• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan yang direduksi hanya menjadi persekolahan belaka sebagian disebabkan oleh tatakelola pendidikan yang buruk. Lansekap sosial politik mutakhir terpenting yang dibawa oleh reformasi adalah desentralisasi pembangunan sebagai respons atas pembangunan sentralistik selama Orde Baru. Desentralisasi sebagian besar dikembangkan untuk mendekatkan pelayanan publik pada warga Negara di sebuah kawasan dengan kekhasan wilayah tersebut. Diharapkan, melalui desentralisasi ini, pelayanan publiK, terutama pendidikan, dapat semakin bermutu dan relevan dengan kebutuhan warga, sekaligus meningkatkan partisipasi warga dalam pembangunan pendidikan.

Mutu dan relevansi pendidikan hanya dapat disediakan oleh daerah apabila daerah diberi otonomi yang memadai. Namun otonomi tidak berdiri sendiri, namun harus disertai akuntabilitas dan keterbukaan (transparansi). Dalam kaitan inilah isu tata kelola pembangunan pendidikan menjadi penting. Artinya, tata kelola pembangunan pendidikan dapat dipahami sebagai perwujudan “pendidikan oleh semua” sebagai konsekuensi logis dari “pembangunan untuk semua”. Banyak studi mengenai tatakelola

pendidikan menunjukkan, bahwa tatakelola pendidikan dapat memberi pengaruh yang luas bagi akses dan mutu pendidikan. Salah satu aspek terpenting dari perbaikan tatakelola pendidikan adalah pencegahan korupsi di sektor pendidikan di berbagai tingkat birokrasi pendidikan hingga tindakan curang dan tidak pantas oleh guru di sekolah. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional telah mengamanatkan pembantukan kelembagaan baru seperti Dewan Pendidikan Daerah dan Badan Nasional Standar Pendidikan. Dua lembaga ini merupakan lembaga-lembaga independen yang dibiayai oleh APBN/D. Sayang sekali, kinerja Dewan Pendidikan Daerah saat ini belum seperti yang diharapkan, sehingga tata kelola pembangunan pendidikan masih belum seperti yang diharapkan oleh Undang Undang Sisdiknas.

Pada saat yang sama, Badan Akreditasi Sekolah juga masih perlu diperkuat dari aspek kelembagaan dan logistic untuk mampu melindungi masyarakat konsumen pendidikan dari layanan pendidikan yang tidak layak. Pelaksanaan sertifikasi guru masih diselenggarakan oleh LPTK yang menghasilkan guru, bukan oleh Asosiasi Profesi Guru, sehingga masih menempatkan guru pada posisi tawar yang lemah menghadapi Pemerintah. Guru adalah sebuah profesi, sehingga tidak tepat diperlakukan sebagai buruh/pekerja biasa.

Ujian Nasional yang ikut dijadikan syarat kelulusan murid dari sebuah sekolah merupakan kebijakan yang mengganggu pengembangan tata kelola pembangunan pendidikan yang baik. Ujian Nasional yang “diwajibkan” merugikan siswa sebagai konsumen, dan menghilangkan

insentif akreditasi. Bahkan BNSP sebenarnya bukan lembaga yang tepat untuk menyelenggarakan Ujian Nasional.

Dinas Pendidikan Daerah saat ini masih belum mampu memanfaatkan kesempatan otonomi daerah dengan mengembangkan tata kelola pendidikan yang baik. Sebagian birokrat pendidikan mengkhawatirkan kewenangannya yang berkurang. Dewan Pendidikan Dearah seringkali tidak diperlakukan sebagai mitra kerja yang perlu diberdayakan. Akibatnya pendidikan sebagai pelayanan publik masih dilihat sebagai urusan Pemerintah/Daerah, berorientasi pasokan (supply- orientated), tidak ramah-siswa, dan tidak bermutu, serta tidak relevan.

Tata Kelola Pendidikan masih menghadapi banyak masalah seiring dengan implementasi otonomi daerah yang belum mantab dari segi peraturan perundangan yang berlaku yang menyangkut aspek-aspek pembagian kewenangan pemerintah di berbagai tingkat, aspek-aspek kapasitas fiskal yang berbeda, dan visi kepemimpinan daerah tentang pendidikan. Isu tata kelola ini merupakan implikasi reformasi yang penting dan peka (sensitif) karena menyangkut kepentingan banyak pihak.

Dari studi-studi sebelumnya dapat dikatakan, bahwa hingga saat ini belum ada mekanisme perencanaan pendidikan yang jelas. Perencanaan pendidikan di daerah masih seringkali kurang terbuka, tanpa melibatkan sekolah, pemangku kepentingan (seperti Dewan Pendidikan). Banyak Birokrasi pendidikan daerah yang hanya berpikir Penerimaan Siswa Baru dan Ujian Nasional saja, sementara

pembinaan profesil guru, dan interaksi dengan masyarakat dan industri terbengkalai. Sekolah-sekolah bahkan tidak percaya diri untuk berbicara mengenai kebutuhan pendidikannya. Inovasi hampir-hampir tidak terjadi. Komite Sekolah masih berperan lebih banyak sebagai stempel Kepala Sekolah.

Rekrutmen anggota Dewan Pendidikan Daerah saat ini belum seperti yang diharapkan, sehingga independensinya diragukan. Banyak pensiunan birokrat pendidikan yang menjadi anggotanya, sehingga mengalami banyak kendala psikologis saat berhadapan dengan Dinas Pendidikan. Oleh karena itu dibutuhkan mekanisme rekrutmen anggota Dewan Pendidikan yang menguatkan perannya sebagai mitra sejajar yang independen bagi dinas pendidikan. Hipotesis utama studi ini adalah bahwa relevansi dan mutu, serta ragam program pendidikan saat ini bermasalah karena sistem pelayanan pendidikan kita terlalu executive- heavy, supply-driven. Kondisi ini disebabkan oleh tata kelola yang tidak seimbang antara peran-peran DPRD, masyarakat madani (terutama Dewan Pendidikan), organisasi profesi guru, pengguna lulusan, dan lembaga- lembaga lain yang terkait seperti LPMP. Dengan demikian dibutuhkan penataan ulang arsitektur kelembagaan daerah dan penguatannya sehingga penyelenggaraan layanan pendidikan lebih inovatif, dan berorientasi pada peserta didik dan kebutuhannya.

Kondisi tata kelola yang tidak sehat ini menyebabkan keterbukaan/transparansi dan akuntabilitas yang buruk. Penyelenggaraan layanan pendidikan menjadi semakin formalistik dan birokratik. Pendidikan hampir-hampir diartikan secara sepihak oleh Pemerintah sebagai

persekolahan bnelaka, sehingga layanan pendidikan non- formal terbengkalai.

Peran asosiasi profesi guru saat ini hampir-hampir tidak ada. Adanya UU Guru dan Dosen belum dimanfaatkan secara efektif. Sebagian guru bahkan telah mendegradasikan dirinya menjadi setingkat pekerja/buruh pada saat menuntut upah minimum. Keberadaan PGRI dipertanyakan.

Titik masuk studi ini adalah relevansi pendidikan, terutama pendidikan menengah Kejuruan. Kebijakan Pemerintah yang mendorong peran pendidikan menengah kejuruan yang lebih besar belum disertai dengan dukungan pembiayaan yang sesuai, sehingga masih banyak sekolah menengah kejuruan sastra tanpa dukungan bengkel, studio, kesempatan magang yang memadai. Sikap industri yang tidak kooperatif masih banyak terjadi yang melihat siswa magang lebih sebagai gangguan, bukan sebagai bagian tanggungjawabnya menyediakan tenaga kerja trampil. Insentif magang bagi industri perlu diberikan sebagai bagian dari program CSR industri.

Kebijakan Ujian Nasional perlu dirumuskan kembali agar proses pembelajaran tidak digiring hanya sekedar menyiasati kelulusan Ujian Nasional yang tinggi dengan berbagai cara, termasuk cara yang tidak fair dan manipulatif. Dapat dikatakan Ujian Nasional yang berorientasi normatif akademik saat ini justru merugikan siswa SMK yang lebih mementingkan kompetensi produktif. Ujian Nasional yang amat akademik ini juga memberi disinsentif bagi pengembangan soft-skills dan karakter.

Dari aspek pembiayaan pendidikan, Kabupaten/Kota memiliki kapasitas fiskal yang berbeda-beda, dengan tafsiran “anggaran minimal 20%” yang tidak jelas. Kepemimpinan daerah juga memiliki visi yang berbeda tentang pendidikan sehingga alokasi anggaran pendidikan daerah tidak selalu menggembrakan. Hal ini sebagian karena peencanaan pembangunan pendidikan gagal mengembangkan proses transaksional yang diperlukan untuk sungguh-sungguh menghasilkan komitmen pelayanan pendidikan yang memadai. Seringkali program ditawarkan oleh Propinsi tanpa berkonsultasi dengan Kabupaten/Kota terlebih dahulu.