• Tidak ada hasil yang ditemukan

d. K lasifikasi A sma Berdasarkan Gejala

Dalam dokumen Home Visit Asma Revisi 2.docx (Halaman 36-47)

Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat serangan. Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit, pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru berguna untuk mengklasifikasi penyakit menurut berat ringannya. Klasifikasi itu sangat  penting untuk penatalaksanaan asma. Berat ringan asma ditentukan oleh berbagai faktor seperti gambaran klinis sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi b-2 agonis, dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Asma dapat diklasifikasikan menjadi intermiten,  persisten ringan, persisten sedang, dan persisten berat (Tabel 1). Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan

sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat ringannya serangan. Global   Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat serangan asma  berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan, asma serangan sedang, dan asma serangan berat. Dalam hal ini perlu adanya pembedaan antara asma kronik dengan serangan asma akut. Dalam melakukan penilaian berat ringannya serangan asma, tidak harus lengkap untuk setiap pasien. Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam menangani pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang ada (Depkes RI, 2009)

Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman dan Penatalaksanaan di Indonesia, 2004)

F. Manifestasi Klinis

Asma dikarakteristikkan dengan penyebab yang bervariasi dan tidak dapat diperkirakan. Gejala yang umum terjadi adalah wheezing (mengi), sulit bernafas, dada sesak dan batuk, biasanya terjadi pada malam hari dan menjelang pagi hari, yang merupaka tipe dari asma. Serangan asma bisa terjadi hanya dalam beberapa menit sampai jam. Pada saat tidak terjadi serangan, fungsi paru pasien tampak normal. (Lewis, et al, 2007).

Wheezing merupakan tanda yang tidak dipercaya untuk mengukur tingkat keparahan serangan. Beberapa pasien dengan serangan ringan, wheezing terdengar

keras sedangkan pasien yang mengalami serangan berat, tidak ada tanda wheezing karena terjadi penurunan aliran udara. Bila wheezing terjadi, pasien dapat memindahkan cukup udara untuk memproduksi suara. Wheezing biasanya terjadi  pada saat pertama ekhalasi. Pada peningkatan gejala asma, pasien dapat mengalami

wheezing selama inspirasi dan ekspirasi (Lewis, et al, 2007). G. Diagnosa

Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan  penunjang.

a. Anamnesa

Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair (konjungtivitis alergi) dan ekzim atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain  bludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak dengan bau- bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang merokok di rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker , aspirin atau steroid. Gejala-gejala kunci untuk menegakkan diagnosis asma dirangkum dalam Tabel 2.

b. Pemeriksaan Fisik

Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci, menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi  perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas cepat, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang.

c. Pemeriksaan Penunjang 1. Spirometri

Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan (Sundaru, 2007).

2. Peak flow meter/ PFM

Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru.

Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan objektif ( Spirometer/ FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan dibandingkan PFM oleh karena PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV, untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk  penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.

3. X-ray thoraks

Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma (Rengganis, 2008). Tidak begitu penting. Pada sebagian besar menunjukkan normal atau hiperinflasi (Marantha, 2011).

4. Pemeriksaan IgE

Uji tusuk kulit ( skin prick test), untuk menunjukan adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE atopi dilkakukan dengan cara radio allergo sorbent test ( RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan ( pada dermographism) (Rengganis, 2008).

5. Petanda inflamasi.

Derajat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenernya tidak  berdasarkan atas penilaian objektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan

spirometri bukan merupakan pertanda ideal inflamasi. Penilaian semi kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru,  pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisa sputum yang diinduksi menunjukan hubungan antara jumlah eosinofil dan  Eosinophyl Cationic Protein  ( ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukan gambaran inflamasi tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset (Rengganis, 2008).

6. Uji hiperaktivitas bronkus/HRB

Pada penderita yang menunjukan FEV1 > 90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai test provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respon sejenis dengan dosis yang

lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa  partikel dengan berbagai ukuran 2

 – 

 20 µm, tidak dalam bentul nebulasi. Tes  provokasi sebenernya kurang memberikan informasi klinis dibandingkan test kulit. Test provokasi non spesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin dan metakolin (Marantha, 2011).

H. Diagnosa Banding a. Dewasa

1. Penyakit Paru Obstruksi Kronik 2. Bronkitis kronik

3. Gagal Jantung Kongestif 4. Disfungsi larings

5. Keganasan 6. Emboli Paru  b. Anak

1. Benda asing di saluran napas 2. Laringotrakeomalasia

3. Pembesaran kelenjar limfe 4. Tumor

5. Stenosis trakea 6. Bronkiolitis

I. Pengobatan Umum Asma

Berdasarkan Pedoman Pengendalian Penyakit Asma yang dikeluarkan Ditjen PP & PL (2009) disebutkan bahwa tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktifitas sehari-hari (asma terkontrol).

Tujuan penatalaksanaan asma:

1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma 2. Mencegah eksaserbasi akut

4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise 5. Menghindari efek samping obat

6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel 7. Mencegah kematian karena asma

Pada prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi dua yaitu  penatalaksanaan asma akut/saat serangan dan penatalaksanaan asma jangka panjang. 1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam

2. Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise

3. Kebutuhan bronkodilator (agonis ß2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak diperlukan)

4. Variasi harian APE kurang dari 20% 5.  Nilai APE normal atau mendekati normal 6. Efek samping obat minimal (tidak ada) 7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat

Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma adalah gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang menimbulkan hiperesponsif dan obstruksi jalan napas yang bersifat episodik. Sehingga  penatalaksanaan asma dilakukan melalui berbagai pendekatan yang dapat dilaksanakan (applicable), mempunyai manfaat, aman dan dari segi harga terjangkau. Integrasi dari pendekatan tersebut dikenal dengan :

Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen : 1. Edukasi

2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala 3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus

4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang 5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut

6. Kontrol secara teratur 7. Pola hidup sehat

Komunikasi yang baik dan terbuka antara dokter dan pasien adalah hal yang  penting sebagai dasar penatalaksanaan. Diharapkan agar dokter selalu bersedia

mendengarkan keluhan pasien, itu merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Komponen yang dapat diterapkan dalam penatalaksanaan asma, yaitu

mengembangkan hubungan dokter pasien, identifikasi dan menurunkan pajanan terhadap faktor risiko, penilaian, pengobatan dan monitor asma serta penatalaksanaan asma eksaserbasi akut.

Pada prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu: 1.  Penatalaksanaan Asma Akut 

Serangan akut adalah keadaan darurat dan membutuhkan bantuan medis segera, Penanganan harus cepat dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit/gawat darurat. Kemampuan pasien untuk mendeteksi dini perburukan asmanya adalah penting, agar pasien dapat mengobati dirinya sendiri saat serangan di rumah sebelum ke dokter.

Dilakukan penilaian berat serangan berdasarkan riwayat serangan, gejala,  pemeriksaan fisis dan bila memungkinkan pemeriksaan faal paru, agar dapat diberikan pengobatan yang tepat dan cepat. Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah pengontrol yaitu : bronkodilator (ß-agonis kerja cepat dan ipratropium bromide) dan kortikosteroid sistemik. Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya ß-agonis kerja cepat yang sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan secara sistemik. Pada dewasa dapat diberikan kombinasi dengan teofilin atau aminofillin oral.

Pada keadaan tertentu (seperti ada riwayat serangan berat sebelumnya) kortikoteroid oral (methilprednisolon) dapat diberikan dalam waktu singkat 3-5 hari. Pada serangan sedangkan diberikan ß-agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral. Pada dewasa dapat ditambahkan ipratropium bromide inhalasi, aminofillin IV (bolus atau drip). Pada anak belum diberikan ipratroium bromide inhalasi maupun aminofillin IV. Bila perlu diberikan oksigen dan pemberian cairan IV.

Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV, ß -agonis kerja cepat ipratropium bromide inhalasi, kortikosteroid IV dan aminofillin IV (bolus atau drip). Apabila ß-agonis kerja cepat tidak tersedia dapat diganti dengan adrenalin subkutan.

Pada asma yang mengancam jiwa langsung dirujuk ke ICU. Pemberian obat-obatan bronkodilator diutamakan dalam bentuk inhalasi menggunakan nebulizer. Bila tidak ada dapat menggunakan IDT (MDI) dengan alat bantu (spacer).

2.  Penatalaksanaan Asma Kronik atau jangka panjang 

Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan mencegah terjadi serangan asma. Pengobatan jangka panjang adalah edukasi, obat asma (pengontrol dan pelega) dan menjaga kebugaran. Adapun edukasi yang diberikan mencakup kapan pasie berobat atau mencari  pertolongan, mengenali gejala serangan asma secara dini, mengetahui

obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu penggunaannya, mengenali dan menghindari faktor pencetus dan melakukan kontrol secara teratur.

Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega diberikan  pada saat serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk  pencegahan serangan asma dan diberikan dalam jangka panjang dan terus menerus. Untuk mengontrol asma digunakan anti inflamasi (kortikosteroid inhalasi). Pada anak kontrol lingkungan mutlak dilakukan sebelum diberikan korikosteroid dan dosis diturunkan apabila dua sampai tiga bulan kondisi telah terkontrol. Obat asma yang digunakan sebagai pengontrol lain adalah inhalasi kortikosteroid, ß-agonis kerja panjang, antileukotrien dan teofilin lepas lambat.

Tabel 3. Jenis-jenis obat asma

Jenis obat Golongan Nama generik Bentuk

Pengontrol (antiinflamasi)

Steroid inhalasi Flutikason  propionate Budesonide

IDT

IDT, turbuhaler Antileukotrien Zafirlukas Oral (tablet) Kortikosteroid sistemik Methilprednisolon Prednison Oral/injeksi Oral Agonis Beta-2 kerja lama Formoterol Salmeterol Turbuhaler IDT Kombinasi steroid dan agonis beta-2 kerja lama Flutikason Salmeterol Budesonide Formoterol IDT Turbuhaler Pelega (Bronkodilator) Agonis ß2 kerja cepat

Salbutamol Oral, IDT,

Terbutalin Oral, IDT, turbuhaler, ampul Antikolenergik Fenoterol Ipratropium  bromide IDT, solution IDT, solution Metilsantin Teofilin Aminofillin Oral Oral, injelksi Kortikosteroid sistemik Methilprednisolon Prednison Oral, inhaler Oral

Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman dan Penatalaksanaan di Indonesia, 2004)

Tabel 4. Ciri-ciri asma berdasakan tingkatan terkontrol

Karakteristik Terkontrol Terkontrol sebagian Tidak terkontrol Gejala harian Tidak ada (dua kali

atau kurang  perminggu)

Lebih dua kali seminggu

Tidak atau lebih gejala dalam kategori asma terkontrol sebagian, muncul waktu-waktu

dalam seminggu Pembatasan aktivitas Tidak ada Sewaktu-waktu

dalam seminggu Gejala nocturnal/gangguan tidur (terbangun) Sewaktu-waktu dalam seminggu Kebutuhan akan reliever

Lebih dari 2 kali seminggu Fungsi paru (PEF

atau FEV1)

 Normal < 80 %

Eksaserbasi

Tidak ada Sekali atau lebih dalam setahun

Sekali dalam seminggu Sumber : GINA, 2006

J. Komplikasi

Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah : 1. Status asmatikus 2. Atelektasis 3. Hipoksemia 4. Pneumothoraks 5. Emfisema K. Prognosis

Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir menunjukan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang berjumlah kira-kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka kematian penderita asma wanita dua kali lipat penderita asma pria. Juga kenyataan bahwa angka kematian pada serangan asma dengan usia tua lebih banyak, kalau serangan asma diketahui dan dimulai sejak kanak-kanak dan mendapat pengawasan tersebut kalau sering mengalami serangan common cold 29% akan mengalami serangan ulang. Pada  penderita yang mengalami serangan inttermitent angka kematiannya 2%, sedangkan angka kematian pada penderita yang dengan serangan terus menerus angka kematiannya 9%.

PENUTUP

A. KESIMPULAN 1. Segi Biologis

-  Ny. Siti 47 tahun menderita penyakit asma persisten ringan - Status gizi Ny. Siti termasuk gizi normal.

- Rumah dan lingkungan sekitar keluarga Ny. Siti kurang sehat. 2. Segi Psikologis

- Hubungan antara anggota keluarga terjalin cukup baik terutama kepada suami yang selalu memperhatikan kesehatan pasien dan hubungan dengan masyarakat atau tetangga baik.

- Pengetahuan akan penyakit asma bronkiale yang masih kurang yang  berhubungan dengan tingkat penyebab dan akibat yang akan terjadi.

- Tingkat kepatuhan dalam mengkonsumsi obat bisa dilakukan dengan baik. - Tingkat kepatuhan dalam mengontrol penyakitnya kurang baik, pasien hanya

 berobat saat penyakitnya timbul lebih berat karena pasien tidak mempunyai kartu berobat.

3. Segi Sosial

- Problem ekonomi dirasakan cukup bagi pasien. 4. Segi fisik

- Rumah dan lingkungan sekitar keluarga Ny. Siti kurang sehat. B. SARAN

1. Memberikan edukasi pada keluarga agar memiliki pengetahuan tentang gejala asma  bronkiale dan penanganan pertama yang harus dilakukan dan terutama menghindari

faktor risiko yang akan menyebabkan penyakit pasie n kambuh.

2. Memberikan informasi kepada pasien agar rutin kontrol di Puskesmas atau rumah sakit untuk memeriksakan perkembangan penyakitnya.

3. Menyarankan pasien untuk membuat kartu berobat, sehingga pasien bisa kontrol secara rutin dan agar pasien tidak sangat memikirkan biaya yg di keluarkan.

4. Sosialisasi tentang pelaksanaan kunjungan rumah kepada petugas kesehatan dan masyarakat harus lebih ditingkatkan agar tercapai pelaksanaan pelayanan yang holistik.

Dalam dokumen Home Visit Asma Revisi 2.docx (Halaman 36-47)

Dokumen terkait