• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara maritim terluas di dunia dengan jumlah pulaunya sebanyak 17.504 buah dan panjang garis pantai mencapai 81.000 Km, dimana dua pertiga dari wilayah Indonesia merupakan laut yang kaya akan sumber daya alam (SDA) (Ditjen Perikanan Budidaya, 2009). Selama ini pembangunan nasional lebih terfokus pada wilayah daratan. Hal ini menjadi sangat ironis, karena daerah yang luasnya sekitar duapertiga dari luas wilayah negara justru terabaikan. Pemanfaatan potensi pembangunan kelautan dan perikanan yang memiliki prospek ekonomi bagi bangsa Indonesia. Perairan laut Indonesia memiliki potensi biota laut yang melimpah dan beraneka ragam. Salah satu sumber daya hayati yang mempunyai potensi besar adalah ganggang laut atau lebih dikenal dengan sebutan rumput laut.

Rumput laut telah lama dikenal dan dimanfaatkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia sejak berabad abad yang lalu, baik dimakan langsung sebagai sayuran atau lalapan maupun dijadikan obat tradisional seperti untuk sakit perut, penyembuh luka luar maupun pengobatan dalam. Rumput laut yang sudah komersil dan diusahakan dalam skala industri adalah dari kelas Rhodophyceae (ganggang merah) dan Phaeophyceae (ganggang coklat). Ekstrak rumput laut yang merupakan hidrokoloid dari rumput laut sudah banyak digunakan di berbagai industri, ekstrak tersebut adalah karaginan, agar dan alginat. Hidrokoloid tersebut banyak dibutuhkan mengingat fungsinya yang cukup luas, yaitu bahan penstabil, pengental, pembentuk gel, pengemulsi, pensuspensi, pembentuk busa, pembentuk film dan lain–lain.

Karaginan adalah senyawa polisakarida yang berupa hidrokoloid diekstraks dari rumput laut carrageenophyte seperti jenis Eucheuma, Chondrus, Gigartina dan Hypnea. Dari jenis tersebut yang tumbuh di perairan Indonesia adalah Eucheuma dan Hypnea dan yang sudah berhasil dibudidayakan secara masal adalah Eucheuma. Sedangkan Hypnea masih dipanen di alam (wild stock) dan

pemanfaatannya tidak banyak bahkan hanya digunakan sebagai pencampur dalam produksi agar yang menggunakan Gelidium dan Gracilaria. Eucheuma yang sudah dibudidayakan adalah Eucheuma cottonii atau Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum atau Eucheuma denticulatum. Karaginan berfungsi sebagai bahan pengental, penstabil, pembentuk gel, pengemulsi dan lain–lain.

Alginat adalah hidrokoloid yang diekstraks dari rumput laut alginophyte yaitu jenis Laminaria, Lessonia, Ascophyllum, Sargassum, and Turbinaria. Dari jenis tersebut hanya Sargassum dan Turbinaria yang tumbuh baik di perairan Indonesia, sayangnya rendemen alginatnya kecil dan sulit dibudidayakan. Oleh karena itu, industri alginat di Indonesia tidak berkembang. Alginat ini menjadi sangat penting karena penggunaannya yang cukup luas antara lain sebagai bahan pengental, pensuspensi, penstabil, pembentuk film, pembentuk gel, disintegrating agent dan bahan pengemulsi. Memperhatikan fungsi tersebut, alginat banyak dibutuhkan oleh berbagai industri seperti farmasi (5%), tekstil (50%), makanan dan minuman (30%), kertas (6%) dan industri lainnya.

Dari ratusan jenis rumput laut dengan jumlah yang melimpah tersebut hanya beberapa jenis saja yang sudah diperdagangkan secara komersial dan mendunia, yaitu Eucheuma cottonii, Eucheuma spinosum, Gracilaria, dan Gelidium. Komoditas tersebut telah memberikan kontribusi yang besar bagi kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat pesisir dan terhadap perekonomian daerah. Pengembangan rumput laut secara masal merupakan upaya dalam memperkuat program pemerintah dalam mewujudkan peningkatan kesempatan kerja (pro job/job opportunities), penumbuhkan kembangkan perekonomian daerah (pro growth/economic growth) dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (pro poor/community welfare).

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memiliki visi Indonesia sebagai penghasil produk perikanan terbesar tahun 2014. Dalam pencapaian visi tersebut ditetapkan beberapa komoditas prioritas pengembangan sebagai target peningkatan produksi. Rumput laut merupakan salah satu komoditas yang masuk dalam prioritas pengembangan. Rumput laut adalah salah satu komoditas yang di budidayakan di laut dan tambak, serta menjadi salah satu komoditas perdagangan internasional. Di Indonesia komoditas ini diunggulkan, karena nilai ekonomis dan

prospeknya yang cerah, serta permintaan pasar dalam dan luar negeri terus meningkat.

Agribisnis rumput laut, terutama pada sektor budidaya sangat menyentuh dalam pemberdayaan masyarakat pesisir yang pada umumnya miskin. Upaya ini dapat meningkatkan pendapatan nelayan yang berdampak pada peningkatan pendapatan daerah. Teknologi budidaya rumput laut sangat mudah dilakukan, panen lebih cepat daripada tanaman pertanian lainnya, karena dipanen pada usia 45 hari, risikonya rendah dan tidak memerlukan investasi tinggi dibandingkan budidaya perikanan lainnya dan yang penting peluang pasarnya cukup besar.

Pengembangan budidaya rumput laut membuat masyarakat pesisir menjadi pelaku utama dalam memproduksi rumput laut sebagai pembudidaya. Penyerapan tenaga kerja di sektor ini cukup besar untuk 1 Ha budidaya Eucheuma di laut menyerap tenaga kerja tetap 15–20 orang serta keperluan tenaga pada saat penanaman dan panen 20 orang per periode tanam (1,5 bulan). Dalam satu tahun (7 kali panen) menyerap tenaga kerja sekitar 150–160 orang per hektar tanaman. Untuk budidaya Gracilaria di tambak menyerap tenaga kerja 50 orang per ha per tahun. Di sektor tataniaga akan muncul pedagang lokal, pedagang antar kota dan eksportir yang juga menjadi peluang dalam penyerapan tenaga kerja. Di hilirnya, sektor industri menyerap cukup banyak tenaga kerja. Satu industri mampu menyerap 100 – 500 tenaga kerja (Tim BPPT dan DKP Banyuwangi, 2009).

Adanya usaha budidaya rumput laut dapat memacu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan menumbuhkan perekonomian desa. Hasil ekspor, baik bahan baku masih berbentuk rumput laut kering maupun yang sudah diolah (seperti agar, karaginan dan alginat) menjadi penyumbang devisa bagi negara. Sebagai ilustrasi Kabupaten Serang merupakan salah satu daerah yang ditargetkan produksi Gracilaria mencapai 5.000 ton sampai dengan tahun 2014. Berdasarkan data dari pemerintah Kabupaten Serang menunjukkan pada tahun 2010 masyarakat pembudidaya Gracilaria berhasil memperoleh pendapatan sebesar kurang lebih Rp.19,25 milyar dengan total lahan yang baru dimanfaatkan sekitar 500 hektar dari 5.000 hektar total lahan, sehingga masih tersisa 4.500 hektar yang belum termanfaatkan. Jika asumsi berdasarkan data pemerintah Kabupaten Serang harga rumput laut kering ditingkat petani sebesar Rp. 5.500/kg,

maka potensi pendapatan terhadap lahan yang belum dimanfaatkan mencapai Rp.101,25 milyar, sehingga jumlah potensi pendapatan yang hilang pada tahun 2010 di Kabupaten Serang akibat belum maksimalnya pemanfaatan lahan 4.500 hektar hingga mencapai 5 kali lipat atau 80% dari total potensi pendapatan. Berhasil tidaknya usaha budidaya rumput laut tergantung dari kondisi pasar dan penanganan budidaya, serta pasca panen oleh pembudidaya rumput laut. Perbaikan mutu dimulai sejak pemilihan lokasi yang tepat, pemilihan bibit yang baik, cara penanganan budidaya sampai cara penanganan pasca panennya.

Berdasarkan hal tersebut maka penulis ingin mengkaji kelayakan usaha budidaya dan kinarja pembudidaya rumput laut Gracilaria dalam rangka memaksimalkan potensi lahan yang belum termanfaatkan melalui kelompok “Budidaya Rumput Laut Serang Utara” yang merupakan salah satu kelompok pembudidaya rumput laut Gracilaria di Kabupaten Serang.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka penulis membuat perumusan masalah sebagai berikut :

1. Apakah usaha budidaya Gracilaria layak bagi masyarakat ?

2. Bagaimana evaluasi kinerja usaha budidaya gracilaria yang dilakukan oleh kelompok “Budidaya Rumput Laut Serang Utara” ?

C. Tujuan

Tujuan kajian ini adalah :

1. Mengkaji kelayakan usaha budidaya Gracilaria.

2. Mengkaji evaluasi kinerja usaha budidaya gracilaria yang dilakukan oleh kelompok “Budidaya Rumput Laut Serang Utara”

BAB II