DAFTAR LAMPIRAN
2.6 Analisa Kualitas Air
3.1.2 Parameter Kualitas Air
3.1.2.2 Suhu Media Pemeliharaan Postlarva Vaname
Pengukuran suhu dilakukan setiap 8 jam sekali bersamaan dengan pengukuran oksigen terlarut menggunakan DO meter. Suhu pada kedua perlakuan dapat dilihat pada Gambar 10. berikut.
18 Gambar 10. Grafik suhu harian media pemeliharaan postlarva udang vaname.
Berdasarkan grafik suhu harian medi pemeliharaan postlarva vaname di atas dapat dilihat bahwa nilai suhu pada perlakuan listrik surya PLN relatif sama. Nilai suhu pada perlakuan SES berkisar 25-28,6 °C, sedangkan nilai suhu pada perlakuan SEP berkisar 25-28,1 °C.
Oksigen terlarut pada perlakuan pompa DC dengan SES dan pompa DC dengan SEP setiap 5 hari selama 20 hari pemeliharaan ditunjukkan oleh Gambar 11. di bawah.
Gambar 11. Grafik suhu media pemeliharaan udang vaname pukul 14.00 pada hari ke1, 5, 10, 15, dan 19.
Berdasar grafik suhu media pemeliharaan postlarva vaname setiap 5 hari, dapat diketahui bahwa nilai suhu pada hari ke-1 relatis sama yaitu 27,00±0,00 °C. Kemudian keduanya turun pada hari ke-5 yaitu 25,75±0,07 °C pada perlakuan
19 SES dan 25,90±0,00 °C pada perlakuan SEP. Suhu hari ke-10 dan hari ke-15 perlakuan SES dan SEP berurutan antara lain 26,75±0,07 °C dan 27,00±0,14 °C serta 28,05±0,07 °C dan 27,3±0,14 °C. Setelah itu terus mengalami kenaikan hingga hari ke-19 yaitu 27,95±0,07 °C pada SES dan 27,90±0,00 °C pada SEP.
Menurut Gambar 11. di atas dapat dilakukan analisa data dengan tabel ANOVA dan SPSS 16 (Lampiran 5) yang kemudian dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5. Suhu pada media pemeliharaan udang vaname dengan sumber energi yang berbeda
Suhu (°C)
Hari Ke- SES SEP 1 27,00±0,00a 27,00±0,00a 5 25,75±0,07a 25,90±0,00a 10 26,75±0,07a 27,00±0,14b 15 28,05±0,07a 27,30±0,14b 19 27,95±0,07a 27,90±0,00a
Keterangan : Nilai yang tertera merupakan nilai rata-rata ± standar deviasi. Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05).
Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai suhu kedua perlakuan yaitu SES dan SEP pada hari ke-1, 5 dan 19 tidak berbeda nyata. Sedangkan nilai suhu kedua perlakuan pada hari ke-10 dan hari ke-15 berbeda nyata.
3.1.2.3 pH Media Pemeliharaan Postlarva Vaname
Pengukuran kualitas air berupa parameter pH pada media pemeliharaan postlarva udang vaname yang diukur setiap 7 hari sekali dapat dilihat pada Tabel 6. berikut.
Tabel 6. Kisaran nilai pH media pemeliharaan postlarva udang vaname Perlakuan
Parameter Kualitas Air pH
SES 7,48 - 8,49
SEP 8,10- 8,49
Pengukuran nilai pH dilakukan 7 hari sekali selama pemeliharaan. Berdasarkan Tabel 6 di atas, kisaran pH cenderung sama pada kedua perlakuan. Nilai pH perlakuan SES berkisar 7,48-8,49. Kisaran nilai pH media pemeliharaan postlarva udang vaname perlakuan SEP berkisar 8,10-8,49.
20 Nilai pH pada perlakuan pompa DC dengan SES dan pompa DC dengan SEP setiap 7 hari selama pemeliharaan ditunjukkan oleh Gambar 12. di bawah.
Gambar 12. Grafik nilai pH pada media pemeliharaan postlarva udang vaname dengan sumber energi yang berbeda.
Berdasarkan grafik nilai pH pada media pemeliharaan postlarva udang vaname pada perlakuan SES berkisar 8,49±0,00 pada hari ke-1 turun pada hari ke- 5 sebesar 7,99±0,71, naik pada hari ke-10 sebesar 8,23±0,21 dan kembali turun pada hari ke-20 sebesar 7,64±0,09. Sedangkan pada perlakuan SEP mengalami penurunan hingga hari terakhir pemeliharaan yaitu dari 8,49±0,00 pada hari ke-1 menjadi 8,13±0,09 di hari ke-20.
Menurut Gambar 12. di atas dapat dilakukan analisa data dengan tabel ANOVA dan SPSS 16 (Lampiran 6) yang kemudian dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah ini.
Tabel 7. Nilai pH pada media pemeliharaan postlarva udang vaname dengan sumber listrik yang berbeda
pH
Hari Ke- SES SEP 0 8,49±0,00a 8,49±0,00a 7 7,99±0,071a 8,25±0,01a 14 8,23±0,01a 8,23±0,01a 20 7,64±0,09a 8,13±0,04b
Keterangan : Nilai yang tertera merupakan nilai rata-rata ± standar deviasi. Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05).
21 Tabel di atas menunjukkan bahwa pada perlakuan pompa DC dengan sumber energi surya (SES) dan sumber energi PLN (SEP) menghasilkan nilai pH yang tidak berbeda nyata pada pengukuran hari ke-1, 7 dan 14. Sedangkan pada pengukuran hari ke-20, kedua perlakuan memiliki nilai yang tidak beda nyata.
3.1.2.4 Karbondioksida (CO2) Media Pemeliharaan Postlarva Vaname
Pengukuran karbondioksida (CO2)dilakukan setiap 7 hari sekali. Nilai dari karbondioksida pada media pemeliharaan postlarva udang vaname dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.
Tabel 8. Kisaran nilai CO2 media pemeliharaan postlarva udang vaname Perlakuan
Parameter Kualitas Air CO2 (mg/l)
SES 4,875 - 87,754
SEP 4,875 - 87,754
Pengukuran nilai CO2 dilakukan 7 hari sekali selama pemeliharaan. Berdasarkan Tabel 8 di atas, kisaran CO2 cenderung sama pada kedua perlakuan. Kisaran nilai CO2 media pemeliharaan postlarva udang vaname berkisar 4,875- 87,754 mg/l.
Nilai CO2 pada perlakuan pompa DC dengan SES dan pompa DC dengan SEP setiap 7 hari selama pemeliharaan ditunjukkan oleh Gambar 13. di bawah.
Gambar 13. Grafik nilai CO2 pada media pemeliharaan udang vaname dengan sumber energi listrik yang berbeda.
22 Pengukuran nilai CO2 dilakukan tiap 7 hari sekali selama pemeliharaan. Berdasar Gambar 13. di atas dapat diketahui bahwa pengukuran nilai CO2 pada kedua perlakuan menurun dari hari ke-1 hingga hari ke-14. Sedangkan pengukuran CO2 kedua perlakun pada hari ke-20 kembali naik.
Menurut Gambar 13. di atas dapat dilakukan analisa data dengan tabel ANOVA dan SPSS 16 (Lampiran 7) yang kemudian dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini.
Tabel 9. Nilai CO2 pada media pemeliharaan udang vaname dengan sumber listrik berbeda
CO2 (mg/l)
Hari Ke- SES SEP 0 87,75±0,00a 87,75±0,00a 7 56,06±3,45a 43,88±34,47a 14 4,88±0,00a 4,88±0,00a 20 9,75±6,89a 7,31±3,45a
Keterangan : Nilai yang tertera merupakan nilai rata-rata ± standar deviasi. Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05).
Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai CO2 kedua perlakuan dari minggu ke-0 hingga minggu ke-20 menghasilkan nilai yang tidak beda nyata.
3.1.2.5 Amonia (NH3) Media Pemeliharaan Postlarva Vaname
Nilai amonia (NH3) pada perlakuan pompa DC dengan SES dan pompa DC dengan SEP setiap 7 hari sekali selama pemeliharaan ditunjukkan oleh Tabel 10 di bawah.
Tabel 10. Kisaran nilai amonia (NH3) media pemeliharaan postlarva udang vaname
Perlakuan Parameter Kualitas Air Amonia (mg/l)
SES 0,008 - 0,173
SEP 0,008 - 0,178
Pengukuran nilai amonia (NH3) dilakukan 7 hari sekali selama pemeliharaan. Berdasarkan Tabel 10 di atas, kisaran amonia (NH3) cenderung sama pada kedua perlakuan. Kisaran nilai amonia (NH3) media pemeliharaan postlarva udang vaname perlakuan SES berkisar 0,008-0,173 mg/l, sedangkan perlakuan SEP berkisar 0,008-0,178 mg/l.
23 Nilai amonia (NH3) pada perlakuan pompa DC dengan SES dan pompa DC dengan SEP setiap 7 hari selama pemeliharaan ditunjukkan oleh Gambar 14. di bawah.
Gambar 14. Grafik nilai amonia (NH3) pada media pemeliharaan udang vaname dengan sumber energi yang berbeda.
Berdasarkan grafik nilai amonia pada media pemeliharaan postlarva udang vaname dengan sumber energi yang berbeda, dapat diketahui bahwa nilai amonia kedua perlakuan pada hari ke-0 relatif sama yaitu 0,01±0,00 mg/l. Kemudian berangsur naik hingga hari ke-14 yaitu 0,160±0,020 mg/l pada perlakuan SES. Nilai amonia perlakuan SEP juga mengalami kenaikan di hari ke-14 sebesar 0,150±0,045 mg/l. Nilai amonia perlakuan SES dan SEP berurutan di hari ke-20 mengalami penurunan yaitu 0,020±0,004 mg/l dan 0,020±0,004 mg/l.
Menurut Gambar 14. di atas dapat dilakukan analisa data dengan tabel ANOVA dan SPSS 16 (Lampiran 8) yang kemudian dapat dilihat pada Tabel 11 di bawah ini.
Tabel 11. Nilai amonia (NH3) pada media pemeliharaan udang vaname dengan sumber energi yang berbeda
Amonia (mg/l)
Hari Ke- SES SEP 0 0,010±0,000a 0,010±0,000a 7 0,020±0,004a 0,110±0,001b 14 0,160±0,020a 0,150±0,045a 20 0,020±0,004a 0,070±0,004b
Keterangan : Nilai yang tertera merupakan nilai rata-rata ± standar deviasi. Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05).
24 Berdasarkan tabel nilai amonia pada media pemeliharaan postlarva udang vaname dengan sumber energi yang berbeda, dapat diketahui bahwa nilai amonia pada perlakuan SES dan perlakuan SEP tidak memberikan nilai yang beda nyata pada pengukuran hari ke-0, hari ke-14 dan hari ke-20. Sedangkan nilai amonia kedua perlakuan pada hari ke-7 menghasilkan nilai amonia yang beda nyata.
3.1.2.6 Salinitas Media Pemeliharaan Postlarva Vaname
Salinitas media pemeliharaan postlarva udang vaname diukur setiap 7 hari sekali, ditunjukkan oleh Tabel 12. berikut.
Tabel 12. Salinitas media pemeliharaan postlarva vaname Perlakuan
Parameter Kualitas Air Salinitas (g/l)
SES 31 - 33
SEP 31 - 33,5
Berdasarkan tabel nilai salinitas yang terukur, dapat diketahui bahwa salinitas perlakuan SES berkisar 31-35 ppt, sedangkan salinitas perlakuan SEP berkisar 31-33,5 ppt.
3.1.3 Pengukuran Oxygen Transfer Rate (OTR) dan Efektivitas Alat (E)
Nilai transfer oksigen yang diukur pada penelitian penggunaan pompa DC dengan sumber energi surya (SES) dan sumber energi PLN (SEP) pada pemeliharaan postlarva vaname ditunjukkan oleh Gambar 15. di bawah ini.
25 Gambar 15. Laju transfer oksigen pompa DC setiap perlakuan pada pemeliharaan
postlarva udang vaname.
Oxygen Transfer Rate (OTR) menggambarkan seberapa besar oksigen
yang ditransfer dari udara ke dalam perairan melalui kinerja aerator. Laju transfer oksigen kedua perlakuan relatif sama yaitu pada perlakuan SES yaitu 0,00165 kg O2/jam. Sedangkan laju transfer oksigen perlakuan SEP sebesar 0,00117 kg O2/jam. Nilai OTR kontrol sebesar 0,000098 kg O2/jam.
Pengukuran efektivitas alat yatu pompa DC ini dilakukan dalam kondisi suhu, salinitas dan tekanan yang sama (Lampiran 3). Hasil pengukuran efektivitas pompa DC pada penelitian pemeliharaan postlarva udang vaname terlihat pada Gambar 16. berikut.
Gambar 16. Efektivitas alat pompa DC setiap perlakuan pada pemeliharaan postlarva udang vaname.
0 0,0002 0,0004 0,0006 0,0008 0,001 0,0012 0,0014 0,0016 0,0018
Kont rol Solar cell PLN
O xy ge n T ra n sf er R at e (kg O 2/ ja m ) Perlakuan 9,8x10-5 1,65x10-3 1,17x10-3 11,2 86,1 75,3 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Kont rol Solar cell PLN
E fe kt iv it as A la t (%) Perlakuan SES SEP SES SEP
26 Berdasarkan grafik efektivitas alat pompa DC pada media pemeliharaan postlarva udang vaname dengan sumber energi yang berbeda, dapat diketahui bahwa persentase alat kedua perlakuan relatif sama yaitu pada perlakuan SES sebesar 86,1 %. Sedangkan persentase pompa DC pada perlakuan SEP sebesar 75,3 %. Nilai efektivitas pada kontrol adalah sebesar 11,2 %.
3.1.4 Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate, SR) Postlarva Vaname
Tingkat kelangsungan hidup postlarva udang vaname dapat dilihat pada Gambar 17. Di bawah ini.
Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata
Gambar 17. Tingkat kelangsungan hidup postlarva udang vaname pada perlakuan SES dan SEP.
Berdasarkan grafik tingkat kelangsungan hidup postlarva udang vaname dengan sumber energi yang berbeda, dapat diketahui bahwa nilai kelangsungan hidup (SR) pada kedua perlakuan tidak berbeda nyata. Tingkat kelangsungan hidup udang vaname pada perlakuan pompa DC dengan sumber energi surya (SES) sebesar 95±7,07% dan perlakuan penggunaan pompa DC dengan sumber energi PLN (SEP) sebesar 98,125±2,65%.
Menurut Gambar 17. di atas dapat dilakukan analisa data dengan tabel ANOVA dan SPSS 16 (Lampiran 9) yang kemudian dapat dilihat pada Tabel 13 di bawah ini. 95 98,125 80 85 90 95 100 105 Solar Cell PLN S R (%) Sumber Listrik
a
a
SES SEP27 Tabel 13. Tingkat kelangsungan hidup (SR,%) postlarva udang vaname dengan
perlakuan pompa DC dan sumber energi yang berbeda Tingkat Kelangsungan Hidup (SR,%)
SES SEP
95,00±7,07a 98,13±2,65a
Keterangan : Nilai yang tertera merupakan nilai rata-rata ± standar deviasi. Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05).
Berdasarkan tabel tingkat kelangsungan hidup postlarva udang vaname dengan sumber energi yang berbeda, dapat diketahui bahwa tingkat kelangsungan hidup (SR) pada perlakuan SES sebesar 95 %, sedangkan tingkat kelangsungan hidup (SR) pada perlakuan SEP sebesar 98,13 %. Nilai kelangsungan hidup kedua perlakuan tersebut tidak beda nyata.
3.1.5 Laju Pertumbuhan Spesifik (Spesific Growth Rate, SGR) Postlarva Vaname
Laju pertumbuhan spesifik postlarva udang vaname yang dipelihara selama 20 hari dapat dilihat pada Gambar 18. berikut.
Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata
Gambar 18. Laju pertumbuhan spesifik postlarva udang vaname pada perlakuan SES dan SEP.
Laju pertumbuhan spesifik udang vaname yang dipelihara selama 20 hari pada perlakuan listrik surya dan listrik PLN tidak berbeda nyata seperti ditunjukkan oleh Gambar 18. di atas. Sedangkan laju pertumbuhan spesifik udang vaname pada perlakuan pompa DC dengan listrik PLN (SEP) sebesar
1,61 2,59 0 1 2 3 4 5 6 Solar Cell PLN S G R B o b o t (% ) Sumber Listrik a a SES SEP
28 2,59±2,19%, sedangkan pada perlakuan pompa DC dengan solar cell (SES) sebesar 1,61±0,87%.
Menurut Gambar 18. di atas dapat dilakukan analisa data dengan tabel ANOVA dan SPSS 16 (Lampiran 10) yang kemudian dapat dilihat pada Tabel 14 di bawah ini.
Tabel 14. Laju pertumbuhan spesifik (SGR,%) postlarva udang vaname dengan perlakuan pompa DC dan sumber energi yang berbeda
Laju Pertumbuhan Spesifik (SGR,%)
SES SEP
1,61±0,87a 2,59±2,20a
Keterangan : Nilai yang tertera merupakan nilai rata-rata ± standar deviasi. Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05).
Berdasarkan tabel laju pertumbuhan spesifik postlarva udang vaname dengan sumber energi yang berbeda, dapat diketahui bahwa nilai laju pertumbuhan spesifik potlarva udang vaname pada perlakuan SES sebesar 1,61 %, sedangkan laju pertumbuhan spesifik postlarva udang vaname dengan perlakuan SEP sebesar 2,59 %. Nilai laju pertumbuhan spesifik (SGR) kedua perlakuan tidak beda nyata.
3.2 Pembahasan
Listrik alternatif diperlukan karena sesuai faktanya konsumsi listrik PLN terus meningkat hingga tahun 2020 mendatang sedangkan penyediaannya tidak ikut meningkat atau terbatas (Nurdyastuti, 2011). Oleh karena itu diperlukan listrik alternatif yang dapat menggantikan listrik PLN untuk disalurkan ke daerah- daerah terpencil khususnya.
Instalasi listrik tenaga surya sebagai pembangkit listrik memerlukan beberapa komponen antara lain panel surya (solar cells), charge controller,
inverter, dan baterai. Panel surya menghasilkan energi listrik tanpa biaya, dengan
mengkonversikan tenaga matahari menjadi listrik (Edwards et al., 1965). Menurut Razykov et al. (2011) solar panel mengkonversikan tenaga matahari menjadi listrik. Sel silikon (solar cells) yang disinari matahari/surya, membuat photon yang menghasilkan arus listrik. Sebuah solar cells menghasilkan kurang lebih tegangan 0.5 Volt. Jadi sebuah panel surya 12 Volt terdiri dari kurang lebih 36 sel (untuk menghasilkan 17 Volt tegangan maksimun). Sistem listrik tenaga surya ini diharapkan mampu menjadi sumber energi alternatif yang digunakan terutama
29 pada peralatan pompa untuk meningkatkan oksigen terlarut dalam suatu sistem budidaya.
Pada budidaya perairan biasanya listrik didapatkan dari PLN, namun banyak areal budidaya yang belum dijangkau PLN. Banyak areal yang belum dijangkau PLN ini disebabkan lokasinya yang terpencil. Listrik sangat berperan dalam peningkatan produktivitas dalam budidaya perairan. Pada daerah terpencil dan sumber daya alam yang melimpah umumya cocok digunakan untuk sebuah areal budidaya, hatchery udang vaname misalnya. Pada sebuah hatchery vaname sangat diperlukan listrik untuk menunjang prasarana dalam peningkatan produktivitas udang vaname.
Listrik pada hatchery udang vaname digunakan untuk pompa aerasi selain untuk penerangan (Anandasari, 2011). Sedangkan aerasi merupakan faktor penting untuk menyuplai oksigen terlarut pada kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih udang vaname. Proses aerasi diperlukan untuk meningkatkan kembali kandungan oksigen dalam air sehingga mencukupi untuk proses oksidasi biologis pada perlakuan air selanjutnya dengan prinsip proses difusi dari udara ke dalam air (Boyd, 1982). Aerasi dapat digunakan untuk secara mekanis meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut dalam kolam. Aerasi kadangkala dipakai untuk mencegah sratifikasi suhu dan oksigen dalam kolam.
Selama penelitian dilakukan pengukuran kestabilan sumber energi yang dilihat dari kestabilan arus listrik dan potensial listrik (voltase) kedua perlakuan. Pengukuran dilakukan pada pukul 07.00, 13.00 dan 19.00 atau selama 6 jam sekali. Nilai arus listrik perlakuan listrik surya dari hari ke-1 hingga hari ke-4 berkisar 5,216-6,498 Ampere. Kemudian nilai arus dari hari ke-5 hingga hari ke-9 pukul 07.00 sebesar arus 0 A, disebabkan pompa DC mati dan listrik yang tersimpan dalam baterai habis . Mati listrik menyebabkan pompa DC pada listrik surya mati pula sehingga tidak ada aerasi selama 5 hari. Kemudian listrik mulai diisi kembali oleh panel surya yang disimpan dalam aki dengan kuat arus berangsur naik dari 1,177 Ampere hingga 7,474 Ampere pada hari ke-15. Setelah itu terjadi mati listrik kembali pada hari ke-17 hingga selesai pemeliharaan pada hari ke-20 (arus 0 A). Sedangkan kestabilan listrik pada listrik PLN relatif stabil sebesar 5 A dikarenakan pada perlakuan pompa DC dengan listrik PLN dilakukan
30 pemasangan adaptor hingga listrik PLN tersebut stabil (12 V, 5A) dan merupakan alat yang merubah arus AC menjadi arus DC. Voltase pada listrik surya juga stabil yaitu berkisar 11,379-12,896 Volt ketika listrik pada baterai terisi penuh, sedangkan berkisar 0,012-0,082 Volt ketika listrik dalam baterai mulai kosong dan dalam keadaan sedang pengisian (charge). Dilihat dari kestabilan arus dan voltase listrik perlakuan tenaga surya ada terus menerus (kontinu), kecuali ketika kondisi hujan atau musim penghujan dimana panel surya tidak dapat menangkap energi matahari.
Disolved Oxygen (DO) merupakan faktor yang sangat penting pada sistem
intensif. Menurut Boyd and Linchtkoppler (1982b), kelarutan oksigen dalam air tergantung dari berbagai faktor diantaranya adalah suhu, salinitas dan ketinggian. Untuk lingkungan air tawar oksigen terlarut tergantung dari suhu dan ketinggian, sedangkan pada lingkungan air laut oksigen terlarut tergantung dari salinitas dan suhu. Menurut Effendi (2009), kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian dan musiman, tergantung pada pencampuran dan pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah yang masuk ke badan air. Oleh karena itu, pengukuran oksigen terlarut lebih baik diukur per hari untuk melihat fluktuatif nilai DO selama penelitian.
Pengukuran oksigen terlarut pada penelitian dilakukan secara 8 jam sekali. Pengukuran DO yang dilakukan setiap hari dengan nilai tertinggi yaitu pada hari ke-4 pukul 07.00 sebesar 11,5 mg/l dengan suhu 25,9 °C. nilai DO terendah terukur pada hari terakhir pemeliharaan sebesar 2,3 mg/l dengan suhu 27,8 °C pada pukul 22.00. Menurut Anonim (2003) dalam Tahe (2008) kualitas air yang layak untuk budidaya udang vaname pada DO nya sebesar >4 mg/L (toleransi minimum sebesar 0,8 mg/L). Oksigen terlarut pada media pemeliharaan postlarva udang vaname perlakuan SES masih dalam batas toleransi minimum sehingga udang masih bisa bertahan hidup.
Nilai DO pada awal penelitian naik secara bertahap dari hari kehari yaitu hingga hari ke-4. Kemudian mulai hari ke-5 hingga hari ke-10 aerasi mati dikarenakan baterai pada sistem tenaga surya kosong dengan pengukuran DO sebesar 3,8 mg/l pada hari ke-10, jadi diperlukan waktu 5 hari hingga lampu kontrol berwarna hijau dan siap digunakan. Solar charge controller akan mengisi
31 baterai sampai level tegangan tertentu, kemudian apabila level tegangan drop, maka baterai akan diisi kembali (Chiras, 2010). Pengisian ke dalam baterai memakan waktu hingga 5 hari dikarenakan musim pada bulan November yaitu mulai penelitian ini adalah musim hujan sehingga ketika running penelitian panel surya mendapatkan sedikit energi matahari. Setelah baterai penuh, listrik surya dapat digunakan selama 6 hari sehingga nilai DO tidak terlalu turun yaitu dari hari ke-11 hinga hari ke-16 sebesar 5,9-8,7 mg/l. Namun pada hari ke-17 baterai kembali kosong hingga pemeliharaan berakhir. Pada perlakuan listrik PLN memiliki nilai DO berkisar 5,6-11,6 mg/l. Nilai DO pada listrik PLN tidak mengalami mati aerasi seperti pada perlakuan SES sehingga nilai DO eperlakuan SEP tidak mengalami penurunan yang drastis seperti pada perlakuan SES.
Kelarutan oksigen dalam air menurun dengan meningkatnya suhu dan dengan meningkatnya salinitas (Boyd, 1982a). Pengukuran suhu dilakukan secara bersamaan pengukuran DO menggunakan DO meter. Nilai kisaran suhu pada perlakuan SESadalah 25-28,6 °C, sedangkan perlakuan SEP berkisar 25-28,1 °C. Salinitas media pemeliharaan perlakuan SES dan SEP berurutan berkisar 31-33 ppt dan 31-33,5 ppt. Nilai kisaran suhu dan salinitas pada pemeliharaan postlarva udang vaname ini masih dalam batas kisaran normal kualitas air pada budidaya udang vaname yaitu sebesar 26-30 °C dan sebesar 5-35 ppt (Brock and Main, 1994). Nilai suhu dan salinitas media pemeliharaan dalam kisaran normal, sehingga nilai oksigen terlarutpun dalam kisaran normal. Nilai oksigen >4 mg/l yaitu sebesar 2,3 mg/l pada perlakuan SES disebabkan faktor lain yaitu daya listrik yang dialirkan ke pompa DC yang mengaerasi media pemeliharaan postlarva udang vaname.
Nilai pH berkisar antara 7,48 - 8,49 masih berada dalam kisaran normal menurut Brock and Main (1994) yaitu pH 7-9. pH air laut cenderung basa, oleh karena itu biasanya nilai CO2 rendah. Pengukuran CO2 dilakukan dengan nilai CO2 tertinggi pada awal pengukuran yaitu sebelum aerasi dijalankan sebesar 87,75 mg/l. Kemudian setelah aerasi dijalankan terus menerus, nilai CO2 menjadi menurun hingga 4,875 mg/l. Hal ini juga masih dalam kisaran normal menurut Brock and Main (1994) yaitu sebesar <20 mg/l. Namun pada terakhir pengukuran yaitu pada hari ke-20 nilai CO2 kembali naik dikarenakan aerasi tidak ada (baterai
32 kosong) tapi tidak berakibat fatal pada udang vaname. Nilai CO2 yang rendah ini dikarenakan adanya aerasi terus menerus dan adanya pergantian air setiap pagi hari sebanyak 10% volume media. Pergantian air yang biasanya digunakan dalam kolam udang berkisar 10% sampai 15% volume kolam per hari. Tidak dianjurkan untuk dilakukan terus menerus pada kolam pemeliharaan udang dikarenakan unsur hara, nutrien, dan fitoplankton akan ikut terbuang. Pergantian air sebanyak 2% sampai 5% volume kolam per hari dapat meminimalkan peningkatan salinitas selama musim kering (Jana and Webster, 2003).
Nilai pH berpengaruh pada nilai amonia media pemeliharaan. Nilai pH yang basa atau tinggi menyebabkan nilai amonia yang tinggi. Oleh karena itu diperlukan sipon feses dan sisa pakan setiap hari. Kisaran amonia sebesar 0,008 - 0,173 mg/l pada SESdan 0,008-0,178 mg/l pada perlakuan SEP juga masih dalam batasan normal yaitu berkisar <1 mg/l (Brock and Main, 1994). Amonia yang terukur masih dalam batas normal budidaya udang vaname dikarenakan adanya penyiponan feses dan sisa pakan setiap pagi hari juga adanya pergantian air. Pada kolam intensif, pergantian air diperlukan untuk membuang amonia berlebihan (Jana and Webster, 2003). Sedangkan pengukuran salinitas berkisar 31-33,5 ppt yang juga masih dalam batasan normal yaitu sebesar 5-35 ppt.
Pengukuran nilai transfer oksigen terlarut dimaksudkan untuk mengukur seberapa besar oksigen yang ditransfer dari udara ke dalam perairan atau laju