• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

1.1. Latar Belakang

Dampak dari maraknya ledakan informasi adalah semakin banyaknya terbitan yang dihasilkan dari segala bidang ilmu. Lonjakan berbagai terbitan ini dikelola menjadi sebuah dokumen. Dokumen merupakan objek yang merekam informasi dengan tidak memandang media maupun bentuknya (Sulistyo-Basuki, 2004:23). Dokumen yang semakin bertambah tersebut memerlukan kegiatan untuk mengidentifikasi dokumen itu sendiri agar dapat diakses dengan mudah. Pengidentifikasian dokumen ini lebih dikenal dengan istilah pengawasan bibliografis.

Pengawasan bibliografis adalah kegiatan dalam upaya pengembangan dan pengendalian sistem pencatatan untuk semua bentuk informasi dalam karya cetak dan karya rekam maupun bentuk lain, yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan, dengan tujuan untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan. Sasaran dari pelaksanaan pengawasan bibliografis meliputi identifikasi dari dokumen itu sendiri dengan pelaksanaannya yang terarah untuk mengidentifikasi dokumen yang dibutuhkan oleh pengguna (Hagler,1991:7).

Di Indonesia, pengawasan bibliografis telah dilakukan sejak zaman kolonial Belanda melalui Ordodansi No 19/1913. Penerbit pada saat itu diperintahkan agar mengirimkan dua salinan dari buku-buku hasil terbitannya ke Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang dirubah namanya menjadi Lembaga Kebudajaan Nasional dan diubah lagi menjadi UPT Museum dan pada tahun 1979 berubah lagi menjadi Perpustakaan Museum Nasional. Sejak tahun 1980, pengawasan bibliografis dilaksanakan oleh UPT Perpustakaan Nasional yang merupakan integrasi dari Perpustakaan Negara, Perpustakaan Museum Nasional, Bidang Bibliografi dan Deposit Pusat Pembinaan Perpustakaan, serta Perpustakaan Sedjarah, Politik dan Sosial (SPS).

Salah satu perangkat penting agar pengawasan bibliografis dapat terselenggara dengan baik adalah dengan dilaksanakannya undang-undang deposit. Fungsi utama undang-undang deposit adalah untuk menciptakan konvensi

internasional dan peraturan perundang-undangan di berbagai negara yang bertujuan untuk menjamin akses dari bahan-bahan yang merupakan hasil karya budaya bangsa dapat disimpan di perpustakaan sehingga dapat dilestarikan. Kewajiban serah simpan di suatu bangsa akan bermanfaat jika dibuatkan data bibliografisnya sebagai media promosi hasil warisan intelektual bangsa bagi generasi penerus.

Tahun 1990 merupakan tahun penting dalam kaitan program pengawasan bibliografis di Indonesia, karena pada tahun itulah keluar undang-undang yang paling mutakhir mengenai serah simpan hasil karya anak bangsa, yakni Undang-undang No. 4 Tahun 1990 tentang serah simpan karya cetak dan karya rekam, kemudian diperkuat oleh Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1991.

Kandungan dari isi yang tercantum pada Undang-undang No. 4 Tahun 1990 tentang serah simpan karya cetak dan karya rekam dapat diketahui bahwa tujuan dari pelaksanaan undang-undang ini adalah melestarikan hasil budaya bangsa dengan cara mengumpulkan, menghimpun, mencatat, mendayagunakan dan melestarikan hasil budaya bangsa agar dapat diwariskan kepada generasi di masa datang. Pelaksanaan Undang-undang No. 4 Tahun 1990 sangat bermanfaat bagi bangsa dan negara, oleh sebab itu terbitan yang telah dikumpulkan dari penerbit ini sebaiknya dikelola dengan baik oleh lembaga pelaksana undang-undang deposit tersebut agar terbitan ini dapat dilestarikan dan didayagunakan oleh masyarakat hingga masa mendatang.

Pelaksanaan undang-undang deposit di Indonesia dilaksanakan oleh Perpustakaan Nasional RI di Jakarta dan perpustakaan propinsi di daerah sesuai dengan UU otonomi daerah tahun 2000, maka perpustakaan provinsi berubah menjadi badan perpustakaan atau sebutan lain di bawah pemerintahan provinsi. Hal tersebut sesuai dengan apa yang tercantum dalam bab 1 pasal 1 ayat 3 Undang-undang No. 4 Tahun 1990 bahwa ”Perpustakaan Nasional adalah perpustakaan yang berkedudukan di ibukota negara yang mempunyai tugas untuk menghimpun, menyimpan, melestarikan dan mendayagunakan semua karya cetak dan karya rekam yang dihasilkan di wilayah Republik Indonesia”.

Pelaksana langsung dari undang-undang deposit pada saat ini adalah Subdirektorat Deposit yang berada di bawah Direktorat Deposit Bahan Pustaka.

Subdirektorat Deposit sebagai pelaksana langsung undang-undang deposit memiliki beberapa tugas yang diemban antara lain mengolah data bibliografi koleksi undang-undang deposit secara elektronis, mempublikasikan penerimaan hasil pelaksanaan Undang-undang No. 4 Tahun 1990 melalui situs web Perpustakaan Nasional RI dan menyusun laporan secara berkala penerimaan koleksi deposit dari penerbit maupun pengusaha rekaman yang salah satu tujuannya untuk mengetahui perkembangan penerimaan koleksi deposit.

Subdirektorat Deposit dalam melaksanakan pengelolaan koleksi deposit membutuhkan suatu sistem aplikasi yang dapat menghimpun seluruh data bibliografis koleksi deposit ke pangkalan data dan menghasilkan berbagai luaran yang berguna dalam penyebaran informasi koleksi deposit kepada masyarakat. Luaran yang dibutuhkan Subdirektorat Deposit dalam mengemban tugasnya, antara lain:

(1) Katalog yang dapat diakses melalui situs web Perpustakaan Nasional berupa daftar penerimaan koleksi deposit Perpustakaan Nasional yang dapat ditampilkan pada portal Perpustakaan Nasional.

(2) Laporan berkala penerimaan koleksi deposit.

Laporan ini mengandung informasi mengenai daftar wajib serah dan terbitan yang sudah diserahkan ke Perpustakaan Nasional.

(3) Daftar wajib serah dan terbitannya yang telah menjadi koleksi deposit pada situs web Perpustakaan Nasional.

Subdirektorat Deposit saat ini memanfaatkan tiga aplikasi sistem yang berbeda dalam pelaksanaan tugasnya. Proses kerja yang dilakukan pada ketiga sistem ini sama satu dengan lainnya, yaitu memasukkan data bibliografi koleksi deposit pada ketiga aplikasi sistem yang berbeda. Latar belakang penyebab banyaknya sistem yang digunakan oleh Sub Direktorat Deposit dalam pemasukan data bibliografi koleksinya adalah bahwa jika mengandalkan salah satu sistem dari tiga sistem yang ada, maka salah satu sistem tersebut tidak dapat memenuhi berbagai kebutuhan informasi pemustaka maupun internal Subdirektorat Deposit sebagai pengelola koleksi deposit.

Sistem pertama yang digunakan oleh Unit Kerja Penerimaan Subdirektorat Deposit adalah aplikasi Delsys (Deposit library system). Data yang dimasukkan

pada aplikasi ini adalah data bibliografis koleksi deposit dan data wajib serah. Hasil yang didapat dari pemasukan data pada sistem ini adalah daftar laporan berkala koleksi deposit yang telah diterima oleh Sub Direktorat Deposit.

Sistem kedua yang digunakan dalam pengelolaan koleksi deposit adalah aplikasi Inlis (Integrated Library System). Data yang dimasukkan pada sistem ini sama dengan sistem Delsys, yaitu data bibliografis koleksi Perpustakaan Nasional RI, hanya luaran dari pemasukan data yang telah dilakukan pada sistem ini saja berbeda dengan sistem Delsys, yaitu informasi berbentuk katalog yang terbacakan mesin dan dapat diakses melalui situs web Perpustakaan Nasional RI. Sistem ini juga belum menyediakan fitur yang dapat menampilkan daftar karya cetak karya rekam hasil pelaksanaan Undang-undang No. 4 Tahun 1990 pada situs web Perpustakaan Nasional, oleh sebab itu Subdirektorat Deposit menggunakan aplikasi yang berbeda untuk menampilkan informasi daftar karya cetak dan karya rekam di situs web Perpustakaan Nasional.

Sistem ketiga yang dimanfaatkan Subdirektorat Deposit adalah sistem pemasukan data bibliografis koleksi deposit ke portal deposit. Sistem ini merupakan jawaban dari kedua sistem sebelumnya yang tidak menyediakan fitur untuk menampilkan daftar karya cetak dan karya rekam koleksi deposit secara khusus pada situs web Perpustakaan Nasional RI yang bertujuan untuk mempublikasikan daftar penerimaan koleksi hasil pelaksanaan Undang-undang No. 4 Tahun 1990 kepada masyarakat.

Dari ketiga sistem yang digunakan oleh staf Subdirektorat Deposit ini teramati bahwa data yang dimasukkan pada aplikasi sistem yang sedang berjalan di Subdirektorat Deposit ini melakukan proses kerja yang sama, yaitu pemasukan data bibliografi koleksi deposit. Luaran (output) yang dihasilkan saja yang berbeda. Proses pemasukan data yang sama pada tiga sistem yang berbeda-beda ini menyebabkan pengulangan pemasukan data atau duplikasi data hingga 3 (tiga) kali, sehingga pelaksanaan kegiatan dalam rangka pengawasan bibliografis di Perpustakaan Nasional tidak efisien.

Pemanfaatan dari tiga sistem yang berbeda untuk melakukan proses yang sama yaitu pemasukan data bibliografis ini menandakan bahwa sistem informasi yang digunakan di Subdirektorat Deposit belum terintegrasi yang menyebabkan

terjadinya duplikasi data dan berdampak tidak efisiennya dalam pelaksanaan tugas pengelolaan koleksi deposit, oleh sebab itu dukungan teknologi informasi yang tepat sangat diperlukan untuk menampung seluruh kebutuhan unit kerja yang ada di Subdirektorat Deposit. Teknologi informasi dapat diartikan sebagai teknologi elektronika yang mampu mendukung percepatan dan meningkatkan kualitas informasi, serta percepatan arus informasi ini tidak mungkin lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Perancangan deposit yang terintegrasi dan berbasis web ini akan menjadi jawaban dari masalah yang dihadapi dalam pengelolaan koleksi deposit agar daftar koleksi deposit dapat diakses secara cepat dan akurat oleh Perpustakaan Nasional maupun pemustaka.

1.2. Permasalahan Penelitian

Ada beberapa masalah yang akan dibahas pada penelitian ini, antara lain: (1) Adanya pengulangan data pada saat proses pemasukan data pada tiga sistem

aplikasi yang berbeda.

(2) Belum terintegrasinya sistem aplikasi pada Subdirektorat Deposit. (3) Adanya redudansi data dalam pemasukan data bibliografis.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan merancang sistem informasi pengawasan bibliografis di Subdirektorat Deposit yang terintegrasi dan berbasis web.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Terintegrasinya sistem informasi antar unit kerja.

(2) Terbentuk data yang akurat.

(3) Penyebarluasan informasi koleksi deposit kepada masyarakat dan penerbit. (4) Sebagai kontribusi pada Perpustakaan Nasional RI untuk membuat

kebijakan dalam rangka menindaklanjuti rancangan yang akan dibuat ini untuk meningkatkan keberhasilan pelaksanaan UU no. 4 tahun 1990.

(5) Memperkaya khasanah pengetahuan di bidang ilmu perpustakaan dan informasi berkenaan dengan rancangan data hasil pelaksanaan UU No. 4 Tahun 1990.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah merancang sistem informasi untuk pengelolaan koleksi deposit hasil pelaksanaan Undang-undang no. 4 tahun 1990 di Subdirektorat Deposit, Perpustakaan Nasional RI. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode siklus hidup pengembangan sistem (system development life cycle) atau sering disingkat dengan SDLC. Tahapan dalam penelitian ini meliputi: analisis studi kelayakan, investigasi sistem, análisis sistem, dan rancangan sistem.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengawasan Bibliografis

Sejalan dengan maraknya ledakan informasi yang dapat dilihat dari semakin banyaknya literatur dan terbitan yang dihasilkan, maka pengawasan terhadap sumber informasi dan pengetahuan yang dituangkan dalam sebuah terbitan merupakan hal yang perlu untuk dilakukan. Dalam hal demikian Perpustakaan Nasional RI memiliki tanggung jawab untuk melakukan pengawasan bibliografis sebagaimana dinyatakan Scott bahwa peran penting perpustakaan nasional adalah mengumpulkan seluruh terbitan dan melakukan pengawasan bibliografis agar terbitan tersebut mudah diakses dan dapat dilestarikan sebagai warisan budaya bangsa dalam berbagai bentuk informasi, termasuk dalam bentuk

Salah satu definisi tentang pengawasan bibliografis diberikan oleh Davinson bahwa pengawasan bibliografis merupakan upaya pengembangan dan pemeliharaan suatu sistem pencatatan bagi semua bentuk informasi rekam, bahan tercetak, bahan audio-visual maupun bentuk lainya ini berguna untuk memudahkan ditemu kembali koleksi perpustakaan untuk kepentingan masyarakat yang dapat menambah khasanah pengetahuan dan informasi.(Davinson, 1981).

elektronik (Scott, 2003).

Kegiatan dari pengawasan bibliografis ini sendiri merupakan upaya untuk mengidentifikasikan suatu dokumen sehingga dokumen tersebut dapat dengan mudah ditemukan dan dimanfaatkan secara maksimal oleh pengguna. (Anderson, 1974). Dari definisi yang telah diutarakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pengawasan bibliografis merupakan kumpulan karya bibliografi dan kreasi yang diterapkan guna mengatasi masalah pencarian informasi.

Sebagai alat pengawasan bibliografis terdapat tiga unsur yang perlu dipenuhi, antara lain:

(1) Kelengkapan

Kelengkapan informasi yang tercantum dalam bibliografi mengenai terbitan apa saja yang telah diterbitkan dan dalam bidang apa saja. Dengan

kelengkapan informasi ini, maka akan memudahkan pola pendekatan atau akses ke sumber informasi

(2) Akses ke suatu bagian

Bibliografi yang ideal memungkinkan akses atau pendekatan kepada bagian yang spesifik atau bagian yang lebih kecil dari bentuk-bentuk terbitan tersebut.

(3) Bentuk yang beragam

Sarana bibliografi yang komprehensif atau menyeluruh akan memasukkan semua bentuk atau format pada sistem komputer. (Katz, 1987 : 22)

Upaya untuk menemukan suatu dokumen memerlukan suatu sarana yang baku yang dapat dimengerti dan mudah digunakan oleh berbagai pihak sehingga pencarian informasi akan lebih mudah dilakukan. Kegiatan dari pengawasan bibliografis melibatkan beberapa sumber informasi antara lain; kompilasi deskripsi bibliografi, pembuatan katalog subjek (meliputi klasifikasi, menempatkan subjek, indeks dan abstrak). (Knutsen, 2002)

Setiap dokumen idealnya hanya satu kali saja dibuatkan cantuman komprehensif, yaitu oleh badan yang berwewenang di negara tempat dokumen tersebut diterbitkan atau diciptakan. Data bibliografis yang dapat diakses melalui media internet, maka perlu diperhatikan adalah tengara yang ada pada cantuman bibliografi koleksi sebaiknya ditampilkan agar sistem dapat membaca dari setiap ruas bibliografis (Thomas, 1994).

Cantuman itu harus dibuat secepatnya, segera setelah dokumen itu terbit sesuai dengan standar internasional yang disiapkan untuk disebarluaskan agar koleksi dapat digunakan oleh masyarakat secara umum, maupun pemustaka secara khusus yang dapat ditelusur dari pengarang, subyek, dan judul. Hal ini senada dengan yang diungkapkan Wellisch bahwa tujuan pengawasan bibliografis adalah untuk memudahkan pemustaka untuk menemukan kembali dokumen yang telah dibuatkan daftar bibliografisnya dan dapat ditelusur berdasarkan unsur bibliografis yang telah dibuat sebelumnya, misalnya penelusuran berdasakan pengarang, judul maupun kombinasi dari kedua unsur data tersebut. (Wellisch, 1980).

Cantuman komprehensif ini harus memiliki semua unsur data yang diperlukan di perpustakaan dan pusat informasi untuk pengawasan bibliografis. Unsur data ini dapat dikelompokkan sebagai berikut:

(1) Data yang berkaitan dengan kepengarangan.

(2) Data yang mendeskripsikan dokumen, termasuk bentuk fisiknya, seperti jumlah halaman, ukuran.

(3) Nomor atau kode identifikasi dokumen yang unik, seperti sistem penomoran internasional.

(4) Data yang berkenaan dengan subjek.

Upaya dalam mengembangkan pengawasan bibliografis, perpustakaan nasional sebagai lembaga pengelola informasi harus mempertimbangkan komponen nasional agar menjadi komponen internasional yang disebut sebagai

Universal bibliographic control (UBC). Keberhasilan pengawasan bibliografis

tergantung dari unsur dasarnya, yaitu cantuman bibliografi komprehensif untuk tiap dokumen atau rekaman informasi dengan mengunakan standar yang dapat diterima secara internasional agar dapat diakses secara internasional dengan tujuan akhir menjadi universal bibliographic control. (Wellisch, 1980)

Universal bibliographic control merupakan program yang diadaptasi oleh

Unesco dan IFLA yang berguna dalam pengembangan sistem yang mendunia untuk pengawasan dan pertukaran bibliografi, seperti yang diungkapkan Wellisch bahwa tujuan UBC adalah pembuatan standar bibliografi yang tepat dan dapat diterima secara internasional oleh semua negara (Wellisch, 1980).

2.2. Konsep Undang-Undang Deposit secara Umum

Undang-undang deposit muncul pertama kali pada pertengahan abad 17 tepatnya pada tahun 1537 di Prancis pada masa pemerintahan Raja Francois I, pada saat itu raja memerintahkan penerbit dan pencetak untuk menyerahkan secara gratis setiap cetakan barunya ke Royal Library berdasarkan dekrit yang disebut Ordonance Montpellier. Kerajaan tidak mengijinkan penjualan segala jenis buku kecuali satu salinan terbitan sudah diserahkan pada kerajaan tersebut. Tujuan raja pada saat itu ingin mengumpulkan karya bangsanya dan dapat

dirasakan hingga masa mendatang. Ketentuan hukum raja Francois ini diterapkan di banyak negara.

Upaya untuk memahami apa itu undang-undang deposit, maka kita harus mengetahui definisi undang deposit itu sendiri. Definisi dari undang-undang deposit adalah:

Legal deposit is statutory obligation which requires that any

organization, commercial or public, and any individual producing any type of documentation in multiple copies, be obliged to deposit one or

more copies with a recognized institution”. (Lariviere, 2000).

Hal ini berarti bahwa bahwa undang-undang deposit adalah ketetapan menurut undang-undang yang mewajibkan penerbit untuk mendepositkan sejumlah eksemplar dari terbitannya ke perpustakaan-perpustakaan negara dimana mereka menerbitkan terbitannya, maka dapat kita ketahui bahwa undang-undang deposit pada suatu negara dimaksudkan untuk mewajibkan setiap penerbit di suatu negara menyerahkan secara cuma-cuma kepada satu atau beberapa perpustakaan yang ditunjuk oleh undang-undang tersebut untuk dikelola sebagai koleksi deposit terbitan nasional suatu bangsa.

Keberadaan Undang-Undang Deposit sangat penting untuk kelangsungan seluruh terbitan karya bangsa itu sendiri, seperti yang dikemukakan Muir bahwa fungsi dari legal deposit adalah mewujudkan pelestarian hasil budaya bangsa agar dapat diakses dan dimanfaatkan hingga masa mendatang (Muir, 2001). Dari pernyataan yang telah diutarakan tersebut, maka tidak diragukan lagi begitu besar manfaat undang-undang deposit bagi suatu negara.

Manfaat dari undang-undang deposit bagi kelangsungan dari hasil karya bangsa bahwa dengan menyimpan beberapa salinan koleksi nasional secara fisik di perpustakaan nasional bertujuan untuk memberikan perlindungan dari kehilangan atau kerusakan terbitan

Diberlakukannya undang-undang deposit menguatkan Perpustakaan Nasional untuk melakukan pengumpulan dan pelestarian bahan pustaka yang diterbitkan di dalam negeri, sehingga tersedia deskripsi bibliografi dalam bentuk fisik dari terbitan tersebut, juga sangat relevan dalam menjalankan fungsinya untuk mengumpulkan warisan bangsa yang berkesinambungan (Lor, 2001).

, sehingga kelangsungan dari warisan budaya bangsa yang berharga ini dapat terjaga hingga masa mendatang.

Beberapa definisi dan tujuan undang-undang deposit yang telah diuraikan sebelumnya, maka secara rinci dapat diketahui bahwa fungsi dari undang-undang deposit adalah sebagai berikut:

(1) Menghimpun, menyimpan dan melestarikan hasil karya intelektual suatu bangsa.

(2) Mendokumentasikan hasil karya manusia dalam bentuk bibliografi dan bentuk fisik dari terbitan tersebut.

(3) Menghimpun statistik perkembangan penerbitan di suatu negara. (Lor, 2001).

2.3. Objek Undang-Undang Deposit

Secara umum semua jenis hasil cetakan maupun rekaman termasuk dalam obyek undang-undang deposit. Undang-undang deposit menurut obyeknya terdiri dari:

(1) Karya Cetak 1.1 Buku

Buku merupakan obyek paling awal dari Undang-Undang Deposit. Definisi buku sendiri merupakan dokumen hasil catatan maupun rekaman yang diterbitkan dan digandakan oleh suatu penerbit. Yang patut diperhatikan pada koleksi ini adalah mengenai edisi revisi di mana buku tersebut telah mengalami koreksi atau dilengkapi. Buku dalam kondisi revisi ini dianggap sebagai karya baru, sehingga penerbit harus menyerahkan kembali buku edisi revisi kepada Perpustakaan Nasional. 1.2 Serial atau Terbitan Berkala

Serial merupakan koleksi yang sangat berharga. Pada koleksi ini banyak menilai informasi yang tidak tidak terhingga nilainya. Materi serial meliputi semua jenis terbitan yang dikeluarkan pada waktu yang berkesinambungan, baik dalam waktu beraturan maupun yang tidak beraturan penerbitannya. Penerbitan serial ini dapat berupa jurnal, surat kabar, majalah, indeks dll. Jenis dan jumlah serial sangat banyak , sehingga setiap negara sebaiknya mempertimbangkan materi apa saja yang wajib disimpan sebagai hasil dari pelaksanaan Undang-Undang Deposit.

1.3. Pamflet

Sebaiknya pamflet harus dimasukkan dalam bagian undang-undang deposit. Pada beberapa negara yang membuat peraturan minimal halaman yang dapat diserahkan oleh penerbit.

1.4. Lembaran Musik

Lembaran musik atau musik tercetak merupakan bagian penting sebagai warisan budaya bangsa, sehingga koleksi ini perlu dilestarikan.

1.5. Ikonografi

Materi ini dapat berupa poster, selebaran, foto, ukiran, dan lain-lain. Yang perlu diperhatikan dari koleksi ini adalah cara dan tempat mendokumentasikannya.

1.6. Terbitan Pemerintah

Terbitan ini dapat menjadi bagian dari pelaksanaan undang-undang deposit tergantung pada sistem pemerintahan, jika negaranya memiliki sistem pemerintahan federal, maka negara bagiannya tidak dapat dipaksakan menyerahkan terbitannya. Ditemukan juga pada beberapa negara yang tidak mewajibkan penerbit untuk menyerahkan koleksinya untuk dilestarikan, padahal seperti diketahui bahwa terbitan pemerintah ini sangat banyak dan beragam. Sesuai dengan peraturan di Indonesia, penerbit wajib menyerahkan dua eksemplar terbitannya ke Perpustakaan Nasional.

1.7. Peta

Tidak semua negara mengumpulkan koleksi ini untuk dimasukkan sebagai bagian dalam pelaksanaan undang-undang deposit. Ada beberapa negara yang hanya mengumpulkan peta yang sudah dikemas dalam bentuk buku, seperti atlas. Jumlah koleksi yang diserahkan ke Perpustakaan Nasional pada beberapa negara berjumlan satu eksemplar.

(2) Jenis Karya Tidak Tercetak (Non print material)

Koleksi ini merupakan perkembangan dari karya cetak yang membawa warna baru bagi koleksi perpustakaan. Koleksi ini terdiri dari :

2.1. Mikrofilm

Koleksi bentuk mikro ini dapat berasal dari karya asli yang langsung dibuat dalam bentuk microfilm atau merupakan cetak ulang karya yang telah diterbitkan. Kedua bentuk ini tanpa pengecualian masuk dalam undang-undang deposit.

2.2. Materi Audiovisual

Bentuk ini dapat berupa rekaman suara dan gabungan antara rekaman suara dan visual. Penanganan koleksi ini berbeda dengan karya tercetak, diperlukan peralatan tertentu untuk mengakses informasi ini. Dokumentasi ini meliputi cakram, tape, slide, film, videotape, videodisc dan multimedia lainnya. Materi audiovisual ini merupakan benda yang m itu dipudah rusak dan pecah, oleh sebab itu diperlukan perawatan khusus untuk menanganinya. Banyak negara yang sudah membuat dokumentasi ini dalam bentuk digital sebagai salinan jika koleksi aslinya rusak. Tetapi yang saat ini menjadi masalah adalah mengenai Undang-Undang Hak Cipta.

2.3. Materi Lainnya

Dokumentasi ini dapat berupa koin, perangko, uang kertas dan lain-lain. Secara umum yang merupakan kewajiban untuk disimpan pada koleksi ini adalah segala sesuatu yang terkait dengan sejarah.

(3) Terbitan Elektronik

Terdapat dua kategori pada publikasi elektronik, yakni:

3.1. Publikasi elektronik yang tidak tersambung pada jaringan. Publikasi ini merupakan publikasi yang berwujud nyata dan berbentuk fisik, seperti disket dan CD ROM

3.2. Jenis kedua adalah publikasi yang terhubung pada sebuah jaringan. Publikasi ini merupakan publikasi yang tidak berwujud fisik, seperti buku elektronik (Lariviere : 2000)

Dokumen terkait