• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah dan beragam sumber dan jenisnya. Baik Sumber daya yang ada di laut, daratan maupun perut Bumi. Segala Kekayaan alam tersebut merupakan Anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa untuk dipergunakan se-Arif dan sebijak mungkin untuk kelangsungan hidup umat manusia. Dimana dalam penggunaannya harus memperhatikan antara kebutuhan saat ini dan dimasa yang akan datang. Sehingga kekayaan alam bumi pertiwi tetap dapat dinikmati generasi berikutnya. Dalam artian, sumber daya alam tersebut dapat diolah namun tidak menjadikan pengelolaan tersebut menjadikan sumber daya alam yang lainnya menjadi rusak sehingga tidak dapat digunakan lagi, dampak pengelolaan tersebut juga sebisa mungkin haruslah tidak memberikan dampak negatif terhadap masyarakat.

Sejak kemerdekaan NKRI, Founding father negara kita sudah meletakkan sebuah pengaturan akan sumber daya alam kita. Pengelolaan sumber daya alam tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 33 ayat 3 menyebutkan “Bumi, Air dan kekayaan alam yang terkandung Didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Secara singkat pengertian dari Dikuasi Negara tersebut adalah Negara berdaulat mutlak atas kekayaan sumber daya alam. Sedangkan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dimaknai Hak kepemilikan yang sah

atas kekayaan alam adalah rakyat indoneia yang dikuasakan kepada negara.2

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaannya.

Yang dipertegas kembali dalam UU No.5 Tahun 1960 pasal 2 ayat 1 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Selanjutnya disebut UUPA) “Bumi, Air, dan Ruang Angkasa dan termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara”. Namun, pengertian “dikuasai” dalam ayat tersebut tidaklah berarti “dimiliki”, akan tetapi memberikan pengertian “yang memberi wewenang kepada negara” sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa indonesia. Adapun wewenang yang dimaksud diatas sesuai dengan pasal 2 ayat 2 dan 3 UUPA adalah negara melalui pemerintah sebagai pengatur roda pemerintahan Negara berwenang:

b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas Bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam terkandung di dalamnya itu.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang- orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa tersebut.

3

2

UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

3

C.S.T Kansil dan Kansil.cristine, Kitab Undang-Undang Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal. 40-41

Berdasarkan pengaturan tersebut, pemerintahlah yang berperan aktif dalam mengatur tentang bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam (selanjutnya disebut BARAKA) yang terkandung didalamnya. Pemerintah mengatur setiap kegiatan pengelolaan BARAKA yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam artian negara sebagai representasi dari

bangsa indonesia. Sebagai contoh kegiatan pengelolaan atas BARAKA yaitu Perikanan, perindustrian, PERTAMBANGAN, Pembangunan perumahan, dan lain sebagainya. Dimana dalam pelaksanaannya tetap memegang tujuan dari wewenang tersebut adalah sebesarnya-besarnya untuk kemakmuran rakyat yang adil dan makmur. Selain itu, pemerintah juga berwenang untuk menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang termasuk Badan Hukum dengan BARAKA.

Pertambangan sebagai salah satu kegiatan pengelolaan kekayaan alam yang ada dalam perut bumi merupakan salah satu kewenangan yang dimiliki negara. Pada tanggal 02 desember 1967 diundangkan undang-undang No.11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok pertambangan untuk mengkoordinir penguasaan dan pengusahaan kekayaan alam dalam bidang pertambangan umum. Meskipun terdapat kelemahan dalam undang-undang ini karena sifatnya yang sentralistik, namun selama lewat satu dasawarsa sejak diberlakukan, undang- undang ini telah membawa sumbangan yang besar bagi perkembangan pembangunan dibuktikan dengan semakin banyaknya pertambangan umum yang beroperasi di Indonesia.

Dalam perkembangan lebih lanjut, undang-undang tersebut dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi sekarang dan tantangan dimasa depan. Disamping itu, pembangunan pertambangan dituntut harus menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan dan perkembangan kebutuhan masyarakat dalam kegiatan berbangsa dan bernegara maupun international. Oleh sebab itu, pada tanggal 12 januari 2009, diundangkanlah undang-undang no. 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara. Melalui undang-undang ini,

pemerintah memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum indonesia, koperasi maupun perseorangan untuk melakukan pengusahaan bahan galian tambang mineral berdasarkan izin usaha tambang.

4

4

UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Energi Sumber Daya Mineral

Adapun pengertian Pertambangan sesuai dengan pasal 1 ayat 1 UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Energi Sumber Daya Mineral (selanjutnya disebut UU ESDM)“Sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang”. Uniknya, bahwa pertambangan yang notabenenya merupakan kegiatan pengelolan kekayaan alam yang ada dalam perut bumi yang berbentuk bahan tambang galian memiliki pengaturan hukum khusus berbeda dengan ketentuan yang mengatur mengenai BARAKA lainnya. Namun, salah satu hal yang sangat penting dalam undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 ini adalah adanya kewajiban pengelola untuk menyetorkan keuntungan yang diperolehnya kepada pemerintah. Dimana selama ini, pemegang Kontrak Karya (selanjunya disebut KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (selanjutnya disebut PKP2B) tidak pernah menyetorkan kepada pemerintah maupun pemerintah daerah keuntungan yang diperolehnya. Keuntungan yang diperolehnya hanya dinikmati oleh pemegang KK dan PKP2B. Dimana pemegang KK dan PKP2B hanya diwajibakan untuk membayar kewajiban pajak dan penyetoran pembagian hasil produksinya. Dimana jumlah keuntungan yang wajib disetorkan kepada

pemerintah adalah sebesar 10% dari total keuntungan bersih yang diperoleh perusahaan. Adapun dari 10% keuntungan tersebut dibagi lagi menjadi :

1. Pemerintah; dan 2. Pemerintah Daerah.

Adapun bagian pemerintah sebesar 4% sedangkan bagisan pemerintah daerah adalah sebesar 6%. Bagian pemerintah daerah sebanyak 6% ini dibagi antara lain:

1. Pemerintah provinsi mendapat 1%;

2. Pemerintah kabupaten/kota penghasil mendapat bagian sebesar 2,5%; dan 3. Pemerintah kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang sama mendapat

bagian sebesar 2,5%.

Selain itu, Yang menarik untuk ditelusuri adalah instansi pemerintah mana yang berhak untuk mengeluarkan Izin kuasa Pertambangan tersebut, memperpanjangnya, memonitor, meminta laporan berkala, dan mencabut izin nya.Selanjutnya apakah masalah “tarik menarik” antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan dapat terpecahkan, jika kita kaitkan dengan adanya otonomi daerah.Biasanya secara klasik akan terjadi perebutan wewenang pemberian izin, pembuatan kebijakan, pembuatan peraturan, serta pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan terjadi tarik menarik pembagian rejeki atas “bagian Pemerintah” yang diperoleh dari kontraktor pertambangan umum antara Bupati, gubernur dan pemerintah pusat, sebagai mana ditetapkan dan ditentukan oleh kontrak karya atau implementasi dari community development.

terhadap kelestarian lingkungan hidup. Media Communication and Outreach Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) tertanggal 28 September 2012 memperkirakan, sekitar 70 persen kerusakan lingkungan Indonesia karena operasi pertambangan. Sekitar 3,97 juta hektare kawasan lindung terancam pertambangan, termasuk keragaman hayati. Tak hanya itu, daerah aliran sungai (DAS) rusak parah meningkat dalam 10 tahun terakhir. Sekitar 4.000 DAS di Indonesia, 108 rusak parah.Meskipun demikian, patut diberi apresiasi bahwa semangat disusunnya UU Minerba adalah dalam rangka memberikan landasan hukum bagi langkah-langkah pembaruan dan penataan kembali kegiatan pengelolaan dan pengusahaan pertambangan dan mineral. Terutama dalam rangka menghadapi tantangan lingkungan strategis baik bersifat nasional maupun internasional dan menjawab sejumlah permasalahan di bidang pertambangan mineral dan batubara akibat pengaruh globalisasi yang mendorong demokratisasi, otonomi daerah, hak asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan teknologi dan informasi, hak atas kekayaan intelektual serta tuntutan peningkatan peran swasta dan masyarakat.5

Disisi lain juga, kekuasaan negara atas BARAKA tersebut juga merupakan suatu kewajiban, dan yang harus dirasakan oleh masyarakat umum terkhusus masyarakat disekitar wilayah pertambangan. Kekuasaan yang dimiliki negara juga masih melekat suatu kewajiban untuk kesejahteraan masyarakat. Walaupun secara konkrit kemakmuran yang dimaksudkan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 tidak dapat didefenisikan secara jelas. Namun secara implisit, pengembangan terhadap masyarakat sekitar wilayah pertambangan dapat dijadikan sebagai acuan yang

Diakses tanggal 09 februari 2016,

mendasar bahwa sebuah usaha pertambangan telah memberikan manfaat positif terhadap masyarakat sekitar pertambangan, belum lagi untuk kemakmuran Rakyat. Seperti contoh pendirian sekolah untuk masyarakat, pemeberian bantuan kepada masyarakat yang mengalami kerugian atas usaha pengelolaan pertambangan, pembangunan untuk kepentingan sosial lainnya, Beasiswa dan lain sebagainya. Peran negara sebagai pemilik kekuasaan haruslah terlihat secara nyata baik secara langsung maupun melalui perantara perusahaan yang menjadi pengelolaa usaha pertambangan tersebut. 6

1. Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat;

Berkaitan dengan Hukum Pertambangan Nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, menurut Bagir Manan akan mewujudkan kewajiban negara:

2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat didalam atau diatas bumi, air, dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat;

3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.

Realitas menunjukkan bahwa setiap usaha pengelolaan pertambangan pasti akan berdampak terhadap kelestarian lingkungan hidup, pengaruh terhadap sosial

6

Perlindungan Hukum Masyarakat Adat di Wilayah Pertambangan.Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 3. Desember 2013,hal 208.

dan ekonomi masyarakat, dan perekonomian negara sendiri. Sehingga kepastian hukum sangatlah dibutuhkan dalam menjalankan hak dan kewajiban tersebut.

7

Dengan demikian menunjukan bahwa hukum adat disamping sebagai sumber utama, juga sebagai pelengkap dalam pembentukan hukum agraria nasional. Prinsip yang terkandung dalam hak ulayat, terkait dengan salah satu prinsip hukum adat adalah bersifat “Komunal”. Hak ulayat ini adalah merupakan refleksi dari salah satu prinsip hukum adat yang bersifat “Komunal”, bahwa masyarakat Selain itu, Pengakuan dan perlindungan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat sekitar pertambangan juga melahirkan suatu permasalahan tersendiri terhadap pengelolaan pertambangan. Dalam Pasal 18 B ayat 2 dan Pasal 28 I ayat 3 UUD-1945 menegaskan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat dengan hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan prinsip negara kesatuan RI. Hal ini menunjukan bahwa Negara RI menghormati keberadaan masyarakat hukum adat dengan segala aspeknya, termasuk pemerintahan dan hukum dalam sistem hukum Adat, hak-hak ekonomi dan lingkungan masyarakat hukum adat, hak ulayat, dan lain sebagainya. Dalam ketentuan Pasal 3 dan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria, pada prinsipnya menjelaskan bahwa Pelaksanaan hak ulayat dari masyarakat hukum adat sepanjang masih ada, disesuaikan dengan kepentingan nasional dan negara, dan akan didudukan pada tempat yang sewajarnya dalam alam bernegara dewasa ini. Pengakuan hukum adat dalam UUPA, khususnya dalam Pasal 5 bahwa Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum adat.

7

adat mengutamakan prinsip kebersamaan dalam segala hal termasuk dalam menikmati hasil-hasil tanaman yang ada diatas wilayah mereka. Dalam pandangan hukum adat, tanah hak ulayat adalah merupakan milik persekutuan hukum masyarakat adat, dimana mereka secara kolektif memiliki hak untuk menggunakan dengan bebas tanah tersebut dan pihak diluar persekutuan dapat juga menikmati hasil tersebut dengan izin kepala Adat dengan pembayaran recognisi (pembayaran sebelum tanah diolah). Hal ini menunjukan dalam pandangan hukum adat, bahwa kepemilikan masyarakat adat lebih dominan dari pada pihak luar . Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UUPA Kedudukan Hak Ulayat masih diakui sepanjang masih hidup masih diakui. 8Menurut Boedi Harsono (Boedi Harsono, 1997), hak ulayat diakui oleh UUPA tetapi pengakuan itu harus memenuhi 2 syarat : yakni mengenai eksistensinya, diakui sepanjang masih ada, dan mengenai pelaksanaannya, harus sesuai dengan kepentingan nasional dan negara. Undang-Undang, UUPA No. 5 tahun1960 adalah produk hukum yang menegaskan pengakuan atas hukum adat. Ketentuan ini bisa dilihat pada pasal 5 yang menyebutkan bahwa: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang didasarkan atas persatuan bangsa”.

9

8Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang- Undang

Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya,Djambatan, Bandung 1997, hal.70.

9

Perlindungan Hukum Masyarakat Adat di Wilayah Pertambangan,Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 3, Desember 2013, hal 209

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) juga mengatur hak-hak masyarakat hukum adat. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan, menyebutkan bahwa Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalamwilayah masyarakat hukum adat. Dalam pasal ini hutan adat di klaim

sebagai hutan negara. Kedudukan hutan adat sebagai hutan negara ini dipertegas lagi dalam pasal 5 ayat (2), bahwa: “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat”; dan bahwa “Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah (pasal 1 angka 4). Perlindungan hukum terhadap masyarakat adat juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan ( UU Perkebunan). Dalam Pasal 9 ayat (2) UU Perekebunan menegaskan bahwa permohonan hak untuk usaha perkebunan berada diatas tanah ulayat yang menurut kenyataannya masih ada, pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat adat yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya (ganti rugi). Terkait dengan pengelolaan tambang yang berada di wilayah masyarakat hukum adat, memiliki pengaruh dan dampak yang luas bagi masyarakat hukum adat itu sendiri. Pengaruh tersebut tidak hanya berkaitan kegiatan penggembangan ekonomi dan produksi tambang, namun juga masalah- masalah sosial dan budaya, juga lingkungan tempat tinggal masyarakat adat. Pembangunan adalah proses natural untuk mewujudkan cita-cita bernegara, yaitu masyarakat makmur sejahtera, adil, dan merata.10

Berdasarkan latar belakang realitas tersebut diatas, penulis berpendapat bahwa sangat penting untuk mengetahui tentang penguasaan negara terhadap pengelolaan pertambangan dan pertanggung jawaban negara baik melalui pemerintah daerah maupun perusahaan pengemban untuk memberikan kemakmuran terhadap rakyat terkhususnya untuk kemakmuran masyarakat lingkar tambangan, sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur

10

Amalia, Euis. Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam, Penguatan LKM dan UKM di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2001,hal 23.

mengenai usaha-usaha pertambangan minerba serta kaitannya terhadap pengakuan terhadap masyarakat hukum adat.

Dokumen terkait