• Tidak ada hasil yang ditemukan

URAIAN TEORITIS

II. 3. 3 Peranan Public Relations Dalam Perusahaan

II.4 Corporate Social Responsibility (CSR)

II.4.1 Latar Belakang dan Perkembangan Corporate Social Responsibility (CSR)

Corporate Social Responsibility (CSR) yang kini marak di implementasikan

banyak perusahaan, mengalami evolusi dan metamorfosis dalam rentang waktu yang cukup panjang. Konsep ini tidak lahir begitu saja, ada beberapa tahapan sebelum gemanya lebih terasa. Pada saat industri berkembang setelah terjadi

revolusi industri, kebanyakan perusahaan masih memfokuskan dirinya sebagai organisasi yang mencari keuntungan belaka. Mereka memandang bahwa sumbangan kepada masyarakat cukup diberikan dalam bentuk penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui produknya, dan pembayaran pajak kepada negara. Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat tidak sekedar menuntut perusahaan untuk menyediakan barang dan jasa yang diperlukannya, melainkan juga menuntut untuk bertanggung jawab secara sosial. Karena, selain terdapat ketimpangan ekonomi antara pelaku usaha dengan masyarakat sekitarnya, kegiatan operasional perusahaan umumnya juga memberikan dampak negatif, misalnya eksploitasi sumber daya dan rusaknya lingkungan di sekitar operasi perusahaan.

Adanya revolusi industri telah menyebabkan masalah tanggung jawab perusahaan menjadi fokus yang tajam. Ini merefleksikan kekuatan industri baru untuk membentuk kembali hubungan yang sudah kuno. Feodal, klan, rumpun, atau sistem otoritas yang berlandaskan kekeluargaan dan teknologi memberi kekuasaan yang besar dan kekayaan pada “perusahaan”. Tanah harus dibagi-bagi kembali dan kota-kota dibangun. Kekuatan mesin yang melebihi manusia meningkatkan masalah tanggung jawab dan moralitas.

Itulah yang kemudian melatarbelakangi munculnya konsep Corporate

Social Responsibility (CSR) yang paling primitif: kedermawanan yang bersifat

karitatif. Tanggung Jawab Sosial Korporasi (Corporate Social Responsibility) telah menjadi pemikiran para pembuat kebijakan sejak lama. Bahkan dalam Kode Hammurabi (1700-an SM) yang berisi 282 hukum telah memuat sanksi bagi para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau menyebabkan

kematian bagi pelanggannya. Dalam Kode Hammurabi disebutkan bahwa hukuman mati diberikan kepada orang-orang yang menyalahgunakan ijin penjualan minuman, pelayanan yang buruk dan melakukan pembangunan gedung di bawah standar sehingga menyebabkan kematian orang lain.

Literatur-literatur awal yang membahas Corporate Social Responsibility (CSR) pada tahun 1950-an menyebut Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai Social Responsibility (SR bukan CSR). Tidak disebutkannya kata

corporate dalam istilah tersebut kemungkinan besar disebabkan pengaruh dan

dominasi korporasi modern belum terjadi atau belum disadari. Buku karangan Howard R. Bowen yang berjudul Social Responsibility of The Businessman dapat dianggap sebagai tonggak bagi Corporate Social Responsibility (CSR) modern. Dalam buku itu Bowen memberikan definisi awal dari Corporate Social

Responsibility (CSR) sebagai: “... obligation of businessman to pursue those policies, to make those decision or to follow those line of action wich are desirable in term of the objectives and values of our society”. Walaupun judul dan

isi buku Bowen bias gender (hanya menyebutkan businessman tanpa mencantumkan businesswoman), sejak penerbitan buku tersebut definisi

Corporate Social Responsibility (CSR) yang diberikan Bowen memberikan

pengaruh besar kepada literatur-literatur Corporate Social Responsibility (CSR) yang terbit setelahnya. Sumbangsih besar pada peletakan pondasi Corporate

Social Responsibility (CSR) tersebut membuat Bowen pantas disebut sebagai

Bapak CSR.

Dalam artikelnya, Craig Smith memberikan beberapa ulasan singkat dalam sejarah yang menjadi tolak ukur perubahan atau evolusi atas pandangan

perusahaan terhadap Corporate Social Responsibility (CSR) di Amerika Serikat. Sekitar tahun 1950-an, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yang menarik segala restriksi hukum dan menyatakan tidak berlaku segala aturan tidak tertulis yang menghalangi keterlibatan perusahaan dalam isu-isu sosial. Sehingga, pada tahun 1960-an dengan telah ditariknya halangan-halangan tersebut di atas, perusahaan-perusahaan mulai merasakan adanya tekanan atas diri mereka untuk menunjukkan tanggung jawab sosial mereka, dan banyak perusahaan yang mulai mendirikan in-house foundations atau unit khusus untuk menangani hal ini.

Gema Corporate Social Responsibility (CSR) semakin terasa pada tahun 1960-an saat dimana secara global, masyarakat dunia telah pulih dari Perang Dunia II, dan mulai menapaki jalan menuju kesejahteraan. Pada waktu itu persoalan-persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang semula terabaikan mulai mendapatkan perhatian lebih luas dari berbagai kalangan. Persoalan ini telah mendorong berkembangnya beragam aktivitas yang terkait dengan pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan dengan mendorong berkembangnya sektor produktif dari masyarakat.38 Pada tahun 1960-an banyak usaha dilakukan untuk memberikan formalisasi definisi Corporate Social Responsibility (CSR). Salah satu akademisi Corporate Social Responsibility (CSR) yang terkenal pada masa itu adalah Keith Davis. Davis dikenal karena berhasil memberikan pandangan yang mendalam atas hubungan antara CSR dengan kekuatan bisnis. Davis mengutarakan “Iron Law of Responsibility” yang menyatakan bahwa tanggung jawab sosial pengusaha sama dengan kedudukan sosial yang mereka miliki (social responsibilities of businessmen need to be commensurate with their

Gema Corporate Social Responsibility (CSR) pada dekade itu juga diramaikan oleh terbitnya buku legendaris yang berjudul “Silent Spring”. Di dalam buku ini untuk pertama kalinya persoalan lingkungan diwacanakan dalam tataran global. Penulis buku itu, Rachel Carson, yang merupakan seorang ibu rumah tangga biasa, mengingatkan kepada masyarakat dunia bahwa betapa mematikannya pestisida bagi lingkungan dan kehidupan. Melalui karyanya itu sepertinya ia ingin menyadarkan bahwa tingkah laku korporasi mesti dicermati sebelum berdampak menuju kehancuran. Sejak itu, perhatian terhadap permasalahan lingkungan semakin berkembang dan mendapat perhatian yang kian luas.

Pemikiran tentang korporasi yang lebih manusiawi juga muncul dalam “The

Future Capitalism” yang ditulis Lester Thurow tahun 1996. Pandangan Thurow

pun tak kalah tajamnya. Menurutnya, kapitalisme--yang menjadi mainstream saat itu--tidak hanya berkutat pada masalah ekonomi, namun juga memasukkan unsur sosial dan lingkungan yang menjadi basis apa yang nantinya disebut sustainable

society. Thurow memang agak pesimistis bahwa konsep itu diimplementasikan.

Namun demikian, perilaku karitatif sudah banyak digelar oleh korporasi.

Pada tahun 1970-an, banyak perusahaan yang cenderung menyokong isu- isu sosial yang paling tidak terkait dengan bisnis perusahaan mereka, menyokong beraneka ragam isu sosial (tidak terpaku hanya satu), dan bentuk tanggung jawab sosial disalurkan melalui suatu yayasan atau unit lain yang terpisah dari perusahaan.42 Pada dasawarsa 1970-an, terbitlah “The Limits to Growth”. Buku yang hingga kini terus diperbaharui itu merupakan hasil pemikiran para

cendikiawan dunia yang tergabung dalam Club of Rome. Buku ini mengingatkan kepada masyarakat dunia bahwa bumi yang kita pijak ini mempunyai keterbatasan daya dukung. Sementara di sisi lain, manusia bertambah secara eksponensial. Karenanya, eksploitasi alam mesti dilakukan secara hati-hati supaya pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan.

Tahun 1971, Committee for Economic Development (CED) menerbitkan

Social Responsibilities of Business Corporations. Penerbitan yang dapat dianggap

sebagai code of conduct bisnis tersebut dipicu adanya anggapan bahwa kegiatan usaha memiliki tujuan dasar untuk memberikan pelayanan yang konstruktif untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan masyarakat. CED merumuskan Corporate

Social Responsibility (CSR) dengan menggambarkannya dalam lingkaran

konsentris. Lingkaran dalam merupakan tanggungjawab dasar dari korporasi untuk penerapan kebijakan yang efektif atas pertimbangan ekonomi (profit dan pertumbuhan); Lingkaran tengah menggambarkan tanggung jawab korporasi untuk lebih sensitif terhadap nilai-nilai dan prioritas sosial yang berlaku dalam menentukan kebijakan mana yang akan diambil; Lingkaran luar menggambarkan tanggung jawab yang mungkin akan muncul seiring dengan meningkatnya peran serta korporasi dalam menjaga lingkungan dan masyarakat.

Sejalan dengan bergulirnya wacana tentang kepedulian lingkungan, kegiatan kedermawanan perusahaan terus berkembang dalam kemasan philanthropy serta

Community Development (CD). Pada dasawarsa ini, terjadi perpindahan

penekanan dari fasilitas dan dukungan pada sektor-sektor produktif ke arah sektor-sektor sosial. Latar belakang perpindahan ini adalah kesadaran bahwa peningkatan produktivitas hanya akan dapat terjadi manakala variabel- variabel

yang menahan orang miskin tetap miskin, misalnya pendidikan dan kesehatan dapat dibantu dari luar. Berbagai program populis kemudian banyak dilakukan seperti penyediaan sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, air bersih dan banyak lagi kegiatan sejenisnya.

Di era 1980-an makin banyak perusahaan yang menggeser konsep filantropisnya ke arah Community Devekopment. Intinya kegiatan kedermawaan yang seperti Robin Hood semakin berkembang ke arah pemberdayaan masyarakat misalnya pengembangan kerja sama, memberikan ketrampilan, pembukaan akses pasar, hubungan inti-plasma, dan sebagainya.46 Pada tahun 1980-an, juga telah semakin banyak perusahaan yang menyokong isu-isu sosial yang paling tidak terkait dengan bisnis perusahaan mereka, menyokong beraneka ragam isu sosial, dan bentuk tanggung jawab sosial disalurkan melalui suatu yayasan atau unit lain yang terpisah dari perusahaan. Hal ini dapat dilihat dalam kasus Exxon Valdez Oil

Spill (tumpahan minyak Exxon) pada tahun 1989.

Dalam artikel yang berjudul Dimensions of Corporate Social Performance, S. Prakash Sethi memberikan penjelasan atas perilaku korporasi yang dikenal dengan social obligation, social responsibility, dan social responsiveness. Menurut Sethi, social obligation adalah perilaku korporasi yang didorong oleh kepentingan pasar dan pertimbangan-pertimbangan hukum. Dalam hal ini social

obligation hanya menekankan pada aspek ekonomi dan hukum saja. Social responsibility merupakan perilaku korporasi yang tidak hanya menekankan pada

aspek ekonomi dan hukum saja tetapi menyelaraskan social obligation dengan norma, nilai dan harapan kinerja yang dimiliki oleh lingkungan sosial. Social

mengadaptasi kepentingan sosial masyarakat. Social responsiveness merupakan tindakan antisipasi dan preventif. Dari pemaparan Sethi dapat disimpulkan bahwa

social obligation bersifat wajib, social responsibility bersifat anjuran dan social responsiveness bersifat preventif. Dimensi-dimensi kinerja sosial (social

performance) yang dipaparkan Sethi juga mirip dengan konsep lingkaran

konsentris yang dipaparkan oleh CED.

Dasawarsa 1990-an adalah dasawarsa yang diwarnai dengan beragam pendekatan seperti pendekatan integral, pendekatan stakeholders maupun pendekatan civil society. Beragam pendekatan tersebut telah mempengaruhi praktik Community Development. Community Development menjadi suatu aktivitas yang lintas sektoral karena mencakup baik aktivitas produktif maupun sosial dan juga lintas pelaku sebagai konsekuensi berkembangnya keterlibatan berbagai pihak.49 Pada tahun 1990-an ini, cara pandang pun berubah dimana

Corporate Social Responsibility (CSR) suatu perusahaan tidak hanya diarahkan

untuk turut mencapai sasaran-sasaran bisnis perusahaan, tetapi perseroan tersebut juga harus menyokong kegiatan-kegiatan dengan memanfaatkan keahlian dalam bidang pemasaran (marketing expertise), bantuan teknis perseroan (technical

assistance), dan sukarelawan dari kalangan pegawai.

Pada tataran global tahun 1992 diselenggarakan KTT yang diadakan di Rio de Jenairo, Brazil ini menegaskan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang didasarkan atas perlindungan lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan sosial sebagai hal yang mesti dilakukan. Terobosan besar dalam konteks Corporate Social Responsibility (CSR) ini dilakukan oleh John Elkington melalui konsep “3P” (profit, people dan planet) yang dituangkan

dalam bukunya “Cannibals with Forks, The Tripple Bottom Line of Twentieth

Century Business” yang dirilis pada tahun 1997. Ia berpendapat bahwa jika

perusahaan ingin sustain, maka ia perlu memperhatikan 3P, yakni bukan hanya

profit yang diburu, namun juga harus memberikan kontribusi positif kepada

masyarakat (people) dan ikut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Gaung Corporate Social Responsibility (CSR) kian bergema setelah diselenggarakannya World Summit on Sustainable Development (WSSD) tahun 2002 di Johannesburg, Afrika Selatan. Sejak saat inilah defenisi Corporate Social

Responsibility (CSR) mulai berkembang.