• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Hasil Penelitian

Dalam dokumen PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI (Halaman 53-76)

BAB IV. PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN

B. Laporan Hasil Penelitian

1. Subyek 1

Subyek 1 adalah TYS. Ia berumur 21 tahun dan sedang menempuh pendidikan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Jarak tempat tinggal responden dengan tempat waria biasa berkumpul sangat dekat, yaitu sekitar 400 meter. Tempat kaum waria biasa berkumpul yang dekat dengan tempat tinggal subyek adalah di sekitar jalan Kaliurang, mulai perempatan Mirota Kampus sampai perempatan Barek. Kaum waria di daerah itu biasanya mengamen secara bergerombol di warung-warung makan lesehan sepanjang jalan tersebut. Di tempat itu pula, di salah satu warung subyek pernah bertemu dengan waria yang sedang mengamen.

Dari hasil wawancara, dapat diketahui bahwa pada komponen kognitif, subyek mengetahui bahwa waria adalah sifat bawaan seseorang yang tidak wajar, misalnya laki-laki tetapi mempunyai sifat bawaan wanita (lihat lampiran R1; 3 - 13). Responden juga mengetahui bahwa kegiatan kaum waria diantaranya adalah menjadi pengamen dan PSK (lihat lampiran R1; 8 – 23). Selain itu, subyek juga mengetahui pendapat warga sekitar tempat tinggalnya yang juga menganggap bahwa waria itu tidak wajar sehingga mereka belum bisa diterima dan masih mendapat cibiran-cibiran (lihat lampiran R1; 125 – 131). Hal itu dikarenakan faktor pendidikan dari masyarakat yang kurang dan juga

pengaruh Agama yang pada dasarnya belum bisa menerima keberadaan waria. Subyek juga menyebutkan bahwa sebenarnya lembaga pendidikan dan kemasyarakatan atau sekolah sudah mulai terbuka dan bisa memahami kaum waria (lihat lampiran R1; 238 – 249). Begitu juga dengan teman-teman sebayanya, walaupun pendapat teman sebaya subyek ada yang bisa mengerti, menghargai dan menerima kaum waria dan ada yang tidak peduli, namun kebanyakan cenderung menerima kaum waria walaupun terkesan tidak peduli dalam arti jadi waria itu urusan mereka (lihat lampiran R1; 325 – 332). Secara pribadi, subyek menganggap bahwa waria itu adalah hal tidak normal (lihat lampiran R1; 541 – 551). Walaupun begitu, subyek menganggap hal itu wajar terjadi karena itu adalah sifat bawaan dan sudah takdir, malah menurutnya akan menambah variasi (lihat lampiran R1; 359 – 367).

Pada komponen afektif, sehubungan dengan keberadaan kaum waria, subyek merasa biasa-biasa saja karena ada atau tidak adanya kaum waria bagi subyek tidak masalah dan tidak mempengaruhinya, walaupun sebenarnaya ada perasaan takut jika tiba-tiba didatangi oleh waria atau saat ia bertemu dengan waria yang mengamen (lihat lampiran R1; 387 – 391). Subyek justru merasa kasihan terhadap kaum waria yang pada kenyataannya masih sering diperlakukan secara diskriminatif di masyarakat sehingga mungkin saja mereka harus mengamen dan jadi PSK untuk mempertahankan eksistensinya (lihat

lampiran R1; 103 – 116, 207 – 224, 476 – 484). Subyek juga merasa kasihan dan prihatin melihat kaum waria diperlakukan semena-mena saat dirazia (lihat lampiran R1; 291 – 297). Begitu pula subyek akan merasa kasihan dan sedih apabila ada saudara atau temannya yang menjadi waria, namun tidak merasa malu karena itu sudah takdir (lihat lampiran R1; 406 – 425, 441 – 449). Selain itu subyek juga merasa salut dan bangga terhadap kaum waria yang berprestasi karena mereka tidak minder bahkan justru mampu memanfaatkan potensi yang ada walaupun mereka sering mendapatkan penolakan (lihat lampiran R1; 68 – 78). Subyek pernah juga merasa takut akan tanggapan masyarakat jika bergaul dengan kaum waria, tetapi rasa takut itu bisa dihilangkan dan tidak dipermasalahkan karena kegiatan tersebut positif (lihat lampiran R1; 621 – 629).

Pada komponen konatif, warga sekitar tempat tinggal subyek masih belum bisa menerima kaum waria (lihat lampiran R1; 120 – 132). Namun, teman-teman sebaya subyek bisa menerima kaum waria. Begitu pula dengan Lembaga pendidikan dan kemasyarakatan atau sekolah yang juga mulai terbuka dan memahami kaum waria, (lihat lampiran R1; 238 – 244, 351 - 352). Secara pribadi, subyek menerima keberadaan kaum waria dan mau bergaul jika waria tersebut sopan dan tidak macam-macam (lihat lampiran R1; 488 – 494). Bahkan subyek mau melakukan kegiatan yang positif bersama kaum waria termasuk

menjadi rekan kerja kaum waria (lihat lampiran R1; 508 – 520, 572 – 582).

2. Subyek 2

Subyek 2 adalah RBY. Ia berumur 20 tahun dan sedang menempuh pendidikan di Universitas Islam Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jarak tempat tinggal subyek sekitar 1,5 Km dari tempat kaum waria biasa berkumpul, yaitu krasil. Krasil terletak di pinggir Ring Road selatan, tepatnya di sebelah utara Pabrik Gula Madukismo. Di situ, kaum waria biasa berkumpul untuk menjajakan diri.

Dari hasil wawancara dengan subyek dapat diketahui bahwa pada komponen kognitif, responden mengetahui bahwa waria adalah pria yang suka memakai pakaian wanita dan bertingkah laku seperti wanita dan mereka biasanya bekerja di salon dan menjadi PSK (lihat lampiran R2; 3 – 6, 9 - 15). Warga sekitar tempat tinggal subyek menganggap bahwa waria itu tidak normal (lihat lampiran R2; 127 - 136). Walaupu begitu, warga sekitar tempat tinggal subyek memandang waria itu sama saja seperti masyarakat lainnya tetapi masyarakat juga berjaga-jaga supaya tidak timbul gosip yang tidak mengenakkan (lihat lampiran R2; 86 – 90). Sepengetahuan subyek, lembaga pendidikan hanya mengenal hanya mengenal pria dan wanita dengan segala perannya masing-masing (lihat lampiran R2; 147 – 154). Teman-teman sebaya subyek ada yang setuju dan mau berteman dengan kaum waria, tetapi ada juga yang tidak setuju dan menganggap kaum waria itu

menjijikan, namun kebanyakan teman-teman sebaya subyek tidak setuju dan menganggap waria itu menjijikan (lihat lampiran R2; 194 – 196, 201 – 203, dan 223 – 225). Secara pribadi, subyek menganggap waria itu tidak normal, namun tidak mempermasalahkannya dan tetap menganggapnya seperti manusia biasa karena sama-sama ciptaan Tuhan (lihat lampiran R2; 236 – 242, 246, 263 – 268, dan 281 – 285).

Pada komponen afektif, sehubungan dengan keberadaan kaum waria, subyek merasa biasa saja seperti teman, bahkan saat subyek potong di salon waria ia tidak takut karena menurut subyek waria juga manusia (lihat lampiran R2; 72 – 79, 250 – 255). Subyek merasa kasihan terhadap kaum waria yang sering dijauhi dan diperlakukan diskriminatif oleh masyarakat serta diperlakukan seperti hewan saat dirazia (lihat lampiran R2; 188 – 189, 332 – 337). Subyek merasa bangga terhadap kaum waria yang berprestasi karena walaupun ada kelemahan tetapi dapat menunjukkan kelebihannya (lihat lampiran R2; 49 – 52). Akan tetapi, subyek merasa malu jika ada temannya yang menjadi waria, terlebih jika saudaranya menjadi waria subyek akan malu dengan tetangganya karena itu adalah aib keluarga dan bisa menimbulkan pembicaraan yang tidak mengenakkan (lihat lampiran R2; 302 – 305). Subyek juga merasa takut dicap atau dibicarakan di masyarakat jika bergaul dengan kaum waria tetapi bagi subyek hal itu tidak masalah karena yang dilakukan adalah hal yang baik (lihat lampiran R2; 414 – 420).

Pada komponen konatif, warga sekitar tempat tinggal subyek bisa menerima kaum waria bahkan justru diajak berkegiatan bersama seperti voli dan sepak bola bersama (lihat lampiran R2; 102 – 104). Begitu pula dengan subyek, secara pribadi subyek menerima keberadaan kaum waria dan mau berdiskusi, bergaul, bekerja dan melakukan kegiatan bersama kaum waria, namun subyek tidak mau melakukannya dengan waria yang menjadi PSK (lihat lampiran R2; 292, 359 – 362, 373 – 380, 389 – 391, 398, dan 400 – 405). Sepengetahuan subyek, lembaga pendidikan dan kemasyarakatan atau sekolah belum bisa menerima kaum waria sehingga bila ada waria, maka ia akan dikeluarkan supaya waria tersebut tidak diejek dan dikucilkan serta supaya ada kesetaraan (lihat lampiran R2; 155 – 158, 162 – 167). Teman-teman sebaya subyek ada yang bisa menerima atau setuju dengan keberadaan kaum waria sehingga mau bergaul dengan mereka, tetapi ada juga yang tidak setuju dan menjauhi kaum waria (lihat lampiran R2; 212 – 216). Namun, kebanyakan teman-teman sebaya subyek tidak setuju atau tidak menerima kaum waria (lihat lampiran R2; 223 – 225).

3. Subyek 3

subyek 3 adalah WCK. Ia berumur 19 tahun dan sedang menempuh pendidikan di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta. Jarak tempat tinggal subyek dari tempat kaum waria biasa

berkumpul sekitar 13 Km. Tempat kaum waria biasa berkumpul tersebut adalah daerah Stasiun Lempuyangan sampai sekitar perempatan Duta Wacana. Kaum waria di tempat tersebut ada yang menjajakkan diri dan juga mengamen di perempatan Duta Wacana. Di tempat itu pula, tepatnya di perempatan Duta Wacana subyek pernah digoda oleh waria.

Dari hasil wawancara dengan subyek diketahui bahwa pada komponen kognitif, subyek mengetahui bahwa waria adalah setengah laki-laki setengah wanita tetapi aslinya adalah laki-laki (lihat lampiran R3; 3 – 5). Subyek juga mengetahui bahwa kegiatan waria yang ecek-ecek atau yang kelas bawah hanya mangkal cari om-om, tetapi yang kelas atas jadi desainer dan artis (lihat lampiran R3; 9 – 15). Sepengetahuan subyek, warga sekitar tempat tinggal subyek, teman-teman sebaya subyek, dan lembaga pendidikan dan kemasyarakatan atau sekolah berpandangan biasa saja terhadap kaum waria karena sama-sama manusia (lihat lampiran R3; 74 – 78, 126 – 130, dan 183 - 190). Secara pribadi subyek menganggap bahwa waria itu tidak normal (lihat lampiran R3; 250 – 259).

Pada komponen afektif, sehubungangan dengan keberadaan kaum waria subyek merasa kasihan terhadap kaum waria karena mereka tidak seratus persen wanita dan tidak seratus persen laki-laki sehingga sebagian orang menjauhi mereka, bahkan diperlakukan semena-mena saat dirazia (lihat lampiran R3; 177 – 179, 230 – 237).

Subyek juga merasa kasihan terhadap kaum waria yang baik-baik diperlakukan secara diskriminatif, tetapi tidak merasa kasihan jika waria yang diperlakukan secara diskriminatif itu adalah waria yang suka bawa tamu ke kos atau yang neko-neko (lihat lampiran R3; 350 – 358, 365 – 368). Subyek merasa bangga dan minder terhadap kaum waria yang berprestasi karena waria saja bisa berprestasi kenapa kita yang normal tidak (lihat lampiran R3; 39 – 44). Saat didatangi oleh waria seperti pengalamannya di perempatan Duta Wacana, subyek merasa takut dan panik karena itu pasti waria yang aneh-aneh (lihat lampiran R3; 62 – 63, 438 – 445). Namun berbeda jika ada saudara atau teman subyek yang ternyata adalah seorang waria, subyek justru merasa sedih dan kasihan jika ternyata ada saudara atau temannya yang menjadi waria (lihat lampiran R3; 321 – 324). Akan tetapai, subyek tidak merasa malu jika ternyata ada saudara atau temannya yang menjadi waria (lihat lampiran R3; 279 – 292). Subyek juga pernah merasa takut dicap dan dibicarakan oleh masyarakat jika bergaul dengan kaum waria, tetapi itu tergantung bagaimana cara mengantisipasinya dan subyek akan tetap berteman dengan kaum waria (lihat lampiran R3; 310 – 312).

Pada komponen kognitif, warga sekitar tempat tinggal subyek bisa menerima kaum waria, seperti lembaga pendidikan dimana subyek menempuh pendidikan yang juga memperlakukan waria yang menjadi mahasiswa seperti mahasiswa pada umumnya (lihat lampiran R3; 82 –

89, 139 – 140). Teman-teman sebaya subyek pun memperlakukan kaum waria seperti manusia biasa tergantung dari perilaku waria itu sendiri, kalau waria yang suka mangkal ya akan dijauhi (lihat lampiran R3; 208 – 214). Begitu pula dengan subyek, secara pribadi subyek bisa menerima kaum waria, bergaul, melakukan kegiatan bersama, dan bekerja dengan mereka kecuali kaum waria yang suka mangkal dan mencari om-om (lihat lampiran R3; 239 – 245, 372 – 284, 390 – 393, 397 – 400, 410 – 412, dan 419 - 423).

4. Subyek 4

Subyek 4 adalah CAP. Ia berumur 18 tahun dan masih menempuh pendidikan di SMA Pangudi Luhur Yogyakarta. Jarak tempat tinggal subyek dengan tempat kaum waria biasa berkumpul sekitar 6 Km. Tempat kaum waria biasa berkumpul tersebut adalah daerah Stasiun Lempuyangan sampai perempatan Duta Wacana. Kaum waria di daerah tersebut ada yang menjajakkan diri dan juga ada yang mengamen di perempatan Duta Wacana. Subyek mempunyai pengalaman dengan kaum waria, yaitu pernah dikejar waria di Taman Kota.

Dari hasil wawancara dengan subyek dapat diketahui pada komponen kognitif, subyek mengetahui bahwa waria adalah transseksual atau wanita jadi-jadian (lihat lampiran R4; 3 – 6). Subyek juga mengetahui bahwa kaum waria ada yang bekerja di salon dan

menjadi PSK (lihat lampiran R4; 9 – 11). Warga sekitar tempat tinggal subyek sama dengan teman-teman sebaya subyek menganggap bahwa kaum waria itu adalah hal aneh dan menjijikkan (lihat lampiran R4; 68 – 73, 134 - 138). Begitu pula secara pribadi subyek menganggap bahwa waria itu tidak normal sehingga menjijikkan dan memalukan (lihat lampiran R4; 170 – 173, 148 – 150).

Pada komponen afektif, subyek merasa jijik dan kasihan terhadap kaum waria karena mungkin saja mereka menjadi waria karena terpaksa, (lihat lampiran R4; 176 – 181, dan 183 – 190). Subyek juga merasa kasihan terhadap kaum wariayang dijauhi oleh masyarakat, apalagi sampai diperlakukan semena-mena saat dirazia (lihat lampiran R4; 84 – 89, 125 – 130). Begitu pula jika ada saudara atau teman subyek yang menjadi waria, subyek akan merasa kasihan karena bisa menjadi bahan ejekan (lihat lampiran R4; 195 – 198). Selain itu, subyek tentunya juga akan merasa sedih dan kecewa jika ternyata ada saudara atau temannya yang menjadi waria, walaupun tidak akan merasa malu (lihat lampiran R4; 201 – 205). Subyek merasa takut jika tiba-tiba didatangi waria seperti pengalamannya didatangi dan dikejar waria di Taman Kota (lihat lampiran R4; 59, 302 – 303). Begitu pula subyek merasa takut dibicarakan di masyarakat apabila melakukan kegiatan bersama waria, tetapi kalau kegiatan itu positif tidak masalah (lihat lampiran R4; 287 – 291). Terhadap waria yang berprestasi,

subyek merasa bangga karena kaum waria bisa mendapatkan uang yang halal (lihat lampiran R4; 32 – 39).

Pada komponen konatif, warga sekitar tempat tinggal subyek tidak menerima kaum waria dan akan menjauhi mereka (lihat lampiran R4; 78 – 79). Begitu pula dengan teman-teman sebaya subyek akan menjauhi kaum waria karena takut dan akan menggodanya (lihat lampiran R4; 141 – 146). Lembaga pendidikan dan kemasyarakatan atau sekolah ada yang bisa menerima dan ada yang tidak bisa menerima kaum waria tergantung perilaku waria itu (lihat lampiran R4; 94 – 102). Begitu pula dengan subyek, secara pribadi subyek bisa menerima kaum waria tergantung dari perilaku waria itu sendiri (lihat lampiran R4; 225 – 226). Subyek juga kurang bisa bergaul dengan kaum waria karena takut, tetapi bisa bergaul dengan waria yang baik-baik (lihat lampiran R4; 231 – 233, 235 – 238). Subyek juga mau berdiskusi, bekerja, dan melakukan kegiatan bersama dengan kaum waria (lihat lampiran R4; 225 – 226, 242 – 245, 256 – 257, 268 – 269, dan 277 – 278).

b. Kategorisasi Subyek

Tabel 4. Kategori Subyek

Coding R1 R2 R3 R4 Komponen Kognitif • Pengertian waria • Kegiatan kaum waria • Pendapat warga sekitar terhadap kaum waria

Sifat bawaan seseorang yang tidak wajar, misalnya laki-laki tapi punya sifat bawaan wanita (S1; 3 – 13). Mengamen dan jadi PSK (S1; 18 – 23).

Warga sekitar menganggap bahwa waria itu tidak wajar sehingga kaum waria belum bisa diterima dan masih mendapatkan cibiran-cibiran (S1; 125 – 131).

Waria adalah pria yang suka memakai pakaian wanita dan bertingkah laku seperti wanita (S2; 3 – 6).

Waria bekerja di salon, dan menjadi PSK (S2; 9 – 15).

Warga sekitar menganggap kaum waria tidak normal (S2; 127 – 136).

Pandangan masyarakat sekitar tempat tinggal terhadap kaum waria sama saja dengan masyarakat lain, walaupun tetap

berjaga-jaga supaya tidak timbul gosip (S2; 86 – 90, 93 - 95).

Waria adalah setengah laki-laki setengah wanita, tapi aslinya

laki-laki (S3; 3 – 5).

Kegiatan waria yang ecek-ecek mangkal cari om-om, tapi yang kelas atas jadi artis, desainer (S3; 9 – 15).

Pendapat warga sekitar biasa-biasa saja kan sama-sama manusia, mereka tidak berhak mengatur hidup seseorang (S3; 74 – 78).

Transseksual, wanita jadi-jadian (S4; 3 – 6).

Kegiatan kaum waria di salon dan jadi PSK (S4; 9 – 11).

Menganggap bahwa waria itu hal aneh dan menjijikan (S4; 68 – 73).

• Pendapat lembaga pendidikan dan kemasyarakatan atau sekolah terhadap kaum waria • Pendapat teman sebaya terhadap kaum waria • Pendapat pribadi terhadap kaum waria

Sudah mulai terbuka dan memahami waria (S1; 238 – 249).

Pendapat teman-teman sebaya berbeda-beda, ada yang bisa menerima,

mengerti, dan menghargai kaum waria,

tapi ada yang masih tidak peduli dan mencibir (S1; 301 – 312).

Kebanyakan teman sebaya bisa menerima walaupun tidak peduli dengan kaum waria (S1; 325 – 332).

Kaum waria adalah hal yang tidak normal (S1 541 – 551).

Tetapi itu wajar terjadi karena itu adalah sifat bawaan dan sudah takdir, malah banyak variasi (S1; 359 – 367).

Lembaga pendidikan hanya mengenal pria dan wanita dengan segala perannya masing-masing (S2; 147 – 154).

Ada yang setuju dan

mau berteman dengannya, tetapi ada

juga yang tidak setuju dan menganggap waria itu menjijikan (S2; 194 – 196, 201 - 203 )

Kebanyakan tidak setuju (S2; 223 – 225).

Tidak

mempermasalahkan waria atau tidak, tapi berharap bisa berubah sedikit demi sedikit (S2; 236 – 242).

Kaum waria dipandang seperti manusia biasa (S2; 246).

Biasa saja, seperti mahasiswa pada umumnya, seperti yang

terjadi di UPN dan perguruan tinggi lainnnya (S3; 126 – 130)

Pendapat teman sebaya biasa saja dalam arti seperti manusia biasa terhadap kaum waria (S3; 183 – 190).

Waria memang tidak normal (S3; 250 – 259)

Biasa saja seperti siswa lain (S4; 94 – 95).

Waria dianggap aneh dan menjijikkan (S4; 134 – 138).

Pendapat pribadi waria itu tidak normal jadi nggilani (menjijikan) dan memalukan (S4; 170 - 173, 148 – 150).

Komponen Afektif

• Perasaan terhadap kaum waria

Senang dan bangga terhadap waria yang berprestasi, karena mereka tidak minder dan mampu memanfaatkan potensi yang mereka miliki (S1; 68 – 78). Pernah diameni waria, dan saat diameni perasaan takut muncul karena dalam pikiran muncul jangan-jangan kalau tidak dikasih uang nanti sifat laki-lakinya muncul (S1; 86 – 92, 96 - 101).

Muncul juga perasaan kasihan karena waria dilahirkan seperti itu (tidak normal) dan beberapa kalangan tidak bisa menerimanya

sehingga mereka harus ngamen dan jadi PSK

Waria memang tidak normal dan beda dengan kita tapi kan sama-sama ciptaan Tuhan (S2; 263 – 268, 281 – 285).

Bangga kepada waria yang berprestasi, karena

walaupun ada kelemahan tetapi dapat

menunjukkan

kelebihannya (S2; 49 – 52).

Tidak merasa takut saat potong di salon waria, karena waria juga manusia (S2; 78 – 79).

Perasaan terhadap kaum waria yang berprestasi bangga dan minder, waria aja bisa kenapa kita tidak (S3; 39 – 44).

Pernah digoda dan dicolak-coleh oleh waria, saat itu takut dan panik saat (S3; 56 – 59, 62 - 63).

Bangga terhadap waria berprestasi karena bisa mendapatkan uang yang halal (S4; 32 – 39).

Muncul perasaan takut saat dikejar waria (S4; 59).

untuk mempertahankan eksistensinya (S1; 103 – 116).

Merasa kasihan melihat warga sekitar yang mencibir, mengejek dan sinis terhadap waria karena itu tidak adil, seakan-akan yang salah adalah warianya, padahal itu sudah takdir,

jika ditawari pun kita tidak mau jadi waria. Merasa salut juga karena kaum waria tetap mau

bekerja dan bersosialisasi dengan

warga walaupun tidak sepenuhnya diterima (S1; 207 – 224).

Merasa prihatin melihat waria diseret-seret saat razia (S1; 291 – 297).

Perasaan terhadap keberadaan waria biasa saja karena ada atau tidak ada waria tidak

Biasa saja melihat masyarakat bisa menerima kaum waria

(S2; 117 – 125).

Kasihan melihat waria diperlakukan seperti hewan saat razia (S2; 188 – 189).

Perasaan terhadap keberadaan kaum waria biasa saja dan dianggap seperti teman biasa (S2;

Senang melihat perlakuan warga sekitar

yang bisa menerima dan biasa-biasa saja terhadap kaum waria, karena tidak dikucilkan di masyarakat atau dimanusiakan (S3; 102 –

104, 106 - 113).

Kasihan melihat waria diperlakukan semena-mena saat dirazia (S3; 177 – 179).

Kasihan terhadap kaum waria karena mereka tidak seratus persen wanita dan tidak seratus

Kasihan melihat kaum waria dijauhi oleh masyarakat karena tentu waria itu akan merasa tertekan (S4; 83 – 89).

Kasihan melihat waria yang diperlakukan semena-mena saat dirazia (S4; 125 – 130).

Kadang merasa jijik dan kadang merasa kasihan juga dengan kaum waria karena mungkin itu sudah

pengaruh (S1; 387 – 391).

Kasihan dan sedih jika ada teman atau saudara yang ternyata waria (S1; 406 – 425).

Tidak malu bila ada teman atau saudara yang jadi waria karena itu sudah takdir, kalau malu malah kasihan dia jadi tidak punya teman dan semangat hidup (S1; 441 – 449).

Merasa kasihan dan prihatin terhadap kaum waria yang sering dijauhi dan diperlakukan diskriminatif (S1; 476 – 484).

Awalnya ada rasa takut

akan tanggapan 250 – 255).

Sedikit malu jika ada saudara atau teman yang menjadi waria (S2; 302 – 305).

Malu dengan tetangga karena itu aib keluarga,

inginnya bisa menghindari

pembicaraan yang tidak enak (S2; 309 – 314).

Kasihan terhadap waria yang sering dijauhi dan diperlakukan

diskriminatif oleh masyarakat (S2; 332 – 337).

Ada sedikit perasaan takut dicap atau

persen laki-laki serta sebagian orang menjauhi dan merasa jijik (S3; 230 – 237).

Sedih dan kasihan jika ada saudara atau teman yang menjadi waria (S3; 321 – 324).

Tidak merasa malu jika ada teman atau saudara yang menjadi waria karena pernah juga mempunyai teman seorang waria (S3; 279 - 282).

Perasaan terhadap waria yang suka bawa tamu ke kos (neko-neko) jika didiskriminasi ya biasa saja itu sudah pantas didapatkannya tapi kasihan kalu waria baik-baik didiskriminasi (S3; 350 – 358, 365 – 368). Pernah merasa takut dibicarakan dan dicap

takdir dan mungkin saja mereka jadi waria karena terpaksa (S4; 176 – 181, 183 - 190).

Kasihan jika ada saudara atau teman yang jadi waria karena bisa jadi bahan ejekan (S4; 195 – 198).

Ada juga rasa sedih dan kecewa, tapi tidak malu (S4; 201 – 205).

Kasihan melihat kaum waria dijauhi oleh masyarakat karena tentu waria itu akan merasa tertekan (S4; 83 – 89).

Ada perasaan takut dan malu dengan masyarakat

Komponen Konatif • Menerima / tidak

kaum waria

masyarakat jika bergaul dengan kaum waria, tapi rasa takut itu bisa dihilangkan dan tidak dipermasalahkan karena kegiatan tersebut positif (S1; 621 – 629).

Saat sendirian tiba-tiba didatangi waria muncul secara spontan perasaan takut (S1; 637 – 646).

Warga sekitar belum bisa menerima kaum waria dan kadang malah mencibir dan sinis terhadap waria (S1; 120 – 132, 191 – 201).

Warga sekitar belum bisa menerima karena kurang pendidikan dan kurang pengetahuan tentang waria sehingga tidak mencoba melihat dari sisi lain mengapa dia jadi waria serta agama yang masih menentang keberadaan

dibicarakan di masyarakat jika bergaul

dengan kaum waria, tetapi tidak masalah karena yang kita lakukan adalah hal yang baik (S2; 414 – 420). Perasaan saat sendirian tiba-tiba didatangi waria biasa saja seperti didatangi orang lain (S2; 437 – 440).

Masyarakat sekitar tempat tinggal bisa menerima dan justru mengajak kaum waria berkegiatan bersama seperti voli dan sepak bola (S2; 102 – 104).

oleh masyarakat karena bergaul dengan waria, tapi tergantung kita mengantisipasinya dan tetap berteman (S3; 310 – 312).

Panik dan bertanya-tanya saat didatangi waria

karena itu pasti waria yang aneh-aneh (S3; 438 – 445).

Bagi warga sekitar tidak masalah dan bisa dibilang menerima (S3; 82 – 89).

karena berkegiatan dengan waria, tetapi kalau positif tidak masalah (S4; 287 – 291).

Takut saat sendirian tiba-tiba didatangi waria (S4; 302 – 303).

Warga sekitar tidak menerima dan akan menjauhi waria (S4; 78 – 79).

kaum waria, padahal warga memegang teguh agama (S1; 142 – 149, R1; 156 – 179).

Lembaga pendidikan dan kemasyarakatan atau sekolah sudah mulai terbuka dan memahami waria (S1; 238 – 244).

Melihat di tv saat polisi melakukan razia, waria diseret-seret bahkan dengan kekerasan seperti pencuri (S1; 279 –284).

Perlakuan teman sebaya

terhadap waria menerima tapi biasa

saja, ada waria ya sudah

Dalam dokumen PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI (Halaman 53-76)

Dokumen terkait