• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu singkat terjadi peningkatan jumlah pasien dan semakin melanda banyak negara (Widoyono, 2011), sehingga pada Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium tahun 2000 di New York, disepakati suatu deklarasi milenium yaitu Millenium Development Goals (MDGs) yang berisi delapan butir tujuan untuk dicapai pada tahun 2015 (Sulistyo, Perdanakusuma, & Leksono, 2010), dimana salah satu dari delapan tujuan tersebut adalah memerangi Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), malaria, serta penyakit menular lainnya (Volkmer, 2012). Target MDGs untuk HIV dan AIDS adalah mengendalikan penyebaran HIV/AIDS dan mulai menurunnya jumlah kasus baru pada 2015 (UNICEF, 2010).

Program MDGs sudah berjalan duabelas tahun pada September 2012, dan berhasil menurunkan jumlah kasus infeksi baru HIV/AIDS di seluruh dunia. Jumlah kasus infeksi baru HIV/AIDS diseluruh dunia turun sebanyak 33% menjadi 2,3 juta infeksi baru pada tahun 2012, turun dari 3,4 juta pada tahun 2001 (UNAIDS, 2013), dimana hal ini berbanding terbalik dengan kasus baru HIV/AIDS di Indonesia yang cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya, padahal tenggang waktu program MDGs menyisakan waktu beberapa bulan lagi. Jumlah kasus baru HIV dan AIDS di Indonesia sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 sampai tahun 2005 sebanyak 5.862 kasus, mengalami peningkatan menjadi 188.273 kasus pada awal tahun 2014.

2

Jawa Timur menempati urutan kedua tertinggi jumlah kumulatif kasus HIV dan AIDS dengan 25.477 kasus (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2014), dan Kabupaten Malang menempati urutan keenam penyumbang kasus HIV terbanyak dengan 806 kasus dan urutan keempat penyumbang kasus AIDS terbanyak dengan 497 kasus diantara seluruh Kabupaten/Kota di Jwa Timur sampai tahun 2012 (Dinkes Jatim, 2012).

Jumlah kasus baru HIV/AIDS di Indonesia terus meningkat disebabkan oleh bertambahnya jumlah penularan dari ODHA (orang dengan HIV/AIDS) kepada anggota keluarganya. Rute penularan HIV dalam keluarga yang perlu dipertimbangkan adalah penularan kepada pasangan seks dalam keluarga dari pasangan mereka, dan bayi yang baru lahir yang menghadapi risiko infeksi HIV melalui transmisi vertikal di dalam rahim, selama persalinan dan menyusui (WHO, 2005). Peningkatan jumlah penularan HIV/AIDS kepada anggota keluarga diakibatkan meningkatnya penularan dari suami ke istri (Wardah, 2013). Laporan Ditjen PP & PL Triwulan I (Januari-Maret) 2014 melaporkan bahwa jumlah penderita AIDS tertinggi pada kategori ibu rumah tangga dengan 6.271 kasus (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2014), dan dari total 872 penderita HIV/AIDS di Kabupaten Malang sampai tahun 2012, terdapat 116 ibu rumah tangga dan 27 bayi (Dinkes Kabupaten Malang, 2012 dalam Rya, 2014). Tingginya angka kejadian HIV/AIDS pada ibu rumah tangga mempercepat penularan penyakit tersebut karena ibu berpotensi menularkan pada anak-anak mereka, terutama pada saat kehamilan, melahirkan dan menyusui (Sukarelawati, 2013). Penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak hingga saat ini sudah mencapai 2,6 persen dari seluruh kasus HIV-AIDS yang dilaporkan di Indonesia. Jumlah kasus HIV pada anak 0-4 tahun meningkat dari 1,8% pada tahun 2010 menjadi 2,6% di tahun 2011 (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2011).

3

Penularan HIV/AIDS kepada anggota keluarga meningkat karena tindakan pencegahan penularan HIV/AIDS kepada anggota keluarga yang dilakukan oleh ODHA masih berisiko. Penelitian yang dilakukan oleh Walque (2007) dan Anand, et al (2009) di lima negara Afrika menunjukkan bahwa penggunaan kondom pada pasangan serodiskordan (pasangan yang salah satunya menderita HIV/AIDS) masih rendah, yaitu kurang dari 11%. Ajayi, et al (2013) melakukan penelitian terhadap 200 ODHA di Nigeria, menunjukkan bahwa 39% ODHA tidak konsisten menggunakan kondom saat berhubungan seksual. Mardhiyati dan Handayani (2011) dalam penelitiannya terhadap 2.015 ODHA di 10 Provinsi di Indonesia yang dipilih secara acak melaporkan bahwa ada 26% ODHA masih memiliki perilaku berisiko menularkan virusnya kepada orang lain, dan lebih khusus tingkat penggunaan kondom secara konsisten hanya dilakukan oleh 51% ODHA. Pencegahan penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak pun masih belum maksimal. Penelitian yang dilakukan Mardhiyati dan Handayani (2011) terhadap 2.015 ODHA di 10 Provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa lebih banyak ODHA perempuan yang pernah hamil dan melahirkan tidak menggunakan layanan PMTCT (Preventing Mother To Child Transmission) yaitu sebanyak 77%.

Hasil studi pendahuluan dengan mewawancarai 7 ODHA di puskesmas Permata Turen pada tanggal 21 September 2014 dan 26 Oktober 2014 menemukan bahwa 3 dari 7 ODHA merupakan korban penularan dari suami mereka yang sebelumnya tertutup. Tiga ODHA tersebut mengatakan suami mereka tidak pernah mengajak berhubungan seksual menggunakan kondom saat masih tertutup. Empat dari 7 ODHA mengatakan tidak konsisten menggunakan kondom saat berhubungan seksual dengan pasangan mereka. Dua dari 4 ODHA tersebut beralasan untuk menjaga keharmonisan, dan 2 sisanya tidak konsisten menggunakan kondom karena

4

takut diketahui menderita HIV oleh pasangan mereka jika memaksakan selalu menggunakan kondom.

Membuka status HIV/AIDS penting untuk pencegahan dan pemeliharaan kesehatan bagi ODHA, pasangan mereka dan masyarakat (Medley, et al. 2004; Atuyambe, et al. 2014). Atuyambe et al (2014) mengatakan bahwa membuka status HIV-positif akan menghasilkan 3 hal, yaitu dampak positif, perubahan perilaku pencegahan penularan HIV, dan dampak negatif. Perubahan perilaku pencegahan penularan HIV tersebut terjadi karena dengan terbuka kepada pasangan akan meningkatkan kepedulian terhadap resiko penularan HIV/AIDS, pengurangan kecemasan, meningkatkan motivasi ODHA, peningkatan self-efficacy, meningkatkan dukungan sosial dari keluarga (meliputi dukungan informasional, emosional, instrumental, dan penghargaan), membuat ODHA merasa bebas mengkonsumsi ARV, memungkinkan mitra untuk terlibat dalam perilaku pencegahan, sehingga mendorong terjadinya perubahan tindakan pencegahan dan pengobatan HIV/AIDS (Deribe et al. 2008; Gabri, Habte, Markos, 2010; Medley, et al. 2004; Murphy, 2011; Okoth, 2013). Perubahan perilaku yang paling sering terjadi setelah keterbukaan adalah perubahan perilaku seksual khususnya penggunaan kondom, dan dalam beberapa kasus terjadi perubahan perilaku terkait PMTCT dan perilaku pencegahan lainnya (Atuyambe et al. 2014).

Keterbukaan menyebabkan perubahan perilaku berisiko yang secara dramatis terjadi pada pasangan yang terbuka tentang serostatus mereka (Medley et al. 2004), akan tetapi terbuka atau tidak tentang status HIV-positif adalah fenomena kompleks yang sulit dilakukan dengan berbagai dampak terhadap ODHA (Liamputtong, 2013). Hambatan bagi ODHA untuk mengungkapkan setatus HIV/AIDS mereka, meliputi ketakutan akan kehilangan dukungan ekonomi,

5

penolakan, pemisahan, perceraian, stigma dan diskriminasi, penyalahan, kekerasan fisik dan emosional, serta hilangnya hak asuh anak dan harta terutama bagi perempuan, diabaikan, dan kerusakan hubungan keluarga (Kadowa & Nuwaha, 2009; Yonah, Fredrick, & Lena, 2014). Hambatan tersebut membuat ODHA memilih untuk tidak membuka status HIV/AIDS mereka kepada teman, keluarga dan pasangannya, sehingga menyebabkan hilangnya kesempatan untuk mencegah penularan infeksi HIV/AIDS baru (Medley, et al. 2004; Simoni & Pantalone, 2004).

Tingkat pengungkapan status HIV/AIDS di negara maju berkisar antara 42% sampai 100%, dan 16,7% sampai dengan 86% di negara berkembang (WHO, 2004). Penelitian yang dilakukan Kiula, Damian, dan Msuya (2013) pada 250 ODHA di Tanzania menunjukkan bahwa hanya 41% ODHA yang terbuka kepada pasangannya, dan 59% sisanya tertutup dengan rincian 43% dari ODHA yang tertutup merencanakan untuk terbuka suatu saat nanti, dan lebih dari setengahnya yaitu 57% tidak ingin membuka serostatus mereka. Hasil studi pendahuluan dengan mewawancarai 7 orang ODHA di puskesmas Permata Turen pada 21 September dan 26 November 2014, menunjukkan bahwa masih adanya ODHA yang menutupi status HIV-positif yang mereka derita, dimana 3 ODHA menjawab tidak membuka status HIV/AIDS mereka kepada pasangan (suami/istri) mereka dengan alasan takut ditinggalkan pasangan (suami/istri) mereka. Tiga ODHA lainnya terbuka pada pasangan karena mereka adalah korban penularan dari suami mereka sendiri, dan 1 ODHA sisanya terbuka pada pasangan karena tidak ingin pasangannya tertular HIV darinya dan ingin mendapat bantuan dari suaminya.

Berdasarkan uraian masalah di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara keterbukaan ODHA pada pasangan dengan tindakan pencegahan penularan HIV/AIDS (melalui Safer-sex dan PMTCT) pada keluarga oleh ODHA.

6

Dokumen terkait