BAB II KAJIAN PUSTAKA
C. Nilai-nilai Pendidikan Islam
Kehidupan manusia tidak terlepas dari nilai, dan nilai itu selanjutnya diinstitusikan. Institusional nilai yang terbaik adalah melalui upaya pendidikan. Pada hakikatnya pendidikan adalah proses transformasi dan internalisasi nilai, baik sebagai proses pembiasaan terhadap nilai, proses rekonstruksi nilai serta proses penyesuaian terhadap nilai. Lebih dari itu fungsi pendidikan Islam adalah pewarisan dan pengembangan nilai-nilai dienul Islam serta memenuhi aspirasi masyarakat dan kebutuhan tenaga di
26
semua tingkat dan bidang pembangunan bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Nilai pendidikan Islam perlu ditanamkan pada anak sejak kecil agar mengetahui nilai-nilai agama dalam kehidupannya. Dalam pendidikan Islam terdapat bermacam-macam nilai islami yang mendukung dalam pelaksanaan pendidikan bahkan menjadi suatu rangkaian atau sistem di dalamnya. Nilai tersebut menjadi dasar pengembangan jiwa anak sehingga bisa memberi out put bagi pendidikan yang sesuai dengan harapan masyarakat luas.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis akan mengemukakan nilai-nilai pendidikan Islam secara umum menurut yang dikemukakan oleh Dr. Zulkarnain (2008: 38), yakni; nilai tauhid/aqidah, ibadah (’ubudiyah),
Akhlak, dan nilai kemasyarakatan, yang merupakan dasar pokok dan harus ditanamkan pada anak sejak dini.
1. Nilai Tauhid/Aqidah (Keimanan)
Tauhid atau aqidah (iman) adalah kepercayaan yang terhujam ke dalam hati dengan penuh keyakinan, tidak ada perasaan syak (ragu-ragu), serta mempengaruhi orientasi kehidupan, sikap dan aktivitas keseharian. Al-Ghazali mengatakan iman adalah megucapkan dengan lidah, mengakui benarnya dengan hati dan mengamalkan dengan anggota badan. Pendidikan keimanan termasuk aspek pendidikan yang patut mendapat perhatian yang pertama dan utama dari orang tua. Memberikan pendidikan ini pada anak merupakan sebuah keharusan
27
yang tidak boleh ditinggalkan. Pasalnya iman merupakan pilar yang mendasari keislaman seseorang.
Aqidah (iman) yang kuat dan tertanam dalam jiwa seseorang merupakan hal yang penting dalam perkembangan pendidikan. Salah satu yang bisa menguatkan aqidah adalah memiliki nilai pengorbanan dalam dirinya demi membela aqidah yang diyakini kebenarannya. Semakin kuat nilai pengorbanannnya akan semakin kokoh aqidah yang ia miliki.Keimanan merupakan landasan pokok bagi kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia, karena manusia mempunyai sifat dan kecenderungan untuk mengalami dan mempercayai adanya Tuhan. Oleh karena itu penanaman keimanan harus diperhatikan dan tidak boleh dilupakan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ar-Rum ayat 30:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, (Depag RI, 2005: 286)
Dengan fitrah manusia yang telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagaimana dalam ayat di atas, maka manusia mempunyai kewajiban untuk memelihara fitrah dan mengembangkannya. Artinya bahwa manusia memiliki kesamaan fitrah, yang membedakannya adalah derajat ketaqwaan di hadapan Allah. Untuk mencapai ketaqwaan dicapai melalui belajar.
28
Ibadah yang dimaksud adalah pengabdian ritual sebagaimana diperintahkan dan diatur di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Aspek
ibadah ini di samping bermanfaat bagi kehidupan duniawi, tetapi yang paling utama adalah sebagai bukti dari kepatuhan manusia memenuhi perintah-perintah Allah SWT. Ibadah merupakan bukti nyata bagi seorang Muslim dalam meyakini dan mempedomani aqidah Islamiyah. Pedidikan ibadah merupakan salah satu aspek pendidikan Islam yang perlu diperhatikan. Semua ibadah dalam Islam bertujuan membawa manusia supaya selalu ingat kepada Allah SWT. Oleh karena itu ibadah merupakan tujuan hidup manusia diciptakan-Nya di muka bumi. Ibadah yang dimaksud bukan ibadah ritual saja tetapi ibadah yang dimaksud di sini adalah ibadah dalam arti umum dan khusus. Ibadah umum yaitu segala amalan yang dizinkan Allah SWT, sedangan ibadah khusus yaitu segala sesuatu (apa) yang telah ditetapkan Allah SWT dengan perincian-perinciannya, tingkat, dan cara-caranya yang tertentu. Usia balig merupakan batas Taklif (pembebanan hukum syar’i) apa yang diwajibkan syari’at pada seorang
Muslim maka wajib dilakukannya, sedang yang diharamkan wajib menjauhinya. Salah satu kewajiban yang dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari adalah shalat lima waktu. Orang tua wajib mendidik anak-anaknya untuk melaksanakan shalat, apabila ia tidak melaksanakan maka orang tua wajib memukulnya.
29
Luqman menanamkan nilai-nilai ibadah kepada anak-anaknya sejak dini. Dia bermaksud agar anak-anaknya mengenal tujuan hidup manusia, yaitu menghambakan diri kepada Allah SWT bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah SWT. Apa yang dilakukan Luqman kepada anak-anaknya bisa dicontoh orang tua zaman sekarang ini. Oleh karena itu, nilai ibadah yang benar-benar Islamiyyah mesti dijadikan salah satu pokok dalam pendidikan, khususnya pendidikan anak. Orang tua dapat menanamkan nilai-nilai ibadah pada anak dan berharap nantinya ia akan tumbuh menjadi insan yang tekun beribadah secara benar sesuai dengan ajaran Islam.
Muatan ibadah dalam pendidikan Islam diorientasikan kepada bagaimana manusia mampu memenuhi hal-hal sebagai berikut:
”Pertama, menjalin hubungan utuh dan langsung dengan Allah SWT.
Kedua, menjaga hubungan dengan sesama insan. Ketiga, kemampuan menjaga dan menyerahkan dirinya sendiri.” Dengan demikian, aspek ibadah dapat dikatakan sebagai alat untuk digunakan oleh manusia dalam rangka memperbaiki akhlak dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. (Darmadi, 2009: 62)
3. Nilai Akhlak
Tidak dapat diragukan lagi bahwa akhlak yang baik dan tingkah laku yang bagus merupakan buah dari iman yang mantap dan pertumbuhan
30
agama yang benar. Akhlak menjadi masalah yang penting dalam perjalanan hidup manusia sebagai makhluk sosial. Sebab akhlak memberi norma-norma atau aturan baik dan buruk yang menentukan kualitas pribadi manusia dalam menjalani kehidupan. Dalam akhlak Islam, norma-norma atau aturan baik dan buruk telah ditentukan oleh Al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, Islam tidak
merekomendasikan kebebasan manusia untuk menentukan norma-norma akhlak secara otonom (pribadi). Islam menegaskan bahwa hati nurani senantiasa mengajak manusia mengikuti yang baik dan menjauhkan yang buruk. Dengan demikian, hati dapat menjadi ukuran baik dan buruk pribadi manusia.
Pentingnya akhlak, dalam hal ini tidak terbatas pada perseorangan saja, melainkan penting untuk masyarakat, umat, dan kemanusiaan seluruhnya. Akhlak dalam diri manusia timbul dan tumbuh dari dalam jiwa, kemudian berbuah ke segenap anggota yang menggerakkan amal-amal serta menghasilkan sifat-sifat yang baik serta menjauhi segala larangan terhadap sesuatu yang buruk yang membawa manusia ke dalam kesesatan. Puncak dari akhlak tersebut adalah pencapaian; 1) Irsyad, yakni kemampuan membedakan antara amal yang baik dan buruk; 2) Taufiq, yaitu perbuatan yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW dengan akal sehat; dan 3) Hidayah, yakni gemar melakukan perbuatan baik dan terpuji serta menghindari yang buruk dan tercela. (Darmadi, 2009: 64)
31 4. Nilai Kemasyarakatan
Bidang kemasyarakatan ini mencakup pengaturan pergaulan hidup manusia di atas bumi, misalnya pengaturan tentang benda, ketatanegaraan, hubungan antarnegara, hubungan antarmanusia dalam dimensi sosial, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, dapat dikatakan sebagai kaidah muamalah, sebagaimana telah dijelaskan oleh Endang Saifuddin Anshari di atas, mencakup dua bagian; a) Al-Qanunul Khas ’hukum perdata’ yang meliputi; (1) muamalah
dalam arti sempit sama dengan hukum niaga, (2) munakahah (hukum nikah), (3) waratsah (hukum waris), dan lain sebagainya. b) Al-Qanunul ’Am ’hukum publik’ yang meliputi; (1) jinayah (hukum
pidana), (2) khilafah (hukum kenegaraan), (3) jihad (hukum perang dan damai), dan lain sebagainya. (Saebani, 2009: 18)
Dengan demikian, sesungguhnya pendidikan islam tidak saja fokus pada education for the brain, tetapi juga pada education for the heart. Dalam pandangan islam, karena salah satu misi utama pendidikan islam adalah dalam rangka membantu peserta didik mencapai kesejahteraan lahir batin, maka ia harus seimbang, sebab bila ia hanya fokus pada pengembangan kreatifiats rasional semata tanpa diimbangi oleh kecerdasan emosional, maka manusia tidak akan dapat menikmati nilai kemajuan itu sendiri, bahkan yang terjadi adalah manusia kehilangan identitasnya dan mengalami kegersangan psikologis.
32
Demikian pula pendidikan islam mesti bersifat integralitik, artinya ia harus memandang manusia sebagai satu kesatuan utuh, kesatuan jasmani rohani, kesatuan intelektual, emosional dan spiritual, kesatuan pribadi dan sosial dan kesatuan dalam melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidup dan kehidupannya.
Ruang lingkup pendidikan Islam meliputi keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara (Saebani, 2009: 46):
1. Hubungan manusia dengan Allah SWT 2. Hubungan manusia dengan sesama manusia 3. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri
4. Hubungan manusia dengan mahluk lain dan lingkungannya.
Adapun ruang lingkup pendidikan Islam meliputi lima unsur pokok yaitu: Al-Qur’an, Aqidah, Syari’ah, Akhlak, dan Tarikh (sejarah). Ruang
lingkup ajaran Islam mencakup tiga domain yaitu (Saebani, 2009: 47): 1. Kepercayaan (i’tiqadiyah), yang berhubungan dengan rukun iman,
sepert iman kepada Allah SWT, malaikat, kitabullah, Rasulullah, hari kebangkitan dan takdir;
2. Perbuatan (‘amaliyah), yang terbagi dalam dua bagian: (1) masalah Ibadah, berkaitan dengan rukun Islam, seperti syahadat, shalat, zakat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah lain yang mengatur hubungan manusia
dengan Allah SWT.; (2) masalah Mu’amalah, berkaitan dengan interaksi manusia dengan sesamanya, baik perseorangan maupun kelompok
33
seperti akad, pembelajaran, hukuman, hukum jinayah (hukum pidana dan perdata);
3. Etika (khulukiyah), berkaitan dengan kesusilaan, budi pekerti, adab atau sopan santun yang menjadi perhiasan bagi seseorang dalam rangka mencapai kutamaan. Nilai-nilai seperti jujur (siddiq), terpercaya (amanah), adil, sabar, syukur, pemaaf, tidak tergantung pada materi (zuhud), menerima apa adanya (qana’ah), berserah diri kepada Allah (tawakal), malu berbuat buruk (haya), persaudaraan (ukhuwah), toleransi (tasamuh), tolong menolong (ta’awun), dan saling menanggung (akaful), adalah serangkaian bentuk dari budi pekerti yang luhur (akhlaq al karimah).
Materi merupakan komponen kedua dalam sistem pembelajaran. Dalam konteks tertentu, materi merupakan inti dalam proses pembelajaran. Artinya, sering terjadi proses pembelajaran diartikan sebagai proses penyampaian materi. Hal ini bisa dibenarkan manakala tujuan utama pembelajaran adalah penguasaan materi pelajaran (subject centered teaching). Dalam kondisi semacam ini, maka penguasaan materi pelajaran oleh guru mutlak diperlukan. Guru perlu memahami secara detail isi materi pelajaran yang harus dikuasai siswa, sebab peran dan tugas guru adalah sebagai sumber belajar.
Inti pokok ajaran agama Islam meliputi akidah (masalah keimanan)
syari’ah (masalah keislaman), dan ihsan (masalah akhlak), maka desain
34
aspek tersebut. Dalam penerapannya, penentuan materi pendidikan agama Islam yang mengandung tiga ajaran pokok harus memperhitungkan kesesuaiannya dengan tingkat perkembangan siswa. Pada tingkatan sekolah dasar, siswa yang belajar pendidikan Agama Islam harus memiliki karakteristik tertentu yang diharapkan setelah ia lulus dari sekolah tersebut antara lain (Saebani, 2009: 250):
1. Siswa dapat mengetahui bentuk dan tata cara pelaksanaan ibadah salat secara baik dan benar.
2. Mengenal adab sopan santun baik dalam berbicara, berpakaian ataupun bertindak sesuai dengan ajaran agama Islam.
3. Memiliki sifat setia kawan, bekerja sama dan berpikir positif. 4. Peka terhadap lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat. 5. Memiliki kesadaran beragama yang kuat.
6. Mampu membedakan nilai-nilai kehidupan yang baik yang harus diikuti, dan menjauhi nilai-nilai yang tidak baik, melalui kisah-kisah teladan Nabi dan Rasul dan kisah-kisah kesesatan dari para pembangkang agama.
Pendidikan Islam itu sendiri pada hakikatnya bagi keluarga muslim sudah terjadi di dalam keluarga, di sekolah dan dalam lingkungan masyarakat (Saebani, 2009: 201).
35
Pendidikan Islam telah menunjukkan pada tataran konseptual bahwa proses pendidikan dalam keluarga merupakan realisasi tanggung jawab orangtua terhadap pendidikan anaknya, diantaranya melalui aspek-aspek yang sangat penting untuk diperhatikan oleh orangtua dalam mendidik anaknya. Aspek-aspek tersebut diantaranya adalah pendidikan ibadah, pokok-pokok ajaran Islam dan membaca Al-Qur’an, aspek
pendidikan akhlak karimah, dan aspek pendidikan akidah Islamiah. Pokok-pokok pendidikan Islam dalam keluarga adalah membantu anak-anak memahami posisi dan perannya masing-masing, membantu anak-anak mengenal dan memahami norma-norma Islam agar mampu melaksanakannya untuk memperoleh ridha Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Luqman ayat 17-18:
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
Peranan orangtua terhadap pendidikan anak merupakan peran yang sangat penting sebagaimana ayat tersebut. Orangtua memiliki kewajiban untuk memberikan pengertian sekaligus memberi nasihat agar anak melaksanakan salat dengan benar sehingga aqidah tetap terjaga dengan baik.
36
Pendidikan salat sebagaimana ayat di atas, tidak terbatas tentang kaifiyat untuk menjalankan salat yang lebih bersifat fiqhiyah, melainkan termasuk menanamkan nilai-nilai dibalik ibadah salat. Mereka harus
mampu tampil sebagai pelopor amar ma’ruf nahi munkar serta jiwa yang
terpuji menjadi orang yang sabar.
Aspek berikutnya dalam pendidikan Islam pada keluarga adalah pendidikan aqidah Islamiah. Aqidah adalah inti dari dasar keimanan seseorang yang harus ditanamkan kepada anak secara dini. Aqidah Islamiah berkaitan dengan keyakinan anak sejak masih di dalam rahim. Anak terus menerus digembleng agar memahami Allah dan sifat-sifatnya. Yang pertama ditekankan kepada anak adalah kehidupan yang rukun dalam rumah tangga. Orangtua memberi contoh dan teladan kepada anak dengan mengajak mereka melaksanakan salat berjamaah, berlatih melakukan puasa dan berbagai kegiatan yang menciptakan watak dan kebiasaan anak dengan perbuatan yang baik menurut tuntunan agama, terutama ketauhidannya yang bulat dan utuh. Firman Allah dalam Surat Luqman ayat 13-15
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan
37
baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
Ayat tersebut merupakan penegasan kembali peranan penting orangtua dalam pendidikan anak. Selain itu Allah juga mengingatkan anak agar berbakti kepada orangtua.
2. Pendidikan Islam di Sekolah
Manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bergaul dengan lingkungannya, termasuk juga dalam memberikan pendidikan, orangtua juga berhubungan dengan pendidikan yang ada di lingkungannya, yang disebut dengan institusi pendidikan. Di dalam institusi pendidikan, pendidikan Islam dilakukan melalui pembelajaran yang dinamakan Pendidikan Agama Islam.
Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional UU Nomor 20 Tahun 2003 pendidikan dimaksudkan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif menyumbangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan sepiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dalam pengertiannya yang begitu ideal tentu sangat membutuhkan perhatian semua pihak, terutama para guru dan dosen yang memang bertanggung jawab langsung atas keberhasilan peserta didik. Memang guru bukanlah satu satunya faktor dalam kesuksesan
38
belajar mengajar tetapi masih banyak faktor lainnya yang sangat menunjang dan bahkan menentukan keberhasilan suatu pembelajaran, seperti perpustakaan, laboratorium, dan berbagai fasilitas lainnya. Tetapi faktor guru atau dosen memang tidak bisa dikesampingkan begitu saja, bahkan dalam jenjang pendidikan tertentu faktorr guru menjadi sangat dominan dan menentukan.
Guru berperan sebagai perancang pembelajaran, pengelola pembelajaran, penilai hasil pembelajaran peserta didik, pengarah pembelajaran dan pembimbing peserta didik. Sedangkan dalam keluarga, guru berperan sebagai pendidik dalam keluarga (family educator). Sementara itu di masyarakat, guru berperan sebagai pembina masyarakat (social developer), penemu masyarakat (social inovator), dan agen masyarakat (social agent) (Hamalik, 2009: 123).
Dengan peran yang demikian ideal, tentunya guru mempunyai tugas berat untuk dapat sukses memerankan dirinya sebagai guru ideal. Tugas-tugas sebagai seorang guru sesungguhnya telah banyak dirumuskan oleh beberapa ahli, namun yang jelas tugas tersebut setidaknya berkaitan dengan bidang profesi, bidang kemanusiaan dan bidang kemasyarakatan. Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup dan kehidupan. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan
39
pada peserta didik. Tugas guru dalam bidang kemanusiaan adalah memposisikan dirinya sebagai orang tua ke dua. Dimana ia harus menarik simpati dan menjadi idola para peserta didiknya. Adapun yang diberikan atau disampaikan guru hendaklah dapat memotivasi hidupnya terutama dalam belajar. Bila seorang guru berlaku kurang menarik, maka kegagalan awal akan tertanam dalam diri peserta didik.
Guru adalah posisi yang strategis bagi pemberdayaan dan pembelajaran suatu bangsa yang tidak mungkin digantikan oleh unsur manapun dalam kehidupan sebuah bangsa sejak dahulu. Semakin signifikannya keberadaan guru melaksanakan peran dan tugasnya semakin terjamin terciptanya kehandalan dan terbinanya kesiapan seseorang. Dengan kata lain potret manusia yang akan datang tercermin dari potret guru di masa sekarang dan gerak maju dinamika kehidupan sangat bergantung dari "citra" guru di tengah-tengah masyarakat.
Melihat tugas dan peran guru yang demikian strategis tersebut tentu sangat diharapkan bahwa seluruh guru akan dapat memerankan dirinya sebagaimana yang seharusnya, sehingga proses pendidikan yang ada akan benar-benar dapat membentuk sosok ideal yang diinginkan. Lebih lebih bagi guru Pendidikan Agama Islam, yang memang disamping mempunyai misi yang sama dengan guru pada umumnya, yakni untuk mencerdaskan bangsa, juga mempunyai misi lain yang sangat luhur, yakni mempersiapkan generasi yang pandai, berakhlak mulia, dan taat menjalankan ajaran agamanya. Peran guru
40
PAI memang sangat vital, khususnya dalam membentuk akhlak mulia dan ketaatan terhadap seluruh aturan dan norma yang ada dan berlaku, termasuk norma agama (Saebani, 2009: 243).
Peran pembentukan akhlak dan kepribadian yang demikian kuat yang dilakukan oleh guru PAI tentunya kita harus terus berupaya memberikan support kepada mereka agar selalu meningkatkan kualitas, baik melalui studi formal maupun melalui berbagai kegiatan keilmuan yang memungkinkan mereka akan dapat terus menambah pengetahuan yang nantinya akan berdampak kepada peserta didik yang menjadi tanggung jawab mereka. Sebab sangat tidak mungkin kita terlalu banyak berharap kalau kita sendiri tidak memberikan dukungan nyata bagi mereka untuk dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan. 3. Pendidikan Islam di lingkungan masyarakat
Kehidupan masyarakat di mana pun adanya secara sosiologis akan menjalani proses interaksi struktural, yaitu sebagai interaksi yang dipaksa, dibimbing, didorong dan diyakinkan oleh sistem yang berlaku di lingkungan sosial yang merupakan lingkungan strukturalnya (Hamid, 2009: 141). Lingkungan masyarakat merupakan tempat bergaul sekaligus menerima pendidikan sosial bagi setiap keluarga yang ada di dalamnya.
Agama sebagai sumber sosial normatif dapat dipahami sebagai substansi nilai yang erat kaitannya dengan aspek pengalaman yang menstransedentalkan sejumlah peristiwa eksistensi sehari-hari, yaitu
41
melibatkan kepercayaan dan tanggapan pada sesuatu yang berada di luar jangkauan manusia. Oleh karena itu, secara sosiologis, agama menjadi penting dalam kehidupan manusia bermasyarakat, sehingga lingkungan masyarakat merupakan kontrol terhadap perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan norma agama dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Pembinaan nilai agama dalam masyarakat dapat dilihat dari akhlak keluarga yang ada di dalamnya. Apabila akhlak semua anggota keluarga telah baik, akan baik pula lingkungan masyarakatnya. Pembinaan lingkungan masyarakat dengan pendidikan Islam dapat dilakukan dengan mengadakan berbagai kegiatan yang bersifat menumbuhkembangkan pemahaman tentang Islam, misalnya kegiatan pengajian, gotong royong, silaturrahmi dan dialog interaktif sehingga masyarakat memahami ajaran Islam (Saebani, 2009: 268)
42