• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

1.1 Latar Belakang

Ketersediaan lahan dan air untuk proses akuakultur semakin terbatas seiring dengan pertambahan penduduk dan perkembangan pembangunan. Pertumbuhan penduduk yang diikuti dengan meningkatnya kegiatan industri, pertanian, dan pemukiman telah menggusur lahan budidaya ke tempat yang jauh dari pemukiman dan pembangunan industri. Lahan budidaya yang jauh dari pemukiman atau pada daerah terpencil juga terbatas pada sumber energi yang akan digunakan pada wilayah budidaya tersebut. Daerah tersebut yang memiliki pembangkit listrik PLN namun harus diadakan pemadaman bergilir hingga 12 jam setiap harinya, seperti daerah Pulau Selat Nasik, Belitung (Ahyat, 2012). Seperti halnya pada Pemerintah Daerah Kepulauan Meranti, Riau yang memprioritaskan bantuan ketenagalistrikan pada daerah terpencil agar perekonomian masyarakatnya meningkat (Yuliar, 2012).

Kebutuhan listrik PLN semakin meningkat, namun penyediaannya hingga saat ini masih mengalami keterbatasan. Konsumsi listrik Indonesia setiap tahunnya terus meningkat sejalan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. Peningkatan kebutuhan listrik dikemudian hari yang diperkirakan dapat tumbuh rata-rata 6,5% per tahun hingga tahun 2020. Konsumsi listrik Indonesia yang begitu besar akan menjadi suatu masalah bila dalam penyediaannya tidak sejalan dengan kebutuhan. Diketahui bahwa kebutuhan listrik nasional diperkirakan meningkat rata-rata 6,5% per tahun dari 91,72 TWh pada tahun 2003 menjadi 272,34 GWh pada tahun 2020 (Nurdyastuti, 2011).

Mewujudkan wilayah budidaya perairan dengan adanya sumber energi listrik yang lengkap membuat para pembudidaya harus berpikir inovatif dengan teknologi yang digunakan pada sumber energi tersebut. Upaya yang dilakukan untuk mencegah merosotnya produksi budidaya secara umum maka diperlukan teknologi alternatif atau sumber energi alternatif yang mewujudkan produksi akuakultur seperti yang sudah ditargetkan oleh KKP. Secara keseluruhan, dari total konsumsi listrik Indonesia hanya 44% yang berasal dari energi alternatif Potensi energi alternatif melimpah di Indonesia, namun belum dimanfaatkan

2 secara maksimal. Pasokan listrik selama ini masih mengandalkan dari pembangkit berbahan bakar minyak. Untuk itu pandangan Pemerintah tentang penyediaan energi alternatif mulai ditingkatkan antara lain energi listrik surya, angin, air, dan gelombang (Anonim, 2011).

Pembangkit listrik tenaga surya (solar cell) menggunakan matahari sebagai sumber energinya kemudian dirubah menjadi listrik oleh panel surya. Listrik tenaga surya memiliki kelebihan yaitu ramah lingkungan dan sebagai salah satu alternatif untuk menggantikan listrik dengan menggunakan batu bara dan minyak bumi yang sudah semakin sedikit jumlahnya dan kemungkinan habis di masa akan datang. Sumber energi listrik tenaga surya mulai banyak digunakan misal daerah pesisir Bangka Belitung dan pedalamannya yang jauh dari jangkauan listrik PLN. Dimulai tahun 2003 oleh Pemda Bangka Belitung sudah dilakukan pengadaan PLTS (Anonim, 2011). Bertujuan agar wilayah pedalaman dan terpencil ini mulai mengembangkan usaha mereka dan menonjolkan sumberdaya yang melimpah selain digunakan untuk penerangan juga untuk pertanian dan perikanan serta memiliki keuntungan dengan jangka waktu pemakaian selama 20 tahun. Di Indonesia, pemanfaatan energi surya merupakan komitmen nasional tertuang dalam buku Kebijakan Umum Bidang Energi (KUBE) 1992 (Hutchinson, 1950 dalam Buletin Keteknikan Pertanian, 1998). Artinya tidak lama lagi seharusnya negara kita melakukan konversi energi dari basis energi migas menjadi energi terbarukan termasuk energi surya.

Menurut Kementrian Kelautan Perikanan (2010), produksi perikanan tahun 2010 sebesar 10,83 juta ton atau melebihi sasaran produksi yang ditargetkan sebesar 10,76 juta ton. Sebanyak 5,478 juta ton atau 50,55% disumbangkan dari perikanan budidaya, atau selama kurun waktu 2006-2010 perikanan budidaya mengalami pertumbuhan sebesar 19,56%. Dalam periode 2010-2014 Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan produksi udang windu dan vaname meningkat 74,75% dari produksi sebesar 400.000 ton pada tahun 2009 menjadi 699.000 ton pada tahun 2014.

Peningkatan produksi udang khususnya vaname harus diikuti dengan pemenuhan bibit atau benih yang banyak pula, untuk itu peran hatchery udang harus ditingkatkan. Udang vaname memiliki keunggulan antara lain merupakan

3 primadona komoditas perikanan Indonesia dan bernilai ekonomis tinggi (KKP, 2011). Apalagi bagi pembudidaya, udang ini relatif lebih mudah untuk dipelihara karena pertumbuhannya cepat, dapat mengisi semua kolom air sehingga dapat dibudidaya dengan densitas tinggi, memiliki kandungan daging yang lebih banyak dibanding udang lainnya, hemat pakan, serta lebih tahan terhadap serangan penyakit (Erwinda, 2008). Dalam proses pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang vaname sangat diperlukan oksigen terlarut yang cukup atau optimal. Pengadaan oksigen terlarut dapat disuplai oleh alat aerasi yang memerlukan sumber energi listrik tentunya. Energi listrik yang digunakan pada suatu hatchery

udang vaname digunakan untuk pompa celup, penerangan dan alat aerasi dalam waktu 24 jam penuh (Anandasari, 2011). Alat aerasi digunakan untuk menyuplai oksigen terlarut pada media pemeliharaan udang vaname. Menurut Anonim (2003) dalam Tahe (2008) kualitas air yang layak untuk budidaya udang vaname pada DO nya sebesar >4 mg/L (toleransi minimum sebesar 0,8 mg/L).

Adanya sumber energi alternatif yaitu sumber energi tenaga surya dapat memasok energi listrik yang sebelumnya sudah dikonversikan pada sebuah

hatchery udang yang tidak terjangkau listrik PLN. Untuk menghasilkan oksigen yang layak dalam pemeliharaan udang vaname ini maka alat aerasi yang digunakan dapat dirangkai atau diberikan aliran listrik tenaga surya ini. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengukur seberapa besar kinerja DC air

pump atau pompa DC dalam meningkatkan kadar oksigen terlarut menggunakan

bantuan sumber energi tenaga surya dengan membandingkan penggunaan DC air

pump pada listrik PLN.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan pengadaan aerasi yang dihasilkan oleh DC air pump menggunakan sumber energi surya (SES) dengan DC air pump yang menggunakan sumber energi dari PLN (SEP) dalam pemeliharaan postlarva udang vaname Litopenaeus vannamei yang dilihat dari segi kestabilan daya listrik (P), perubahan kualitas air terutama kandungan oksigen terlarut (DO), oxygen transfer rate (OTR), efektivitas DC air pump (E), kelangsungan hidup (SR), serta laju pertumbuhan spesifik (SGR).

48

II.

BAHAN DAN METODE

Dokumen terkait