• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jawa Menyiasati Globalisasi Studi Paguyuban Arso Tunggal Semarang D 902006011 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jawa Menyiasati Globalisasi Studi Paguyuban Arso Tunggal Semarang D 902006011 BAB III"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

Bab Tiga

Budaya Jawa

di Tengah Arus Global

Pada Periode Pertengahan, kebudayaan disebut humanitas

serta civilitas (Bagus, 2004:424). Kebudayaan, menurut Koen-tjaraningrat (1974), terdiri dari dua komponen pokok, yaitu isi dan wujud. Wujud kebudayaan terdiri dari sistem budaya (gagasan-gagasan), sistem sosial (tingkah laku), dan fisik (dalam artefak dan benda-benda hasil budaya yang bersifat material). Komponen isi terdiri dari tujuh unsur universal yaitu: bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, ilmu pengetahuan, agama, dan kesenian.

Sistem budaya terdiri dari nilai-nilai budaya dan norma-norma etik. Nilai budaya berupa gagasan-gagasan yang dipan-dang sangat berharga bagi proses keberlangsungan kehidupan, dengan ruang lingkup yang sangat luas, walaupun eksistensinya bersifat kabur namun keberadaannya secara emosional disadari utuh (Simuh, 1999:109).

(2)

kebudayaan adalah peningkatan kualitas kemanusiaan; mema-nusiakan manusia.

Kebudayaan dan kemanusiaan ibarat dua sisi dari mata uang yang sama, tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Pembahasan tentang kebudayaan Jawa, dengan demikian, tidak pula dapat dilepaskan dari perkembangan kehidupan manusia Jawa. Kebudayaan Jawa adalah cerminan dari perkembangan akal budi manusia Jawa yang kemudian tercermin dalam inter-aksi internal di antara masyarakat Jawa maupun interinter-aksi eks-ternal dengan masyarakat dari etnik yang lain.

Sub-Daerah Kebudayaan Jawa

Kebudayaan Jawa tidak merupakan kesatuan yang homo-gen, paling tidak menurut pandangan orang Jawa sendiri. Mereka sadar akan adanya suatu keanekaragaman yang bersifat regional, sepanjang daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ke-anekaragaman regional itu sedikit banyak cocok dengan daerah-daerah logat bahasa Jawa dan tampak juga dalam unsur-unsur seperti makanan, upacara-upacara rumah tangga, kesenian rakyat, dan seni suara (Koentjaraningrat, 1994).

Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan Jawa dapat di-gambarkan ke dalam beberapa sub-daerah kebudayaan Jawa, sebagai berikut:

1. Sub-daerah kebudayaaan Jawa Banyumas:1 Daerah ini meliputi bagian barat daerah kebudayaan Jawa. 2. Sub-daerah Bagelen: meliputi wilayah Kabupaten

Purworejo dan sekitarnya.

1 Sering pula disebut sebagai Jawa Panginyongan. Istilah panginyongan

(3)

3. Sub-daerah kebudayaan Jawa yang hidup di kota Yogyakarta dan Surakarta: memiliki sejarah kesu-sastraan yang telah ada sejak lima abad yang lalu. Sub-daerah kebudayaan ini memiliki kesenian yang maju berupa tari-tarian dan seni suara keraton, serta di-tandai oleh suatu kehidupan keagamaan yang sangat sinkretistik, campuran dari unsur-unsur agama Hindu, Buddha, dan Islam. Wilayah ini sering disebut negari-gung.

4. Sub-daerah kebudayaan Jawa pesisir: meliputi daerah dari Indramayu-Cirebon di sebelah barat, sampai ke kota Gresik di sebelah timur. Penduduk di wilayah ini pada umumnya memeluk agama Islam puritan yang juga memengaruhi kehidupan sosial-budaya mereka.2 Kebudayaan yang hidup di Surabaya yang khas, oleh orang Jawa sendiri biasanya dianggap sebagai suatu sub-daerah kebudayaan yang khusus.

Koentjaraningrat menjelaskan, kebudayaan Jawa yang ada di daerah Madiun, Kediri, dan delta Sungai Brantas (daerah

“Mojokuto” yang pernah diteliti Clifford Geertz) sebenarnya

sama dengan kebudayaan Jawa di Yogyakarta dan Surakarta. Di daerah itu juga banyak berkembang gerakan-gerakan kebatinan, seperti di Surakarta dan Yogyakarta. Orang Jawa menyebut daerah itu sebagai mancanegari atau “daerah luar,” merupakan

daerah pinggiran dari kebudayaan yang berkembang di Kera-jaan Jawa Mataram pada abad ke-17 hingga abad ke-19.

2

(4)

Daerah perbatasan mancanegari disebut pinggir reksa. Ada pula sub-daerah kebudayaan Jawa di wilayah sebelah selatan Surabaya, meliputi kota Malang dan sekitarnya. Daerah-daerah di Malang dan Daerah-daerah lebih ke timur lagi, sering disebut sebagai tanah sabrang wétan.

Orang Jawa Timur menyebut penduduk daerah pantai selatan Jawa Timur dengan istilah khusus, yaitu tiyang kilènan (‘’orang barat”). Hal ini disebabkan daerah yang sangat miskin

dan gersang di pantai selatan itu, pada abad-abad yang lalu menjadi tempat tinggal para pendatang dari mancanegari, negarigung, dan daerah-daerah lain di sebelah barat Jawa Timur. Ada tiga daerah yang penduduknya berbeda, dengan bahasa dan adat yang berbeda pula, yaitu orang-orang Tengger yang tinggal di kaldera Gunung Tengger, penduduk di sekitar kota Banyuwangi yang menamakan diri mereka tiyang osing, dan penduduk ujung timur Pulau Jawa, yaitu orang Blam-bangan.

(5)

Kebudayaan Jawa sangat bervariasi. Dapat dipahami,

ka-lau dihadapkan pada pertanyaan “Jawa yang mana?” maka orang

Jawa sendiri tidak dapat menjelaskan dengan tegas dan pasti.

Terdapat berbagai variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat lokal dalam beberapa unsur kebudayaan Jawa, misalnya mengenai berbagai istilah teknis dan dialek bahasa. Variasi dan perbedaan itu tidak besar karena kalau diteliti lebih mendalam, hal-hal itu masih menunjukkan satu pola atau satu sistem kebudayaan Jawa (Koentjaraningrat, 1999:329).

Tidak dapat dimungkiri, selama ini muncul pandangan yang kuat bahwa kebudayaan Jawa terpusat di dalam lingkung-an keraton. Hal itu disebabklingkung-an jarlingkung-angnya (atau bahklingkung-an tidak adanya) literatur-literatur tentang kebudayaan Jawa di luar lingkup keraton. Buku berjudul Kebudayaan Jawa, Ragam Kehi-dupan Kraton dan Masyarakat di Jawa 1222-1998 (Ageng Pangestu Rama, 2007) menggambarkan betapa kuatnya budaya keraton sebagai pusat kebudayaan Jawa. Buku tersebut mengungkapkan sejarah kebudayaan Mataram Kuna, Keraton Medang, Kahuripan, Kediri, Singasari, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, Keraton Surakarta, dan Keraton Yogyakarta.

Dua wilayah bekas Kerajaan Mataram sebelum terpecah pada tahun 1755, yaitu Yogyakarta dan Surakarta, dikenal sebagai pusat Kebudayaan Jawa. Oleh sebab itu, uraian yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa dalam buku ini pun lebih berdasarkan pada nilai-nilai dan norma-norma etik yang berkembang di lingkungan keraton Yogyakarta dan Surakarta. Terlebih lagi, aktor sentral objek penelitian ini adalah seorang keturunan raja di Keraton Yogyakarta dan raja Keraton Sura-karta (diuraikan di Bab Lima).

(6)

priyayi. Dua golongan lain adalah abangan dan santri. Kaum

abangan, menurut Geertz setelah melakukan penelitian di Pare tahun 1952-1954, merupakan gambaran kelompok masyarakat yang bebas, tidak merasa terikat aturan-aturan/ritual keagama-an, dan sering diasosiasikan sebagai kelompok nasionalis, bahkan masyarakat desa yang awam dan masih berpikiran animisme. Santri merupakan identitas Muslim yang sedang belajar ilmu agama, berasal dari kalangan Muslim ortodoks. Kaum priyayi merupakan gambaran kalangan elite Jawa, kaum bangsawan yang pemikirannya dipengaruhi oleh tradisi-tradisi Hindu-Jawa.

Pendapat Geertz itu menggambarkan, seolah-olah ma-syarakat Jawa terbagi dalam kotak-kotak yang kaku. Seseorang kalau bukan abangan pasti santri atau priyayi; kalau bukan

santri pasti abangan atau priyayi; kalau bukan priyayi pasti

abangan atau santri.

Budayawan Emha Ainun Nadjib menolak pandangan Geertz tersebut. Pengklasifikasian masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan santri, abangan, priyayi seperti memisahkan antara padi, beras, dan nasi. Menurut Emha, seolah-olah Geertz membedakan antara kapas, kain, dan baju. Bukankah itu semua adalah satu kesatuan yang sebenarnya tidak dapat dipisah-pisahkan? Perbedaan yang ada hanya menunjukkan proses yang masih berlangsung secara bertahap, sebagaimana dari padi menuju ke beras dan akhirnya menjadi nasi. Demikian halnya dengan kaum santri, priyayi, dan abangan; sesungguhnya predikat itu bisa terwakili pada diri salah seorang manusia Jawa! (Susetya, 2007:8).

(7)

Islam modern dan Islam tradisional. Pendekatan itu hanya menghasilkan gambaran permukaan dan sangat tidak adil terhadap substansi aktual Islam Jawa itu sendiri.

Sinkretisme Jawa

Salah satu sifat budaya Jawa adalah sinkretisme. Istilah ini lebih banyak dikaitkan dengan masalah agama, meskipun sebe-narnya erat dengan masalah budaya. Sinkretisme, menurut penulis, menjadi salah satu penyebab kebudayaan Jawa disebut

luwes, fleksibel, mudah menyesuaikan diri dengan kebudayaan lain yang memengaruhinya.

Sifat-sifat tersebut merupakan kekuatan sekaligus kele-mahan. Menjadi kekuatan, kalau sifat itu didukung oleh ketahanan budaya yang kuat, sehingga tidak luntur oleh kebu-dayaan yang memengaruhinya. Sebaliknya, menjadi kelemahan, kalau sifat itu tidak didukung ketahanan budaya yang kuat, sehingga justru mudah larut oleh kebudayaan yang meme-ngaruhinya.

Secara etimologis, sinkretisme berasal dari perkataan syin

dan kretiozein atau kerannynai, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun pengertian-nya adalah suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang agak berbeda dan bertentangan (Darori Amin, 2000:87).

(8)

1. Sebagai usaha mendamaikan pendapat-pendapat atau keyakinan-keyakinan yang saling bertentangan; 2. Sebagai usaha mengompromikan yang ceroboh; suatu

eklektisme, yaitu sikap memilih-milih beberapa po-kok dari sini dan menolak beberapa popo-kok dari sana; menolak beberapa dari sini dan sebaliknya menerima beberapa pokok dari sana. Proses memilih secara eklektis ini sering menghasilkan sesuatu yang tidak logis dan tidak konsisten;

3. Proses perkembangan suatu pertumbuhan yang terjadi di dalam sejarah, yang bersangkut-paut dengan keya-kinan dan praktik melalui pergaulan dengan yang lain;

4. Persatuan ataupun pencampuran dari bentuk-bentuk yang semula berbeda.

(9)

Pada awal abad kedua, untuk kali pertama, seorang penulis Yunani, Plutarch, menulis tentang sinkretismos (atau

sugkretismos) yang mengacu pada kebiasaan orang Kreta menggalang persatuan guna menghadapi musuh bersama yang datang dari luar sebagai ancaman bagi suku tersebut.

Dapat dikatakan, makna asli sinkretisme menyangkut adat orang Kreta, yang walaupun sering konflik di antara mereka sendiri, mereka akan bersatu apabila ada bahaya yang mengan-cam kehidupan bersama. Ungkapan itu menunjuk kepada kerja sama warga masyarakat menghadapi musuh bersama dari luar. Pada awalnya tidak ada konotasi agama.

Pergeseran makna terjadi pada abad-abad berikut, yaitu ketika kata sinkretisme diambil alih oleh gereja menjadi ung-kapan teologis yang baku, khususnya dalam kesibukan mereka mengejar para penyebar ajaran sesat. Dalam semangat untuk membakukan dan menyatukan ajaran, maka upaya pemurnian menjadi obsesi utama. Upaya pemurnian tersebut dilakukan dengan mengidentifikasi segala unsur ajaran filsafat atau agama lain yang dianggap menyesatkan ajaran.

(10)

Definisi tersebut lama kelamaan menjadi baku dan di-turunkan dari generasi ke generasi, bukan hanya dalam semangat keagamaan, melainkan juga dalam kategori ilmu. Ilmu agama atau teologi, sudah sejak lama menerima definisi tentang sinkretisme dan belum pernah berubah sampai sekarang; yaitu upaya mengambil secara eklektik komponen dari banyak agama lalu digabungkan untuk menciptakan agama baru. Orang tidak sadar bahwa di dunia ini, di sepanjang sejarah, tidak ada (dan tidak akan ada) orang yang memiliki kemampuan semacam itu. Siapa di dunia ini mampu menggabungkan agama-agama menja-di satu agama baru?

Sinkretisme telah dirumuskan sebagai definisi yang tidak realistik dan tidak mungkin terjadi di muka bumi. Anehnya, justru definisi itulah yang telah menjadi rumusan yang diterima secara a priori dalam ilmu agama. Aneh pula, banyak orang menerima pengertian itu tanpa mempertanyakan secara kritis.

Redefinisi menyangkut sinkretisme, berarti mengembali-kan kepada arti kata yang asli. Kita perlu kembali kepada makna yang semula, yaitu menggalang kekuatan sosial-politik untuk menghadapi musuh bersama. Sinkretisme sama sekali tidak ada hubungan dengan upaya mencampuradukkan unsur dari ba-nyak agama untuk membuat agama baru.

(11)

penganut agama untuk menghadapi masalah bangsa, seperti kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan.

Sinkretisme dalam makna kerja sama sosial itulah yang perlu dikembangkan dalam kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa yang sinkretis harus dimaknai sebagai kebudayaan Jawa yang mampu menggalang kerja sama sosial menghadapi musuh bersama.

Sinkretisme merupakan sifat kebudayaan Jawa, sehingga kebudayaan Jawa sangat relevan dengan usaha-usaha menyatu-kan bangsa dan membebasmenyatu-kan dari pertentangan-pertentangan. Kerja sama sosial dalam konteks sinkretisme tersebut juga dapat diharapkan mendorong terjalinnya dialog antarpemeluk agama, karena dialog yang bersifat teologis hampir tidak mungkin dilakukan.

Dalam ranah kebudayaan, sebaiknya sinkretisme dipan-dang sebagai penggalangan kekuatan budaya menghadapi musuh bersama. Sinkretisme Jawa dapat digunakan untuk menggalang kekuatan ketahanan budaya Jawa menghadapi pengaruh-pengaruh budaya dari luar yang masuk melalui gerak-an globalisasi, baik dari Barat maupun dari Timur Tengah.

Menurut Clifford Geertz, terdapat dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Dua kaidah itu, seperti dikutip Franz Magnis Suseno (1988) disebut sebagai prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Orang Jawa, menurut dua kaidah itu, selalu berusaha mencegah timbulnya konflik dan menghormati orang lain. Kata kunci dari keduanya adalah harmoni, yang sangat berkaitan dengan sinkretisme. Sinkretisme mencari keserasian dan keseimbangan.

(12)

pegangan hidup (agama) karena tanpa agama hidup seseorang ibarat kapal tanpa nakhoda; ketika mati maka orang pun harus membawa (hasil pelaksanaan ajaran-ajaran) agama untuk meng-hadap Sang Khalik.

Menurut pandangan orang Jawa, agama adalah ageman (sandhangan, busana, atau pakaian). St. S. Tartono (2009:39) berpendapat, pakaian tersebut bukan sembarang pakaian, me-lainkan pakaian yang aji, yang bernilai tinggi atau yang mulia, oleh karena itu orang memakainya dengan penuh rasa hormat. Rasa hormat itu ditunjukkan dengan tunduk dan patuh menjalankan segala perintah, peraturan, dan nilai-nilai luhur yang diajarkan.

Dalam konsep pemikiran orang Jawa, seorang pemimpin atau pemuka masyarakat, raja misalnya, harus menjunjung tinggi nilai-nilai luhur agama. Mereka harus memeluk agama dengan seksama, penuh rasa hormat, sebagaimana layaknya orang mengenakan busana aji, pakaian yang mulia. Kalau hidup keagamaannya bagus, di samping diakui sebagai pemimpin rak-yat, mereka akan dianggap sebagai pemuka agama. Itulah sebabnya, raja-raja Jawa pada umumnya bergelar sayidin panatagama kalifatullah tanah Jawi, yang berarti pemimpin penata agama khalifah Allah di Tanah Jawa.

(13)

KGPAA Mangkunagoro IV (1994:14) menyatakan dalam Serat Wedhatama:

Mingkar-mingkuring angkara akarana karenan mardi siwi sinawung resmining kidung sinuba sinukarta

mrih kretarta pakartining ngélmu luhung kang tumrap nèng tanah Jawa

agama ageming aji.

Artinya: Menghindarkan diri dari angkara, sebab ingin mendidik putra, dalam bentuk keindahan syair, dihias agar tampak indah, agar menumbuhkan jiwa dan ilmu luhur, yang berlaku di tanah Jawa, agama sebagai pegangan yang bermanfaat.

Inti ajaran itu adalah, bahwa agama sesungguhnya meru-pakan pegangan seseorang agar hidup lebih bermakna. Makna tersebut ada kalau seseorang berjiwa luhur dan memiliki ilmu yang bermanfaat bagi sesama. Esensinya adalah, semua agama harus diamalkan bagi kepentingan umat manusia.

Perkembangan Kebudayaan Jawa

Sulit ditemui referensi yang mengungkapkan secara jelas tentang kebudayaan asli Jawa sebelum pengaruh budaya India yang dibawa agama Hindu dan Buddha. Beberapa referensi hanya menyebutkan, bahwa kebudayaan asli Jawa lebih cende-rung pada paham animisme dan dinamisme. Perubahan besar pada kebudayaan Jawa terjadi setelah masuknya agama Hindu-Buddha.

(14)

ber-corak Hinduisme tampak sekali dalam sastra pewayangan, misalnya pada Kakawin Ramayana dan Mahabharata.

Selama berabad-abad kebudayaan India memengaruhi tanah Jawa. Berangsur-angsur, kejayaan Hindu-Buddha tersebut menyusut setelah kekuasaan Kerajaan Majapahit berakhir. Pengaruh Hindu-Buddha bergeser ke Bali, sehingga sampai sekarang pun, agama Hindu merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Bali.

Selain Hindu dan Buddha, seperti dikutip Purwadi dari berbagai sumber (2009:21), kebudayaan Jawa juga dipengaruhi oleh agama Islam yang masuk ke Indonesia bersamaan dengan datangnya para saudagar ke pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera, misalnya di Lamuni, Aceh, Barus, dan Palembang, di pelabuhan Sunda Kelapa dan Gresik.

Selain pengaruh Hindu, Buddha, dan Islam, budaya Jawa juga dipengaruhi oleh masuknya agama Kristen bersamaan dengan penjajahan Belanda. Pengaruh tersebut, meskipun lebih kecil dari pengaruh Hindu, Buddha, dan Islam, misalnya terli-hat dalam ajaran-ajaran kebatinan, antara lain dalam pemaham-an tentpemaham-ang konsep hubungpemaham-an mpemaham-anusia, Tuhpemaham-an, dpemaham-an roh kudus.

Kebudayaan Jawa Pra-Hindu-Buddha

(15)

Sutan Takdir Alisyahbana, seperti dikutip Simuh (1999: 110-111) mengatakan:

Seperti kebudayaan bersahaja lainnya dalam sejarah, bangsa Indonesia sebelum datang kebudayaan India dapat dikatakan memiliki cara berpikir yang sangat kompleks, yakni bersifat keseluruhan dan emosi-onal, sangat dikuasai oleh perasaan, yang sangat rapat dengan pengaruh kebudayaan agama, kepercayaan ke-pada roh-roh dan tenaga-tenaga gaib yang meresapi seluruh kehidupannya. Pikiran dan perbuatannya ter-tuju bagaimana mendapatkan bantuan dari roh-roh yang baik dan bagaimana menjauhkan pengaruh roh-roh yang bersifat mengganggu (jahat).

Di Jawa, menurut Simuh, pendewaan dan pemitosan terhadap roh nenek moyang melahirkan penyembahan pada roh nenek moyang, yang mendorong timbulnya hukum adat, kebudayaan, dan relasi-relasi pendukungnya. Dengan upacara-upacara selamatan, roh nenek moyang menjadi sebentuk dewa pelindung bagi keluarga yang masih hidup. Seni pewayangan dan gamelan, semula sebagai sarana upacara keagamaan untuk mendatangkan roh nenek moyang. Fungsi roh nenek moyang merupakan pengemong dan pelindung keluarga yang masih hidup. Dalam wayang, roh nenek moyang dipersonifikasikan dalam bentuk punakawan.

Agama asli yang oleh para pemikir Barat disebut religion-magis itu merupakan nilai budaya yang paling mengakar dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Kepercayaan animisme-dinamisme sangat memercayai roh-roh halus dan daya-daya magis terdapat di alam semesta atau alam rohani, yang eksis-tensinya langsung dapat memengaruhi dan menguasai hidup manusia.

(16)

menolong kehidupan manusia. Oleh karena itu, menurut

Alisyahbana, bahwa “pikiran dan perbuatan manusia tertuju

bagaimana menjauhkan pengaruh roh yang jahat.” Kalau tenaga gaib tersebut dianggap tidak berkepribadian, masalahnya adalah bagaimana memperkuat diri dengan tenaga-tenaga yang gaib itu, juga bagaimana menguasai untuk dapat memakainya bagi kepentingan, baik secara personal maupun kolektif (masyara-kat). Solidaritas sosial berkembang menjadi konsep gotong-royong yang memang cukup menonjol, karena ikatan-ikatan masyarakat masa itu berbentuk republik-republik desa yang kecil-kecil.

Kebudayaan Jawa Masa Hindu-Buddha

Menurut Muljana (2007), pengaruh Hinduisme paling kuat di Jawa dan Bali. Di Jawa Tengah, pengaruh agama dan peradaban Hindu-Buddha telah melahirkan kebudayaan Ma-taram Kuna di daerah pedalaman yang bersendikan pertanian. Sanjaya, raja yang hampir menguasai seluruh Jawa Tengah pada permulaan abad ke-8, beragama Syiwa, mendirikan kompleks Candi Syiwa di dataran tinggi Dieng. Raja Sanjaya surut, muncullah Dinasti Syailendra yang memeluk agama Buddha Mahayana dan mengadakan perserikatan dengan Kerajaan Sriwijaya. Kebesaran Dinasti Syailendra ini tampak dari Candi Borobudur, yang juga menunjukkan ketinggian peradaban masa itu. Pada akhir abad ke-8 diperkirakan Dinasti Syailendra kembali memeluk Agama Syiwa dan kemudian mendirikan kompleks Candi Prambanan yang sangat megah.

(17)

sangat berat untuk menjadi teladan dalam mengagungkan dan melakukan upacara-upacara keagamaan. Di kerajaan yang ber-sendikan Hinduisme-Buddhisme tersebut, agama menjadi dasar untuk mendukung kekeramatan dan wibawa kerajaan. Agama merupakan nilai yang sangat penting bagi tegaknya kerajaan Jawa.

Pada abad ke-11, Kerajaan Kediri maju pesat di bawah Raja Airlangga yang memeluk agama Syiwa dan Buddha; yaitu sinkretisme antara agama Syiwa dan Buddha Tantrayana. Muncul gubahan sastra keagamaan Ramayana dan Mahabarata dalam bentuk puisi yang disebut serat kakawin. Mulai muncul kesusastraan Jawa Kuna yang kemudian menjadi sumber untuk memasyarakatkan seni pewayangan di Jawa.

Pada masa Kerajaan Majapahit, agama Syiwa dan Buddha hidup berdampingan menjadi agama resmi negara. Puncak ke-jayaan terjadi pada masa Patih Gadjah Mada, dengan Sumpah Palapa yang terkenal itu. Perdagangan dengan dunia luar ber-kembang pesat berkat jasa para perantara orang-orang asing beragama Islam, yaitu orang-orang dari Gujarat, Persia, Cina, dan mungkin juga Arab.

(18)

Patih Gajah Mada bermaksud mengagungkan Majapahit di bidang politik dengan jalan memperluas wilayah. Keagungan Majapahit terletak dalam menghimpun daerah-daerah Nusan-tara di bawah lindungan kerajaan tersebut. Gajah Mada meng-utamakan negara dan kemakmuran rakyat daripada keagungan keagamaan. Inilah salah satu faktor yang menunjukkan per-bedaan pokok antara keagungan Mataram dan keagungan Majapahit.

Pada zaman Kerajaan Mataram Kuna, candi-candi (Bo-robudur, Prambanan, Pawon, dan Mendut) dibangun demi pengagungan agama. Itulah pembangunan monumen keagama-an ykeagama-ang hkeagama-anya mungkin dilakukkeagama-an berkat dorongkeagama-an semkeagama-angat keagamaan yang menyala-nyala di lingkungan keraton dan kalangan rakyat.

Kebudayaan India (Hindu-Buddha) bersifat ekspansif, adapun kebudayaan Jawa menerima dan menyerap unsur-unsur Hinduisme-Buddhisme. Proses itu bukan sekadar akulturasi, melainkan kebangkitan kebudayaan Jawa dengan memanfaat-kan unsur-unsur agama dan kebudayaan India. Di sini para budayawan Jawa bertindak aktif, berusaha mengolah unsur-unsur agama dan kebudayaan India untuk memperbarui dan mengembangkan kebudayaan Jawa.

Menurut Bambang Noorseno (2003:26), cerita Ajisaka datang ke Pulau Jawa menggambarkan keberhasilan para cendekiawan Jawa dalam mengubah huruf Hindu ke huruf Jawa, serta proses pemanfaatan tahun Saka untuk mencatat peristiwa-peristiwa sejarah Jawa. Secara lengkap, huruf Jawa itu adalah: hanacaraka, datasawala, padhajayanya, maga-bathanga.

Rangkaian huruf itu menggambarkan cerita: dua utusan (abdi)

(19)

secara fisik, keduanya sama-sama kuat, sehingga akhirnya keduanya meninggal dunia.

Menurut legenda, 20 huruf tersebut diciptakan oleh Ajisaka, seorang tokoh Jawa, untuk mengabadikan lakon tragis dua abdi yang setia. Keduanya bersitegang dengan penafsiran yang berbeda terhadap makna perutusannya. Sampai kedua utusan itu meninggal, mereka tidak saling mengerti tentang misi perutusannya, yang sebenarnya sama. Ketidakmengertian itu justru disebabkan masing-masing memegang teguh perintah. Kedua utusan itu bernama Setia dan Setuhu, yang dalam Bahasa Jawa berarti setia dan taat. Tidak ada yang benar, tidak ada yang salah di antara mereka, karena keduanya hanya taat pada perintah, tapi keduanya tidak saling membuka diri. Cerita itu mengandung pesan, bahwa karakter Jawa cenderung mencari kompromi dari kutub-kutub yang secara apriori diperten-tangkan. Cerita hanacaraka menyingkap suatu sikap nervous

dan rasa khawatir terhadap segala bentuk intoleransi dan fanatisme (Soeprapto Nitihardjo, 2001).

Nitihardjo menjelaskan, bacaan serangkaian kalimat bunyi aksara suku kata urutan lima huruf permulaan dari 20 aksara pada baris pertama berbunyi ha na ca ra ka yang berarti ada duta atau utusan. Oleh karena itu, dulu kata alfabet aksaranya disebut carakan terletak di bumi yang Jawa (panjang), menjadi Carakan Jawa. Aksara tersebut memberi pengertian tentang tujuan hidup, yaitu: mengerti akan tujuan dari sangkan

(asal-usul hidup manusia); tujuan perilaku hidup dalam kehidupan di dunia; dan tujuan di kelak kemudian hari setelah meninggalkan hayat di dunia. Tiga unsur itu kemudian dikenal sebagai unsur-unsur dalam ilmu sangkan paraning dumadi.

(20)

kaum bangsawan atau para priayi Jawa, maka di tangan mereka unsur-unsur Hinduisme-Buddhisme mengalami jawaisasi, bu-kan sebaliknya. Wajar kalau agama dan kebudayaan Hin-duisme-Buddhisme tidak diterima secara lengkap dan utuh. JWM Bakker dalam Agama Asli Indonesia (seperti dikutip

Simuh, 1999:116) mengatakan: “Agama Hindu murni tidak pernah menjadi milik bangsa Indonesia. Hanya unsur-unsur, bukan asasi sebagai Mahabarata dan Ramayana menjadi populer dan disesuaikan dengan pandangan setempat. Hinduisme teng-gelam dalam lautan pemikiran asli, hanya dimanfaatkan untuk lebih menegaskan pandangan hidup Indonesia yang waktu itu masih samar-samar.”

Kebudayaan Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Buddha bersifat terbuka untuk menerima agama apa pun, dengan pemahaman bahwa semua agama baik dan benar, yang penting pengamalan setiap agama harus ditujukan bagi ke-pentingan dan kebesaran masyarakat.

Kebudayaan Jawa masa Hindu-Buddha sudah mengem-bangkan pemahaman inklusivisme, atau bahkan pluralisme dalam keberagamaan. Pemahaman tersebut hampir tidak dapat ditemui di dalam kalangan umat beragama saat ini. Salah satu penyebabnya adalah kita tidak lagi memiliki ketahanan budaya lokal yang kuat, serta kuatnya klaim-klaim kebenaran dan keselamatan di kalangan penganut tiap-tiap agama.

(21)

Ciri lain yang nampak menonjol dalam kebudayaan Jawa adalah sangat bersifat teokratis. Pengeramatan raja sebagai pembawa esensi kedewataan di dunia adalah salah satu bukti sifat teokratis. Sejarawan Onghokham (dalam Simuh, 1999:117) mengatakan:

“... dalam kerajaan tradisional, agama dijadikan sebagai bentuk legitimasi. Dalam zaman Hindu-Jawa diper-kenalkan konsep dewa-raja atau raja titising déwa. Ini berarti bahwa rakyat harus tunduk pada kedudukan raja, untuk mencapai kemurnian di dunia dan di akhirat. Agama diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan. Kebudayaan berkisar pada raja, tahta, dan keraton. Berbagai tulisan menyatakan, kebesaran raja dan kebijaksanaan serta kekeramatannya menjadi satu kesatuan yang final. Memang raja dan kehidupan keraton adalah puncak peradaban kerajaan masa ini.”

Cerita legenda yang termuat dalam Ramayana dan Mahabarata memang dimanfaatkan oleh para sastrawan Jawa untuk menanamkan konsep raja binathara (raja titising déwa,

raja yang bersifat dewa). Konsep tersebut menuntut ketaatan rakyat kepada raja, baik mengenai urusan dunia maupun urusan akhirat. Artinya, raja adalah wakil Tuhan di bumi, sebagai imam dalam urusan rohani (agama) dan duniawi.

Dalam Negara Kretagama karya Mpu Prapanca, seorang pujangga terkenal Majapahit, dilukiskan betapa besarnya peran raja dalam mengatur urusan agama. Raja Majapahit memperoleh kekuasaan berkat keturunan, kecuali Raja Kertarajasa Jaya-wardhana, raja pertama Majapahit yang memupuk kekua-saan melalui peperangan melawan raja Kediri, Jayakatwang.

(22)

Jayawardhana tahun 1305: maharaja Nararya Sanggramawijaya; pada prasasti Lamongan: sri maharaja; pada prasasti Sidateka (1323): sri maharaja rajadhiraja parameswara sri Wiralanda-gopala; pada prasasti O.J.O LXXXIV: sri maharaja Wisnu-wardhana; pada prasasti Nglawang: sri maharaja (Muljana, 2007:179).

Masuknya Hindu dan Buddha serta kebudayaan India tidak serta merta membongkar kepercayaan animisme-dina-misme sebagai kepercayaan asli yang telah mengakar dalam kebudayaan Jawa. Sebaliknya, lebih menyuburkan kepercayaan serba magis dan animis.

Dalam konteks pemikiran itu, maka ada kecenderungan bahwa kehidupan keberagamaan masyarakat Indonesia justru mengalami kemunduran. Kemunduran dari pemahaman yang dulu terbuka menjadi pemahaman yang tertutup; dari inklusif-pluralis menjadi eksklusif. Konsep inklusivitas sesungguhnya sangat signifikan untuk mengantisipasi gejala disintegrasi bang-sa. Paradigma eksklusif tidak lagi cocok diterapkan dalam penyebaran agama. Pandangan inklusif akan membuat agama-gama sangat berperan dalam peradaban manusia (Ekopriyono, 2005:123).

Kebudayaan Jawa Masa Kerajaan Islam

Peralihan kerajaan Jawa-Hindu menjadi Jawa-Islam tidak lepas dari pengaruh dan peran para ulama sufi yang mendapat gelar para wali tanah Jawa. Muncullah sastra Jawa yang memuat ajaran-ajaran keislaman yang masih terpelihara, juga merupa-kan sastra sufi yang disusun pada abad ke-16.

(23)

Hinduisme-Buddhisme yang dipertahankan oleh para cende-kiawan serta para penguasa kerajaan Jawa. Oleh karena itu, di Jawa, Islam menghadapi dua jenis kekuatan lingkungan budaya, yaitu:

1. Kebudayaan para petani lapis bawah yang merupakan bagian terbesar, yang hidup bersahaja dengan adat istiadat yang dijiwai oleh religi animisme-dinamisme; 2. Kebudayaan istana yang merupakan tradisi adiluhung

dengan unsur-unsur filsafat Hindu-Buddha yang mem-perkaya serta memperluas budaya dan tradisi lapisan atas.

Di zaman kerajaan Islam, budaya pedesaan masih tetap didominasi tradisi lisan, adapun budaya kaum priayi dalam lingkungan istana sudah mengembangkan tradisi tulisan dengan memanfaatkan sastra keagamaan Hindu-Buddha. Kebudayaan kaum priayi merupakan sinkretisme yang sangat kompleks. Dari unsur klenik yang serba magis-animis sampai unsur-unsur mitologis-mistis yang halus tergabung menjadi satu ba-ngunan yang rumit dan kompleks.

Kebudayaan priayi masih tetap mempertahankan landasan religi animis-dinamisme dengan tatanan adat-istiadat yang mendukungnya, namun telah diperkaya serta diperhalus dengan sastra dan tata nilai Hindu (huruf: hanacaraka), sistem perhi-tungan tahun saka, agama, dan konsep kerajaan Hindu dengan adanya kepercayaan raja sebagai penjelmaan dewa.

(24)

melalui kepulauan Nusantara berhasil dikuasai oleh negara itu. Pelabuhannya sering dikunjungi oleh pedagang-pedagang muslim dari Gujarat dan Persia. Pada abad ke-13 mereka membawa agama Islam, mula-mula ke pantai timur Aceh, kemudian ke Malaka, dan selanjutnya sepanjang rute dagang ke pulau-pulau rempah di Indonesia, dan juga ke kota-kota pelabuhan di pantai utara Pulau Jawa.

Penyebaran Islam di Jawa untuk beberapa abad tidak dapat menembus benteng kerajaan Hindu-Jawa, sehingga harus memulai dari bawah di daerah-daerah pedesaan sepanjang

pesisiran yang melahirkan lingkungan budaya baru yang ber-pusat di pesantren. Baru pada abad ke-16, dakwah Islam mulai menembus benteng-benteng istana. Unsur-unsur Islam mulai meresap dan mewarnai sastra istana. Hal itu terjadi dengan berdirinya kerajaan Jawa Islam Demak yang mendapat dukungan para wali tanah Jawa.

Sejak runtuhnya kerajaan Jawa-Hindu Majapahit (1518) dan berdirinya kerajaan Islam Demak, dimulai pula Islam menjadi bagian dari kehidupan para priayi Jawa. Pergaulan priayi Jawa atau cendekiawan Jawa dengan para guru agama yang sangat dimuliakan dengan gelar wali tanah Jawa mendo-rong interaksi Islam dengan sastra dan budaya istana. Bahkan, menurut penilaian para pujangga, berdirinya Kerajaan Demak sebagai zaman peralihan; peralihan dari zaman kabudan (tradisi Hindu-Buddha) ke zaman kawalèn (Islam).

(25)

berdiri-nya Kerajaan Pajang, kemudian Mataram, lebih menyuburkan bentuk sinkretisme itu.

Dalam konsep kebudayaan Jawa tradisional, otonomi adalah hak mutlak sang raja. Dalam diri raja terpadu derajat kependetaan (raja-pinandhita) dan derajat ketuhanan ( raja-binathara). Rakyat semata-mata menjadi budak sang raja dan kaum priayi. Jadi, kendala tradisi dengan berbagai mitos dengan pusaka-pusaka “dikiaikan” (dianggap sebagai “kiai”) merupakan sarana para penguasa politik untuk menghambat dan menia-dakan pertumbuhan tuntutan individualisme dan otonomi manusia.

Pada zaman Islam, sesudah masa Demak sampai Mataram, timbul bentuk otonomi manusia yang cukup unik akibat pengaruh tasawuf Islam. Muncul ajaran tentang insan kamil

(manusia yang sempurna) yang dalam tasawuf dan mistik

kejawèn diungkapkan dengan konsep manunggaling kawula lan Gusti. Kebebasan manusia yang mutlak seperti kemutlakan kekuasaan Tuhan sendiri.

Paryana Suryadipura dalam bukunya Manusia dengan Atomnya (Purwadi, 2004) menyarankan agar manusia mengu-asai keempat nafsu yang ada dalam dirinya, yaitu:

1. Egosentros; sama dengan lauwamah (nafsu serakah); 2. Palemos; sama dengan amarah (nafsu jahat);

3. Eros; sama dengan sufiah (nafsu asmara);

4. Religius; sama dengan mutmainah (nafsu keinginan berbuat baik).

Ronggowarsito menjelaskan konsep insan kamil dalam

(26)

1. Nistha papa: barangsiapa berbuat hina, pasti akan menjadi melarat;

2. Dora sangsara: barangsiapa berbuat dusta pasti akan sengsara;

3. Dhusta lara: barangsiapa jahat pasti akan sakit;

4. Nihaya pati: barangsiapa bertindak aniaya, akan celaka.

Konsep insan kamil tersebut hampir sama dengan pemi-kiran humanisme Barat, bahwa manusia adalah individu yang memiliki kebebasan untuk memilih dan menentukan jalan hidup. Perbedaannya terletak pada proses pembentukan kesa-daran tentang kebebasan. Dalam humanisme Barat kesakesa-daran itu muncul sebagai respons terhadap dominasi agama/gereja yang menafikan keadaan manusia sebagai individu yang bebas, adapun dalam konsep insan kamil kesadaran itu muncul sebagai

perwujudan dari “menyatunya” antara manusia dan Tuhan;

Tuhan bersemayam dalam diri manusia.

Kebudayaan Jawa dan Kekristenan

Tidak banyak sumber tertulis mengenai perjumpaan budaya Jawa dan kekristenan. Mungkin hal itu karena Kristen sebagai agama yang paling akhir mengembangkan pengaruh di Jawa, juga karena agama ini tidak pernah berjaya sebagai kerajaan.

Theodore G. Th. Pigeud dalam bukunya Literature of Java

(27)

dari Colen, Kiai Tunggul Wulung, dan Kiai Sadrakh, sampai misionaris Barat, menunjukkan pengaruh tersebut.

Sebelum ada campur tangan misionaris Barat, pekabaran Injil di Jawa yang relatif alamiah tidak menimbulkan gejolak apa pun. Seperti Sunan Kalijaga tidak perlu menjadi Arab ketika ia bertobat menjadi Islam, para kiai Kristen Jawa menerima Kristen tetapi menolak Belanda. Kiai Tunggul Wulung tetap mempertahankan identitas Jawanya, begitu pula Kiai Sadrakh

yang menyebut jemaahnya sebagai “pasamuwané wong Kristen mardika” (jemaat Kristen merdeka).

Masalah mulai muncul ketika kekristenan dekat dengan misionaris Barat. Kedekatan itulah yang kemudian menuai kritik. Sindiran tajam terhadap komunitas Kristen dapat dibaca dalam Serat Bayanullah karya Raden Panji Natarata. Orang Jawa

yang menjadi Kristen disebut sebagai “lingling klalanganing pikir, wirang isin wong Jawa salin agama,” Artinya, “pikiran linglung, tidak tahu malu orang Jawa berpindah agama.”

Pada zaman itu orang Jawa menjadi Kristen dianggap aneh. Muncul di masyarakat ungkapan-ungkapan yang menun-jukkan gejala itu, antara lain “Kristen iku agamané wong landa.”

Ungkapan itu menyiratkan, bahwa Kristen hanyalah agama bagi orang Belanda. Praktik kehidupan Kristen belum sepenuhnya dapat diterima oleh masyarakat karena dianggap tidak lazim. Misalnya, cara menyembah dengan cara berhadap-hadapan (jemaat dan pendeta/pastur). Mungkin pula karena hubungan orang-orang Kristen dengan kalangan Belanda.

(28)

antara iman Kristen dan kejawèn memang telah terjadi dan akan terus terjadi.

Menurut Bambang Noorseno (2003:46), di Desa Ngoro, Jawa Timur, pernah dipelopori “pengawinan” kejawèn dan kekristenan. Hasilnya, sudah pasti, tidak selalu semua orang Kristen setuju. Itulah alasan konflik antara para kiai Kristen Jawa dan para misionaris Barat yang menuduh mereka telah membelokkan katekese3 ke arah klenik atau takhayul yang tidak

masuk akal.

Konflik antara lain muncul di tahun 1899 antara Kiai Sadrakh dan para misionaris Kristen. Puncaknya terjadi ketika

Kiai Sadrakh menobatkan diri sebagai ”Rasul Jawa” dan

melarang pengikutnya untuk menjalin hubungan dengan para misionaris. Konflik itu, menurut Sumartana (1991:66), kemu-dian memunculkan dua identitas Kristen, yaitu:

1. Kristen yang menerima Injil tanpa menolak semua budaya Jawanya, yang sering juga disebut sebagai Kristen Jawa;

2. Kristen yang menerima Injil dengan segala ke-budayaan Belandanya dan menolak keke-budayaan Jawa, sering disebut sebagai Kristen Landa.

Dalam perkembangan selanjutnya, identitas Kristen Jawa makin terdesak oleh Kristen Landa. Jemaat di gereja-gereja yang terang-terangan menyebut diri sebagai Gereja Kristen Jawa pun lebih sering memperlihatkan sebagai jemaat yang telah mening-galkan kebudayaan Jawa. Gejala ini misalnya terlihat dari mulai

3 Katekese merupakan salah satu bentuk pelaksanaan tugas mewartakan

(29)

jarangnya penggunaan bahasa Jawa dalam kebaktian dan lebih sering menyanyikan lagu-lagu berbahasa Indonesia daripada Kidung Pasamuan Kristen Jawa. Kotbah-kotbah yang disampai-kan para pendeta juga sering menedisampai-kandisampai-kan agar jemaatnya meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama (budaya Jawa) supaya memperoleh “hidup baru.”

Kebiasaan-kebiasaan lama itu dituduh sebagai klenik dan

takhayul, misalnya tradisi mengunjungi makam leluhur (tilik kubur), slametan, dan mengadakan upacara-upacara lain yang lazim dilakukan dalam kerangka kebudayaan Jawa. Lama-kelamaan, kejawaan itu luntur dan hilang dalam kehidupan orang-orang Jawa yang memeluk agama Kristen.

Meskipun kadarnya lebih kecil, gejala ini sama dengan gejala yang terjadi di kalangan orang Jawa penganut Islam, yang juga meninggalkan kebudayaan Jawa dan beralih ke kebudayaan Arab (Timur Tengah). Kadar tersebut lebih kecil, mungkin karena dalam Islam berkembang pula ajaran-ajaran tasawuf yang sangat dekat dengan kebudayaan Jawa.

Muncul gejala, bahwa orang-orang Jawa yang menganut Kristen ”wis dadi landa,”4 orang-orang Jawa yang menganut

Islam sudah ”menjadi Arab.” Inilah konsekuensi dari penyam-puradukan antara agama dan budaya. Kristen diidentikkan dengan Eropa-Amerika, Islam diidentikkan dengan Arab-Timur Tengah, Hindu-Buddha disamakan dengan India, dan Kong-hucu dengan Cina.

Relasi Jawa-Kristen juga terlihat dari perhatian pujangga Keraton Surakarta Ronggowarsito pada Nabi Isa (Yesus Kristus) dan agama Kristen. Dalam manuskrip Paramoyaga,

4 Bahasa Jawa landa secara harafiah berarti Belanda atau bule. Orang Jawa

(30)

warsito menggambarkan pertentangan antara Nabi Isa dan agama Hindu yang dipersonifikasikan sebagai Sang Hyang Jagadnata. Pujangga Keraton Surakarta itu bersimpati pada agama Kristen dan menyebut bahwa Ajisaka belajar dan menerima instruksi dari Nabi Isa.

Dalam Paramayoga (Sukatno, 2001:121) bab berjudul

”Sang Hyang Jagadnata Bermusuhan dengan Nabi Isa,” dikisah -kan, para sahabat mengusulkan agar Nabi Isa menyirnakan para dewa yang mengaku sebagai Tuhan, yang selama ini bertempat tinggal di kahyangan di puncak Gunung Tenguru (Himalaya). Singkat cerita, Nabi Isa mengubah segumpal tanah liat menjadi burung dara berbisa, yang dapat merusak para dewa.

Burung dara itu menemui Sang Hyang Jagadnata, meminta dewa dan bala tentaranya menghadap Nabi Isa untuk diberi pelajaran agama yang sesungguhnya; beribadah kepada Tuhan Yang Sejati, yang menciptakan semua makhluk. Sang Hyang Jagadnata marah, namun tidak dapat mengalahkan burung dara tersebut. Burung dara itu menyebarkan bisa (racun) di wilayah Hindi (Hindustan). Sang Hyang Jagadnata melarikan diri dari Gunung Tenguru ke Sumatera, Pulau Jawa, dan Bali.

Kebudayaan Jawa Masa Kini

(31)

Banyak usaha telah dilakukan oleh berbagai komunitas Jawa, namun kenyataan membuktikan bahwa budaya Jawa tidak dapat berkembang seperti yang diharapkan oleh konuni-tas-komunitas tersebut. Pengaruh-pengaruh budaya asing, per-lahan tapi pasti telah mengikis kebudayaan ini.

Perkembangan tersebut menggambarkan bahwa pernya-taan bahwa budaya Jawa merupakan budaya yang lentur dan tidak akan luntur oleh pengaruh-pengaruh dari luar, masih layak dipertanyakan kebenarannya. Kalau selama ini banyak pengamat yang mengatakan bahwa budaya dari luar kemudian

“dijawakan” (Hindu menjadi Hindu-Jawa, Buddha menjadi Buddha-Jawa, Islam menjadi Islam-Jawa, dan Kristen menjadi Kristen-Jawa) maka pertanyaannya adalah masihkah budaya Jawa itu kuat dan dianut oleh masyarakatnya?

Salah satu ungkapan yang sangat menggambarkan bahwa sebenarnya budaya Jawa sudah tidak lagi mendapat tempat yang layak dalam masyarakatnya adalah wong Jawa ilang Jawané.

Ungkapan itu menggambarkan, bahwa sekarang orang Jawa sudah kehilangan sifat-sifat Jawa, sudah tidak lagi memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran Jawa dalam kehidupan sehari-hari.

(32)

Pertanyaannya, apakah benar Hindu telah dijawakan, Buddha dijawakan, Islam dijawakan, Kristen dijawakan, dan Konghucu dijawakan. Apakah bukan sebaliknya, justru Jawa dihindukan, Jawa dibuddhakan, Jawa diislamkan, Jawa di-kristenkan, Jawa dikonghucukan. Apakah benar yang terjadi adalah Jawaisasi Hindu, Jawaisasi Buddha, Jawaisasi Islam, jawaisasi Kristen, atau sebaliknya Hinduisasi Jawa, Buddhaisasi Jawa, Islamisasi Jawa, Kristenisasi Jawa, Konghucuisasi Jawa.

Pertanyaan itu mirip dengan hipotesis Koentjaraningrat (1994:446), yaitu:

”.... apabila suatu kebudayaan atau suatu sub-kebudayaan di dalam sebuah kelas tertentu dalam suatu masyarakat memiliki suatu tradisi turun-menurun yang sudah mantap, dan yang karena itu memiliki kepentingan untuk mempertahankan tradisi kuna dan panjang itu, maka akan ada kecondongan timbulnya suatu sikap penolakan yang lebih intensif terhadap perubahan kebudayaan, daripada dalam kebudayaan atau sub-kebudayaan yang tidak memunyai tradisi yang panjang.”

Mengacu pada uraian tentang kebudayaan Jawa masa kini tersebut, maka hipotesis Koentjaraningrat tidak terbukti. Kebu-dayaan Jawa yang memiliki tradisi turun-menurun yang sudah mantap ternyata larut ke dalam arus globalisasi. Manusia Jawa tidak lagi memahami dan mempraktikkan nilai-nilai kebudaya-an Jawa.

Beberapa tradisi mungkin masih dijalankan, misalnya tilik kubur sebagai perwujudan penghormatan kepada arwah le-luhur, slametan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan,

mitoni (memperingati usia tujuh bulan kehamilan), weton

(33)

perkawin-tradisi itu mencerminkan pemahaman, penghayatan, dan penerapan nilai-nilai kebudayaan Jawa sebagai bentuk penolakan terhadap perubahan kebudayaan atau resistensi terhadap masuknya kebudayaan dari luar? Apakah tradisi-tradisi itu tidak hanya bersifat seremonial, tanpa pemahaman, penghayatan, dan penerapan dalam kehidupan sehari-hari?5

Jawa Larut dalam Globalisasi

Anthony Giddens (2000) mengungkapkan, proses globali-sasi sangat terkait dengan revolusi komunikasi dan penyebaran teknologi informasi. Hal itu bahkan juga berlaku dalam arena ekonomi. Pasar uang yang bergerak dua puluh empat jam bergantung pada gabungan teknologi satelit dan komputer yang juga memengaruhi banyak aspek kemasyarakatan yang lain. Dunia dengan komunikasi elektronik yang seketika, menggun-cang institusi-institusi lokal dan pola kehidupan sehari-hari. Pandangan Barat melihat globalisasi sebagai era masa depan; yaitu era yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi secara global yang akan mendatangkan kemakmuran global bagi semua orang.

Berbeda dari pandangan tersebut, Mansour Fakih (2001:211) justru menilai, globalisasi adalah kelanjutan dari kolonialisme dan developmentalisme sebelumnya. Globalisasi

5

Observasi dan pengalaman penulis sebagai orang Jawa yang hidup di masa postmodern sekarang ini, menunjukkan bahwa Jawa tidak lagi memiliki kekuatan dalam penolakan yang intensif terhadap kebudayaan yang masuk dari luar. Manusia Jawa sudah kehilangan kejawaannya; secara budaya sebagian besar dari mereka kalau tidak menjadi global (Barat), menjadi Arab (Timur Tengah). Globalisasi yang dalam bentuk praktisnya adalah westernisasi

dan arabisasi (yang dibawa gerakan ideologi transnasional) telah ”merenggut”

(34)

dicurigai sebagai bungkus baru dari imperialisme dan kolo-nialisme.

Pandangan Mansour Fakih itu sejalan dengan pendapat guru besar Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Amien Rais. Dalam wawancara dengan penulis (10 April 2008 di Semarang) ia berpendapat, bahwa globalisasi sebenarnya merupakan kolonialisme baru dan imperialisme baru (neokolonialisme dan neoimperialisme).

Globalisasi memunculkan konflik lokal-global, termasuk konflik antara nilai-nilai budaya Jawa dan nilai-nilai budaya global. Kebanyakan manusia Jawa sangat merasakan konflik antara budaya Barat dan budaya Jawa, tapi tidak begitu menyadari bahwa sebenarnya pertemuan budaya Jawa dengan budaya Arab (Timur Tengah) pun mengandung konflik di dalamnya. Konflik ini hanya dirasakan oleh orang-orang yang memunyai perhatian khusus terhadap upaya pelestarian nilai-nilai budaya Jawa, misalnya perkumpulan kebatinan. Dalam pertemuan-pertemuan komunitas kejawèn terungkap, bahwa kelompok-kelompok kebatnan merasa dijajah oleh agama-agama besar dan menjadi kelompok marginal di negerinya sendiri.

Gejala tidak disadarinya pengaruh budaya yang masuk bersamaan dengan agama Islam itu, misalnya tampak dalam penerapan muatan lokal baca tulis Al Quran dalam kurikulum pendidikan beberapa sekolah di Jawa Tengah.6 Bukankah

6 Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Demak

menerbitkan buku panduan pendidikan (silabus) untuk muatan lokal baca tulis Alquran. Kadindikpora Demak, HM. Afhan Noor mengemukakan, silabus penting untuk memberikan panduan tata cara mengajar baca tulis Alquran di masing-masing tingkatan. “Silabus diperuntukkan mulai dari SD, SLTP, hingga SLTA. Tujuannya untuk menumbuhkembangkan budaya baca tulis Alquran

(35)

muatan lokal seharusnya merupakan mata pelajaran yang berlandaskan budaya dan kearifan lokal di daerah tempat siswa itu belajar? Jadi, secara ideal muatan lokal untuk siswa di Jawa Tengah paling tepat adalah mata pelajaran tentang budaya dan kearifan lokal Jawa. Begitu pula, untuk siswa di Sumatera Barat misalnya, muatan lokal paling tepat mata pelajaran tentang budaya dan kearifan lokal Minangkabau, di Jawa Barat budaya Sunda, di Jakarta budaya Betawi, dan seterusnya.7

Dalam konteks konflik lokal-global itu, globalisasi meru-pakan bentuk penjajahan budaya transnasional (baik western-isasi maupun arabwestern-isasi), termasuk penjajahan terhadap manusia Jawa. Manusia Jawa telah larut dalam arus global, kehilangan jatidirinya sebagai manusia Jawa.

Penyebab kekalahan budaya Jawa tersebut antara lain:

1. Sinkretisme yang melunak; 2. Orientasi pada kearifan individu; 3. Sikap mental “inlander.”

Sinkretisme yang melunak terjadi pada masa kini, ter-utama ketika arus global sangat kuat memengaruhi hampir semua sendi kehidupan. Sinkretisme yang secara ideal meru-pakan kerja sama sosial-budaya menghadapi musuh bersama, justru menjadi penyebab lunaknya ketahanan budaya Jawa, sehingga tidak kuat menghadapi penetrasi budaya luar.

7 Penyusunan kurikulum muatan lokal atas dasar acuan keadaan masyarakat

(36)

nilai budaya Jawa kemudian tergeser oleh nilai-nilai budaya Barat atau nilai-nilai budaya Arab. Barat tidak dijawakan atau Arab tidak dijawakan, tapi Jawa dibaratkan atau Jawa diarab-kan.

Orientasi pada kearifan individual, yang menjadi salah satu sifat budaya Jawa, juga menjadi faktor pendorong kekalah-an budaya Jawa menghadapi globalisasi. Orientasi pada kearifkekalah-an individual itu menyebabkan perhatian manusia Jawa hanya terfokus pada ketenteraman jiwa, ketenangan hidup pribadi. Akibatnya, mereka kurang sadar terhadap pengaruh budaya luar, terlebih lagi budaya luar itu dibawa oleh agama. Mereka kemudian tidak lagi memiliki kepedulian terhadap pelestarian dan pengembangan budayanya sendiri.

Manusia Jawa, seperti pada umumnya masyarakat Indonesia yang oleh Arifin Bey (2003) dinilai masih mengidap

penyakit ”inlander.” Mental “inlander” itu antara lain: tidak percaya diri, lebih mengandalkan otot daripada otak, lebih menghargai hal-hal dari luar daripada milik sendiri, mudah terkejut dan terheran-heran (gumunan lan kagètan) mengha-dapi pengaruh dari luar. Karena itu, bangsa ini memerlukan suatu revolusi mental dan moral untuk membuka jalan bagi pembangunan ekonomi-sosial sehingga dapat meraih kembali rasa hormat dunia.

Kesimpulan

(37)

maka tidak dapat dimungkiri bahwa kebudayaan Jawa keraton dinilai sebagai pusat kebudayaan Jawa. Oleh sebab itu, kebanyakan tulisan tentang kebudayaan Jawa pun, termasuk buku ini, menitikberatkan pada kebudayaan Jawa yang ber-kembang di lingkungan Keraton Yogyakarta dan Surakarta.

Perkembangan kebudayaan Jawa dapat dibagi ke dalam tiga periode, yaitu: masa sebelum Buddha, masa Hindu-Buddha, masa kerajaan Islam, dan masa kini. Di tengah-tengah perkembangan tersebut, terdapat pengaruh agama Kristen, meskipun tidak sebesar pengaruh Hindu, Buddha, dan Islam.

Dalam relasi dengan budaya India (Hindu, Buddha), budaya Arab (Islam), dan pengaruh kekristenan, kebudayaan Jawa selalu dilandasi oleh sifat yang khas, yaitu sinkretisme. Pada masa sebelum Hindu-Buddha, masa Hindu-Buddha, dan masa kerajaan Islam, serta relasi dengan kekristenan, sinkretis-me Jawa masih terasa kuat, sehingga muncul istilah Hindu Jawa, Buddha Jawa, Islam Jawa, Kristen Jawa.

Perkembangan selanjutnya, budaya Jawa mengalami kemerosotan karena pengaruh yang kuat globalisasi, baik dari Barat maupun dari Arab (Timur Tengah). Itulah Jawa masa kini, Jawa pada era globalisasi, yang larut oleh arus global. Sifat sin-kretisme, lentur, fleksibel, dan mudah menyesuaikan diri dengan kebudayaan luar, justru melunak, sehingga manusia tidak lagi memegang teguh dan menerapkan nilai-nilai budaya Jawa dalam kehidupan sehari-hari.

(38)

juga dari budaya Arab (Timur Tengah). Ironisnya, banyak manusia Jawa yang kehilangan daya kritis ketika menghadapi gerakan itu, salah satu penyebabnya adalah pandangan sempit (fanatisme sempit) dalam keberagamaan.

Pada era globalisasi saat ini, nilai-nilai budaya Jawa sudah ditinggalkan oleh sebagian besar manusia Jawa sendiri, terutama generasi muda. Banyak anak muda yang tidak lagi mengenal nilai-nilai yang selama berabad-abad menjadi norma hidup leluhur mereka. Lebih dari itu, bahkan banyak pula di antara mereka yang menganggap nilai-nilai itu sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Mereka terasing dan tercerabut dari akar-akar budayanya sendiri.8

Dalam kondisi tersebut, diperlukan revolusi mental dan moral manusia Jawa untuk membuka jalan bagi pembangunan ekonomi-sosial sehingga memberikan kontribusi pada bangsa ini untuk meraih kembali rasa hormat dunia.

8 Pengalaman penulis dalam pergaulan sehari-hari menunjukkan kebenaran

gejala tersebut. Beberapa kali penulis menjumpai kenyataan, bahwa anak-anak muda, bahkan orang-orang Jawa seusia penulis (generasi kelahiran tahun 1958) tidak lagi fasih berbahasa Jawa dan tidak lagi mengenal ajaran-ajaran Jawa. Sebagai contoh, mereka tidak mengerti arti kata gemujeng (tertawa), tidak dapat membedakan antara arti kata nuwun dan nyuwun, sehingga keliru

mengucapkan ”nuwun sèwu” menjadi ”nyuwun sèwu.” Begitu pula dalam

pemahaman terhadap ajaran-ajaran Jawa, mereka tidak mengerti makna

Referensi

Dokumen terkait

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara

This article was written based on research results by Widarto and Noto Widodo (2013) which has been successful: (1 ) find the required academic culture of the workforce

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa dalam perusahaan, karyawan merupakan motor penggerak perusahaan bisa dikatakan bahwa manajer atau pimpinan perusahaan adalah orang

Nama paket pekerjaan : Rehabilitasi Ruang Kerja Camat Cilacap Utara Kabupaten Cilacap. Pagu Anggaran

Dalam Praktik Pengalaman Lapangan diminta untuk membuat beberapa laporan dan rencana mengajar agar rencana yang sudah di tetapkan dapat berjalan dengan

Metode ini menyatakan bahwa persediaan dengan nilai perolehan awal (pertama) masuk akan dijual (digunakan) terlebih dahulu, sehingga persediaan akhir dinilai dengan nilai

Hasil kegiatan ini memberikan penyadaran bahwa: (1) guru mata pelajaran produktif di SMK harus mampu membuat soal ujian dengan baik (valid, reliabel, dan efisien); (2) butir soal

Hasil analisa data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruh yang sangat signifikan antara gaya dukungan keluarga terhadap kecenderungan post power syndrome pada pensiunan