• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perawatan Post-operatif dan Komplikasi

Dalam dokumen Laporan Kasus Apendisitis Akut (Halaman 32-38)

Perlu dilakukan observasi tanda vital untuk mengantisipasi adanya perdarahan dalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernafasan. Pasien dibaringkan dalam posisi Fowler dan selama 12 jam dipuasakan terlebih dahulu.

Setelah apendektomi tanpa komplikasi, peluang komplikasinya rendah, dan kebanyakan pasien dapat dengan cepat memulai diet dan dipulangkan pada hari yang sama atau sehari setelahnya. Terapi antibiotik post-operatif tidak diperlukan.

Di sisi lain, apendektomi dengan komplikasi, peluang komplikasinya meningkat dibanding apendisitis tanpa komplikasi. Pasien harus melanjutkan antibiotik spektrum luas selama 4-7 hari. Ileus post-operatif dapat terjadi, maka diet harus dimulai dalam evaluasi klinis harian. Pasien ini memiliki resiko meningkat terjadinya infeksi pada lokasi pembedahan. Pada operasi dengan perforasi atau peritonitis umum, puasa dilakukan hingga fungsi usus kembali normal. Secara bertahap pasien diberikan minum, makanan saring, makanan lunak, dan makanan biasa.

A Infeksi Lokasi Pembedahan

Pada pasien dengan infeksi lokasi pembedahan insisional (superfisial atau profunda), dilakukan penanganan berupa pembukaan insisi dan mengambil kultur. Setelah apendektomi laparoskopik, ekstraksi lokasi saluran adalah tempat yang paling sering terjadi infeksi lokasi pembedahan. Pasien dengan selulitis dapat memulai antibiotik. Organisme yang dikultur pada umumnya flora usus, dibandingkan dengan flora kulit.

Pasien dengan abses intra-abdomen post-operatif dapat bergejala dengan cara yang bervariasi. Walaupun demam, leukositosis dan nyeri abdomen adalah gejala yang paling sering, pasien dengan ileus, obstruksi usus, diare, dan tenesmus dapat juga menderita abses intra-abdomen. Abses kecil dapat diterapi hanya dengan antibiotik; namun abses yang lebih besar memerlukan drainase. Pada umumnya, drainase per kutan dengan panduan CT-scan atau USG efektif. Untuk abses yang tidak merespon terhadap drainase per kutan, drainase abses laparoskopik bisa menjadi pilihan.

U. Stump Appendicitis

Apendektomi inkomplit menunjukkan kegagalan pengambilan seluruh apendiks pada prosedur awal. Sebuah review literatur menunjukkan hanya 60 laporan dari fenomena ini. Kemungkinan, apendektomi inkomplit sedikit dilaporkan, dan prevalensi nyatanya jauh lebih tinggi. Dilaporkan sebagai “stump

appendicitis”, pasien umumnya datang dengan gejala berulang apendisitis kurang

lebih 9 tahun setelah pembedahan awal. Tidak ada perbedaan dalam pembedahan awal antara laparoskopik dan prosedur terbuka. Namun terdapat lebih banyak apendektomi dengan komplikasi pada pembedahan awal. Pasien dengan stump

appendicitis lebih memungkinkan untuk mengalami apendisitis dengan

komplikasi, menjalani prosedur terbuka dan colectomy.

Kunci untuk menghindari stump appendicitis adalah pencegahan. Penggunaan “appendiceal critical view” (apendiks diletakkan pada arah jam 10, taenia coli/libera pada jam 3 dan ileum terminal pada jam 6) dan identifikasi apakah taenia coli bersatu atau menghilang adalah hal penting untuk identifikasi dan ligasi dasar apendiks saat pembedahan awal. Stump yang tersisa harus tidak lebih panjang dari 0,5 cm, dikatakan stump appendicitis jika ≥0,5 cm pada literatur.

Pada pasien yang telah menjalani apendektomi sebelumnya, indeks kecurigaan yang rendah penting untuk mencegah penundaan diagnosa dan komplikasi. Apendektomi sebelumnya tidak seharusnya menjadi kriteria mutlak menyingkirkan apendisitis akut.

XVIII. Prognosis

Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar 0,2-0,8% dan disebabkan oleh komplikasi penyakit daripada intervensi bedah. Pada anak, angka ini berkisar 0,1-1% sedangkan pada pasien di atas 70 tahun angka ini meningkat di atas 20% terutama karena keterlambatan diagnosa dan terapi.

BAB III PEMBAHASAN

Diagnosa apendisistus akut pada kasus ini dapat ditegakkan dengan dasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, didapatkan keluhan utama berupa nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS. Awalnya nyeri dirasakan di ulu hati menggambarkan gejala akibat distensi apendiks yang menstimulasi ujung saraf dari afferent stretch fiber. Lalu nyeri berpindah ke kuadran kanan bawah menggambarkan peradangan yang telah menyebar ke peritoneum parietalis. Nyeri yang dialami pasien berupa nyeri akibat iritasi peritoneum sehingga memburuk saat bergerak atau batuk (Dunphy sign) dan membaik saat diam. Pasien juga mengeluhkan adanya gejala gastrointestinal berupa mual dan muntah setelah gejala nyeri muncul, hal ini sering dijumpai pada apendisitis akibat multiplikasi bakteri yang cepat di dalam apendiks. Selain itu pasien juga mengeluhkan adanya demam yang menggambarkan adanya infeksi yang terjadi. Untuk menyingkirkan kecurigaan terhadap keganasan karena usia pasien yang tergolong lanjut (51 tahun), pada anamnesis dipastikan pasien tidak mengeluhkan adanya pola BAB yang berubah ataupun adanya penurunan berat badan drastis dalam beberapa bulan terakhir. Riwayat haid juga perlu digali untuk memastikan tidak adanya riwayat kelainan obsterik ataupun ginekologik, pada pasien ini tidak didapatkan masalah sehingga diagnosa banding PID dapat dikesampingkan. Selain itu pasien juga menyangkal adanya riwayat penyakit lainnya yg diidap pasien ataupun keluarga.

Berdasarkan pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tampak sakit sedang dan hemodinamik stabil, namun didapatkan suhu tubuh pasien 37oC dan VAS 3/10. Suhu tubuh pasien nantinya dapat dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam Alvarado Score, sedangkan VAS dapat mendukung keluhan nyeri perut pasien. Berdasarkan pemeriksaan status generalis, ditemukan kelainan pada abdomen melalui palpasi berupa : nyeri tekan dan nyeri lepas titik McBurney, Rovsing sign, nyeri lepas indirek, dan defans muskular lokal. Penemuan ini mendukung adanya iritasi peritoneum parietalis lokal yang diduga akibat peradangan apendiks. Pada pemeriksaan fisik lainnya tidak ditemukan kelainan,

termasuk pemeriksaan genitalia sehingga diagnosa banding PID dapat disingkirkan. Tanda-tanda ini mendukung diagnosa apendisitis akut.

Berdasarkan pemeriksaan penunjang yang dilakukan, didapatkan leukositosis (14.170/μL) dari pemeriksaan laboratorium. Selain itu, didapatkan skor 9 pada Alvarado score, yang diinterpretasikan sebagai kemungkinan besar apendisitis (skor ≥7). Alvarado score sangatlah berguna untuk menyingkirkan diagnosa apendisitis dan memilah pasien untuk manajemen diagnostik lanjutan.

Temuan Poin Pasien

Perpindahan nyeri ke fossa iliaca dextra 1 1

Anoreksia 1 1

Mual atau muntah 1 1

Nyeri tekan : fossa iliaca dextra 2 2

Nyeri lepas : fossa iliaca dextra 1 1

Demam ≥36,3oC 1 1

Leukositosis ≥10 x 109 /L 2 2

Shift to the left of neutrophils 1 0

Total 10 9

Berdasarkan hal ini, pemeriksaan USG dilakukan untuk memastikan diagnosa apendisitis. USG dilakukan dengan pertimbangan pemeriksaannya tidak mahal, dapat dilakukan dengan cepat, tidak membutuhkan kontras, dan tidak memaparkan pasien dengan radiasi. Pada USG diharapkan adanya penebalan dinding apendiks (>5 mm), pada pasien didapatkan tebal apendiks ±14,9 mm dan tampak edematous dengan gambaran doughnut sign. Dari pemeriksaan USG didapatkan kesan sugestif apendisitis akut, organ intra-abdominal lainnya normal. Apendisitis dapat dipastikan dengan pemeriksaan ini dan keganasan dapat dikesampingkan karena organ intra-abdominal lainnya tampak normal.

Berdasarkan diagnosa klinis yang telah ditegakkan, maka pasien direncanakan untuk dioperasi open appendectomy cito. Tindakan ini menjadi pilihan karena apendisitis akut termasuk dalam kegawatdaruratan dalam bidang bedah. Operasi cito menjadi pilihan untuk mencegah progresi penyakit yang nantinya dapat menyebabkan kerusakan dan komplikasi yang lebih berat. Selain itu, dengan berkembangnya apendisitis akut dan terjadi perforasi maka peritonitis akan terjadi dan akan mempersulit penanganan pasien serta meningkatkan mortalitas. Sebagai tatalaksana awal pasien dipasangkan IV line untuk memudahkan akses memasukkan obat dan rehidrasi. Pasien diberikan cairan (RL

sebanyak 500 mL / 8 jam), analgesik (ketorolac 3 x 30 mg IV) dan antibiotik (ceftriaxone 2 x 1 g IV) selagi mempersiapkan operasi. Lalu open appendectomy dilakukan dalam anastesi umum. Apendiks yang ditemukan intra-operatif tampak berukuran 6x2x1 cm, hiperemis, oedem, tidak ada perforasi, tidak ada pus, dan terletak retrocaecal intraperitoneal. Setelah operasi selesai, sebagai tatalaksana post-operasi terapi yang diberikan sebelumnya berupa cairan, analgesik dan antibiotik dilanjutkan. Selain itu, perlu dilakukan observasi tanda vital untuk mengantisipasi adanya perdarahan dalam, syok, hipertermia atau gangguan pernafasan.

Dalam dokumen Laporan Kasus Apendisitis Akut (Halaman 32-38)

Dokumen terkait