• Tidak ada hasil yang ditemukan

LATAR BELAKANG

Dalam dokumen The Use of DIGITAL MEDIA in the Classroom (Halaman 198-200)

their hands-on experience on the use of the gadgets Given such natures, the researchers consider that a mixed-method should be the

LATAR BELAKANG

Generasi Z atau the centennial generation menurut Ibrahim (2017) adalah para pemuda yang saat ini duduk di bangku perkuliahan. Bagi kelompok pemuda ini, media teknologi bukanlah barang konsumer yang dibeli untuk menaikkan citra mereka, namun media teknologi adalah barang yang menjadi jembatan untuk berkomunikasi, tukar menukar pendapat, media pendidikan dan hiburan. Sebagai kelompok yang dijuluki digital savvy, mereka mempunyai pemikiran yang terbuka terhadap hal-hal yang baru sehingga cepat menangkap tetapi juga cepat lupa akan informasi yang dianggap menarik. Informasi yang menarik bagi mereka adalah hal yang tervisualisasikan dengan baik daripada hal yang hanya tertulis secara tekstual. Yang tervisualisasikan dengan gambar itu dapat memberi ruang bagi generasi tersebut untuk menjadi inovatif karena mendapatkan tantangan untuk mengembangkan sesuatu hal secara kreatif.

Seorang pakar media digital, Sanjaya (2017) menjelaskan bahwa generasi ini lebih senang dilibatkan sebagai co-creator daripada duduk di belakang bangku dan hanya mendengar dan mencatat hal yang disampaikan oleh seorang dosen. Mahasiswa generasi Z akan merasa tertantang apabila media teknologi atau gadget untuk “penulisan buku atau blog, …atau bahkan membuat game” untuk “pembelajaran Pancasila, Kewarganegaraan, Religiusitas, dan sejenisnya” dapat digunakan secara aktif.

Menarik bahwa biasanya informasi yang berhubungan dengan media digital adalah materi yang mempunyai konten tentang budaya barat, utamanya Amerika Serikat yang mempunyai keinginan untuk menjadi negara yang memimpin dunia budaya populer. Dengan keadaan seperti itu, maka menjadi hal yang biasa apabila melihat mahasiswa jaman sekarang tampil

9 Artikel ini adalah hasil penelitian internal Fakultas yang belum pernah

dengan bangganya menggunakan banyak aksesoris budaya populer yang utamanya berasal dari Amerika Serikat. Hal ini seakan-akan menginformasikan bahwa budaya asli Indonesia bukanlah budaya yang laku untuk dinikmati dan disebarluaskan.

Serupa dengan generasi sebelumnya yang mengagung-agungkan barang asli atau tiruannya dari Amerika Serikat untuk menunjukkan bahwa mahasiswa adalah anggota masyarakat yang modern dan mempunyai kemampuan yang lebih baik dari bangsa yang lain; kaum generasi centennial

ini juga mengagung-agungkan cara berbicara dan gaya hidupnya yang berkiblat pada bangsa Amerika Serikat.

Pemikiran Sanjaya tersebut di atas, bahwa game dapat dipakai untuk belajar Pancasila, mengandung arti bahwa budaya lokal seperti yang ada di Semarang, Jawa Tengah dapat dipakai sebagai materi dasar sebuah game. Peneliti dalam hal ini setuju dikarenakan bangsa Indonesia tidak harus meminjam budaya populer dari Amerika Serikat untuk dinilai sebagai bangsa yang berbudaya tinggi. Sesuai dengan ranah penelitian-penelitian sebelumnya, peneliti telah mempromosikan budaya Jawa dengan menerbitkan lima buku cergam (cerita bergambar) seri yang berjudul “Aku Suka Sayur” dari PT Gramedia (Dukut, Utami, Nugroho, Putri, & Nugrahedi, 2014). Dalam buku ini ada karakter-karakter kartun yang sengaja didandani dengan kostum Jawa. Sebagai contoh, untuk karakter sayur yang bernama Kartini, dikarenakan bentuknya bagaikan seorang penari, maka Kartini si wortel penari dibalut dengan baju penari golek dengan kain putih coklat bercorak parang dan selendang kuning beserta beberapa aksesoris kepala yang lazim dipakai oleh seorang penari golek di Jawa. Dengan visualisasi seperti itu, peneliti telah mengangkat budaya local menjadi sesuatu yang patut diketahui oleh masyarakat luas karena bahasa yang dipakai di buku adalah Bahasa Inggris selain Bahasa Indonesia. Tidak hanya budaya bangsa Indonesia terangkat karena pembaca diharapkan mempunyai ketrampilan Bahasa Inggris dengan lebih baik, pada saat yang sama, apabila yang membaca adalah seorang warga negara asing, maka ia akan merasa senang karena ia dapat belajar tentang budaya Indonesia yang disuguhkan melalui visualisasi yang ada dui buku itu selain belajar mempraktekkan Bahasa Indonesianya.

Dalam buku cergam series itu, karakter sayur lain yang mempromosikan budaya Jawa adalah Spibam si Super Bayam. Ia digambarkan bagaikan tokoh cerita wayang Jawa yang bernama Gatotkaca, yang dikenal oleh rakyat mempunyai tulang yang kuat bagaikan besi dan otot yang kuat bagaikan para superhero yang dengan mudah dapat mengalahkan banyak musuh. Layaknya sayur bayam yang nyata, diinformasikan melalui cergam bahwa bayam mempunyai vitamin besi yang tinggi yang dapat mengalahkan berbagai penyakit. Dalam memperkenalkan budaya Jawa,

Spibam si Super Bayam, diberi baju hitam yang tengahnya ada gambar bintang untuk mengsimbolkan bahwa badannya bertameng baja sehingga dapat ditangkap oleh pembaca bahwa ia adalah karakter yang kuat karena tidak akan ada peluru, tombak atau pisau yang akan menembus dadanya. Layaknya wayang Gatotkaca yang nyata, celana yang dipakainya juga berukuran tiga perempat dan di pinggangnya dibalut dengan kain Jawa yang bercorak parang hitam putih seperti Kartini si Wortel Penari tadi.

Dari dua contoh tokoh itu dapat dikatakan bahwa budaya Jawa memang dapat dipromosikan melalui cergam yang sebenarnya bertujuan mengajarkan anak-anak bagaimana menggunakan Bahasa Inggris. Dengan kata lain, belajar Bahasa Inggris tidak harus mengetengahkan tokoh–tokoh super seperti yang didapati pada buku komik Marvel terbitan dari Amerika Serikat itu.

Usaha peneliti untuk mempromosikan budaya Jawa juga telah dilakukan dengan membuat penelitan tentang macam corak kain batik yang biasa dipakai untuk produk-produk yang memanfaatkan kain perca, seperti selimut, bantal dan hiasan dinding. Corak yang dipakai untuk kain perca itu telah dibandingkan dengan kain-kain quilt dari Amerika Serikat. Maka dalam rangka ingin mengetahui lebih mendalam tentang budaya Jawa, peneliti telah melakukan peneltian tentang corak-corak atau motif itu.

Meng-hak patenkan “Pokina & Tommy: TOEFL game software

(Indonesia/ Central Java Patent No. EC00201704252, 2017) adalah usaha lebih lanjut peneliti untuk mempopulerkan budaya Jawa yang terdapat dalam buku cergam tersebut di atas tetapi dengan media digital animasi yang dikemas dalam sebuah game edukasi Bahasa Inggris. Dalam cerita animasi yang ditampilkan pada bagian latihan Menyimak (Listening) diinformasikan bahwa sawi yang biasanya dipakai oleh orang Jawa untuk membuat masakan

Dalam dokumen The Use of DIGITAL MEDIA in the Classroom (Halaman 198-200)

Dokumen terkait