• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIOGRAFI HAJI AGUS SALIM

1.1 Latar Belakang Masalah

Belanda mengakhiri penjajahannya di Indonesia pada tahun 1942, tepatnya tanggal 9 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Sejak saat itu Indonesia diduduki oleh tentara Jepang. Awalnya kedatangan tentara Jepang disambut dengan kelegaan, tetapi harapan tersebut musnah dengan segala tindakan militer Jepang yang bertangan besi dan sewenang-wenang. Namun Jepang tidak terlalu lama menduduki Indonesia, sebab tahun 1944 tentara Jepang mulai kalah melawan tentara Sekutu. Untuk menarik simpati bangsa Indonesia agar bersedia membantu Jepang dalam melawan tentara Sekutu, Jepang memberikan janji kemerdekaan di kelak kemudian hari.

Janji ini diucapkan oleh Perdana Menteri Kaiso pada tanggal 7 September 1944. Oleh karena terus menerus terdesak, maka pada tanggal 29 April 1945 Jepang memberikan janji kemerdekaan yang kedua kepada bangsa Indonesia, yaitu janji kemerdekaan tanpa syarat yang dituangkan dalam Maklumat Gunseikan (Pembesar Tertinggi Sipil dari Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan Madura) dalam maklumat tersebut sekaligus dimuat dasar pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tugas badan ini adalah menyelidiki dan mengumpulkan usul-usul untuk selanjutnya dikemukakan kepada pemerintah Jepang untuk dapat dipertimbangkan bagi kemerdekaan Indonesia1.

Dalam proses awal pembentukan negara Indonesia, persoalan paling krusial adalah menyepakati dasar negara. Dalam sidang BPUPKI permasalahan pokok yang dibicarakan adalah persoalan bentuk negara, batas negara, dasar filsafat negara dan hal-hal lain yang bertalian dengan pembuatan suatu konstitusi. Perdebatan tentang masalah-masalah di atas, kecuali tentang dasar filsafat negara, berjalan dengan lancar. Satu dari faktor terpenting yang mendukung pertumbuhan suatu nasionalisme terpadu adalah tingginya derajat homogenitas

1

Floriberta Aning, “Lahirnya Pancasila Kumpulan Pidato BPUPKI”, Yogyakarta: Media Pressindo,2006, hal. 10

agama di Indonesia (lebih dari 90 persen penduduknya beragama Islam). Dengan menyebarnya gerakan nasionalisme dari tempat asal mulanya dan pangkalan utamanya, Jawa, ke pulau-pulau lain di Indonesia yang berada di bawah pengawasan Belanda, kecenderungan fisik yang sebaliknya mungkin telah menjadi kuat di kalangan komunitas mereka, justru menjadi netral karena solidaritas mereka terdesak oleh suatu agama yang sifatnya umum2.

Hal ini akhirnya menimbulkan pergulatan politik antara agama dan negara, dasar negara dan agama, maupun antara agama dan dasar negara yang terjadi di Indonesia telah berlangsung sejak lama dari mulai negara ini dipersiapkan dalam suatu badan yang disebut dengan BPUPKI hingga pasca reformasi ketika terjadi amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali. Polemik ini berlangsung lama sebab di antaranya diakibatkan oleh pertentangan yang tajam dan tiada henti antara golongan Islam dan nasionalis yang ada baik di DPR-MPR, maupun partai-partai politik peserta Pemilu di Indonesia.

Perbedaan inilah yang kemudian menjadikan adanya tarik ulur saat mendefinisikan tentang nasionalisme. Termasuk perbedaan kelompok agamawan dalam memahami konsep dari belenggu penjajahan dan kolonialisme yang tidak sesuai dengan semangat dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Semangat ini menjadi modal dasar dan landasan kuat untuk menyatukan dan meleburkan diri dengan penuh kerelaan dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keinginan untuk bernegara ini tercermin secara nyata dalam Sumpah Pemuda tahun 1928 yang melahirkan nasionalisme Indonesia yang sekaligus mampu mendorong dalam proses pencapaian kemerdekaan Republik Indonesia3.

Isu antara agama, khususnya Islam dengan negara itu sendiri merupakan isu yang sensitif. Mengingat meski mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, namun konsentrasi penduduk di belahan timur justru berkebalikan. Satu hal yang biasanya dikhawatirkan ketika terjadi dominasi mayoritas dalam pembentukan dasar negara adalah terjadinya disintegrasi daerah sebagai bentuk penolakannya terhadap dasar negara yang diambil dari ajaran agama tertentu saja. Seperti yang diketahui, elit modern Indonesia sebelum kemerdekaan

2

George Mc Turnan Kahin, “Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia”, Jakarta: UNS Press, 1995, hal. 50 3

Mohamad Sidky Daeng Materu, “Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia”, Jakarta: PT. Gunung Agung, 1985, hal. 112-115

pemikirannya dipengaruhi oleh tiga ideologi besar yang hidup pada waktu itu, yaitu Nasionalisme Islam atau kebangsaan dan ideologi barat modern-sekuler (seperti liberalisme, kapitalisme, dan komunisme). Tapi apa yang terjadi di Indonesia pada awal-awal menjelang kemerdekannya setidaknya hanya menunjukan dua kutub pemikiran saja, Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler.

Diawali sejak tahun 1930an ketika PNI dengan tokoh terkenalnya Soekarno mewakili kelompok nasionalis sekuler, dan kalangan Islam dengan tokohnya Haji Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, Ahmad Hasan dan M. Natsir. Maka kemudian jelas apa saja yang menjadi cita-cita dan tujuan masing-masing kelompok. Kelompok Nasionalis Sekuler menghendaki agar Indonesia yang akan dibangun kelak berdasarkan kebangsaan tanpa kaitan khusus pada ideologi keagamaan. Sedangkan kelompok lain Nasionalis Islam menginginkan agar negara Indonesia berdasarkan Islam.

Memang disini terlihat dua paham yang menonjol ialah paham dari anggota-anggota ahli agama yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam. Negara Islam dalam artian negara tidak bisa dipisahkan dari agama. Negara dan agama ialah satu, bersatu padu. Islam ialah suatu sistem agama, sosial, dan politik, yang bersandar atas Quran sebagai pusat dan sumber dari segala susunan hidup manusia Islam. Sedangkan menurut orang-orang dari golongan paham nasionalis sekuler dengan mendirikan negara Islam di Indonesia berarti tidak akan mendirikan negara persatuan.

Mendirikan negara Islam di Indonesia berarti mendirikan negara yang akan mempersatukan diri dengan golongan yang besar, yaitu golongan Islam. Jikalau di Indonesia didirikan negara Islam, maka tentu akan timbul persoalan- persoalan golongan agama kristen maupun golongan-golongan agama kecil lainnya. Meskipun negara Islam akan menjamin dengan sebaik-baiknya kepentingan golongan-golongan lain itu, akan tetapi golongan-golongan agama lain tersebut tidak bisa mempersatukan dirinya dengan negara. Oleh karena itu, cita-cita negara Islam itu tidak sesuai dengan cita-cita negara persatuan4.

4 Floriberta Aning, op.cit.; hal. 73

Sementara itu dalam masalah Nasionalisme, Soekarno menyatakan bahwa Nasionalisme harus tetap dinomor satukan sebagai pegangan untuk persatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Paham-paham lainnya harus tunduk pada tuntutan ini, jika perlu nasionalisme Islam dan Marxis harus bekerja sama demi terwujudnya persatuan bangsa. Pernyataan Soekarno ini mendorong Haji Agus Salim untuk lebih meluruskan arah perjuangan bangsa Indonesia yang semestinya yaitu menuju kepada masyarakat bangsa tanpa terkecuali. Haji Agus Salim beranggapan paham Soekarno yang terlalu memuliakan tanah air di atas segalanya akan melunturkan keyakinan Tauhid seseorang dan akan mengurangi bakti seseorang kepada Tuhan. Bagi Agus Salim urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam.

Haji Agus Salim merupakan menteri luar negeri Indonesia yang dinilai memiliki kapasitas dan kapabilitas baik level nasional maupun internasional. Pengakuan itu terutama terkait pemikirannya tentang berbagai isu dan problema yang dinilai berbakat dan istimewa. Prestasinya yang sangat penting adalah kemampuannya sebagai ketua tim delegasi misi diplomatik untuk mendapatkan pengakuan dunia internasional bagi Indonesia di tengah perjuangan revolusi fisik saat itu. Pemikiran tersebut kemudian dalam penelitian ini dikaji untuk melihat pandangannya terkait relasi Islam dan politik. Adapun beberapa pemikiran- pemikiran yang diangkat oleh Agus Salim, yaitu:

 Pertama, pandangannya terkait Islam dan politik (negara). Dalam konteks ini pandangannya mengenai politik terlihat dinamis sekaligus unik. Nasionalisme merupakan wujud cinta negara dalam balutan agama (Islam) yang membedakannya dengan nasionalisme versi Soekarno. Menurut Agus Salim nasionalisme harusnya berlandaskan pada kerangka ibadah kepada Allah SWT yang dilandasi dengan rasa tulus ikhlas semata-mata hanya untuk mencari ridho Allah SWT. Nasionalisme yang dicetuskan Haji Agus Salim berdasarkan ketauhidan bukan berdasarkan fanatisme terhadap cinta bangsa dan negara. Menurut Haji Agus Salim, nasionalisme seharusnya mengandung perasaan kemanusiaan, persaudaraan, kemuliaan bangsa demi kemerdekaan dan berdasarkan kepada niat Lillahi Ta'ala, tidak mengangkat kebangsaan sebagai berhala tempat menyembah.

Kedua, tentang makna jihad atau perang suci (holy war) yaitu menekankan makna ijtihad (bersungguh-sungguh segala daya dalam berusaha)5. Dalam mengartikan jihad yang berspirit keadilan, dengan syarat yang tinggi yakni niat karena menjalankan perintah agama bukan faktor pribadi, adanya dendam atau pengkhianatan dan dilarang menyerang wanita, anak-anak, orang tua dan tempat ibadah beserta orang yang berada di dalamnya6.

 Ketiga, mengenai persatuan dunia Islam yang menekankan pada kerjasama non-politis daripada yang bersifat politis. Baginya ide Pan Islamisme tak harus berbentuk khilafah Islamiyah tetapi lebih pada kedekatan emosional religius sebagai faktor pemersatu. Terakhir, tentang tabir (batas pemisah antara pria dan wanita) hal ini bermula dari rapat- rapat yang diadakan Jong Islamieten Bond (J.I.B) Himpunan Pemuda Islam. Beliau menyingkirkan tabir yang diadakan dalam ruang rapat untuk memisahkan para hadirin wanita dari para hadirin pria. Kaum wanita disembunyikan di belakang sebuah tabir. Betapa janggalnya perilaku yang meniru-niru adat Arab ini terlebih lagi, bila diingat bahwa wanita-wanita tersebut berpakaian bebas, bahkan tanpa berkerudung kepala seperti yang diwajibkan. Disini Haji Agus Salim menegaskan bahwa pemisahan atau pengucilan kaum wanita bukanlah suatu perintah agama Islam, melainkan hanyalah suatu adat di kalangan bangsa Arab7.

Mengemukakan pentingnya emansipasi wanita merupakan hal yang baru dalam di kalangan pemikir Islam pada saat itu. Namun sebenarnya emansipasi wanita di kalangan umat muslim sangatlah penting. Apabila di Barat kesetaraan Pria dan Wanita berlaku secara total, maka dalam masyarakat Islam harus didudukan secara proporsional. Para wanita harus melepaskan tradisi lama yang dan diberikan kesempatan untuk berkreasi dan memilih pendidikan yang akan ditekuni. Butiran tersebut di atas, tersirat adanya petunjuk bahwa Agus Salim

5Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H, “

Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di

Indonesia”. Jakarta: PT. Rajagrafindo. 2012, hal. 116.

6Jeffrie Geovanie, “

Civil Religion Dimensi Sosial Politik Islam”, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,

2013, hal. 48.

menghendaki adanya perubahan kerangka berpikir di kalangan umat Islam di Indonesia. Oleh karena itu dari hal-hal diatas penulis tertarik untuk meneliti apa yang melatarbelakangi pemikiran Haji Agus Salim terkait Nasionalisme yang berdasarkan Islam.

Dokumen terkait