LAPORAN HASIL PENELITIAN
A. Letak Geografis Desa Menggoro
Desa Menggoro merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Tembarak Kabupaten.
Luas Desa Menggoro ± 1237 ha yang terdiri dari tanah sawah, tanah pekarangan, tanah pemukiman, jalan serta sungai. Dilihat dari kondisi geografis, Desa Menggoro merupakan desa yang berada pada ketinggian ± 224 meter dari permukaan laut, sehingga desa ini termasuk dataran sedang.
Menurut Data monografi bulan April 2014, penduduk Desa Menggoro terdiri dari 880 Kepala Keluarga dengan jumlah 3190 jiwa, dikelompokkan berdasarkan tingkat usia dan jenis kelamin sebagai berikut:
Tabel 3.1.
Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur
No Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah 1 2 3 4 5 6 7 0-1 tahun 1-5 tahun 6-10 tahun 11-15 tahun 16-20 tahun 21-25 tahun 26-30 tahun 69 74 179 132 264 157 116 65 158 175 237 190 232 118 134 232 354 369 454 389 234 42
43 8 9 10 11 31-40 tahun 41-50 tahun 51-60 tahun 60 tahun ke atas 264 121 134 30 110 127 160 70 374 248 294 108 Jumlah 1548 1642 3190
Sumber: Monografi Desa Menggoro
Agama yang dianut oleh masyarakat Desa Menggoro adalah sebagai berikut:
Tabel 3.2 Data Pemeluk Agama
No Agama Jumlah Prosentase
1 2 3 4 5 Islam Kristen Katholik Budha Hindu 3186 4 - - - 99% 1% - - - Sumber: Monografi Desa Menggoro
Taraf pendidikan dan mata pencaharian warga Desa Menggoro
Walaupun letaknya cukup jauh dari ibu kota kabupaten dan berdekatan dengan kota Temanggung, namun masyarakat Desa Menggoro memiliki motivasi untuk memperoleh pendidikan sangat besar, hal ini terbukti bahwa masyarakat Desa Menggoro telah dinyatakan Bebas dari Tiga Buta sejak 1990. Hal ini berarti bahwa para orang tua memiliki
44
kemauan yang tinggi untuk memasukkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi walaupun harus ke luar kota.
Menurut tingkat pendidikan yang ditempuh oleh penduduk Desa Menggoro dapat digambarkan sebagai berikut.
Tabel 3.3.
Pendidikan Masyarakat Desa Menggoro
No Jenis Pendidikan Jumlah
1 2 3 4 5 6 7
Tamat Perguruan Tinggi Tamat SMA Tamat SMP Tamat SD Belum Tamat SD Tidak Tamat SD Tidak Sekolah 80 654 780 502 584 319 271 Sumber: Monografi Desa Menggoro
Adapun Sarana Pendidikan yang Ada di Desa Menggoro. Tabel 3.4.
Sarana Pendidikan
No Jenis Sarana Jumlah Gedung Jumlah Murid 1 2 3 4 PAUD Taman Kanak-Kanak Sekolah Dasar SMP 1 1 3 6 32 78 270 360 Sumber: Monografi Desa Menggoro
45
Perekonomian masyarakat Desa Menggoro dapat digolongkan maju, terbukti sebagian besar masyarakat bermata pencaharian sebagai petani, pegawai negeri, pedagang, buruh dan pengemudi.
Melihat dari letak geografis Desa Menggoro masih jauh dari pusat kota dan mata pencaharian masyarakat yang sebagian besar petani, maka pola pikir masyarakat Desa Menggoro masih dipengaruhi oleh budaya dan kepercayaan Jawa yang sudah turun temurun, antara lain mereka masih
melaksanakan budaya Malam Jum’at Pahing/desa yang dilaksanakan secara
rutin tiap setahun sekali.
B. Upacara Malam Jum’at Pahing di Desa Menggoro
Nama ataupun istilah Malem Jum’at Pahingan Menggoro Tembarak
adalah suatu kesatuan dari beberapa pengertian. Malem Jum’at pahing,
adalah Kamis Malam menurut hitungan hari dan legi berdasarkan hitungan pasaran pada penanggalan Jawa. Sedangkan Menggoro adalah nama wilayah administratip desa di Kecamatan Tembarak Kabupaten Temanggung (bahkan sebagai ibu kota kecamatan), tempat terjadinya prosesi tradisi budaya tersebut di lokasi atau komplek Masjid Jami'. Implikasi dari arti tersebut adalah bahwa pemilihan hari Kamis Malam Jumat secara cultural sangat erat kaitanya dengan upaya pendekatan diri kepada Allah SWT lewat doa dan permohonan. Oleh karena itu, prosesi ritual Malem Jum’at Pahingan
Menggoro Tembarak, harus diberi makna "pendekatan diri kepada Sang Maha Pencipta", yaitu setiap aktivitas dari permohonan, hanya ditujukan
46
kepada Allah SWT. Sebagai bahan pertimbangan tinjauan histories, sebenarnya terdapat dua sumber, yaitu sumber Artefaktual dan Tekstual.
Hasil wawancara dengan kepala Desa Menggoro, Bapak Rahayu Santoso
“Kegiatan malam Jum’at Pahing di Mengoro merupakan tradisi
turun menurun yang diyakini masyarakat bahwa malam jum’at pahing dengan berdo’a di masjid Menggoro sebagai salah satu masjid peninggalan
Sunan Kalijaga, karena masyarakat Jawa kental dengan Islam yang diajarkan oleh walisongo, sehingga masyarakat berdo’a dan istighosah untuk memohon berkah dari Allah”
Data artefaktual dapat ditunjukan dengan adanya :
1. Bentuk dan struktur bangunan masjid (utamanya bagian dalam), mengindikasikan pola arsitektur masa pertumbuhan islam di Jawa; 2. Dua buah patung nandini ( patung sapi betina ) yang sudah terpotong
kepalanya, terletak di halaman masjid, menunjukan bahwa kawasan itu pada masa silam, ada keterkaitannya dengan kultur agama sebelum islam yakni hindu.
3. Dua buah pohon tanjung dihalaman depan masjid, yang dulu (mestinya) juga ada pohon sawo kecik dan kelor. Hal ini menandakan bahwa penanaman dan penempatan pohon dan beberapa benda dikompleks masjid, mempertimbangkan konsep maknawi dalam kebudayaan Jawa. 4. Sengkalan (rangkaian kata yang menunjukan angka tahun) berbunyi :
Rasa Brahmana Resi Bumi yang tertulis digapura masuk halaman masjid, yang apabila dimaknai merupakan rangkaian makna angka tahun 1786. Adapun menurut hitungan tahun saka atau Masehi masih perlu penelitian lebih lanjut. hanya saja, kebiasaan dalam budaya jawa,
47
penulisan sengkalan pada umumnya berdasarkan hitungan tahun saka sehingga 1786 saka dikurangi 78 (selisih tahun saka dengan masehi) menjadi 1722 Masehi, masa penjajahan Belanda. Bentuk gapura berornamen garis gaya bangunan Belanda sehingga agak mendekati kebenaran bahwa pembangunan gapura tersebut terjadi pada masa penjajahan belanda.
Melihat latar belakang sejarah yang demikian menunjukan bahwa eksistensi masjid Menggoro sudah ada sejak masa pertumbuhan islam di Jawa sehingga dapat dikatakan bahwa Masjid Menggoro Tembarak Kabupaten Temanggung termasuk 9 masjid tertua di Jawa. Data yang bersifat tekstual yang berupa antara lain seperti : prasasti, babad, catatan harian, kisah perjalanan, surat-surat keputusan dan lainya, sampai kapan persisnya Masjid Menggoro berdiri, mengalami kesulitan sehingga hanya berdasarkan dugaan, setelah menganalisis keterkaitannya dengan sosio cultural yang ada. Beberapa pendapat tokoh masyarakat setempat, yang juga berdasarkan cerita turun menurun atau berupa legenda, namun dapat juga dijadikan salah satu acuan pemotretan "masa silam" Masjid Menggoro, diterapkan bahwa keberadaan Masjid Menggoro ada yang menceritakan dalam 2 (dua) versi :
1. Terkait dengan tokoh Nyai Brintik, sebagai penyebar agama Islam di wilayah itu, yang sekarang konon makamnya ada 2 (dua) tempat yakni di Jogopati Desa Menggoro dan satunya di Komplek Makam Sewu atau
48
Komplek Makam Sewu atau Komplek Makam Panembahan Bodho yang terletak di Kabupaten Bantul di Propinsi DIY.
2. Dihubungkan dengan tokoh Sunan Kalijaga salah satu anggota wali sanga di masa Keraton Demak Bintoro. Dalam salah satu perjalanan syiar Islam di Jawa Tengah sampai di wilayah ini, diduga juga mendirikan masjid, yang diyakini sekarang sebagai Masjid Jami' Menggoro.
Sumbang pendapat yang lain dari Bapak Sudjiyanto yang diwawancarai dirumahnya Menggoro pada hari Kamis Pahing tanggal 22 Januari 2015 mengenai pertanyaan Apa yang menjadi daya tarik orang melaksanakan kegiatan di Masjid Menggoro, Bapak Sudjiyanto selaku penduduk Menggoro yang juga mendapatkan cerita dari para sesepuh, bahwa "dulu apabila bedhug Masjid Demak di tabuh maka akan terdengar sampai dengaan Masjid Menggoro". Hal ini semakin menguatkan pendapat bahwa keberadaan Masjid Menggoro Tembarak, erat sekali kaitnya dengan pusat kebijaksanaan perkembangan agama Islam pada masa pertumbuhannya di tanah Jawa, yaknii Demak Bintoro di bawah kendalli Sultan Patah (raja pemeluk Islam pertama di Jawa) dan di
bawah pertimbangan para wali”
Diterangkan lebih lanjut oleh Bapak Sudjiyanto, yang mantan Kades Menggoro ini, bahwa upaya penyelamatan bangunan dilakukan dengan renovasi tanpa menghilangkan ciri khas bangunan pernah dilakukan pada :
1. Tahun 1932 yang dipimpin langsung oleh Bupati Temanggung Cokrosoetomo
49
3. Tahun 1989 dilakukan renovasi, bahkan pada tahun ini pula, adanya "Mimbar Khotbah" yang serupa dengan mimbar di keraton Ngayogyakarta, karena sudah usang dan rusak maka diganti dengan yang baru.
Upaya-upaya penyelamatan ini merupakan hal yang perlu dilestarikan, agar keberadaan masjid tersebut sebagai situs, tidak kehilangan unsur-unsur pendukung histories, yang merupakan ciri khas dan mempunyai keunikan langka.
Apabila dipotret lebih mendalam baik sisi budaya maupun pariwisata, keberadaan Masjid Jami' Menggoro berserta Malam Jum’at
Pahingannya, dapat dikemukanan sebagai berikut :
1. Masjid Menggoro adalah bangunan lama, sesuai citra masyarakat. Terkait dengan perkembangan Islam pada masa pertumbuhan di tanah Jawa.
2. Keterkaitannya dengan budaya Demak Bintoro sangat erat.
3. Jum’at Pahingan dan pasar, adalah aktifitas atraktif/kebiasaan menarik.
4. Event yang memungkinkan untuk diberdayakan agar menjadi salah satu sumber pendapatan desa atau dusun ataupun masyarakat, dengan penanganan secara terorganisir dan profesional.
5. Sarana menuju potensi wisata budaya ini sangat mudah, ini merupakan kekuatan positif untuk pengembangannya lebih lanjut.
Tidak berlebihan bila kiranya apabila saya berpendapat terhadap eksistensi Masjid Jami' Menggoro Tembarak beserta Malem Jum’at
50
Pahingannya sebagai citra tradisi masyarakat, sebagaimana hasil wawancara dengan Tokoh masyarakat, Sumardi di rumahnya pada hari Kamis, 22 Januari 2015 mengenai mengapa tradisi Malam Jumat Pahing perlu dilestarikan
"Sebagai situs kultural, harus dilestarikan dengan mempertimbangkan aspek historisnya dan sebagai salah satu potensi atraksi wisata budaya, layak untuk dikembangkan demi peningkatan kesejahteraan masyarakat, mengingat setiap malam jumat pahing pengunjung dari luar
daerah cukup banyak”
Sebenarnya yang terjadi tidak berbeda dengan di masjid-masjid lain di setiap malam Jum'at, yang memang sering mengadakan ritual Mujahadah, berdzikir dan memohon kehadhirat Allah untuk memohon keselamatan, kesehatan dan limpahan rejeki yang halal dan barokah. Mujahadah di Masjid Menggoro juga tak jauh beda, ada yang dilakukanpun secara kelompok, namun ada juga yang perorangan, seperti yang dilakukan oleh para pendatang dari luar kota itu.
Biasanya pengunjung dari luar kota ini datang untuk melunaskan nadzarnya, misalnya " Kalau besok saya atau anak saya sembuh dari sakit, atau besok kalau usaha saya berhasil dan sebagainya, saya akan Jum’at
Pahingan di Masjid Menggoro ", begitu kira-kira. Memang yang namanya nadzar kalau sudah diikrarkan, apalagi ikrar di hadapan Allah maka hukumnya wajib dilaksanakan. Itulah sebabnya mereka datang jauh-jauh karena berniat melaksanakan nadzar.
51
Hasil wawancara dengan Baedlowi, tokoh masyarakat Menggoro
pada Hari Jum’at 23 Januari 2015 di rumahnya mengenai kegiatan apa yang dilakukan saat Malam Jumat Pahing di Menggoro
“Kegiatan yang dilakukan saat malam Jum’at pahing ya selayaknya
seperti selamatan layaknya masyarakat Jawa melakukan selamatan, dengan adanya makanan yang didahului dengan kegiatan tahlil dan istighosah baru kemudian makanan tersebut dimakan bersama. Namun demikian setelah pelaksanaan selesai, biasanya masyarakat dari luar daerah terus melanjutkan
dengan kegiatan membaca yaasin atau do’a tahlil untuk memohon kepada
Allah atau ada juga yang datang karena nadzar tertentu”
Sehingga pada malam Jum’at Pahing di desa Menggoro khususnya di lingkungan Masjid menjadi ramai, bahkan di tiap malam Jum'at Pahing digelar Pasar Malam di sebuah pelataran yang cukup luas di depan Masjid. Yang tersedia di Pasar Malampun macam-macam, ada jajan pasar seperti onde-onde, kue cucur, jagung bakar sampai makanan khas seperti tahu kupat, brongkos kikil dan sebaginya. Mainan anak-anakpun juga bermacam-macam tentu saja disediakan untuk pengunjung yang mengajak anak-anaknya.
Untuk melengkapi nadzarnya biasanya mereka akan membeli kembang boreh, yaitu serangkaian bunga mawar dan rajangan daun pandan yang diberi boreh yang dibuat dari enjet atau kapur yang diberi warna kuning, enjet ini akan ditorehkan pada bagian tubuh sesuai niatnya, misalnya di daun telinga, leher atau kaki dan sebagainya. Kemudian sisanya kembang boreh ini biasanya diletakkan pada tempat-tempat tertentu seperti di perempatan jalan, di sendang dan sebagainya. Memang hal ini mirip sesaji seperti yang dilakukan Umat Hindu atau Budha, ini menandakan bahwa
52
masih ada dinamisme dalam masyarakat, yang merupakan akulturisasi dari budaya Hindu, Budha dan Islam, pergeseran budaya yang belum seratus persen berubah ke dalam nilai-nilai Islami, masih ada kultur Hindu yang melekat.
Hal ini semakin menguatkan pendapat bahwa keberadaan Masjid Menggoro Tembarak, erat sekali kaitnya dengan pusat kebijaksanaan perkembangan agama Islam pada masa pertumbuhannya di tanah Jawa, yakni Demak Bintoro di bawah kendali Raden Patah (raja pemeluk Islam pertama di Jawa) dan di bawah pertimbangan para wali.
Mimbar Khotbah yang serupa dengan mimbar di keraton Ngayogyakarta, karena sudah usang dan rusak maka telah diganti baru. Upaya-upaya penyelamatan ini merupakan pelestarian, agar keberadaan masjid tersebut sebagai situs dan bangunan cagar budaya tidak kehilangan unsur-unsur pendukung histories, yang merupakan ciri khas dan mempunyai keunikan tersendiri, walaupun disana-sini telah mengalami beberapa perubahan seiring perkembangan jaman.
C. Tanggapan Masyarakat Terhadap Tradisi Malam Jum’at Pahing di
Menggoro
Seiring dengan berkembangnya keadaan, baik informasi maupun
teknologi, pelaksanaan tradisi malam jum’at pahing mendapatkan berbagai
53
yang diwawancarai di rumahnya 23 Januari 2015 mengenai nilai yang terkandung di dalam tradisi Malam Jumat Pahing
“kegiatan malam jum’at pahing di menggoro merupakan kegiatan
positif dari dahulu, bahkan sejak sebelum saya lahir. Kegiatan yang ada
berupa kegiatan pengajian, atau ngaji untuk berdo’a. dan yang datang
meskipun dari berbagai macam kalangan, bahkan jauh dari luar Jawa pun masyarakat menilai kegiatan di Masjid Menggoro ini merupakan kegiatan yang baik. Masyarakat tidak pernah menilai hal yang tidak baik dengan
kegiatan malam Jum’at pahing. Soal syirik itu kan letaknnya di dalam hati, sehingga saat ada orang yang datang pada malam jum’at pahing itu tidak
ada anggapan yang datang adalah orang meminta berkah tertentu dari masjid, tetapi menjadikan masjid sebagai sarana ibadah”.
Hasil wawancara lainnya dengan Bapak Islahudin menyatakan bahwa
“Apa yang dilakukan masyarakat baik masyarakat Menggoro dan
sekitarnya maupun masyarakat luar daerah selama ini merupakan kegiatan
berdo’a, soal ada yang memanfaatkan untuk hal-hal yang tidak baik itu urusan pribadi-pribadi, namun dalam setiap kesempatan dalam kegiatan tersebut selalu diingatkan bahwa Allah merupakan satu-satunya tempat meminta pertolongan, bukan justru menjadikan pelaksanaan malam Jumat
54
Hasil wawancara dengan Bapak Rohman di rumahnya 23 Januari
2015 mengenai pelaksanaan tradisi malam jum’at pahing masih ada dalam
masyarakat Menggoro
“tradisi ini masih ada dalam masyarakat karena nilai aqidahnya
adalah meyakini kekuatan do’a. dengan berdo’a di Masjid Menggoro yang
menurut sejarahnya adalah peninggalan Sunan Kalijaga, masyarakat
merasa lebih bisa mendekatkan diri kepada Allah atau khusyu’ dalam
berdoa, itu yang saya tangkap dari warga masyarakat yang datang. Namun masyarakat setempat menganggap hal ini dari dulu sebagai sebuah tradisi yang baik.”
D. Nilai-nilai Intrinsik dalam Tradisi Malam Jum’at Pahing di Menggoro
Nilai instrinsik merupakan nilai yang terkandung dalam Tradisi
Malam Jum’at Pahing di Menggoro, berdasarkan wawancara mengenai makna pelaksanaan tradisi tersebut, menurut Bapak Sudjiyanto berdasarkan wawancara tanggal 23 Januari 2015 di rumahnya
“Banyak nilai yang terkandung dalam pelaksanaan Malam Jum’at
Pahing di Menggoro. Diantaranya adalah masalah aqidah, bagaimana orang yang datang melakukan ibadah dengan khusyu di Menggoro untuk mendekatkan diri kepada Allah agar hajadnya terkabul, terkadang yang datang ke sini juga karena hajadnya sudah terkabul, istilahnya mereka tasyakuran. Bagi masyarakat sekitar sendiri, kegiatan pelaksanaan tradisi ini merupakan sarana gotong royong kemasyarakat, karena masyarakat
55
mempersiapkan segala sesuatunya untuk kegiatan tersebut, termasuk dalam
kebersihan lingkungan masjid dan lain sebagainya”
Menurut Bapak Baedlowi yang dilakukan wawancara di rumahnya tanggal 23 Januari 2015 mengenai nilai instrinsik atau makna yang
terkandung dalam Tradisi Malam Jum’at Pahing
“Yang jelas yang datang melaksanakan ibadah, mengucapkan syukur
yang terdengar dari ucapan tahlil, dzikir dan kegiatan mujahadah yang dilakukan. Kegiatan yang dilakukan selama ini merupakan kegiatan keagamaan yang positif. Bagi masyarakat sekitar dalam mempersiapkan
Malam Jum’at Pahing juga melalui musyawarah dengan membentuk panitia
kecil yang mengurusi masalah pelaksanaan kegiatan tersebut, sehingga berjalan dengan lancar dan masyarakat yang berasal dari luar daerah dapat
56 BAB IV PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Tradisi Malam Jum’at Pahing di Menggoro
Pelaksanaan Tradisi Malam Jum’at Pahing di Menggoro telah dilaksanakan secara turun temurun dan tidak diketahui asal usul serta awal mulai dilaksanakannya. Perayaan ini biasa dilaksanakan penduduk Desa Menggoro setiap Malam Jum’at Pahing. Sebelum pelaksanaan acara tersebut, jauh sebelumnya pada malam hari masyarakat mempersiapkan untuk kegiatan di Masjid Menggoro.
Tradisi Malam Jum’at Pahing di Desa Menggoro Kecamatan
Tembarak Kabupaten Temanggung dilakukan dengan kegiatan Mujahadah, baik secara perorangan maupun kelompok, dilakukan oleh wisatawan minat khusus ini. Berdzikir kepada Allah SWT, secara khusuk, penuh konsentrasi, hanya ditujukan kepada_Nya, Sang Maha Pencipta, Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Sikap dan perilaku demikian, memang sudah seharusnya menjadi pedoman bagi setiap makhluk_Nya. Termasuk juga
wisatawan Malam Jum’at Pahing, yang mengkaitkan dengan Nadzar tertentu.
Hal ini mengingat bahwa hanya kepada Allah SWT tempat yang tepat untuk meminta, dan hanya berkat kemurahan_Nya lah, makhluk terutama manusi mendapatkan anugerah_Nya, karena hanya Sang Khalik yang Maha Pemberi. Dilihat dari warna dialek kebahasannya, dapat diketahui bahwa
57
pengunjung/wisatawan Malam Jum’at Pahing Menggoro Tembarak itu,
tidakk hanya berasal dari sekitar Temanggung saja.
B. Pandangan Masyarakat terhadap Tradisi Malam Jum’at Pahing di
Menggoro
Tingkat pengamalan ajaran agama masyarakat Desa Menggoro secara umum tergolong masyarakat yang pengamalannya biasa-biasa saja. Artinya ada sebagian yang taat dan sebagian lagi tidak taat. Dari segi akhlak, tergolong rendah tingkat pengamalannya (menengah ke bawah). Sedangkan
dari sisi syari’at, tergolong tingkat pengamalan menengah ke atas. Dengan
demikian masyarakat tersebut dikategorikan masyarakat yang menjalankan ajaran agama, walaupun tidak secara keseluruhan (sempurna). Dalam pemahaman ajaran agama, masyarakat Desa Menggoro tergolong muqallid,
yaitu mengikuti orang lain dalam i’tikad (perkataan dan perbuatan) yang
semata-mata berbaik sangka tanpa alasan yang tepat untuk mengikutinya. Mereka tidak berfikir yang menjadi dasar akidah Islam adalah Al-Qur’an dan
Hadits, tetapi yang terpenting adalah pikiran dinamis yang tidak dibebani oleh kekeliruan-kekeliruan yang turun temurun. Namun demikian, ada juga sebagian masyarakat yang telah tersentuh oleh perkembangan zaman, yang mengamalkan ajaran agama merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits, hanya saja
tidak konsisten (sungguh-sungguh) dalam pelaksanaannya.
Nuansa sifat masyarakat Desa Menggoro yang memiliki sistem kekerabatan yang tinggi menyebabkan setiap kegiatan sosial dan agama
58
dilakukan secara gotong-royong dan tolong-menolong. Mengenai yang dilakukan, benar dan salah tidak menjadi sorotan, orientasinya adalah keamanan dan ketentraman hidup bermasyarakat. Perbuatan benar atau salah tergantung dari baik atau buruknya tujuan dari perbuatan yang dilakukan. Begitu juga dengan tradisi Malam Jum’at Pahing yang dilakukan setiap satu tahun sekali, di dalamnya terdapat berbagai macam unsur; seperti mistik (alam gaib), khurafat dan tahayul. Nilai Islam yang mendominasi dalam tradisi, membuat ketiga unsur tersebut secara perlahan sirna.
Malam Jum’at Pahing dalam kehidupan beragama masyarakat Desa Menggoro memiliki peranan yang sangat penting dalam menjalankan ajaran agama, khususnya bagi generasi muda. Peran tersebut adalah memberikan dorongan bagi generasi muda untuk lebih menjalankan ajaran agama, terutama dalam hal menjalankan sunnah Nabi Muhammad SAW, dalam sunat kapong dan dalam hal belajar membaca Al-Qur’an. Tidak hanya itu, juga
sebagai perwujudan atas kecintaan kepada nabi, dengan memperingati hari kelahirannya.
Dalam Malam Jum’at Pahing, tentu hal ini memiliki peranan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup beragama masyarakat Menggoro, karena sunat merupakan puncak pensucian diri sebelum syarat dan rukun dalam menjalankan ajaran agama Islam. Selanjutnya, dalam kegiatan Malam
Jum’at Pahing yang didalamnya dilakukan kegiatan ngaji dan mujahadah merupakan upaya meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
59
C. Nilai-nilai Instrinsik Tradisi Malam Jum’at Pahing di Menggoro
Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Malam Jum’at Pahing di
Desa Menggoro Kecamatan Tembarak Kabupaten Temanggung meliputi: 1. Nilai Aqidah
Keyakinan bahwa yang memberikan rezeki dan telah menjaga keselamatan adalah Allah merupakan nilai aqidah dalam acara Malam
Jum’at Pahing di Desa Menggoro. Nilai aqidah ini menjadi sangat penting, karena masyarakat Jawa yang dahulu mengadakan Malam Jum’at Pahing
karena faktor agama Hindhu dan Budha, setelah masuknya ajaran Islam,
masyarakat meyakini bahwa Malam Jum’at Pahing merupakan suatu
bentuk keyakinan bahwa yang memberikan keselamatan adalah Allah SWT.
2. Nilai Ibadah
Dalam acara Malam Jum’at Pahing di Dusun Menggoro, saat
dilaksanakannya ambengan dilakukan acara tahlilan atau membaca do’a. Tahlil untuk mendo’akan arwah masing-masing keluarga dan sesepuh desa merupakan suatu bentuk ibadah, menghargai orangtua yang telah mendahului warga masyarakat.
3. Nilai Gotong Royong/Kerjasama