• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anthony Giddens (2000) mengungkapkan, proses globali-sasi sangat terkait dengan revolusi komunikasi dan penyebaran teknologi informasi. Hal itu bahkan juga berlaku dalam arena ekonomi. Pasar uang yang bergerak dua puluh empat jam bergantung pada gabungan teknologi satelit dan komputer yang juga memengaruhi banyak aspek kemasyarakatan yang lain. Dunia dengan komunikasi elektronik yang seketika, menggun-cang institusi-institusi lokal dan pola kehidupan sehari-hari. Pandangan Barat melihat globalisasi sebagai era masa depan; yaitu era yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi secara global yang akan mendatangkan kemakmuran global bagi semua orang.

Berbeda dari pandangan tersebut, Mansour Fakih (2001:211) justru menilai, globalisasi adalah kelanjutan dari kolonialisme dan developmentalisme sebelumnya. Globalisasi

5

Observasi dan pengalaman penulis sebagai orang Jawa yang hidup di masa postmodern sekarang ini, menunjukkan bahwa Jawa tidak lagi memiliki kekuatan dalam penolakan yang intensif terhadap kebudayaan yang masuk dari luar. Manusia Jawa sudah kehilangan kejawaannya; secara budaya sebagian besar dari mereka kalau tidak menjadi global (Barat), menjadi Arab (Timur Tengah). Globalisasi yang dalam bentuk praktisnya adalah westernisasi

dan arabisasi (yang dibawa gerakan ideologi transnasional) telah ”merenggut”

kekuatan kebudayaan Jawa meskipun memiliki tradisi turun-menurun yang mantap. Ungkapan jawa ilang jawané menjadi kenyataan.

dicurigai sebagai bungkus baru dari imperialisme dan kolo-nialisme.

Pandangan Mansour Fakih itu sejalan dengan pendapat guru besar Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Amien Rais. Dalam wawancara dengan penulis (10 April 2008 di Semarang) ia berpendapat, bahwa globalisasi sebenarnya merupakan kolonialisme baru dan imperialisme baru (neokolonialisme dan neoimperialisme).

Globalisasi memunculkan konflik lokal-global, termasuk konflik antara nilai-nilai budaya Jawa dan nilai-nilai budaya global. Kebanyakan manusia Jawa sangat merasakan konflik antara budaya Barat dan budaya Jawa, tapi tidak begitu menyadari bahwa sebenarnya pertemuan budaya Jawa dengan budaya Arab (Timur Tengah) pun mengandung konflik di dalamnya. Konflik ini hanya dirasakan oleh orang-orang yang memunyai perhatian khusus terhadap upaya pelestarian nilai-nilai budaya Jawa, misalnya perkumpulan kebatinan. Dalam pertemuan-pertemuan komunitas kejawèn terungkap, bahwa kelompok-kelompok kebatnan merasa dijajah oleh agama-agama besar dan menjadi kelompok marginal di negerinya sendiri.

Gejala tidak disadarinya pengaruh budaya yang masuk bersamaan dengan agama Islam itu, misalnya tampak dalam penerapan muatan lokal baca tulis Al Quran dalam kurikulum pendidikan beberapa sekolah di Jawa Tengah.6 Bukankah

6 Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Demak menerbitkan buku panduan pendidikan (silabus) untuk muatan lokal baca tulis Alquran. Kadindikpora Demak, HM. Afhan Noor mengemukakan, silabus penting untuk memberikan panduan tata cara mengajar baca tulis Alquran di masing-masing tingkatan. “Silabus diperuntukkan mulai dari SD, SLTP, hingga

SLTA. Tujuannya untuk menumbuhkembangkan budaya baca tulis Alquran

melalui kurikulum resmi,” jelas dia. Ada 563 SD, 80 SLTP, serta 69 SLTA di Demak, mulai memberlakukan muatan lokal baca tulis Alquran. (Suara

muatan lokal seharusnya merupakan mata pelajaran yang berlandaskan budaya dan kearifan lokal di daerah tempat siswa itu belajar? Jadi, secara ideal muatan lokal untuk siswa di Jawa Tengah paling tepat adalah mata pelajaran tentang budaya dan kearifan lokal Jawa. Begitu pula, untuk siswa di Sumatera Barat misalnya, muatan lokal paling tepat mata pelajaran tentang budaya dan kearifan lokal Minangkabau, di Jawa Barat budaya Sunda, di Jakarta budaya Betawi, dan seterusnya.7

Dalam konteks konflik lokal-global itu, globalisasi meru-pakan bentuk penjajahan budaya transnasional (baik western-isasi maupun arabwestern-isasi), termasuk penjajahan terhadap manusia Jawa. Manusia Jawa telah larut dalam arus global, kehilangan jatidirinya sebagai manusia Jawa.

Penyebab kekalahan budaya Jawa tersebut antara lain: 1. Sinkretisme yang melunak;

2. Orientasi pada kearifan individu; 3. Sikap mental “inlander.”

Sinkretisme yang melunak terjadi pada masa kini, ter-utama ketika arus global sangat kuat memengaruhi hampir semua sendi kehidupan. Sinkretisme yang secara ideal meru-pakan kerja sama sosial-budaya menghadapi musuh bersama, justru menjadi penyebab lunaknya ketahanan budaya Jawa, sehingga tidak kuat menghadapi penetrasi budaya luar.

7 Penyusunan kurikulum muatan lokal atas dasar acuan keadaan masyarakat setempat, seperti tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nnomor 0412/U/1987 tanggal 11 Juli 1987. Pelaksanaannya dijabarkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 173/-C/Kep/M/87 tertanggal 7 Oktober 1987. Menurut surat keputusan tersebut, yang dimaksud dengan kurikulum muatan lokal ialah program pendidikan dengan media penyam-paiannya dikaitkan dengan lingkungan alam dan lingkungan budaya serta kebutuhan daerah dan wajib dipelajari oleh murid di daerah tersebut.

nilai budaya Jawa kemudian tergeser oleh nilai-nilai budaya Barat atau nilai-nilai budaya Arab. Barat tidak dijawakan atau Arab tidak dijawakan, tapi Jawa dibaratkan atau Jawa diarab-kan.

Orientasi pada kearifan individual, yang menjadi salah satu sifat budaya Jawa, juga menjadi faktor pendorong kekalah-an budaya Jawa menghadapi globalisasi. Orientasi pada kearifkekalah-an individual itu menyebabkan perhatian manusia Jawa hanya terfokus pada ketenteraman jiwa, ketenangan hidup pribadi. Akibatnya, mereka kurang sadar terhadap pengaruh budaya luar, terlebih lagi budaya luar itu dibawa oleh agama. Mereka kemudian tidak lagi memiliki kepedulian terhadap pelestarian dan pengembangan budayanya sendiri.

Manusia Jawa, seperti pada umumnya masyarakat Indonesia yang oleh Arifin Bey (2003) dinilai masih mengidap

penyakit ”inlander.” Mental “inlander” itu antara lain: tidak percaya diri, lebih mengandalkan otot daripada otak, lebih menghargai hal-hal dari luar daripada milik sendiri, mudah terkejut dan terheran-heran (gumunan lan kagètan) mengha-dapi pengaruh dari luar. Karena itu, bangsa ini memerlukan suatu revolusi mental dan moral untuk membuka jalan bagi pembangunan ekonomi-sosial sehingga dapat meraih kembali rasa hormat dunia.

Kesimpulan

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, kebudayaan Jawa beranekaragam, dapat dibagi ke dalam sub-daerah kebudayaan Jawa. Kalau diteliti lebih mendalam, keanekagaraman itu masih menunjukkan satu pola atau satu sistem kebudayaan Jawa. Mes-kipun terdiri dari sub-daerah kebudayaan, karena kurangnya

maka tidak dapat dimungkiri bahwa kebudayaan Jawa keraton dinilai sebagai pusat kebudayaan Jawa. Oleh sebab itu, kebanyakan tulisan tentang kebudayaan Jawa pun, termasuk buku ini, menitikberatkan pada kebudayaan Jawa yang ber-kembang di lingkungan Keraton Yogyakarta dan Surakarta.

Perkembangan kebudayaan Jawa dapat dibagi ke dalam tiga periode, yaitu: masa sebelum Buddha, masa Hindu-Buddha, masa kerajaan Islam, dan masa kini. Di tengah-tengah perkembangan tersebut, terdapat pengaruh agama Kristen, meskipun tidak sebesar pengaruh Hindu, Buddha, dan Islam.

Dalam relasi dengan budaya India (Hindu, Buddha), budaya Arab (Islam), dan pengaruh kekristenan, kebudayaan Jawa selalu dilandasi oleh sifat yang khas, yaitu sinkretisme. Pada masa sebelum Hindu-Buddha, masa Hindu-Buddha, dan masa kerajaan Islam, serta relasi dengan kekristenan, sinkretis-me Jawa masih terasa kuat, sehingga muncul istilah Hindu Jawa, Buddha Jawa, Islam Jawa, Kristen Jawa.

Perkembangan selanjutnya, budaya Jawa mengalami kemerosotan karena pengaruh yang kuat globalisasi, baik dari Barat maupun dari Arab (Timur Tengah). Itulah Jawa masa kini, Jawa pada era globalisasi, yang larut oleh arus global. Sifat sin-kretisme, lentur, fleksibel, dan mudah menyesuaikan diri dengan kebudayaan luar, justru melunak, sehingga manusia tidak lagi memegang teguh dan menerapkan nilai-nilai budaya Jawa dalam kehidupan sehari-hari.

Gerakan-gerakan ideologi transnasional sangat berpenga-ruh terhadap budaya Jawa. Gerakan transnasional merupakan gerakan lintas-negara, yang bermaksud mengekspor budaya asal gerakan itu ke negara-negara lain. Hal ini seharusnya menya-darkan bangsa Indonesia, bahwa ancaman terhadap budaya bangsa bukan hanya berasal dari kapitalisme Barat, melainkan

juga dari budaya Arab (Timur Tengah). Ironisnya, banyak manusia Jawa yang kehilangan daya kritis ketika menghadapi gerakan itu, salah satu penyebabnya adalah pandangan sempit (fanatisme sempit) dalam keberagamaan.

Pada era globalisasi saat ini, nilai-nilai budaya Jawa sudah ditinggalkan oleh sebagian besar manusia Jawa sendiri, terutama generasi muda. Banyak anak muda yang tidak lagi mengenal nilai-nilai yang selama berabad-abad menjadi norma hidup leluhur mereka. Lebih dari itu, bahkan banyak pula di antara mereka yang menganggap nilai-nilai itu sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Mereka terasing dan tercerabut dari akar-akar budayanya sendiri.8

Dalam kondisi tersebut, diperlukan revolusi mental dan moral manusia Jawa untuk membuka jalan bagi pembangunan ekonomi-sosial sehingga memberikan kontribusi pada bangsa ini untuk meraih kembali rasa hormat dunia.

8 Pengalaman penulis dalam pergaulan sehari-hari menunjukkan kebenaran gejala tersebut. Beberapa kali penulis menjumpai kenyataan, bahwa anak-anak muda, bahkan orang-orang Jawa seusia penulis (generasi kelahiran tahun 1958) tidak lagi fasih berbahasa Jawa dan tidak lagi mengenal ajaran-ajaran Jawa. Sebagai contoh, mereka tidak mengerti arti kata gemujeng (tertawa), tidak dapat membedakan antara arti kata nuwun dan nyuwun, sehingga keliru

mengucapkan ”nuwun sèwu” menjadi ”nyuwun sèwu.” Begitu pula dalam

pemahaman terhadap ajaran-ajaran Jawa, mereka tidak mengerti makna

Dokumen terkait