibanding apendisitis tanpa komplikasi. Pasien harus melanjutkan antibiotik spektrum luas selama 4-7 hari. Ileus post-operatif dapat terjadi, maka diet harus dimulai dalam evaluasi klinis harian. Pasien ini memiliki resiko meningkat terjadinya infeksi pada lokasi pembedahan. Pada operasi dengan perforasi atau peritonitis umum, puasa dilakukan hingga fungsi usus kembali normal. Secara bertahap pasien diberikan minum, makanan saring, makanan lunak, dan makanan biasa.

A Infeksi Lokasi Pembedahan

Pada pasien dengan infeksi lokasi pembedahan insisional (superfisial atau profunda), dilakukan penanganan berupa pembukaan insisi dan mengambil kultur. Setelah apendektomi laparoskopik, ekstraksi lokasi saluran adalah tempat yang paling sering terjadi infeksi lokasi pembedahan. Pasien dengan selulitis dapat memulai antibiotik. Organisme yang dikultur pada umumnya flora usus, dibandingkan dengan flora kulit.

(33)

Pasien dengan abses intra-abdomen post-operatif dapat bergejala dengan cara yang bervariasi. Walaupun demam, leukositosis dan nyeri abdomen adalah gejala yang paling sering, pasien dengan ileus, obstruksi usus, diare, dan tenesmus dapat juga menderita abses intra-abdomen. Abses kecil dapat diterapi hanya dengan antibiotik; namun abses yang lebih besar memerlukan drainase. Pada umumnya, drainase per kutan dengan panduan CT-scan atau USG efektif. Untuk abses yang tidak merespon terhadap drainase per kutan, drainase abses laparoskopik bisa menjadi pilihan.

U. Stump Appendicitis

Apendektomi inkomplit menunjukkan kegagalan pengambilan seluruh apendiks pada prosedur awal. Sebuah review literatur menunjukkan hanya 60 laporan dari fenomena ini. Kemungkinan, apendektomi inkomplit sedikit dilaporkan, dan prevalensi nyatanya jauh lebih tinggi. Dilaporkan sebagai “stump

appendicitis”, pasien umumnya datang dengan gejala berulang apendisitis kurang

lebih 9 tahun setelah pembedahan awal. Tidak ada perbedaan dalam pembedahan awal antara laparoskopik dan prosedur terbuka. Namun terdapat lebih banyak apendektomi dengan komplikasi pada pembedahan awal. Pasien dengan stump

appendicitis lebih memungkinkan untuk mengalami apendisitis dengan

komplikasi, menjalani prosedur terbuka dan colectomy.

Kunci untuk menghindari stump appendicitis adalah pencegahan. Penggunaan “appendiceal critical view” (apendiks diletakkan pada arah jam 10, taenia coli/libera pada jam 3 dan ileum terminal pada jam 6) dan identifikasi apakah taenia coli bersatu atau menghilang adalah hal penting untuk identifikasi dan ligasi dasar apendiks saat pembedahan awal. Stump yang tersisa harus tidak lebih panjang dari 0,5 cm, dikatakan stump appendicitis jika ≥0,5 cm pada literatur.

Pada pasien yang telah menjalani apendektomi sebelumnya, indeks kecurigaan yang rendah penting untuk mencegah penundaan diagnosa dan komplikasi. Apendektomi sebelumnya tidak seharusnya menjadi kriteria mutlak menyingkirkan apendisitis akut.

(34)

XVIII. Prognosis

Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar 0,2-0,8% dan disebabkan oleh komplikasi penyakit daripada intervensi bedah. Pada anak, angka ini berkisar 0,1-1% sedangkan pada pasien di atas 70 tahun angka ini meningkat di atas 20% terutama karena keterlambatan diagnosa dan terapi.

(35)

BAB III PEMBAHASAN

Diagnosa apendisistus akut pada kasus ini dapat ditegakkan dengan dasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, didapatkan keluhan utama berupa nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS. Awalnya nyeri dirasakan di ulu hati menggambarkan gejala akibat distensi apendiks yang menstimulasi ujung saraf dari afferent stretch fiber. Lalu nyeri berpindah ke kuadran kanan bawah menggambarkan peradangan yang telah menyebar ke peritoneum parietalis. Nyeri yang dialami pasien berupa nyeri akibat iritasi peritoneum sehingga memburuk saat bergerak atau batuk (Dunphy sign) dan membaik saat diam. Pasien juga mengeluhkan adanya gejala gastrointestinal berupa mual dan muntah setelah gejala nyeri muncul, hal ini sering dijumpai pada apendisitis akibat multiplikasi bakteri yang cepat di dalam apendiks. Selain itu pasien juga mengeluhkan adanya demam yang menggambarkan adanya infeksi yang terjadi. Untuk menyingkirkan kecurigaan terhadap keganasan karena usia pasien yang tergolong lanjut (51 tahun), pada anamnesis dipastikan pasien tidak mengeluhkan adanya pola BAB yang berubah ataupun adanya penurunan berat badan drastis dalam beberapa bulan terakhir. Riwayat haid juga perlu digali untuk memastikan tidak adanya riwayat kelainan obsterik ataupun ginekologik, pada pasien ini tidak didapatkan masalah sehingga diagnosa banding PID dapat dikesampingkan. Selain itu pasien juga menyangkal adanya riwayat penyakit lainnya yg diidap pasien ataupun keluarga.

Berdasarkan pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tampak sakit sedang dan hemodinamik stabil, namun didapatkan suhu tubuh pasien 37oC dan VAS

3/10. Suhu tubuh pasien nantinya dapat dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam Alvarado Score, sedangkan VAS dapat mendukung keluhan nyeri perut pasien. Berdasarkan pemeriksaan status generalis, ditemukan kelainan pada abdomen melalui palpasi berupa : nyeri tekan dan nyeri lepas titik McBurney, Rovsing sign, nyeri lepas indirek, dan defans muskular lokal. Penemuan ini mendukung adanya iritasi peritoneum parietalis lokal yang diduga akibat peradangan apendiks. Pada pemeriksaan fisik lainnya tidak ditemukan kelainan,

(36)

termasuk pemeriksaan genitalia sehingga diagnosa banding PID dapat disingkirkan. Tanda-tanda ini mendukung diagnosa apendisitis akut.

Berdasarkan pemeriksaan penunjang yang dilakukan, didapatkan leukositosis (14.170/μL) dari pemeriksaan laboratorium. Selain itu, didapatkan skor 9 pada Alvarado score, yang diinterpretasikan sebagai kemungkinan besar apendisitis (skor ≥7). Alvarado score sangatlah berguna untuk menyingkirkan diagnosa apendisitis dan memilah pasien untuk manajemen diagnostik lanjutan.

Temuan Poin Pasien

Perpindahan nyeri ke fossa iliaca dextra 1 1

Anoreksia 1 1

Mual atau muntah 1 1

Nyeri tekan : fossa iliaca dextra 2 2

Nyeri lepas : fossa iliaca dextra 1 1

Demam ≥36,3oC 1 1

Leukositosis ≥10 x 109 /L 2 2

Shift to the left of neutrophils 1 0

Total 10 9

Berdasarkan hal ini, pemeriksaan USG dilakukan untuk memastikan diagnosa apendisitis. USG dilakukan dengan pertimbangan pemeriksaannya tidak mahal, dapat dilakukan dengan cepat, tidak membutuhkan kontras, dan tidak memaparkan pasien dengan radiasi. Pada USG diharapkan adanya penebalan dinding apendiks (>5 mm), pada pasien didapatkan tebal apendiks ±14,9 mm dan tampak edematous dengan gambaran doughnut sign. Dari pemeriksaan USG didapatkan kesan sugestif apendisitis akut, organ intra-abdominal lainnya normal. Apendisitis dapat dipastikan dengan pemeriksaan ini dan keganasan dapat dikesampingkan karena organ intra-abdominal lainnya tampak normal.

Berdasarkan diagnosa klinis yang telah ditegakkan, maka pasien direncanakan untuk dioperasi open appendectomy cito. Tindakan ini menjadi pilihan karena apendisitis akut termasuk dalam kegawatdaruratan dalam bidang bedah. Operasi cito menjadi pilihan untuk mencegah progresi penyakit yang nantinya dapat menyebabkan kerusakan dan komplikasi yang lebih berat. Selain itu, dengan berkembangnya apendisitis akut dan terjadi perforasi maka peritonitis akan terjadi dan akan mempersulit penanganan pasien serta meningkatkan mortalitas. Sebagai tatalaksana awal pasien dipasangkan IV line untuk memudahkan akses memasukkan obat dan rehidrasi. Pasien diberikan cairan (RL

(37)

sebanyak 500 mL / 8 jam), analgesik (ketorolac 3 x 30 mg IV) dan antibiotik (ceftriaxone 2 x 1 g IV) selagi mempersiapkan operasi. Lalu open appendectomy dilakukan dalam anastesi umum. Apendiks yang ditemukan intra-operatif tampak berukuran 6x2x1 cm, hiperemis, oedem, tidak ada perforasi, tidak ada pus, dan terletak retrocaecal intraperitoneal. Setelah operasi selesai, sebagai tatalaksana post-operasi terapi yang diberikan sebelumnya berupa cairan, analgesik dan antibiotik dilanjutkan. Selain itu, perlu dilakukan observasi tanda vital untuk mengantisipasi adanya perdarahan dalam, syok, hipertermia atau gangguan pernafasan.

(38)

DAFTAR PUSTAKA

1. Brunicardi F, Schwartz S. Schwartz's principles of surgery. 10th ed. New York: McGraw-Hill, Health Pub. Division; 2010.

2. Wibisono E, Jeo W. Apendisitis. In: Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta E, ed. by Kapita selekta kedokteran. 4th ed. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.

Gambar

Foto Hasil Operasi
Foto   polos   abdomen   dapat   menunjukkan   adanya  fecalith  dan   feses   di dalam   cecum   berhubungan   dengan   apendisitis   tetapi   jarang   membantu mendiagnosa   apendisitis   akut,   namun   dapat   berguna   dalam   menyingkirkan patologi l

Referensi

Dokumen terkait

48 Berdasarkan hasil plot terlihat bahwa pertumbuhan rumput laut Gracilaria gigas dapat dimodelkan secara logistik dengan menggunakan model pertumbuhan logistik

Hubungan yang dianalisa dibatasi pada pola hubungan antara perkembangan sistem keuangan, yang diwakili oleh variabel sektor perbankan (Kredit dan Pembiayaan),

Sedang PT.SAU memiliki sebagian dokumen yang menyangkut tanggung jawab sosial pemegang izin sesuai dengan peraturan perundangan yang relevan/berlaku seperti

Gastropati hipertensi portal adalah suatu keadaan perubahan makroskopik mukosa lambung yang dihubungkan dengan dilatasi dan ektasia vaskuler mukosa dan submukosa akibat

Kt/V urea adalah dimana Kt merupakan jumlah bersihan urea dari plasma persatuan waktu dan V merupakan volume distribusi dari ureum V dalam satuan liter, K adalah klearensi dalam

secara objektif. 6) progaranm komunikasi keatas yang efektif mencakup tindakan untuk menanggapi masalah. 7) Progran komunikasi keatas yang efektif menggunakan berbagai

Analisis yang digunakan dalam meng- hitung debit banjir pada Daerah Aliran Sungai Ranoyapo menggunakan 3 (tiga) metode yaitu Hidrograf Satuan Sintetik Gamma

Bagi !erusahaan %ang 1ergerak di 1idang jasa !er1ankan5 memuaskan nasa1ahn%a adalah hal !kk %ang tidak 1leh dia1aikan5 dimana ke!uasaan nasa1ah meru!akan as!ek