• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jakarta 49 5 Persentase Rasio UMR tiap Propinsi terhadap DKI Jakarta dalam Persen

1.1. Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi di wilayah perkotaan dan pedesaan yang tak seimbang menimbulkan berbagai dampak positif dan negatif yang sepatutnya mendapat perhatian serius dari pemerintah dan berbagai pihak, terutama dikaitkan dengan isu kemiskinan dan pemerataan. Salah satu isu yang sering disoroti adalah tingginya arus migrasi terutama desa ke kota yang semakin meningkat intensitasnya (Sunario, 1999). Mobilitas penduduk menuju daerah perkotaan di Indonesia semakin meningkat dengan pesat ditunjukkan dengan angka pertumbuhan penduduk kota yang sangat tinggi. Utamanya terjadi pada periode tahun 1980-1990 (7,85 persen per tahun). Tingkat pertumbuhan penduduk kota pada periode 1990-2000 turun menjadi 2,01 persen, tetapi dilihat dari persentase dari penduduk yang tinggal di kota tampak semakin meningkat dengan pesat. Sensus penduduk tahun 1980 menunjukkan persentase penduduk kota sebesar 22,38 persen, kemudian meningkat menjadi 35,91 persen pada tahun 1990. Kondisi sepuluh tahun kemudian pada tahun 2000 persentase penduduk kota di Indonesia telah mencapai sebesar 42,43 persen.

Pembangunan yang tidak seimbang dan disparitas antar daerah menyebabkan perpindahan penduduk yang dapat menimbulkan masalah baik di daerah yang ditinggalkan maupun daerah yang dituju. Daya tarik kota seperti, kesempatan memperoleh pendidikan, pekerjaan, wiraswasta dan penawaran jasa lainnya, sebagai bagian dari proses modernisasi, antara lain merupakan komponen

2

yang dapat memotivasi sehingga memperbesar arus perpindahan itu baik untuk tujuan menetap, sementara, atau mungkin perpindahan sirkuler (Artika, 2003).

Selain itu menurut Hauser et al (1985) arus penduduk dari desa ke kota sebagian

besar akibat daya tarik upah yang lebih tinggi berkat daya produksi yang lebih tinggi di kota. Penggunaan teknologi pada abad XX pun diduga dalam rangka pembangunan ekonomi, ternyata melahirkan tata industri yang bersifat padat modal dan bukan yang bersifat padat karya. Sehingga kebijakan ini cenderung mendorong buruh petani ke perkotaan. Di bidang industri ternyata mengalami keterbatasan penyerapan tenaga kerja. Dengan demikian, mungkin saja arus penduduk dari desa ke kota tetap berjalan terus dan semakin cepat, sementara kesempatan kerja di kota tetap terbatas.

Menurut Todaro dan Smith (2004), kebijakan yang dijalankan pada dekade yang lalu, yang lebih mengutamakan modernisasi industri, kecanggihan teknologi, dan pertumbuhan metropolis, jelas telah menciptakan ketimpangan geografis dalam penyebaran kesempatan atau peluang-peluang ekonomi, sekaligus menjadi penyebab utama perpindahan secara besar-besaran penduduk desa ke kota yang terus menerus. Kebijakan pemerintah seringkali bias kota, yaitu dengan mementingkan investasi industri dan mengabaikan sektor pertanian. Pemerintah mementingkan investasi untuk bidang sarana umum yang dibangun di kota dengan alasan kota adalah pusat kegiatan ekonomi (Manning dan Effendi, 1985). Kedua hal tersebut di atas merupakan penyebab terjadinya migrasi penduduk dari desa ke kota. Di pedesaan pertanian tidak dapat menampung jumlah tenaga kerja

yang semakin meningkat dari tahun ketahun, didukung dengan masuknya teknologi sehingga sektor pertanian menjadi padat modal.

Sektor non pertanian di pedesaan hampir tidak berkembang, keadaan sebaliknya bisa terjadi di perkotaan, yaitu luasnya kesempatan untuk dapat bekerja di sektor non pertanian. Hal ini membuat adanya keterkaitan masyarakat desa pergi ke kota untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan penghasilan yang lebih tinggi yang tidak diperoleh selama mereka tinggal di desa (Suharso, 1994).

Migrasi umumnya dilakukan untuk memperbaiki taraf hidup secara ekonomi. Salah satu daya tarik kota yaitu banyaknya peluang kerja di luar sektor pertanian. Sehingga adanya migrasi desa kota berakibat pada pergeseran mata pencaharian penduduk dari sektor pertanian ke sektor non pertanian di kota. Peluang memperoleh pekerjaan di desa dirasakan hanya pada sektor non pertanian terutama bidang industri dan jasa (Erwindo et al, 1992).

Migrasi desa-kota merupakan suatu faktor utama yang mendorong pesatnya pertumbuhan kota di negara berkembang (Manning dan Effendi, 1985). Namun migrasi yang terlalu cepat dan tidak teratur mengakibatkan penduduk desa yang berbondong-bondong mencari pekerjaan di kota mengalami kekecewaan karena besarnya jumlah mereka yang mencari pekerjaan. Maka timbul persaingan di antara mereka sendiri di tambah dengan persaingan dari penduduk kota. Para migran yang berasal dari desa rata-rata berpendidikan rendah dan ketrampilan yang dimiliki juga terbatas. Tapi adanya persaingan di dunia kerja mengharuskan mereka untuk mempunyai kemampuan yang lebih dari orang lain. Kemampuan para migran yang terbatas menyebabkan mereka tersingkir dari pekerjaan pada

4

sektor formal yang akhirnya mengharuskan mereka untuk masuk pada sektor informal.

Tabel 1.1. Migran Masuk dan Keluar DKI Jakarta Menurut Tempat Lahir (Lifetime Migrants), 1990, 2000, dan 2005 dalam jiwa

1990 2000 2005 Tempat Lahir/ Tempat Tinggal Sekarang Migran Masuk Migran Keluar Migran Masuk Migran Keluar Migran Masuk Migran Keluar Sumatra Utara 200.135 14.096 230.137 19.640 174.847 20.456 Sumatra Barat 154.485 15.107 152.966 16.485 141.249 24.354 Riau 22.237 11.992 24.179 22.329 26.968 17.006 Sumatra Selatan 93.088 16.752 65.565 11.955 56.174 19.502 Lampung 24.184 16.954 52.293 17.582 55.818 15.439 Prop lain di Sumatra 34.855 11.798 80.274 13.967 39.096 7.557 Jawa Barat 859.938 794.987 924.020 1.515.672 743.558 1.680.538 Jawa Tengah 1.139.985 67.492 1.277.549 85.250 1.274.304 99.986 DI Yogyakarta 90.339 19.342 126.889 25.692 124.229 30.863 Jawa Timur 301.476 34.710 355.270 46.852 302.093 56.339 Bali 9.027 3.535 10.007 8.487 4.779 6.487 Nusa Tenggara 21.248 3.422 26.378 4.639 15.200 9.026 Kalimantan 88.722 17.343 85.368 22.993 87.672 22.517 Sulawesi 80.031 16.604 86.804 18.812 14.816 18.766 Maluku+Irja 19.926 7.036 22.852 6.309 11.435 5.914 Jumlah 3.143.138 1.051.170 3.333.329 1.836.664 3.090.226 2.034.750 Sumber: BPS (1992, 2001, 2006)

Kota besar seperti Jakarta merupakan daerah tujuan utama bagi pelaku mobilitas penduduk. Pada periode 1980-1990, pertumbuhan penduduk di DKI Jakarta mencapai 3,08 persen pertahun, kemudian turun menjadi 0,14 persen per tahun pada periode tahun 1990-2000. Selain karena turunnya angka fertilitas, migrasi keluar DKI Jakarta (utamanya ke kota-kota sekitarnya) diperkirakan menjadi faktor utama penurunan tingkat pertumbuhan penduduk.

Sensus penduduk tahun 1971, 1980, 1990, dan 2000 menunjukkan bahwa dari seluruh provinsi di Indonesia, DKI Jakarta merupakan daerah penerima migran terbesar, dimana sekitar 40 persen penduduknya berstatus migran. Setelah DKI Jakarta, Propinsi Lampung dan Kalimantan Timur tercatat sebagai daerah penerima migran kedua dan ketiga terbesar. Mengingat karakteristik daerah yang berbeda maka migran yang masuk ke tiga propinsi tersebut juga mempunyai perbedaan karakteristik. Sebagai pusat bisnis, industri dan pemerintahan, migran yang masuk ke Jakarta mempunyai karakteristik yang khusus, terutama sebagian diantaranya mempunyai pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang masuk ke daerah berbasis pertanian seperti Lampung.

Tabel 1.2. Persentase Migran Masuk ke DKI Jakarta Tahun 2005

Nama Propinsi Migran masuk Persentase (%)

Sumatra Utara 17.4847 5.67

Sumatra Barat 141.249 4.58

Riau 26.968 0.88

Sumatra Selatan 56.174 1.82

Lampung 55.818 1.81

Prop. lain di Sumatra 39.096 1.27

Jawa Barat 743.558 24.13 Jawa Tengah 1.274.304 41.36 DI Yogyakarta 124.229 4.03 Jawa Timur 302.093 9.8 Bali 4.779 0.16 Nusa Tenggara 24.037 0.78 Kalimantan 87.672 2.85 Sulawesi 14.816 0.48 Maluku+Irian Jaya 11.435 0.38 Jumlah 3.090.226 100 Sumber : BPS 2005 (diolah)

Migran masuk seumur hidup ke DKI Jakarta di dominasi oleh mereka yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur secara berturut-turut

6

(SUPAS, 2005). Sebagaimana terlihat pada Tabel 1.2. Selanjutnya, tiga propinsi di Pulau Sumatra, yaitu Sumatra Utara, Sumatra Barat dan Sumatra Selatan juga memberikan kontribusi yang besar pada migran masuk seumur hidup ke DKI Jakarta.

DKI Jakarta merupakan kota yang menarik bagi para pengangguran di desa untuk mengadu nasib. Walaupun hidup dalam segala keterbatasan namun para migran merasa bahwa dirinya lebih baik dari pada sebelumnya. Walaupun pendapatan yang didapatkan kecil tapi itu lebih tinggi dibandingkan ketika di desa. Berbagai masalah mulai timbul akibat semakin tingginya tingkat kepadatan penduduk di Jakarta. Salah satu masalah fisik yang dihadapi Jakarta adalah kehadiran rumah liar dan pemukiman-pemukiman kumuh. Para pendatang baru yang umumnya miskin biasanya menetap di gubuk kardus seadanya di tempat- tempat umum, sehingga mengganggu ketertiban masyarakat umum.

Dokumen terkait