• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

SIKAP REMAJA TERHADAP KAUM WARIA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)

Program Studi Psikologi

Disusun oleh: Stepanus Budi Setiyawan

NIM : 019114075

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

Kupersembahkan kepada:

(5)

LEMBAR MOTTO

”Bila anda tak mungkin menjadi pohon pinus di puncak bukit, jadilah sebatang perdu di lembah,

tetapi perdu terbaik di tepi sungai. Jadilah pohon semak belukar,

jika anda tak mungkin menjadi pohon yang tinggi.

Bila anda tak mungkin menjadi pohon kecil di tengah taman, jadilah sekedar rumput di tepi jalan,

yang bisa menyegarkan pandangan mata orang. Jadilah rumput yang paling membahagiakan dua sejoli yang sedang pacaran.

Tak mungkin semua menjadi nahkoda, sebagian pasti menjadi anak buah. Pekerjaannya mungkin berbeda, tetapi setiap tugas itu sama mulia.

Bila anda tak mungkin menjadi jalan raya, jadilah jalan setapak saja.

Bila anda tak mungkin menjadi sang surya, jadilah bintang yang bercahaya.

Bukan ukuran dan takaran anda, yang menentukan keberhasilan anda, melainkan manfaat yang sebenarnya, yang sempat anda garap dengan daya upaya, demi kepribadian anda !“

(6)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 5 Februari 2007 Penulis

(7)

ABSTRAK

Sikap Remaja terhadap Kaum waria

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sikap remaja terhadap kaum waria, dalam arti respon remaja terhadap keberadaan kaum waria. Subyek dalam penelitian ini terdiri dari 4 orang remaja akhir, 2 pria dan 2 wanita, yaitu umur 18 tahun 1 orang, 19 tahun 1 orang, 20 tahun 1 orang, dan 21 tahun 1 orang. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dengan pedoman umum. Analisa data dilakaukan dengan cara membuat verbatim dan melakukan kategorisasi terhadap tema-tema yang muncul dengan kode-kode yang telah dibuat sebelumnya.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa remaja bersikap positif dan menerima kaum waria. Akan tetapi, tidak semua kaum waria bisa diterima keberadaannya oleh remaja. Kaum waria yang suka mangkal dan menjajakan diri atau yang menjadi PSK belum bisa diterima oleh remaja. Hal ini dikarenakan remaja merasa jijik dan takut terhadap kaum waria yang menjadi PSK.

(8)

ABSTRACT

Adolescences’ Attitude toward Transvestite Community

This research aimed to know about how adolescences attitude toward transvestite community. The subject in this research consisted of 4 late adolescences both 2 boys and 2 girls, the meaning is how adolescences’ response to clan transvestite existence. Those were a 18 year-old person, a 19 year-old person, a 20 year-old person, and a 21 year-old person. The method of data gathering was done by making verbatim and doing categorization toward the themes that appeared with the codes made before.

The result of the research showed that adolescences had positive attitude and accepted the transvestite community. However, not all the existence of transvestite community could be accepted by adolescences. Transvestite community who liked to stand-by and peddle themselves or who worked as prostitutes could not be accepted by adolescences. This was caused adolescences felt disgusted and afraid of the transvestite community who worked as prostitutes.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas perlindungan, dan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi denga judul “Sikap Remaja

terhadap Kaum Waria”. Penulis menyadari bahwa banyak pihak yang membantu dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucakan terima kasih kepada:

1. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanat Dharma dan mengajar untuk beberapa mata kuliah yang saya ambil; 2. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi., M.Si. selaku Kaprodi Fakultas Psikologi

sekaligus selaku dosen pembimbing akademik;

3. Bapak Drs. H. Wahyudi, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar memberikan petunjuk selama proses penulisan skripsi ini;

4. Ibu Ch. Siwi Handayani, S.Psi., M.Si., Bapak Y. Heri Widodo, S.Psi., dan Ibu P. Henrietta PDADS., S.Psi., yang pernah menjadi dosen pembimbing akademik dan juga mengajar untuk beberapa mata kuliah yang saya ambil; 5. Segenap dosen dan karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

yang banyak membantu selam penulis menempuh kuliah hingga penulisan skripsi ini;

(10)

7. Kekasihku Tami yang dengan setia dan tak henti-hentinya memberikanku semangat untuk menyelesaikan skripsi ini serta selalu menatih saat aku terjatuh dan memberikan warna dalam kehidupanku;

8. Ibu Sujarmi, Mas Krisna, Mbak Niken, Detha, yang menerimaku dengan baik dan memberikanku pengalaman hidup yang sangat berarti;

9. Shiro, terima kasih sudah menjadi sahabatku dan banyak membimbingku untuk bisa menerima kenyataan hidup dan selalu menatih aku saat aku terjatuh. Memang Setiap orang harus memanggul salibnya sendiri dan kebahagiaan atau kesedihan itu akan selalu datang, dan kita harus siap menerimanya;

10.Teman-teman di Fakultas Psikologi, Bayu, Gibon, Cethol, Seto, Aris, Tumbur, tetap semangat choi…, Dini, Indri, Reni, Ninik, Dian, Kucrut, dan teman-teman lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima kasih telah mendukungku dan memberikan warna di Fakultas Psikologi;

11.Teman-teman yang telah menjadi subyek dalam penelitianku, terima kasih atas bantuannya;

12.Teman-teman KKN yang menjadi keluargaku selama satu bulan di Tegaltapen, teima kasih atas pengalaman hidup bersama;

13.Teman-teman FRENZ band dan manajemen, mami, mari kita wujudkan cita-cita kita bersama, tetap semangat FRENZ;

14.Dan pihak-pihk lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ……… i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….. ii

HALAMAN PENGESAHAN ……….. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ……… iv

LEMBAR MOTTO ………... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……… vi

ABSTRAK ………. vii

ABSTRACT ……….. viii

KATA PENGANTAR ……….. ix

DAFTAR ISI ……… xi

DAFTAR TABEL ……… xii

BAB I. PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang Masalah ………. 1

B. Rumusan Masalah ………... 4

C. Tujuan Penelitian ……… 5

D. Manfaat Penelitian ……….. 5

BAB II. LANDASAN TEORI ………. 6

A. Pengertian Sikap ………. 6

B. Komponen Sikap ……… 8

C. Ciri-ciri Sikap ……….. 9

(12)

E. Definisi dan Batasan Remaja ………... 13

F. Ciri-ciri Massa Remaja ……… 13

G. Heteroseksual Remaja ………. 15

H. Pengertian Waria ………. 17

I. Faktor-faktor Penyebab ……… 19

J. Perbedaan Waria dan Homoseksualitas ……… 21

K. Dinamika Sikap Remaja terhadap Kaum Waria ……… 23

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ……….. 27

A. Jenis Penelitian ………. 27

B. Definisi Operasional ………. 27

1. Sikap ………. 27

2. Remaja ……….. 28

3. Waria ……… 28

C. Subyek Penelitian ………. 28

D. Metode Pengumpulan Data ……….. 30

E. Analisis Data Kualitatif ……… 31

1. Kredibilitas ………... 32

2. Dependabilitas ……….. 34

BAB IV. PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN ……… 36

A. Pelaksanaan Penelitian ………. 36

1. Penentuan Subyek Penelitian ……… 36

2. Waktu dan Tempat Penelitian ……….. 37

(13)

a. Deskripsi Tiap-tiap Subyek ……….. 40

b. Kategorisasi Subyek ………. 49

c. Rangkuman Hasil Wawancara Keempat Subyek ………. 59

C. Gambaran Sikap Remaja terhadap Kaum Waria ……….. 62

BAB V. PENUTUP ……… 66

A. Kesimpulan ………... 66

B. Saran ………. 66

DAFTAR PUSTAKA ………. 69

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue Print Wawancara ……….. 31

Tabel 2. Kode Analisis Data ……….….. 34

Tabel 3. Demografi Subyek ……….… 38

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

“Jangan ganggu banci! / jangan ganggu banci! / jangan ganggu banci! / jangan, ganggu...”. Penggalan lirik lagu dari Project Pop tersebut kian

mengakrabkan kosakata “banci” atau yang lebih kita kenal dengan sebutan “waria” di telinga kita. Sebenarnya, bukan kosakatanya saja yang dekat dengan kita, tapi juga wujud aslinya. Kita dapat mengetahui beritanya baik di media cetak maupun media elektronik. Kita juga bisa melihat mereka sedang bekerja di butik-butik, di salon, bahkan di pinggir-pinggir jalan saat mereka mengamen atau pun berkumpul dengan komunitasnya dan menjajakkan diri.

(16)

Waria adalah seorang laki-laki yang secara jasmani sempurna dan jelas, namun secara psikis cenderung bertingkah laku sebagai orang dari jenis kelamin yang berlainan (Koeswinarno, 1996; dan P. Esty dan Sugoto, 1998). Dari sudut psikologi-ilmiah, waria digolongkan pada gangguan identitas jenis (gender identity disoders). Gangguan ini ditandai dengan adanya perasaan tidak senang

terhadap jenis kelamin sehingga ia berperilaku seperti lawan jenisnya (http://rudi.landak.com; Agustus 2005).

Kaum waria tidak begitu saja diterima di masyarakat. Sari (2003) mengungkapkan bahwa pandangan waria adalah “penyakit kejiwaan”, “aib”, “abnormal”, “dosa”, “menyalahi kodrat”, dan sebutan lainnya masih diyakini oleh sebagian besar masyarakat. Hak-hak biologis mereka juga dianggap patologis, anomali, atau abnormal oleh masyarakat. Oleh karena itu, tempat-tempat pertemuan mereka selalu diidentifikasikan sebagai tempat maksiat. Hal ini juga terungkap dalam penelitian yang dilakukan oleh Nastiti (dalam P. Esty dan Sugoto, 1998) dan Elisabeth (1996) yang menyatakan bahwa banyak orang yang memandang bahwa waria menentang kodratnya, dan tingkah laku seksualnya tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Akibatnya, masyarakat tidak menyenangi mereka dan sering tidak menerima serta menolak mereka, bahkan pihak keluarganya sendiri juga menolak keberadaan mereka.

(17)

mendapat cercaan, dipandang sinis, dilecehkan, ditertawakan, dan menjadi bahan gunjingan. Sebagai contoh, Andrea menuturkan pengalamannya ketika ia sakit dan datang ke dokter. Dokter yang seharusnya memeriksa justru sama sekali tidak mau memeriksa dan hanya memberinya obat serta mengolok-oloknya. Kisah waria yang lain adalah Tiara dari Makasar menceritakan bahwa saat dirazia polisi mereka ditangkap dan diceburkan ke laut dahulu sebelum dibawa ke kantor polisi. Lalu ia diperintahkan membuka “bra” dan menunjukkan alat kelaminnya di depan polisi (http://www.kompas.com; Agustus 2005).

Uraian di atas, jika kita cermati maka akan menimbulkan pertanyaan: Masyarakat mana yang bersikap negatif terhadap kaum waria? masyarakat yang memandang negatif waria, mendiskriminasikan, dan memarjinalkan kaum waria yang terungkap dalam penelitian dan uraian di atas kiranya belum jelas. Kalau kita cermati lebih lanjut, ternyata ada juga kelompok masyarakat yang bisa menerima kaum waria. Sebagai contoh adalah Avi dan Dorce. Mereka diterima sebagai penghibur multitalent, bahkan Avi justru pernah mendapatkan penghargaan sebagai pemeran video klip terbaik bersama group band naïf. Di perkampungan Kricak Yogyakarta misalnya, banyak waria yang tinggal di sana. Namun masyarakat sekitar tidak mengucilkan kaum waria di sana. Kaum waria yang tinggal di Kricak ternyata bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat sekitar dengan baik (Hariyanti, 2004).

(18)

menyebutkan bahwa jumlah male-to-female transseksual atau waria adalah 1 dari setiap 18.000 sampai dengan 33.000 laki-laki. Sedangkan data yang masuk di Direktorat Jenderal Administrasi dan Kependudukan Departemen Dalam Negeri tahun 2005 menyebutkan bahwa jumlah waria di Indonesia tercatat sebanyak 400 ribu. Jumlah itu tersebar di berbagai daerah di Indonesia, dan terbanyak di Pulau Jawa. Diyakini estimasi jumlah tersebut hampir selalu merupakan fenomena “gunung es” (http://www.tempointeraktif.com; Agustus 2005).

Sikap remaja terhadap kaum waria penting digali karena pada masa remaja, mereka mulai menentukan sikap tanpa bergantung pada orang lain yang lebih dewasa dari mereka (Mappiare, 1982). Mereka juga mempunyai sikap dan pandangan yang lebih realistis. Pada masa ini pula mereka mulai mencapai peran sosial sebagai pria atau wanita dan mencapai hubungan baru yang lebih matang (Havinghurst, dalam Hurlock, 1996). Lebih lanjut, pada masa ini identitas seksual seseorang mulai terbentuk dan menetap. Oleh karena itu, pada masa ini seseorang akan menentukan identitas seksual dan identitas gendernya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dijabarkan di atas, maka penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan : Bagaimana sikap remaja terhadap kaum waria ?

C. Tujuan Penelitian

(19)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi psikologi sosial khususnya mengenai sikap remaja terhadap kaum waria.

b. Penelitian ini diharapkan berguna bagi peneliti lain untuk memberikan masukan khususnya mereka yang akan meneliti lebih lanjut mengenai kaum waria.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan bagi masyarakat dan pembaca mengenai sikap remaja terhadap kaum waria.

(20)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Sikap

Sikap, seperti halnya dengan pengertian-pengertian lain, terdapat beberapa pendapat diantara para ahli. Tentunya ahli yang satu dengan ahli yang lainnya memberikan definisi dengan batasan-batasan yang berbeda. Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah beberapa penertian sikap menurut beberapa ahli.

Louis Thurstone (dalam Edwards, 1957) mengatakan bahwa sikap adalah suatu tingkatan afeksi baik yang bersifat positif maupun negatif dalam hubungannya dengan obyek-obyek psikologis. Afeksi positif yang dimaksud adalah afeksi senang, sedangkan afeksi negatif yang dimaksud adalah afeksi yang tidak menyenangkan. Thurstone melihat sikap hanya mengandung komponen afeksi saja.

G.W. Allport (dalam Marie, Jahoda, and Neil Warren, 1966; White, 1982 ; Mar’at, 1982; Sears, dkk., 1988) mengatakan bahwa sikap adalah keadaan mental dan saraf dari kesiapan yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamis atau terarah terhadap respon individu pada semua obyek dan situasi yang berkaitan dengannya.

Allport (dalam Hall dan Lindzey, 1993) mengatakan bahwa sikap adalah

(21)

mengarahkan tingkah laku dan merupakan hasil dari faktor-faktor genetik dan belajar.

Newcomb (dalam walgito, 1990; Mar’at, 1981) mengatakan bahwa sikap merupakan suatu kesatuan kognisi yang mempunyai valensi dan akhirnya berintegrasi ke dalam pola yang lebih luas.

Krech dan Crutchfield (dalam Jahoda, Marie, and Neil Warren, 1966) mengatakan bahwa sikap adalah organisasi yang bersifat menetap dari proses motivasional, emosional, perseptual, dan kognitif mengenai beberapa aspek dunia individu.

Rokeach (dalam Walgito, 1990) juga memberikan pendapatnya mengenai sikap. Ia mendefinisikan sikap sebagai predisposing untuk merespon, untuk berperilaku. Ini berarti bahwa sikap berkaitan dengan perilaku, sikap merupakan predisposisi untuk berbuat atau berperilaku.

Myers (dalam Walgito, 1990) mengatakan bahwa sikap adalah suatu kecenderungan ke arah beberapa obyek; meliputi kepercayaan seseorang, perasaan, dan kecenderungan perilaku terhadap obyek.

(22)

Saifuddin Azwar (2005) mengatakan bahwa sikap adalah suatu respon evaluatif. Sedangkan Mar’at (1981) mengatakan bahwa sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap obyek tersebut.

Banyak sekali pengertian sikap menurut beberapa ahli yang ada. Hal ini dimungkinkan karena sikap merupakan masalah yang penting dan menarik dalam lapangan psikologi khususnya psikologi sosial. Bahkan ada ahli yang berpendapat bahwa psikologi sosial menempatkan sikap sebagai problem sentralnya (Crutchfield, dalam Walgito, 1990).

Dari bermacam-macam pendapat tersebut, dapat ditarik suatu pengertian bahwa sikap adalah suatu kumpulan pendapat, keyakinan seseorang mengenai obyek yang relatif menetap, yang disertai perasaan tertentu, dan memberikan dasar untuk membuat kecenderungan berperilaku atau merespon obyek tersebut dengan cara tertentu.

B. Komponen Sikap

Dilihat dari strukturnya, sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang, yaitu :

1. Komponen Kognitif, yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan tentang obyek.

(23)

senang merupakan hal positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang negatif.

3. Komponen Konatif, yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap obyek. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak seseorang terhadap obyek sikap (Shaver, Kelly, G., 1977; Zanden, and James W. Vander, 1977; Mar’at, 1981; Sears, dkk., 1988; Walgito, 1990; Azwar, 2005).

C. Ciri-ciri Sikap

Sherif dan Sherif (dalam Walgito, 1984) mengungkapkan bahwa sikap merupakan suatu pendorong yang menimbulkan tingkah laku tertentu yang memiliki ciri-ciri, yaitu :

1. Sikap bukan merupakan suatu yang dibawa sejak lahir. Sikap terbentuk dalam perkembangan individu. Oleh karena itu, sikap dapat dipelajari dan dapat berubah walau mempunyai kecenderungan agak tetap. Dalam hal ini faktor pengalaman penting dalam pembentukan dan perubahan sikap. 2. Dapat berlangsung lama maupun sebentar. Jika sikap sudah tertanam

menjadi salah satu nilai dalam kehidupan seseorang, maka akan memerlukan waktu yang relatif lama untuk mengalami perubahan.

(24)

4. Dapat meliputi satu obyek dan meliputi sekumpulan obyek (kecenderungan untuk menggeneralisasikan obyek sikap).

5. Mengandung faktor perasaan dan faktor motif. Jadi sikap terhadap obyek tertentu selalu ada perasaan yang menyertai dan mempunyai motivasi untuk bertindak tertentu terhadap obyek yang dihadapi individu.

D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Sikap

Dalam interaksi sosialnya, individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai obyek psikologis yang dihadapinya. Azwar (2005) mengatakan ada enam faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap, yaitu:

1. Pengalaman pribadi

Apa yang kita alami akan membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan obyek psikologis. Pengalaman pribadi tersebut akan menjadi dasar pembentukan sikap apabila mempunyai kesan yang kuat. Oleh karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional.

2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting

(25)

kita, akan banyak mempengaruhi pembentukan sikap kita terhadap sesuatu. Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut. 3. Pengaruh kebudayaan

Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya karena kebudayaan pulalah yang memberi corak pengalaman individu-individu yang menjadi anggota kelompok masyarakat asuhannya. Hanya kepribadian individu yang kuat yang dapat memudarkan dominasi kebudayaan dalam pembentukan sikap individu.

4. Media massa

(26)

memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.

5. Lembaga pendidikan dan lembaga agama

Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.

6. Pengaruh faktor emosional

(27)

E. Definisi dan Batasan Remaja

Remaja atau adolescence berasal dari kata kerja latin adolescere yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Piaget (dalam Hurlock, 1996) mengatakan bahwa istilah adolescence ini mempunyai arti luas, mencakup kematangan mental, emosional dan sosial.

Gunarsa (1986) berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa, yaitu antara 12 tahun sampai 21 tahun. Masa ini lebih menunjuk pada masa peralihan dengan semua perubahan psikis yang dialami seseorang.

Sedangkan Monks (1991) membagi usia remaja menjadi tiga bagian, yaitu masa remaja awal (12 – 15 tahun), masa remaja pertengahan (15 – 18 tahun), dan masa remaja akhir (18 – 21 tahun). Dalam hal ini, penulis lebih mengarahkan kepada Subyek usia remaja akhir.

Jadi, yang dimaksud remaja dalam penelitian ini adalah seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang berusia 18 – 21 tahun.

F. Ciri-ciri Masa Remaja

(28)

mempunyai citra diri dan sikap atau pandangan yang lebih realistis. Mereka mulai menilai dirinya sebagaimana adanya, dan menghargai orang lain seperti keadaan yang sesungguhnya.

Petro Blos (dalam Sarwono, 1989) mengatakan bahwa pada masa remaja akhir, remaja mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain dan memperoleh pengalaman baru. Diungkapkan pula bahwa pada masa ini identitas seksual sudah terbentuk dan tidak berubah lagi.

Sementara itu, Hurlock (1996) mengungkapkan bahwa pada masa remaja, seseorang mulai mencapai kematangan emosi dengan menilai situasi secara kritis terlebih dahulu. Selain itu, dalam hal pemilihan teman, remaja mulai berkeras untuk memilih sendiri teman-temannya tanpa campur tangan orang dewasa.

(29)

Penulis menggunakan kelompok remaja sebagai Subyek dalam penelitian ini karena pada usia ini seseorang memulai kemandirian dan kestabilan emosi yang mempengaruhi bagaimana mereka menyikapi suatu hal sesuai dengan pemikiran mereka sendiri tanpa campur tangan dari pihak lain. Selain itu juga karena masa ini adalah masa mereka mencapai peran jenisnya sebagai laki-laki atau perempuan dan terbentuknya identitas seksual yang menetap.

G. Heteroseksual Remaja

Pada awalnya, remaja mengelakkan bergaul dengan lawan jenis, dan lebih ingin ada bersama dengan kawan sejenisnya. Kebersamaan ini memberikan perasaan kebanggaan, dan kenikmatan tersendiri. Akan tetapi keadaan ini tidak akan terus demikian. Setelah gejolak sekitar haid dan ejakulasi pertama, mereka mulai merasa tertarik kepada lawan jenisnya. Inilah tahap perkembangan heteroseksual (Riberu, 1985).

Ketika mereka secara seksual sudah matang, laki-laki maupun perempuan mulai mengembangkan sikap yang baru pada lawan jenisnya dan mengembangkan minat pada kegiatan-kegiatan yang melibatkan laki-laki dan perempuan. Minat yang baru ini bersifat romantis dan disertai dengan keinginan yang kuat untuk memperoleh dukungan dari lawan jenis (Hurlock, 1996).

(30)

murid terhadap guru, maka ia pun harus memepelajari perannya sebagai anak sebagai jenis kelamin tertentu terhadap jenis kelamin lawannya. Jadi, peran seksual ini tidak hanya ditentukan oleh jenis kelamin yang bersangkutan tetapi juga oleh lingkungan dan faktor-faktor lainnya. Dengan demikian tidak otomatis seorang laki-laki harus bermain mobil-mobilan dan robot-robotan sedangkan anak perempuan bermain boneka dan rumah-rumahan. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak anak laki-laki tertarik pada boneka-boneka dan anak perempuan pada robot-robotan dan akhirnya mereka tetap menjadi orang dewasa pria atau wanita yang normal atau tidak menjadi banci (Sarwono, 1989).

Pada masa remaja, perkembangan kebutuhan seks dan pembentukan peranan jenis berjalan sejajar dan menentukan akan menjadi wanita atau pria bagaimanakah kelak. Pada suatu saat tertentu terlihat bahwa para remaja mengalami keraguan tentang peranan jenisnya masing-masing. Sering timbul keraguan mengenai bakat kelaki-lakian atau kewaniaannya. Apakah mereka tertarik pada jenis laki-laki atau wanita. Tambahan pula pengaguman pada terhadap seorang yang sama jenisnya, akhirnya menyebabkan timbulnya ikatan dan terbentuknya tingkah laku yang terwujud dalam perilaku seksual yang menyimpang: wadam, bencong, homoseks dan lesbian (Gunarsa dan Gunarsa, 1984).

(31)

agak besar ia masih mengenakan baju perempuan hingga saat SD seakan-akan terpaksa memakai celana dan kemeja laki-laki. Ternyata pada umur 12 tahun, kukunya dipelihara dan diberi pewarna kuku. Demikian pula matanya diberi make up khusus di mana akhirnya ia menjadi “korban” homoseksualitas.

Dari contoh di atas terlihat pada mulanya hanya keinginan untuk memakai pakaian dari lawan jenis, kemudian terjadi peralihan dari tingkahlaku ini ke hal-hal yang seksual. Bahkan selanjutnya terjadi peralihan peranan jenis yang berganti-ganti sebagai akibat lingkungan termasuk lingkungan keluarganya. Contoh penyimpangan seperti di atas ternyata banyak ditemukan. Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa pengalaman seseorang dapat menjadi faktor penyebab timbulnya penyimpangan perkembangan heteroseksual (Gunarsa dan Gunarsa, 1984).

H. Pengertian Waria

Waria adalah seorang laki-laki namun cenderung bertingkah laku sebagai wanita (Koeswinarno, 1996; dan P. Esty dan Sugoto, 1998). Misalnya dalam penampilannya, ia mengenakan busana dan aksesoris seperti halnya wanita. Begitu pula dalam perilaku sehari-hari, ia juga merasa dirinya sebagai wanita yang memilki sifat lemah lembut.

(32)

1. Interseksualita dengan organ seksual laki-laki tetapi juga mempunyai hormon perempuan, dan;

2. Transseksualisme sebagai seseorang yang mempunyai fisik laki-laki tetapi psikis wanita.

Istilah waria pada dasarnya memang ditujukan pada penderita transseksual atau seseorang yang memiliki fisik berbeda dengan jiwanya, yaitu secara fisik laki-laki, namun jiwanya perempuan. Oleh karena itu, mereka mempunyai keinginan yang kuat untuk mengubah alat-alat seksnya dengan jalan pembedahan dan penyuntikan hormon agar tercapai bentuk anatomis serta fisiologisnya sesuai dengan seks yang diinginkannya (Yanti dalam P. Esty dan Sugoto, 1998).

Kartono (1989) juga mengatakan bahwa waria termasuk dalam kelainan seksual yang disebut dengan transseksual. Ia menyebutkan bahwa seorang waria mempunyai keinginan untuk menolak sebagai laki-laki dan merasa memiliki seksualitas yang berlawanan dengan struktur fisiknya. Implikasi lebih lanjut adalah orientasi seksual mereka bukan heteroseksual melainkan homoseksual.

(33)

I. Faktor-faktor Penyebab

a. Lingkungan

Freud mengatakan bahwa sebagian besar penyebab menjadi waria adalah pengaruh dari luar atau sesudah dilahirkan (Yanti dalam P. Esty dan Sugoto, 1998). Dalam beberapa teori psikologi disebutkan bahwa kecenderungan orang menjadi waria salah satunya disebabkan oleh heterophobia, yaitu adanya ketakutan pada hubungan seks dari jenis

kelamin yang lain karena pengalaman yang salah (Davidson dan Neale, 1978 dalam Koeswinarno, 1996).

b. Proses Pembelajaran

(34)

c. Cara Mendidik yang Salah

Stoller mengatakan bahwa waria dapat terjadi karena peran ibu terlalu dominan dalam diri anak laki-laki (Yanti dalam P. Esty dan Sugoto, 1998). Kelahiran anak yang “cantik” ini membuat ibu tergugah untuk membentuk ikatan emosional yang erat dengan anaknya. Selain itu, adanya keinginan-keinginan terpendam dari orang tua untuk memiliki anak dari jenis kelamin yang berlawanan mengakibatkan cara mendidik anak yang keliru, dan ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terciptanya pribadi waria (Koeswinarno, 1996).

d. Biologis

Tim peneliti JN Zhou, MA Hofman, LJ Gooren, DF Swaab dari Belanda telah menemukan bukti awal bahwa waria mempunyai struktur otak yang berbeda dengan laki-laki pada umumnya. Paling tidak dalam satu area kunci yang kira-kira 1 – 8 inchi lebarnya. Mereka meneliti satu bagian dari hypothalamus yang disebut Central Division of The Bed Nucleus of The Strim Terminalis (BSTc). Area ini yang diperkirakan dapat

(35)

hal ini bukan satu-satunya alasan (Yanti dalam Hariyanti, 2004; dan Kompas, 9 Agustus 2004).

Hingga saat ini penyebab seseorang menjadi waria masih terus dipelajari. Teori yang ada dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (1) teori bawaan; (2) hasil didikan lingkungan; (3) konsumsi beberapa zat kimia, dan terdapat bukti tentang sejumlah polutan yang memberikan efek sama. Teori yang semakin sering dibicarakan dan diyakini kebenarannya saat ini adalah teori pertama, yaitu sehubungan dengan kondisi hormonal dan otak janin dalam kandungan (Faiz, 2002; dan Kompas, 9 Agustus 2004).

J. Perbedaan Waria dan Homoseksualitas

Waria memang identik dengan homoseksual. Keduanya memang dapat digolongkan sebagai penyimpangan seksual yang menyukai seseorang dengan jenis kelamin yang sama. Namun sebenarnya waria dan homoseksual merupakan dua fenomena yang terpisah.

(36)

Freud menjelaskan bahwa homoseksual adalah individu yang mengalami ketertarikan hanya dengan mereka yang memiliki jenis kelamin yang sama dan timbul hasrat seksual. Sedangkan orang dengan jenis kelamin yang berlawanan tidak lagi memberikan daya tarik seksual, bahkan dalam beberapa kasus yang ekstrim dapat menimbulkan kebencian yang mendalam (Freud, 2002).

Kaum waria merupakan laki-laki yang berpenampilan seperti wanita. Mereka merasa terjebak dalam tubuh yang salah. Mereka memperoleh kesenangan dan kenikmatan dengan memainkan peran sosial lawan jenisnya, yaitu perempuan sehingga secara fisik mereka berusaha mengadakan perubahan sesuai dengan karakteristik khas seorang perempuan seperti bentuk tubuh yang sintal dan suara yang lembut (Supratiknya, 1995).

Batasan tegas antara waria dengan homoseksual biasanya diungkapkan lewat pakaian. Seorang homoseksual tidak perlu menyatakan dirinya dengan berpakaian wanita karena mereka tidak menganggap dirinya sebagai wanita. Sedangkan waria memiliki dorongan psikis menjadi seorang wanita sehingga mereka terdorong untuk berpenampilan layaknya seorang wanita (Koeswinarno, 1996; dan Faiz, 2002).

Atmojo (dalam P. Esty dan Sugoto, 1998) mengatakan bahwa ada perbedaan yang hakiki antara homoseksual dengan waria, yaitu :

a. Homoseksual tidak terganggu dengan keadaan fisiknya;

(37)

Jadi waria berbeda dengan homoseksual, walaupun pada batas-batas tertentu keduanya masih dapat digolongkan sebagai penyimpangan seksual. Terdapat perbedaan yang mendasar antara waria dan homoseksual, yaitu homoseksual tidak terganggu dengan keadaan fisiknya, sedangkan waria merasa bahwa alat kelamin dan ciri-ciri fisiknya tidak pada tempatnya sehingga mereka mempunyai keinginan untuk mengubah ciri-ciri fisiknya sesuai dengan jiwanya. Selain itu, seorang homoseksual tidak perlu menyatakan dirinya dengan berpakaian wanita karena mereka tidak menganggap dirinya wanita, sedangkan waria memiliki dorongan psikis bahwa dirinya adalah seorang wanita sehingga mereka terdorong untuk berpenampilan layaknya seorang wanita. Seorang laki-laki yang berpenampilan kewanitaan tidak bisa disebut sebagai waria jika di dalam dirinya tidak ada dorongan untuk menjadi wanita.

K. Dinamika Sikap Remaja terhadap Kaum Waria

(38)

Lalu bagaimana dengan sikap remaja? Seperti yang telah diuraikan di atas, dalam menentukan sikap, remaja tidak bergantung pada orang lain yang lebih dewasa. Hal ini dikarenakan pada masa remaja seseorang sudah mencapai kemandirian dan kestabilan emosi. Perasaan senang dan tidak senang terhadap suatu obyek didasarkan pada hasil pemikirannya sendiri dengan realistis dan kritis. Remaja juga dapat menghargai orang lain sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya.

Selain itu, pada masa ini remaja mempunyai kecenderungan untuk mewujudkan dirinya sendiri dan berdiri sendiri dengan membebaskan dirinya dari lindungan orang tuanya. Hal ini tidak hanya berarti bahwa ia mencoba untuk membebaskan dirinya dari pengaruh kekuasaan orang tua, baik dalam segi afektif maupun dalam segi ekonomi seperti halnya remaja yang bekerja, namun hal ini juga berarti bahwa remaja secara mental tidak suka lagi menurut pada orang tuanya. Kewibawaan wakil-wakil generasi tua seperti orang tua, guru, pemimpin-pemimpin agama dan sebagainya tidak lagi begitu saja diterima. Remaja akan mengkritisi norma-norma dan nilai-nilai yang berada dalam masyarakat dan tidak begitu saja menerimanya (Monks, 1991).

(39)

Jadi, remaja sebagai bagian dari masyarakat bisa bersikap menerima atau menolak terhadap kaum waria. Oleh karena itu, remaja bisa bersikap positif atau negatif terhadap kaum waria. Sikap positif ditunjukkan remaja dengan menerima kaum waria dan sikap negatif ditunjukkan remaja dengan menolak kaum waria. Sikap remaja terhadap kaum waria juga bisa berubah apabila ketiga komponen sikap, yaitu komponen kognitif, afektif, dan konatif tidak selaras atau tidak konsisten. Ketiga komponen tersebut menjadi tidak selaras atau tidak konsisten karena berbagai cara seperti yang telah dijabarkan di atas.

Penelitian yang dilakukan oleh Nastiti (dalam P. Esty dan Sugoto, 1998) dan Elisabeth (1996) yang telah dijabarkan di latar belakang di atas, menyatakan bahwa banyak orang yang memandang bahwa waria menentang kodratnya, dan tingkah laku seksualnya tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Akibatnya, masyarakat tidak menyenangi mereka, mendiskriminasikan mereka dan sering tidak menerima serta menolak mereka, bahkan pihak keluarganya sendiri juga menolak keberadaan mereka.

(40)
(41)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif-deskriptif, yaitu suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang diamati Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 1989). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta atau keadaan tertentu, yaitu sikap remaja terhadap kaum waria. Sedangkan Travers dan Sevilla (dalam Halida, 2004), mengatakan bahwa data yang diperoleh bertujuan untuk menggambarkan suatu keadaan yang sementara berlangsung pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu.

B. Definisi Operasional

1. Sikap

(42)

2. Remaja

Remaja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang berusia 18 – 21 tahun.

3. Waria

Waria adalah seseorang yang mempunyai fisik sempurna sebagai laki-laki, namun bersifat, bertingkah laku, serta berperasaan seperti wanita sehingga cenderung menampilkan diri sebagai wanita dan menolak sebagai laki-laki, bahkan mempunyai keinginan untuk mengubah alat-alat seksnya menjadi wanita dengan cara pembedahan dan penyuntikan hormon.

C. Subyek Penelitian

Subyek akan diambil dengan teknik pemilihan yang disesuaikan dengan tujuan penelitian. Jumlah subyek dalam penelitian ini adalah empat orang remaja yang bertempat tinggal di Yogyakarta dengan kriteria sebagai berikut :

1. Pria atau wanita yang sedang menempuh pendidikan di SLTA atau pun yang sudah di perguruan tinggi.

2. Berusia 18 – 21 tahun dengan rincian satu orang berusia 18 tahun, satu orang berusia 19 tahun, satu orang berusia 20 tahun, dan satu orang berusia 21 tahun.

(43)

4. Jarak tempat tinggal subyek dengan lokasi kaum waria biasa berkumpul. Keempat subyek yang diambil bertempat tinggal di Yoyakarta, mulai dari yang bertempat tinggal dekat dengan lokasi kaum waria berkumpul hingga jauh dari lokasi kaum waria biasa berkumpul, yaitu kurang 1 Km, antara 1 Km – 5 Km, antara 5 Km – 10 Km, dan lebih dari 10 Km. Sejauh penelusuran peneliti, di Yogyakarta ada beberapa tempat yang sering digunakan untuk mangkal para waria, yaitu di Parangkusumo, di Jalan Lingkar Selatan, tepatnya di utara pabrik gula Madukismo yang dikenal dengan sebutan “Krasil”, di sebelah timur perempatan terminal Giwangan, di taman kota (depan Bank Indonesia), di sekitar stasiun Tugu dan stasiun Lempuyangan termasuk di perempatan Pengok, perempatan Galeria, dan Jalan Kaliurang mulai perempatan mirota kampus sampai perempatan Barek.

(44)

populasi remaja yang ada sehingga subyek bisa representatif dan sesuai dengan tujuan penelitian.

D. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik wawancara dalam memperoleh datanya. Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Banister dkk, dalam Poerwandari 2005). Wawancara ini dilakukan untuk memeperoleh pengetahuan tentang makna-makna subyektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, yaitu sikap remaja terhadap kaum waria.

Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dengan pedoman umum. Dalam proses wawancara ini, peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek yang relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan (Poerwandari, 2005).

(45)

afektif dalam diri subyek, misalnya tentang respon-respon emosional subyek terhadap pengalaman dan pemikiran-pemikiran mereka atas sesuatu (Poerwandari, 2005). Untuk komponen konatif, pertanyaan dibuat untuk mengetahui kecenderungan perilaku subyek terhadap obyek yang diteliti yaitu kaum waria.

Tabel 1.

Blue Print Wawancara

Komponen Sikap Topik Distribusi Pertanyaan

Komponen Kognitif ƒ Pengertian waria

ƒ Pengetahuan tentang kegiatan kaum waria ƒ Pendapat tentang kaum

waria

1, 5, 7 2, 3, 4

8, 11, 14, 16, 18,

Komponen Afektif ƒ Perasaan terhadap kaum waria

6, 10, 13, 17, 19, 21, 28 Komponen Konatif ƒ Terhadap keberadaan

kaum waria (menerima / tidak)

9, 12, 15, 20, 22, 23, 24, 25, 26, 27

(46)

E. Analisis Data Kualitatif

Dalam setiap penelitian perlu disertakan standar yang dipakai untuk mengevaluasi penelitian tersebut. Begitu pula dengan jenis penelitian kualitatif, untuk dapat menjadi suatu penelitian yang baik harus mampu memenuhi standar-standar tertentu. Standar-standar-standar tersebut adalah sebagai berikut:

a. Kredibilitas

Kredibilitas dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian kualitatif (Poerwandari, 2005). Kredibilitas studi kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial, atau pola interaksi yang kompleks.

(47)

argumentatif dapat tercapai bila presentasi temuan dan kesimpulan dapat

diikuti dengan baik rasionalnya, serta dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data mentah. Sementara itu, validitas ekologis menunjuk pada sejauh mana studi dilakukan pada kondisi alamiah dari partisipan yang diteliti, sehingga justru kondisi “apa adanya” dan kehidupan sehari-hari menjadi konteks penting penelitian (Sarantakos, dalam Poerwandari, 2005).

Dalam penelitian ini, langkah-langkah peneliti dalam melakukan analisis adalah sebagai berikut:

1. Membuat verbatim berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan bantuan tape recorder.

2. Membuat kode-kode atas tema-tema utama yang muncul untuk diberikan pada proses kategorisasi.

3. Melakukan kategorisasi terhadap tema-tema utama yang muncul dari verbatim wawancara dengan kode-kode yang telah dibuat sebelumnya; 4. Melakukan cross check dengan subyek untuk mendapatkan validitas

atas data yang diperoleh peneliti.

(48)

Tabel 2. Kode Analisis Data

Kode

Struktur Sikap

a. Komponen kognitif b. Komponen afektif c. Komponen konatif Pembentukan Sikap

a. Pengalaman pribadi b. Pengaruh orang lain c. Pengaruh kebudayaan d. Media massa

e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama

f. Pengaruh faktor emosional Waria

a. Pengertian

b. Kegiatan kaum waria

KK KA KO

Pr Po Pk Pm

Pl Pe

Pt Kg

b. Dependabilitas

Dependabilitas menggantikan istilah reliabilitas. Melalui konstruk dependabilitas, peneliti memperhitungkan perubahan-perubahan yang mungkin terjadi menyangkut fenomena yang diteliti, juga perubahan dalam desain sebagai hasil dari pemahaman yang lebih mendalam tentang setting yang diteliti. Yang dapat dilakukan adalah mengkonsentrasikan diri

(49)

lengkap dan diorganisasikan dengan baik, peneliti memungkinkan pihak lain untuk mempelajari data, mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis bila perlu, bahkan melakukan analisis kembali (Marshall dan Rossman, dalam Poerwandari, 2005).

Langkah-langkah yang dilakukan peneliti untuk mencapai dependabilitas penelitian adalah sebagai berikut :

1. Pemberian uraian deskriptif yang konkret, catatan ucapan, dan percakapan verbatim, kutipan yang cermat sehingga tidak memberi kemungkinan tafsiran yang beragam.

2. Pencatatan info dengan alat mekanis seperti alat perekam sehingga respon dari subyek dapat ditangkap dengan cermat dan jelas.

3. Port folio, yaitu mencatat hal-hal penting yang muncul saat wawancara dilakukan.

4. Penyatuan dependabilitas dan konfirmabilitas.

(50)

BAB IV

PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN

A. Pelaksanaan Penelitian

1. Penentuan Subyek Penelitian

(51)

Hasil penelitian ini bertujuan bukan untuk generalisasi, tetapi untuk menggambarkan atau mendeskripsikan tentang bagaimana sikap subyek terhadap kaum waria.

2. Waktu dan Tempat Penelitian

Proses pengambilan data wawancara dilakukan sebanyak empat kali sesuai dengan kesepakatan antara peneliti dan subyek penelitian. Berikut ini waktu dan pelaksanaan penelitian:

Subyek 1

Nama : TYS Jenis Kelamin : Perempuan Umur : 21 tahun

Sekolah : Universitas Gadjah Mada

Jarak : Sekitar 400 meter dari perempatan Barek Jalan Kaliurang Wawancara : Hari Senin, 11 September 2006 di rumah subyek.

Subyek 2

Nama : RBY Jenis Kelamin : Perempuan Umur : 20 tahun

Sekolah : Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Jarak : Sekitar 1,5 Km meter dari Krasil

(52)

Subyek 3

Nama : WCK Jenis Kelamin : Laki-laki Umur : 19 tahun

Sekolah : Universitas Pembangunan Nasional

Jarak : Sekitar 14 Km meter dari perempatan Duta Wacana Wawancara : Hari Kamis, 14 September 2006 di rumah subyek.

Subyek 4

Nama : CAP Jenis Kelamin : Laki-laki Umur : 18 tahun

Sekolah : SMA Pangudi Luhur Yogyakarta

Jarak : Sekitar 6 Km meter dari stasiun Lempuyangan Wawancara : Hari Jumat, 22 September 2006 di rumah peneliti.

Tabel 3. Demografi Subyek

Subyek Jenis

kelamin

Umur Sekolah Jarak

TYS Perempuan 21 UGM 400 M

RBY Perempuan 20 UIN 1,5 Km

WCK Laki-laki 19 UPN 13 Km

(53)

B. Laporan Hasil Penelitian

a. Deskripsi Tiap-tiap Subyek

1. Subyek 1

Subyek 1 adalah TYS. Ia berumur 21 tahun dan sedang menempuh pendidikan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Jarak tempat tinggal responden dengan tempat waria biasa berkumpul sangat dekat, yaitu sekitar 400 meter. Tempat kaum waria biasa berkumpul yang dekat dengan tempat tinggal subyek adalah di sekitar jalan Kaliurang, mulai perempatan Mirota Kampus sampai perempatan Barek. Kaum waria di daerah itu biasanya mengamen secara bergerombol di warung-warung makan lesehan sepanjang jalan tersebut. Di tempat itu pula, di salah satu warung subyek pernah bertemu dengan waria yang sedang mengamen.

(54)

pengaruh Agama yang pada dasarnya belum bisa menerima keberadaan waria. Subyek juga menyebutkan bahwa sebenarnya lembaga pendidikan dan kemasyarakatan atau sekolah sudah mulai terbuka dan bisa memahami kaum waria (lihat lampiran R1; 238 – 249). Begitu juga dengan teman-teman sebayanya, walaupun pendapat teman sebaya subyek ada yang bisa mengerti, menghargai dan menerima kaum waria dan ada yang tidak peduli, namun kebanyakan cenderung menerima kaum waria walaupun terkesan tidak peduli dalam arti jadi waria itu urusan mereka (lihat lampiran R1; 325 – 332). Secara pribadi, subyek menganggap bahwa waria itu adalah hal tidak normal (lihat lampiran R1; 541 – 551). Walaupun begitu, subyek menganggap hal itu wajar terjadi karena itu adalah sifat bawaan dan sudah takdir, malah menurutnya akan menambah variasi (lihat lampiran R1; 359 – 367).

(55)

lampiran R1; 103 – 116, 207 – 224, 476 – 484). Subyek juga merasa kasihan dan prihatin melihat kaum waria diperlakukan semena-mena saat dirazia (lihat lampiran R1; 291 – 297). Begitu pula subyek akan merasa kasihan dan sedih apabila ada saudara atau temannya yang menjadi waria, namun tidak merasa malu karena itu sudah takdir (lihat lampiran R1; 406 – 425, 441 – 449). Selain itu subyek juga merasa salut dan bangga terhadap kaum waria yang berprestasi karena mereka tidak minder bahkan justru mampu memanfaatkan potensi yang ada walaupun mereka sering mendapatkan penolakan (lihat lampiran R1; 68 – 78). Subyek pernah juga merasa takut akan tanggapan masyarakat jika bergaul dengan kaum waria, tetapi rasa takut itu bisa dihilangkan dan tidak dipermasalahkan karena kegiatan tersebut positif (lihat lampiran R1; 621 – 629).

(56)

menjadi rekan kerja kaum waria (lihat lampiran R1; 508 – 520, 572 – 582).

2. Subyek 2

Subyek 2 adalah RBY. Ia berumur 20 tahun dan sedang menempuh pendidikan di Universitas Islam Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jarak tempat tinggal subyek sekitar 1,5 Km dari tempat kaum waria biasa berkumpul, yaitu krasil. Krasil terletak di pinggir Ring Road selatan, tepatnya di sebelah utara Pabrik Gula Madukismo.

Di situ, kaum waria biasa berkumpul untuk menjajakan diri.

(57)

menjijikan, namun kebanyakan teman-teman sebaya subyek tidak setuju dan menganggap waria itu menjijikan (lihat lampiran R2; 194 – 196, 201 – 203, dan 223 – 225). Secara pribadi, subyek menganggap waria itu tidak normal, namun tidak mempermasalahkannya dan tetap menganggapnya seperti manusia biasa karena sama-sama ciptaan Tuhan (lihat lampiran R2; 236 – 242, 246, 263 – 268, dan 281 – 285).

(58)

Pada komponen konatif, warga sekitar tempat tinggal subyek bisa menerima kaum waria bahkan justru diajak berkegiatan bersama seperti voli dan sepak bola bersama (lihat lampiran R2; 102 – 104). Begitu pula dengan subyek, secara pribadi subyek menerima keberadaan kaum waria dan mau berdiskusi, bergaul, bekerja dan melakukan kegiatan bersama kaum waria, namun subyek tidak mau melakukannya dengan waria yang menjadi PSK (lihat lampiran R2; 292, 359 – 362, 373 – 380, 389 – 391, 398, dan 400 – 405). Sepengetahuan subyek, lembaga pendidikan dan kemasyarakatan atau sekolah belum bisa menerima kaum waria sehingga bila ada waria, maka ia akan dikeluarkan supaya waria tersebut tidak diejek dan dikucilkan serta supaya ada kesetaraan (lihat lampiran R2; 155 – 158, 162 – 167). Teman-teman sebaya subyek ada yang bisa menerima atau setuju dengan keberadaan kaum waria sehingga mau bergaul dengan mereka, tetapi ada juga yang tidak setuju dan menjauhi kaum waria (lihat lampiran R2; 212 – 216). Namun, kebanyakan teman-teman sebaya subyek tidak setuju atau tidak menerima kaum waria (lihat lampiran R2; 223 – 225).

3. Subyek 3

(59)

berkumpul sekitar 13 Km. Tempat kaum waria biasa berkumpul tersebut adalah daerah Stasiun Lempuyangan sampai sekitar perempatan Duta Wacana. Kaum waria di tempat tersebut ada yang menjajakkan diri dan juga mengamen di perempatan Duta Wacana. Di tempat itu pula, tepatnya di perempatan Duta Wacana subyek pernah digoda oleh waria.

Dari hasil wawancara dengan subyek diketahui bahwa pada komponen kognitif, subyek mengetahui bahwa waria adalah setengah laki-laki setengah wanita tetapi aslinya adalah laki-laki (lihat lampiran R3; 3 – 5). Subyek juga mengetahui bahwa kegiatan waria yang ecek-ecek atau yang kelas bawah hanya mangkal cari om-om, tetapi yang kelas atas jadi desainer dan artis (lihat lampiran R3; 9 – 15). Sepengetahuan subyek, warga sekitar tempat tinggal subyek, teman-teman sebaya subyek, dan lembaga pendidikan dan kemasyarakatan atau sekolah berpandangan biasa saja terhadap kaum waria karena sama-sama manusia (lihat lampiran R3; 74 – 78, 126 – 130, dan 183 - 190). Secara pribadi subyek menganggap bahwa waria itu tidak normal (lihat lampiran R3; 250 – 259).

(60)

Subyek juga merasa kasihan terhadap kaum waria yang baik-baik diperlakukan secara diskriminatif, tetapi tidak merasa kasihan jika waria yang diperlakukan secara diskriminatif itu adalah waria yang suka bawa tamu ke kos atau yang neko-neko (lihat lampiran R3; 350 – 358, 365 – 368). Subyek merasa bangga dan minder terhadap kaum waria yang berprestasi karena waria saja bisa berprestasi kenapa kita yang normal tidak (lihat lampiran R3; 39 – 44). Saat didatangi oleh waria seperti pengalamannya di perempatan Duta Wacana, subyek merasa takut dan panik karena itu pasti waria yang aneh-aneh (lihat lampiran R3; 62 – 63, 438 – 445). Namun berbeda jika ada saudara atau teman subyek yang ternyata adalah seorang waria, subyek justru merasa sedih dan kasihan jika ternyata ada saudara atau temannya yang menjadi waria (lihat lampiran R3; 321 – 324). Akan tetapai, subyek tidak merasa malu jika ternyata ada saudara atau temannya yang menjadi waria (lihat lampiran R3; 279 – 292). Subyek juga pernah merasa takut dicap dan dibicarakan oleh masyarakat jika bergaul dengan kaum waria, tetapi itu tergantung bagaimana cara mengantisipasinya dan subyek akan tetap berteman dengan kaum waria (lihat lampiran R3; 310 – 312).

(61)

89, 139 – 140). Teman-teman sebaya subyek pun memperlakukan kaum waria seperti manusia biasa tergantung dari perilaku waria itu sendiri, kalau waria yang suka mangkal ya akan dijauhi (lihat lampiran R3; 208 – 214). Begitu pula dengan subyek, secara pribadi subyek bisa menerima kaum waria, bergaul, melakukan kegiatan bersama, dan bekerja dengan mereka kecuali kaum waria yang suka mangkal dan mencari om-om (lihat lampiran R3; 239 – 245, 372 – 284, 390 – 393, 397 – 400, 410 – 412, dan 419 - 423).

4. Subyek 4

Subyek 4 adalah CAP. Ia berumur 18 tahun dan masih menempuh pendidikan di SMA Pangudi Luhur Yogyakarta. Jarak tempat tinggal subyek dengan tempat kaum waria biasa berkumpul sekitar 6 Km. Tempat kaum waria biasa berkumpul tersebut adalah daerah Stasiun Lempuyangan sampai perempatan Duta Wacana. Kaum waria di daerah tersebut ada yang menjajakkan diri dan juga ada yang mengamen di perempatan Duta Wacana. Subyek mempunyai pengalaman dengan kaum waria, yaitu pernah dikejar waria di Taman Kota.

(62)

menjadi PSK (lihat lampiran R4; 9 – 11). Warga sekitar tempat tinggal subyek sama dengan teman-teman sebaya subyek menganggap bahwa kaum waria itu adalah hal aneh dan menjijikkan (lihat lampiran R4; 68 – 73, 134 - 138). Begitu pula secara pribadi subyek menganggap bahwa waria itu tidak normal sehingga menjijikkan dan memalukan (lihat lampiran R4; 170 – 173, 148 – 150).

(63)

subyek merasa bangga karena kaum waria bisa mendapatkan uang yang halal (lihat lampiran R4; 32 – 39).

Pada komponen konatif, warga sekitar tempat tinggal subyek tidak menerima kaum waria dan akan menjauhi mereka (lihat lampiran R4; 78 – 79). Begitu pula dengan teman-teman sebaya subyek akan menjauhi kaum waria karena takut dan akan menggodanya (lihat lampiran R4; 141 – 146). Lembaga pendidikan dan kemasyarakatan atau sekolah ada yang bisa menerima dan ada yang tidak bisa menerima kaum waria tergantung perilaku waria itu (lihat lampiran R4; 94 – 102). Begitu pula dengan subyek, secara pribadi subyek bisa menerima kaum waria tergantung dari perilaku waria itu sendiri (lihat lampiran R4; 225 – 226). Subyek juga kurang bisa bergaul dengan kaum waria karena takut, tetapi bisa bergaul dengan waria yang baik-baik (lihat lampiran R4; 231 – 233, 235 – 238). Subyek juga mau berdiskusi, bekerja, dan melakukan kegiatan bersama dengan kaum waria (lihat lampiran R4; 225 – 226, 242 – 245, 256 – 257, 268 – 269, dan 277 – 278).

b. Kategorisasi Subyek

(64)

Coding R1 R2 R3 R4

Komponen Kognitif • Pengertian waria

• Kegiatan kaum

waria

• Pendapat warga

sekitar terhadap kaum waria

Sifat bawaan seseorang yang tidak wajar, misalnya laki-laki tapi punya sifat bawaan wanita (S1; 3 – 13). Mengamen dan jadi PSK (S1; 18 – 23).

Warga sekitar menganggap bahwa waria itu tidak wajar sehingga kaum waria belum bisa diterima dan masih mendapatkan cibiran-cibiran (S1; 125 – 131).

Waria adalah pria yang suka memakai pakaian wanita dan bertingkah laku seperti wanita (S2; 3 – 6).

Waria bekerja di salon, dan menjadi PSK (S2; 9 – 15).

Warga sekitar menganggap kaum waria tidak normal (S2; 127 – 136).

Pandangan masyarakat sekitar tempat tinggal terhadap kaum waria sama saja dengan masyarakat lain, walaupun tetap

berjaga-jaga supaya tidak timbul gosip (S2; 86 – 90, 93 - 95).

Waria adalah setengah laki-laki setengah wanita, tapi aslinya

laki-laki (S3; 3 – 5).

Kegiatan waria yang ecek-ecek mangkal cari om-om, tapi yang kelas atas jadi artis, desainer (S3; 9 – 15).

Pendapat warga sekitar biasa-biasa saja kan sama-sama manusia, mereka tidak berhak mengatur hidup seseorang (S3; 74 – 78).

Transseksual, wanita jadi-jadian (S4; 3 – 6).

Kegiatan kaum waria di salon dan jadi PSK (S4; 9 – 11).

(65)

• Pendapat lembaga pendidikan dan kemasyarakatan atau sekolah terhadap kaum waria

• Pendapat teman sebaya terhadap kaum waria

• Pendapat pribadi terhadap kaum waria

Sudah mulai terbuka dan memahami waria (S1; 238 – 249).

Pendapat teman-teman sebaya berbeda-beda, ada yang bisa menerima,

mengerti, dan menghargai kaum waria,

tapi ada yang masih tidak peduli dan mencibir (S1; 301 – 312).

Kebanyakan teman sebaya bisa menerima walaupun tidak peduli dengan kaum waria (S1; 325 – 332).

Kaum waria adalah hal yang tidak normal (S1 541 – 551).

Tetapi itu wajar terjadi karena itu adalah sifat bawaan dan sudah takdir, malah banyak variasi (S1; 359 – 367).

Lembaga pendidikan hanya mengenal pria dan wanita dengan segala perannya masing-masing (S2; 147 – 154).

Ada yang setuju dan

mau berteman dengannya, tetapi ada

juga yang tidak setuju dan menganggap waria itu menjijikan (S2; 194 – 196, 201 - 203 )

Kebanyakan tidak setuju (S2; 223 – 225).

Tidak

mempermasalahkan waria atau tidak, tapi berharap bisa berubah sedikit demi sedikit (S2; 236 – 242).

Kaum waria dipandang seperti manusia biasa (S2; 246).

Biasa saja, seperti mahasiswa pada umumnya, seperti yang

terjadi di UPN dan perguruan tinggi lainnnya (S3; 126 – 130)

Pendapat teman sebaya biasa saja dalam arti seperti manusia biasa terhadap kaum waria (S3; 183 – 190).

Waria memang tidak normal (S3; 250 – 259)

Biasa saja seperti siswa lain (S4; 94 – 95).

Waria dianggap aneh dan menjijikkan (S4; 134 – 138).

(66)

Komponen Afektif

• Perasaan terhadap kaum waria

Senang dan bangga terhadap waria yang berprestasi, karena mereka tidak minder dan mampu memanfaatkan potensi yang mereka miliki (S1; 68 – 78). Pernah diameni waria, dan saat diameni perasaan takut muncul karena dalam pikiran muncul jangan-jangan kalau tidak dikasih uang nanti sifat laki-lakinya muncul (S1; 86 – 92, 96 - 101).

Muncul juga perasaan kasihan karena waria dilahirkan seperti itu (tidak normal) dan beberapa kalangan tidak bisa menerimanya

sehingga mereka harus ngamen dan jadi PSK

Waria memang tidak normal dan beda dengan kita tapi kan sama-sama ciptaan Tuhan (S2; 263 – 268, 281 – 285).

Bangga kepada waria yang berprestasi, karena

walaupun ada kelemahan tetapi dapat

menunjukkan

kelebihannya (S2; 49 – 52).

Tidak merasa takut saat potong di salon waria, karena waria juga manusia (S2; 78 – 79).

Perasaan terhadap kaum waria yang berprestasi bangga dan minder, waria aja bisa kenapa kita tidak (S3; 39 – 44).

Pernah digoda dan dicolak-coleh oleh waria, saat itu takut dan panik saat (S3; 56 – 59, 62 - 63).

Bangga terhadap waria berprestasi karena bisa mendapatkan uang yang halal (S4; 32 – 39).

(67)

untuk mempertahankan eksistensinya (S1; 103 – 116).

Merasa kasihan melihat warga sekitar yang mencibir, mengejek dan sinis terhadap waria karena itu tidak adil, seakan-akan yang salah adalah warianya, padahal itu sudah takdir,

jika ditawari pun kita tidak mau jadi waria. Merasa salut juga karena kaum waria tetap mau

bekerja dan bersosialisasi dengan

warga walaupun tidak sepenuhnya diterima (S1; 207 – 224).

Merasa prihatin melihat waria diseret-seret saat razia (S1; 291 – 297).

Perasaan terhadap keberadaan waria biasa saja karena ada atau tidak ada waria tidak

Biasa saja melihat masyarakat bisa menerima kaum waria

(S2; 117 – 125).

Kasihan melihat waria diperlakukan seperti hewan saat razia (S2; 188 – 189).

Perasaan terhadap keberadaan kaum waria biasa saja dan dianggap seperti teman biasa (S2;

Senang melihat perlakuan warga sekitar

yang bisa menerima dan biasa-biasa saja terhadap kaum waria, karena tidak dikucilkan di masyarakat atau dimanusiakan (S3; 102 –

104, 106 - 113).

Kasihan melihat waria diperlakukan semena-mena saat dirazia (S3; 177 – 179).

Kasihan terhadap kaum waria karena mereka tidak seratus persen wanita dan tidak seratus

Kasihan melihat kaum waria dijauhi oleh masyarakat karena tentu waria itu akan merasa tertekan (S4; 83 – 89).

Kasihan melihat waria yang diperlakukan semena-mena saat dirazia (S4; 125 – 130).

(68)

pengaruh (S1; 387 – 391).

Kasihan dan sedih jika ada teman atau saudara yang ternyata waria (S1; 406 – 425).

Tidak malu bila ada teman atau saudara yang jadi waria karena itu sudah takdir, kalau malu malah kasihan dia jadi tidak punya teman dan semangat hidup (S1; 441 – 449).

Merasa kasihan dan prihatin terhadap kaum waria yang sering dijauhi dan diperlakukan diskriminatif (S1; 476 – 484).

Awalnya ada rasa takut

akan tanggapan 250 – 255).

Sedikit malu jika ada saudara atau teman yang menjadi waria (S2; 302 – 305).

Malu dengan tetangga karena itu aib keluarga,

inginnya bisa menghindari

pembicaraan yang tidak enak (S2; 309 – 314).

Kasihan terhadap waria yang sering dijauhi dan diperlakukan

diskriminatif oleh masyarakat (S2; 332 – 337).

Ada sedikit perasaan takut dicap atau

persen laki-laki serta sebagian orang menjauhi dan merasa jijik (S3; 230 – 237).

Sedih dan kasihan jika ada saudara atau teman yang menjadi waria (S3; 321 – 324).

Tidak merasa malu jika ada teman atau saudara yang menjadi waria karena pernah juga mempunyai teman seorang waria (S3; 279 - 282).

Perasaan terhadap waria yang suka bawa tamu ke kos (neko-neko) jika didiskriminasi ya biasa saja itu sudah pantas didapatkannya tapi kasihan kalu waria baik-baik didiskriminasi (S3; 350 – 358, 365 – 368). Pernah merasa takut dibicarakan dan dicap

takdir dan mungkin saja mereka jadi waria karena terpaksa (S4; 176 – 181, 183 - 190).

Kasihan jika ada saudara atau teman yang jadi waria karena bisa jadi bahan ejekan (S4; 195 – 198).

Ada juga rasa sedih dan kecewa, tapi tidak malu (S4; 201 – 205).

Kasihan melihat kaum waria dijauhi oleh masyarakat karena tentu waria itu akan merasa tertekan (S4; 83 – 89).

(69)

Komponen Konatif • Menerima / tidak

kaum waria

masyarakat jika bergaul dengan kaum waria, tapi rasa takut itu bisa dihilangkan dan tidak dipermasalahkan karena kegiatan tersebut positif (S1; 621 – 629).

Saat sendirian tiba-tiba didatangi waria muncul secara spontan perasaan takut (S1; 637 – 646).

Warga sekitar belum bisa menerima kaum waria dan kadang malah mencibir dan sinis terhadap waria (S1; 120 – 132, 191 – 201).

Warga sekitar belum bisa menerima karena kurang pendidikan dan kurang pengetahuan tentang waria sehingga tidak mencoba melihat dari sisi lain mengapa dia jadi waria serta agama yang masih menentang keberadaan

dibicarakan di masyarakat jika bergaul

dengan kaum waria, tetapi tidak masalah karena yang kita lakukan adalah hal yang baik (S2; 414 – 420). Perasaan saat sendirian tiba-tiba didatangi waria biasa saja seperti didatangi orang lain (S2; 437 – 440).

Masyarakat sekitar tempat tinggal bisa menerima dan justru mengajak kaum waria berkegiatan bersama seperti voli dan sepak bola (S2; 102 – 104).

oleh masyarakat karena bergaul dengan waria, tapi tergantung kita mengantisipasinya dan tetap berteman (S3; 310 – 312).

Panik dan bertanya-tanya saat didatangi waria

karena itu pasti waria yang aneh-aneh (S3; 438 – 445).

Bagi warga sekitar tidak masalah dan bisa dibilang menerima (S3; 82 – 89).

karena berkegiatan dengan waria, tetapi kalau positif tidak masalah (S4; 287 – 291).

Takut saat sendirian tiba-tiba didatangi waria (S4; 302 – 303).

(70)

kaum waria, padahal warga memegang teguh agama (S1; 142 – 149, R1; 156 – 179).

Lembaga pendidikan dan kemasyarakatan atau sekolah sudah mulai terbuka dan memahami waria (S1; 238 – 244).

Melihat di tv saat polisi melakukan razia, waria diseret-seret bahkan dengan kekerasan seperti pencuri (S1; 279 –284).

Perlakuan teman sebaya

terhadap waria menerima tapi biasa

saja, ada waria ya sudah (S1; 351 – 352).

Secara pribadi bisa menerima waria karena

Jika ada waria ya dikeluarkan dari sekolah supaya waria itu tidak diejek dan dikucilkan serta biar ada kesetaraan (S2; 155–158, 162 - 167).

Saat dirazia, kaum waria diperlakukan secara kasar seperti diseret-seret (S2; 174 – 177, 181 - 185).

Perlakuan teman sebaya, yang tidak setuju menjauhi kaum waria, dan yang setuju mau berteman dan ngobrol dengan mereka (S2; 212 – 216).

Secara pribadi bisa menerima kaum waria

Pihak Universitas juga memperlakukan dia seperti mahasiswa pada umumnya (S3; 139 – 140).

Saat dirazia waria diperlakukan semena-mena seperti ditarik-tarik, dikejar-kejar, dan lain-lain (S3; 156 – 157, 160 - 169).

Perlakuan teman sebaya terhadap waria seperti manusia biasa, tapi tergantung perilaku waria itu sendiri, kalau waria yang suka mangkal ya dijauhi (S3; 208 – 214).

Secara pribadi mau berteman dengan waria,

Ada yang menerima dan ada yang tidak tergantung perilaku si waria, kalau keterlaluan pasti tidak akan diterima karena meresahkan (S4; 94 – 102).

Lihat di tv waria dikejar-kejar, diseret-seret saat dirazia (S4; 118 – 122).

Teman-teman akan menjauhi karena takut atau akan menggodanya (S4; 141 – 146).

(71)

mereka pun baik-baik saja dan tidak merugikan (S1; 359 – 367, 371 - 379).

Akan membantu teman atau saudara yang jadi waria supaya bisa menerima keadaannya dan bisa mengolah potensi yang ada untuk bertahan hidup (S1; 454 – 469).

Sejauh dia sopan dan tidak macam-macam bisa menerima dan mau bergaul dengan kaum waria (S1; 488 – 494).

Mau bekerja di salon dan bidang lain bersama kaum waria asal mereka bisa bekerja sama (S1; 508 – 520).

(S2; 292).

Memberitahu teman atau saudara yang menjadi waria supaya bisa berubah sesuai dengan jati dirinya (S2; 318 – 327).

Mau bergaul dan bekerja dengan kaum waria, tapi tidak mau dengan waria yang jadi PSK (S2; 359 – 362).

tapi kalau dengan waria yang mangkal dan suka cari om-om tidak mau dan akan dijauhi (S3; 239 – 245).

Mau berteman dan menerima teman atau saudara yang menjadi waria serta memotivasi dia untuk bisa menerima kenyataan (S3; 336 – 343).

Mau bergaul dengan kaum waria karena banyak waria yang mempunyai kelebihan, tapi tidak mau kalau dengan waria yang suka mangkal (S3; 372 – 384).

Selama tidak merugikan mau bekerja dengan kaum waria di bidang apa saja (S3; 390 – 393).

asal tidak mengganggu (S4; 225 – 226).

Saya akan berdoa agar teman atau saudara yang menjadi waria itu diberi jalan yang terbaik dan

sebisa mungkin membantu teman atau

saudara yang jadi waria, tapi tidak dijauhi (S4; 209 – 213, 217 – 221).

Kurang bisa bergaul dengan waria karena takut dan itu merupakan hal aneh (S4; 231 – 233, 235 - 238).

(72)

Mau berdiskusi atau bertukar pendapat dengan kaum waria, karena mungkin mereka justru punya ide-ide yang lebih bagus (S1; 524 – 540).

Mau melakukan kegiatan yang positif bersama siapa saja termasuk bersama kaum waria (S1; 572 – 582).

Mau melakukan kegiatan kepedulian terhadap kaum waria seperti pendampingan atau penyuluhan HIV-AIDS (S1; 588 – 592).

Jika tiba-tiba didatangi waria akan mengajak waria itu berkomunikasi (S1; 650 – 654).

Mau berdiskusi dan bertukar pendapat dengan kaum waria (S2; 373 – 380).

Mau melakukan kegiatan bersama kaum

waria seperti masak, dan lain-lain (S2; 389 – 391).

Mau melakukan kegiatan kepedulian terhadap kaum waria seperti pendampingan dan penyuluhan HIV-AIDS karena bagus dan bermanfaat (S2; 398, 400 – 405).

Jika tiba-tiba didatangi waria, kalau diajak bicara ya ngobrol tidak masalah, tapi kalau tidak diajak bicara ya tidak bicara (S2; 443 – 448).

Mau berdiskusi atau bertukar pendapat dengan kaum waria karena bisa menambah pengetahuan (S3; 397 – 400).

Mau berkegiatan bersama kaum waria seperti sepak bola, voli dan lain-lain (S3; 410 – 412).

Mau melakukan kegiatan kepedulian seperti pendampingan atau penyuluhan HIV-AIDS karena itu hal yang positif (S3; 419 – 423).

Jika tiba-tiba didatangi waria akan menolaknya dengan halus tapi kalau tidak mau ya dengan kekerasan (S3; 429 – 435).

Mau berdiskusi atau bertukar pendapat dengan kaum waria tetapi tidak sendirian (S4; 256 – 257).

Mau melakukan kegiatan bersama kaum

waria seperti voli dan sepak bola karena bisa dijadikan hiburan (S4; 268 – 269).

Mau melakukan pendampingan atau penyuluhan HIV-AIDS terhadap kaum waria (S4; 277 – 278).

(73)

c. Rangkuman Hasil Wawancara Keempat Subyek

Subyek 1 memberikan pengertian waria sebagai sifat bawaan seseorang yang tidak wajar. Subyek 1 menuturkan bahwa seseorang menjadi waria itu sudah takdir sehingga kemungkinan untuk berubah kecil. Konsep ini juga muncul pada subyek 3 dan subyek 4 yang juga cenderung menginterpretasikan waria ke teori bawaan. Subyek 3 mengatakan bahwa waria adalah setengah laki-laki dan setengah wanita tetapi aslinya adalah seorang laki-laki, sedangkan subyek 4 mengatakan bahwa waria adalah transseksual atau wanita jadi-jadian. Berbeda dengan subyek 2 yang mengatakan bahwa waria adalah pria yang suka memakai pakaian wanita dan bertingkah laku seperti wanita. Subyek 2 memberikan konsep waria cenderung ke behavioral sehingga ada kemungkinan untuk diubah menjadi laki-laki normal.

Gambar

Tabel 1. Blue Print Wawancara ……………………………………..      31
Tabel 1. Blue Print Wawancara
Tabel 2. Kode Analisis Data
Tabel 3. Demografi Subyek
+2

Referensi

Dokumen terkait

2. 6) Schmidt (1991) menjelaskan tentang keterampilanadalah merupakan kemampuan untuk membuat hasil akhir dengan kepastian yang maksimum dan pengeluaran energi dan

Adanya peningkatan jumlah potongan setelah latihan yang berbeda bennakna, bila dibandingkan dengan waktu yang digunakan untuk latihan otot PAGA yang relatif

Survei dan pemetaan kemampuan tanah dilakukan dengan pengambilan data lapang berdasarkan metode tertentu yang selanjutnya diplotting pada peta kerja..

Penelitian ini dilakukan rancangan perlakuan faktorial dengan menggunakan rancangan lingkungan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan menggunakan tiga kelompok. Terjadi interaksi

Memeriksa dan merekomendasikan hasil pekerjaan para bawahan dalam hal mutu dan jumlah, untuk memastikan bahwa hasil proses layanan tersebut bisa ditindaklanjuti oleh

Osnovni analitiĉki postupci praćenja financijskog rezultata poslovanja i ocjene uspješnosti poslovanja poduzeća su horizontalna i vertikalna analiza stavki

Sebagai contoh, kajian yang dijalankan oleh Zamri dan Mohamed (2003a) di kalangan pelajar cemerlang (perempuan) dengan pelajar lemah (perempuan) mendapati bahawa pelajar

Pembuatan film plastik biodegredable dimulai dari pengambilan Pati biji kluwih dengan cara pengupasan, perendaman air garam, dihancurkan, penyaringan, pencucian,