• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Keuangan Hotel

Dalam dokumen ANALISIS LAPORAN LABA RUGI DEPARTEMEN KA (Halaman 30-40)

1. Sistem Akuntansi Hotel

Sebagaimana diketahui, manajemen memerlukan informasi keuangan untuk berbagai tujuan. Dengan informasi keuangan itu manajemen dapat melakukan analisis dan pengendalian yang lebih baik atas aktivitas bisnisnya. Tidak berbeda dengan bisnis lainnya, informasi keuangan juga diperlukan untuk keputusan ekonomis hotel, paling tidak mencakup: Laporan Rugi-Laba (Income Statement); Neraca (Balance Sheet) dan Laporan Arus Kas (Cash Flow Statement).

Menurut Wiyasha (2007: 27-28), sistem akuntansi yang lazim diterapkan di industri perhotelan adalah Uniform System of Account for Hotel (USAH). Sistem ini awalnya dikembangkan di Amerika Serikat (1925) oleh perhimpunan pengusaha hotel. Dengan sistem USAH ini hotel dapat memperoleh beberapa manfaat yang diantaranya adalah keseragaman dalam pemahaman istilah yang lazim digunakan di bisnis perhotelan. Misalnya istilah house profit yang berarti laba seluruh departemen dikurangi biaya departemen yang bersangkutan yang dikurangi undistributed expenses. Dengan demikian, akuntansi keuangan hotel merupakan akuntansi departemental. Artinya setiap departemen hotel melaporkan hasil operasinya pada periode tertentu.

Departemen hotel biasanya terdapat dua kelompok, yaitu: departemen yang menghasilkan penjualan atau pendapatan (revenue generating

departemen makanan dan minuman (food & beverage) yang menghasilkan penjualan makanan dan minuman; dan departemen yang tidak menghasilkan penjualan atau hanya menyerap biaya operasional saja untuk mendukung dan melayani operasional departemen yang menghasilkan penjualan

(non-revemue generating departments), misalnya personalia, pemasaran,

pemeliharaan, dan tata graha.

2. Laporan Laba Rugi Hotel

Telah dikemukakan bahwa sistem akuntansi hotel berdasarkan departemen. Satu di antara laporan keuangan yang penting adalah laporan rugi-laba. Pengertian yang dikemukakan Baridwan (2000: 30) adalah sebagai berikut:

Laporan rugi laba adalah suatu laporan yang menunjukkan pendapatan-pendapatan dan biaya-biaya dari suatu unit usaha untuk suatu periode tertentu. Selisih antara pendapatan pendapatan dan biaya-biaya merupakan laba yang diperoleh atau rugi yang diderita oleh perusahaan. Laporan rugi laba yang kadang kadang disebut laporan penghasilan atau laporan pendapatan dan biaya merupakan laporan yang memunjukkan kemajuan keuangan perusahaan dan juga tali penghubung dua neraca yang berurutan.

Sebagai industri jasa, hotel memiliki laporan keuangan yang sesuai dengan aktifitas bisnisnya. Dalam usaha perhotelan, secara akuntansi, penjualan produk atau jasa yang ditawarkan mempunyai harga pokok sendiri. Soewirjo (2000: 52) membaginya dalam tiga golongan, yaitu:

1) Primary sale: pendapatan yang berdiri sendiri, termasuk: • Room sale

• Rental

2) Drived sale: pendapatan akibat primary sale, dengan adanya

Food sale Beverage sale Telephone/Fac sale

Laundry & Dry Cleaning and Valed sale Other income

3) Independent sale: pendapatan yang tidak berasal dari tamu

yang menginap, melainkan dari tamu yang hanya menggunakan jasa pemakaian restoran, swimming pool,

banquet, outside catering

Berdasarkan pengelompokkan produk yang ditawarkan sebuah hotel, bahwa pendapatan utama sebuah hotel berasal dari penjualan kamar dan sewa ruangan lainnya, seperti meeting room, baik untuk pertemuan terbatas seperti seminar, pelatiham, maupun untuk pertemuaan yang melibatkan banyak undangan seperti acara resepsi perkawinan dan jenis pertemuan lainnya.

Dengan adanya orang yang menginap, maka kemungkinan terjadi penjualan ikutan (drived sale) seperti: makanan dan minuman yang dapat mereka pesan dari kamar ataupun pergi ke restoran atau café bar untuk dinikmati di tempat. Selain makanan, hotel hotel berbintang biasanya menyediakan jasa laundry dan valet parking. Kedua jenis jasa terakhir ini lebih bersifat sebagai jasa yang harus mereka sediakan untuk kenyamanan konsumennya, sekalipun hanya sebagian kecil konsumen in-side yang memintanya.

Selain penjualan kamar, juga terdapat pendapatan utama lainnya seperti sewa ruangan dengan beberapa ukuran yang dapat dipergunakan untuk pertemuan pertemuan. Pertemuan pertemuan tersebut sudah tentu memerlukan makanan dan minuman. Dalam hal ini terdapat kebijakan hotel yang bervariasi. Ada yang menyewakan ruangan satu paket dengan makanan dan

minaman dan pihak penyewa di larang membawa makanan dan minuman dari luar, dan ada pula membuat kebjiakan yang membebaskan penyewa untuk mengambil catering dari luar. Dari sewa ruangan ini, sedikit atau banyak juga menghasilkam penjualan ikutan, yakni makanan dan minuman

Penjualan bebas dilakukan, mengingat sudah tersedia fasilitas standar yang dapat ditawarkan ke umum seperti restoran kolam renang, fitness center dan banquet. Penjualan ini menambah pendapatan hotel, penjualan kamar dan sewa ruangan tetap merupakan produk utama yang ditawarkan sebuah hotel. Dengan demikian, maka ada laporan rugi-laba depertamen kamar, departemen makanan dan minuman, dan departemen lainnya. Format dan bentuk laporan rugi-laba hotel mencakup seluruh penjualan dan laporan keuangan setiap departemen. Menurut Wiyasha (2007: 29-31), elemen-elemen laporan rugi-laba hotel adalah sebagai berikut:

1) Penjualan

2) Harga Pokok (Cost of Sales) dan Biaya Operasional Departemen

3) Laba Departemental

4) Biaya Operasional yang Tidak Didistribusikan

(Undistributed Operating Expenses)

5) Biaya Tetap 6) Pajak Penghasilan 7) Laba Bersih.

Penjualan terbagi dalam penjualan setiap departemen. Disini diasumsikan bahwa hotel menawarkan jasa kamar, makanan dan minuman, dan berbagai jasa lain seperti komunikasi (telepon, faksimil & internet), dan cucian (laundry). Jika menurut Soewiryo tersebut di atas, penjualan jasa kepada tamu ini disebut sebagai derived sale, maka istilah lain yang lazim, di-

sebut juga dengan minor operated department (Wiyasha, 2007: 29).

Harga pokok (cost of sales) dan biaya operasi departemen adalah keseluruhan biaya yang diserap oleh departemen yang bersangkutan untuk menghasilkan penjualan di departemen tersebut (department expenses).

Laba departemental merupakan selisih seluruh penjualan departemen dengan harga pokok dan biaya biaya yang terjadi. Departemen kamar (Room

department) misalnya menghasilkan laba setelah hasil penjualan dikurangi

dengan seluruh biaya yang terjadi di departemen kamar. Pendekatan yang sama diterapkan pula pada departemen lain.

Biaya biaya operasional yang tidak didistribusikan atau oleh USAH disebut dengan Undistributed Operating Expenses adalah biaya yang tidak didistribusikan ke departemen yang menghasilkan penjualan, namun diserap untuk departemen yang bersangkutan. Misalnya biaya yang terjadi di departemen Administrasi & Umum (Administrative & General = A&G

Department, Biaya Pemasaran, Biaya Operasi Properti dan Pemeliharaan serta

Energi atau disingkat POMEC (Property Operation and Maintenance, Energy

Cost)

Biaya tetap mencakup biaya biaya yang tidak dipengaruhi oleh aktifitas atau volume bisnis hotel. Antara lain: gaji manajemen, asuransi, bunga, depresiasi dan amortisasi Biaya tersebut bisa saja berubah. Misalnya biaya bunga yang menurun setiap bulan, namun bukan karena dipengaruhi oleh.tingkat hunian kamar hotel yang berubah setiap bulan, melainkan karena sistem pembayaran bunga yang diterapkan adalah bunga menurun.

Dengan adanya laba seluruh departemen, dikurangi dengan

Undistributed Expenses dan Fixed Cost, maka diperoleh laba sebelum pajak.

Berdasarkan laba sebelum pajak ini, dapat diperhitungkan PPh yang mengurangi laba sebelum pajak, sehingga dihasilkan laba bersih.

Perlu diketahui, jika dalam perusahaan manufaktur, komponen biaya di luar biaya tenaga kerja dan biaya bahan baku disebut dengan biaya umum pabrik atau overhead pabrik. Dalam industri perhotelan (dan restoran), yang dimaksud dengan biaya overhead adalah biaya-biaya yang tidak disitribusikan dan biaya tetap sebagaimana dijelaskan tersebut diatas. Dengan demikian,

overhead cost merupakan biaya tidak langsung bagi departemen hotel yang

menghasilkan pendapatan (Wiyasha, 2007: 189).

3. Laporan Rugi-Laba Departemen Kamar

Telah tersimpul dalam uraian sebelumnya, bahwa laporan rugi-laba hotel mengandung laba departemen yang berarti menyertakan juga laporan rugi-laba departemen, termasuk departemen kamar. Menurut Wiyasha (2007, 32), laporan rugi-laba departemen kamar memuat antara lain:

1) Penjualan Jasa Kamar. Item ini mencantumkan semua sumber penjualan jasa kamar untuk periode tertentu. Misalnya penjualan jasa kamar untuk tamu yang menginap jangka pendek (transient guest), tamu jangka panjang (permanent guests), tamu group, serta penjualan kamar tambahan (extra room revenue) seperti adanya jasa extra bed.

2) Allowance (penyesuaian), yakni istilah untuk memperbaiki pembebanan

kesalahan dalam pembebanan harga kamar yang terjadi pada saat tamu

check-in diperbaiki beberapa hari kemudian atau pada saat tamu chek-out.

3) Biaya-biaya, yakni biaya operasional yang terjadi pada departemen kamar yang merupakan beban langsung kamar.

4) Laba (Rugi) Departemen Kamar.

Sebagai gambaran laporan rugi-laba departemen kamar, berikut ini disajikan sebuah contoh dengan angka-angka yang bersifat hipotesis dan ilus- tratif.

Hotel Kagaya

Laporan Rugi-Laba Departemen Kamar Periode Sampai dengan 31 Desember 2007

PENDAPATAN Penjualan kamar-transient Penjualan kamar-grup Penyesuaian PENDAPATAN BERSIH Rp 1.100.000 700.000 5.000 Rp 1.795.000 BIAYA OPERASIONAL Biaya Karyawan: Gaji & Upah

Tunjangan Karyawan Biaya Biaya Lainnya: Biaya Komisi

Biaya Bahan Habis Pakai Biaya Transportasi Tamu Biaya Cucian & Linen Biaya Reservasi Tamu Biaya Pakaian Seragam Biaya Operasional lainnya JUMLAH BIAYA OPERASIONAL

Rp 286.000 5.000 10.000 15.000 28.000 16.000 5.000 6.500 Rp 371.500

PENDAPATAN DEPARTEMEN KAMAR Rp 1.423.500

Adapun harga penjualan kamar yang harus dibayar konsumen disebut dengan publish rate, yakni harga netto yang ditawarkan kepada tamu, sudah mengandung pajak dan service total 21%, ditambah dengan perkiraan biaya operasional kamar yang bersangkutan atau disebut dengan room estimate

cost, dan perkiraan laba departemen kamar atas operasional kamar yang

bersangkutan. Berikut ini contohnya.

Perhitungan Laba Departemental setiap Kamar per hari

A Publish rate (harga netto) Rp350.000,00 B Service & Tax: 21% ( A x 21/121) 60,744,00 C Revenue (A x 100/121) 289.256,00 D Biaya Operasional:

- Biaya Tenaga Kerja

- Biaya Operasional Lainnya

100.000,000

E Laba Departemen (Departemental Income) 189.256,00 Sumber: Soewirjo (2003, 104)

Service dan Pajak (B) sebesar 21% berasal dari 10% dari pendapatan hotel (C) sebagai service tariff yang berlaku umum pada semua hotel dan pajak (daerah) sebesar 11% yang terdiri dari 10% dari pendapatan ditambah 10% dari 10% service tariff (1%). Dengan demikian, yang dimaksud dengan pendapatan yang bersumber dari penjualan kamar-kamar akomodasi adalah tarif per kamar sebelum ditambah 21% untuk pajak daerah dan service.

4. Biaya Bersama

Dalam memberikan pelayanan hotel, telah dikemukakan bahwa lain jenis kamar lain pula tarifnya. Perbedaan tarif karena fasilitas yang diberikan

juga berbeda, sehingga itu biaya yang terkandung juga berbeda.

Sementara itu, biaya-biaya untuk masing-masing jenis kamar tidak selalu teridentifikasi, mengingat biaya yang dikeluarkan merupakan biaya bersama untuk keseluruhan kamar. Untuk itu, diperlukan alokasi biaya bersama tersebut ke dalam masing-masing jebis kamar.

Menurut Mulyadi (2002: 361-366), biaya bersama dapat dialokasikan kepada tiap-tiap produk bersama dengan menggunakan salab satu dan empat metode di bawah ini.

a. Metode nilai jual relatif. b. Metode satuan fisik. c. Metode rata-rata biaya. d. Metode rata-rata tertimbang

Metode Nilai Jual Relatif. Metode ini banyak digunakan untuk mengalokasikan biaya bersama kepada produk bersama. Dasar pemikiran metode ini adalah bahwa harga jual suatu produk merupakan perwujudan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam mengolah produk tersebut. Perbedaan harga jual antar produk dikarenakan biaya yang dikeluarkan untuk produk tersebut lebih banyak bila dibandingkan dengan produk lain. Karena itu menurut metode ini, cara yang logis untuk mengalokasikan biaya bersama adalah berdasarkan pada nilai jual relatif masing-masing produk bersama yang dihasilkan. Pemakaian metode nilai jual relatif dalam mengalokaslkan biaya bersama ini akan menghasilkan persentase laba bruto dari hasil penjualan yang proporsinya sama untuk tiap jenis produk bersama tersebut.

Metode Satuan Fisik. Metode satuan fisik mencoba menentukan harga pokok produk bersama sesuai dengan manfaat yang ditentukan oleh masing-masing produk akhir. Dalam metode ini biaya bersama di alokasikan kepada produk atas dasar koefisien fisik, yaltu kuantitas bahan bahan yang terdapat dalam masing-masing produk. Koefisien fisik ini dinyatakan dalam satuan berat, volume atau ukuran yang lain. Dengan demikian, metode ini menghendaki bahwa produk bersama yang dihasilkan dapat diukur dengan satuan ukuran pokok yang sama. Jika produk bersama mempunyai satuan ukur yang berbeda, harus ditentukan koefisien ekuivalensi yang digunakan untuk mengubah berbagai satuan tersebut menjadi satuan ukuran yang sama. Metode Rata-rata Biaya. Metode ini hanya dapat digunakan bila produk bersama yang dihasilkan diukur dalam satuan yang sama. Pada umumnya metode ini digunakan oleh perusahaan yang menghasilkan beberapa macam produk yang sama dan satu proses bersama tetapi dihitung berlainan. dalam metode ini harga pokok masing-masing produk dihitung sesuai dengan proporsi kuantitas yang diproduksi. Yang mendasari pemakaian metode ini adalah karena semua produk dihasilkan dan proses yang sama, maka tidak mungkin biaya untuk memproduksi satu satuan produk berbeda satu sama. Metode Rata-rata Tertimbang. Jika dalam metode rata-rata biaya per satuan dasar yang dipakai dalam mengalokasikan biaya bersama adalah kuantitas pioduksi, maka daiam metode rata-rata tertimbang kuantitas produksi ini dikalikan dulu dengan angka penimbang dan hasil kalinya baru dipakai sebagai dasar alokasi. Penentuan angka penimbang untuk tiap-tiap

produk didasarkan pada jumlah bahan yang dipakai, sulitnya pembuatan produk, waktu yang dikonsumsi dan perbedaan jenis tenaga kerja yang dipakai untuk tiap jenis produk yang dihasilkan. Jika yang dipakai sebagai angka penimbang adalah harga jual produk maka alokasinya disebut metode mlai jual relatif.

Dalam dokumen ANALISIS LAPORAN LABA RUGI DEPARTEMEN KA (Halaman 30-40)

Dokumen terkait