• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

D. Latar Belakang Etnis

Kata etnik (ethnic) berasal dari bahasa Yunani ethnos, yang merujuk pada pengertian bangsa atau orang (dalam Liliweri, 2005). Ethnos diartikan sebagai setiap kelompok sosial yang ditentukan oleh ras, adat-istiadat, bahasa, nilai dan norma budaya, dan lain-lain, yang pada gilirannya mengindikasikan adanya kenyataan kelompok yang minoritas atau mayoritas dalam suatu individu. Misalnya, kita menyebutkan Chinacentric untuk menerangkan kebudayaan yang berorientasi pada Tionghoa. Istilah etnik mengacu pada suatu kelompok yang sangat fanatik dengan ideologi kelompoknya, tidak mau tahu ideologi kelompok lain.

Menurut Narroll (dalam Liliweri, 2005), kelompok etnik dikenal sebagai suatu populasi yang (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain (dalam Liliweri, 2005). Fredrick Barth dan Zastrow mengatakan, etnik adalah himpunan manusia karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa ataupun kombinasi dari kategori tersebut yang terikat pada sistem nilai budayanya (dalam Liliweri, 2005).

Koentjaraningrat memaksudkan etnik sebagai kelompok sosial atau kesatuan hidup manusia yang mempunyai sistem interaksi, sistem norma yang mengatur interaksi tersebut, adanya kontinuitas dan rasa identitas yang mempersatukan semua anggotanya serta memiliki sistem kepemimpinan sendiri (dalam Liliweri, 2005). Joe R Feagin mengatakan kelompok etnis adalah sebuah kelompok sosial yang dapat dibedakan sebagian atau bahkan seluruhnya dengan orang lain atau dari kalangan mereka sendiri; yang pertama dan utama terletak pada kebudayaan dan karakteristik nasionalitas (dalam Liliweri, 2005).

Diana mengemukakan bahwa etnik atau yang lazim disebut dengan kelompok etnik adalah kumpulan orang yang dapat dibedakan terutama oleh karakteristik kebudayaan atau bangsa, meliputi: (1) keunikan dalam perangai (trait) budaya, (2) perasaan sebagai satu komunitas; (3) mempunyai perasaan etnosentrisme; (4) status keanggotaan yang bersifat keturunan atau ascribed status; dan (5) berdiam atau memiliki teritorial tertentu (dalam Liliweri, 2005).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa etnis adalah suatu istilah yang menggambarkan rasa memiliki suatu karakteristik kebudayaan dari suatu kelompok yang meliputi adat-istiadat, bahasa, nilai dan norma budaya sehingga dapat mengindikasikan adanya kelompok minoritas dan mayoritas dalam suatu orang.

2. Karakteristik Etnis Batak Toba

Suku bangsa Batak Toba menarik garis keturunan melalui garis ayah (patrilinial). Satu kelompok kerabat dihitung dari satu ayah disebut sa ama, satu

nenek disebut sa ompung, dan kelompok kekerabatan yang besar adalah marga (Bangun dalam Lubis, 1999). Tujuan hidup masyarakat Batak Toba mengacu pada konsep tentang 3H, yaitu kekayaan (hamoraon), kehormatan (hasangapon), dan kebahagiaan (hagabeon) (dalam Lubis, 1999).

Kekayaan (hamoraon) selalu identik dengan harta kekayaan, harga diri, dan anak. Seperti ungkapan yang mengatakan bahwa Anakkonhido hamoraon diahu (anakku adalah harta yang paling berharga bagi saya) (dalam Lubis, 1999). Kebahagiaan (hagabeon) adalah kebahagiaan dalam keturunan, artinya keturunan memberi harapan hidup (dalam Lubis, 1999). Kehormatan (hasangapon) adalah suatu kedudukan seseorang yang dimiliki di dalam lingkungan masyarakat, yang biasanya status perolehan melalui proses belajar (dalam Lubis, 1999). Selama mereka tumbuh dan berkembang orangtua selalu menekankan falsafah ini kepada anak-anaknya sehingga etnis Batak Toba cenderung memiliki karakter atau sifat yang pekerja keras, gigih, dan selalu berorientasi kedepan.

Menurut Irmawati (2004), orang Batak Toba sangat mementingkan nilai pendidikan bagi anak. Hal ini dikarenakan orang Batak Toba memandang bahwa jalan menuju tercapainya kedua nilai hamaraon dan hasangapon adalah melalui pendidikan. Hal ini terlihat pada masyarakat Batak Toba yang mayoritasnya adalah petani dan pedagang kecil dapat mendidik anaknya dengan baik sehingga anak-anak mereka menunjukkan prestasi yang memukau di bidang pendidikan.

Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa etnis Batak Toba memiliki karakter yang menunjukkan bahwa mereka memiliki motif berprestasi. Hal ini

didasari oleh pola asuh orang tua yang mendidik mereka untuk berusaha menjadi lebih baik melalui pendidikan yang tinggi.

3. Karakteristik Etnis Tionghoa

Orang Tionghoa yang ada di Indonesia dikenal karena keuletan mereka dalam berbisnis. Umumnya, mereka mempunyai bakat berdagang, serta berani dalam melakukan spekulasi dan bekerja keras. Hal ini dapat dilihat dari berdirinya toko-toko milik orang Tionghoa di pinggir-pinggir jalan. Tidak hanya dalam bidang perdagangan, generasi muda mereka juga mempunyai talenta atau kecerdasan yang lebih unggul daripada penduduk pribumi (As’adi, 2011).

Etnis Tionghoa merupakan etnis dengan ras Mongoloid sedangkan orang Indonesia memiliki ras Melayu, sehingga sudah dapat dibedakan secara jelas antara orang keturunan Tionghoa dan Indonesia. Oleh karena itu, orang keturunan Tionghoa menjadi ras minoritas di tengah ras Melayu. Hal ini membuat mereka memiliki motivasi yang tinggi untuk berkembang di negeri orang lain (As’adi, 2011). Orang keturunan Tionghoa yang dipersepsikan sebagai minoritas membuat mereka lebih sadar diri, harus tangguh, harus berkembang, harus melebihi orang lain, dan harus mampu menunjukkan jiwa kompetitif mereka (As’adi, 2011).

Ajaran Kong Hu Cu mengajarkan anak-anak Tionghoa untuk selalu hormat terhadap leluhur dan juga orang tua mereka. Orang tua pada etnis Tionghoa selalu mendidik anaknya untuk selalu bekerja keras, bertanggung jawab, hemat, bijaksana, disiplin, dan menghargai waktu (Sitanggang, 2010).

Menurut As’adi (2011), karakter dari orang etnis Tionghoa antara lain ulet dalam berbisnis, kuat mempertahankan tradisi, rajin sekaligus tertutup, religius, dan senang berkumpul dengan sesama etnis. Oleh karena itu, masyarakat Tionghoa dikenal lebih sukses dalam aspek kehidupan ekonomi, pendidikan, ataupun karier, dan terkesan eksklusif. Sedangkan stereotipe yang ada pada orang Tionghoa adalah memiliki sikap tertutup, angkuh, egoistis, dan pelit (As’adi, 2011).

4. Hipotesis Sapir - Whorf

Menurut hipotesis Sapir-Whorf, struktur dari sebuah bahasa akan mempengaruhi cara individu berpikir (Sternberg, 2006). Hipotesis ini berfokus pada dampak bahasa yang berbeda terhadap pemikiran orang-orang dari budaya yang berbeda. Orang-orang dari bahasa yang berbeda memiliki perbedaan sistem kognitif dan perbedaan sistem kognitif ini mempengaruhi cara orang bicara tentang perbedaan bahasa di dunia. Konsep dari hipotesis ini menjelaskan bahwa proses kognitif, seperti pikiran dan pengalaman, dapat dipengaruhi oleh kategori dan pola bahasa seseorang berbicara (Sternberg, 2006).

Setiap etnis di Indonesia memiliki bahasa daerah masing-masing. Menurut hipotesi Sapir-Whorf, orang-orang dari bahasa yang berbeda memiliki sistem kognitif yang berbeda. Salah satu aspek dari kognitif itu sendiri meliputi pemahaman. Berdasarkan uraian ini dapat disimpulkan bhwa etnis memiliki pengaruh terhadap kemampuan pemahaman bacaan individu.

Dokumen terkait