DAFTAR PUSTAKA
Abdurrachman Surjomihardjo, “Pola-Pola Pemikiran Menuju Kemerdekaan
Indonesia”, Jakarta: Prisma, 1976.
Ahmad Suhelmi, “Polemik Negara Islam”, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), 2001.
Alfian, “Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia” Jakarta: LP3ES, 1980. Daniel Dhakidae, “Ideologi”, Jakarta: Prisma, 1979.
Kamal Hasan, “Muslim Intelectual Respone to New Order Modernization In
Indonesia” Kuala Lumpur: Dewan Pustaka dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, 1980.
Panitia Buku peringatan, ”Seratus Tahun Haji Agus Salim”, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1996.
Suhatno, dkk, “Tokoh-Tokoh Pemikir Paham Kebangsaan: Haji Agus Salim dan Mohammad Husni Thamrin”, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1995.
Sutrisno Kutoyo, “Haji Agus Salim”, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1986. TEMPO, “Agus Salim, Diplomat Jenaka Penopang Republik”, Jakarta: PT.
Gramedia, 2013.
Al-Qur’an
Al-Qur’an, Surah Al-Hujurat, ayat 9 Al-Qur’an, Surah Al-Hujurat, ayat 13
Buku
Aning, Floriberta. “Lahirnya Pancasila Kumpulan Pidato BPUPKI”, Yogyakarta: Media Pressindo, 2006.
Budiardjo, Miriam. “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Harold J. Laski. “The State in Theory and Practice”, New York: The Viking Press, 1947.
H.H Gerth and C. Wright Mills, trans, eds and introduction, From Max Weber:
“Essay in Sociology”, New York: Oxford University Press, 1958.
Idrus, Muhammad. “Metode Penelitian Ilmu Sosial”, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002.
Kahin, George Mc Turnan, Nationalism and Revolution in Indonesia, terj. Nin
Bakdi Soemanto, “Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme dan
Revolusi di Indonesia”, Solo: UNS Press dan Pustaka Sinar Harapan, 1995. Kartodirjo, Sartono, “Kolonialisme dan Nasionalisme di Indonesia pada Abad
19 dan Abad 20”, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1972.
Kencana, Inu, “Ilmu Negara Kajian Ilmiah dan Keagamaan”, Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2013.
Mas’oed, Mohtar dan Bahar, Safroedin, “Nasionalisme dan Tantangan Global
Masa Kini dalam Regionalisme, Nasionalisme, dan Ketahanan Nasional”.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998.
Materu, Mohamad Sidky Daeng, “Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa
Indonesia”, Jakarta: PT. Gunung Agung, 1985.
Nawawi dan H. Matini, “Penelitian Terapan”, Yogyakarta: Gadjha Mada University Press, 2000.
Nawawi, Hadawi. “Metodologi Penelitian Sosial”, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2000.
Noer, Delier, “Pengantar Kepemikiran Politik”, Jakarta: Rajawali, 1983.
__________, The Moderniat Muslim Movemen in Indonesia, Kuala Lumpur:
Oxfood University Prees, 1973.
Panitia Buku Peringatan, “Seratus Tahun Haji Agus Salim”, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1984.
Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H, “Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum di Indonesia”. Jakarta: PT. Rajagrafindo, 2012.
Prof. Dr. Syahrin Harahap, MA, “Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam”, Medan: Istiqamah Mulya Press, 2006.
BAB III
PEMIKIRAN POLITIK HAJI AGUS SALIM TENTANG NASIONALISME YANG BERDASARKAN ISLAM
3.1 Latar Belakang Terbentuknya Pemikiran Kebangsaan yang bercorak Islam
Perkembangan Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan para
penganut atau para pelakunya. Karena itu, perkembangan Islam sangat
tergantung kepada para pemeluk Islam itu sendiri. Pada pergantian abad ini,
keadaan umat Islam Indonesia secara umum adalah dalam suasana proses
perubahan. Antara lain timbulnya gejala-gejala untuk keluar dari suasana sedih
yang telah lama dialami, baik dalam kehidupan ekonomi, pendidikan, sosial
politik, budaya, agama, dan lain-lain. Usaha perubahan tersebut dipelopori oleh
para ulama, usahawan dan kaum intelektual. Di antara perwujudannya ialah
berdirinya organisasi, baik yang bercorak agama maupun yang bercorak
kebangsaan. Demikian pula bidangnya, ada yang menangani masalah-masalah
ekonomi, sosial, politik, pendidikan dan agama.
Usaha yang dilakukan oleh para perintis pergerakan dewasa itu ialah
melakukan adanya pembaharuan sikap mentalitas, alam pikiran dan tingkah laku
kehidupan dan penghidupan masyarakat. Oleh karena itu sangat berbeda pola
pemikiran dalam perjuangan generasi itu dari generasi sebelumnya. Seperti
dikemukakan oleh Onghokham bahwa dalam abad ke 20 keterangan yang ada
dalam masyarakat tidak mengakibatkan pemberontakan tetapi menimbulkan
gerakan-gerakan politik dan partai-partai politik modern, seperti Sarekat Islam
dan gerakan-gerakan nasionalis lainnya. Sekaligus dapat mengintegrasikan
masyarakat dengan tujuan-tujuan modern.
Meskipun gerakan-gerakan tersebut di atas berkembang secara cepat dan
pesat, tetapi pada 20 tahun pertama dari perjalanannya, polarisasi pemikiran yang
tumbuh di tengah-tengah masyarakat nampak secara jelas, bahkan membawa
pengaruh menuju timbulnya pertentangan ideologi yang tidak pernah berhenti
yaitu antara Nasionalisme dan Islam. Di antara nama tokoh yang terlibat dalam
proses tumbuhan polarisasi pemikiran dari gerakan tersebut di atas antara lain
Semaun dan lain-lain. Sedangkan yang menjadi pusat pembicaraan berikut ini
ialah pemikiran Haji Agus Salim, terutama di bidang agama, dan kebangsaan.
Agus Salim menamatkan pendidikannya di HBS, Jakarta pada tahun
1903, beliau tidak lagi melanjutkan sekolahnya keperguruan tinggi apapun.
Demikian pula tidak memasuki organisasi atau gerakan sosial politik, pergerakan
nasional dan tidak mau bekerja pada pemerintah kolonial Belanda. Di
tahun-tahun itu Agus Salim sedang dilanda suatu kekecewaan yang amat sangat, karena
minatnya untuk melanjutkan pendidikannya ke sekolah yang lebih tinggi kandas
di tengah jalan. Usahanya untuk mendapatkan beasiswa ke negeri Belanda gagal
karena ia adalah orang pribumi. Hal tersebut akhirnya menimbulkan rasa benci
terhadap kolonial Belanda. Dalam hal ini, orang tuanya mengharapkan ia
menjadi orang kantoran, sebagaimana yang dilakukan orang tuanya.
Walaupun Agus Salim memiliki sikap demikian, beliau mau juga bekerja
di pertambangan di Indragiri Riau. Sebelumnya beliau bekerja sebagai
penterjemah bebas di Jakarta, kemudian sempat menjadi pembantu notaris. Pada
tahun 1906, Agus Salim meninggalkan Indragiri sekaligus melepaskan
pekerjaannya sebagai pegawai pertambangan. Oleh desakan orang tuanya, Agus
Salim menerima tawaran kolonial Belanda sebagai konsul di Jeddah. Sewaktu
Agus Salim belum menerima tawaran tersebut, ibunya telah meninggal dunia, hal
ini akhirnya yang menyebabkan Agus Salim menyerah dan menerima pekerjaan
tersebut.
Selama 5 tahun Agus Salim bekerja di Jeddah, kesempatan ini juga
dimanfaatkannya untuk memperdalam agama Islam, juga bahasa Arabnya.
Selama di Jeddah beliau juga telah menunaikan ibadah haji sebanyak 5 kali.
Pengalaman ini sangat mengesankan hatinya, terutama dalam kehidupan
agamanya, Agus Salim mengalami konversi yaitu peralihan dalam agama, dari
ragu-ragu hingga menjadi yakin seyakinnya. Peristiwa ini kelak yang
memunculkan beliau ke gelanggang percaturan politik di Indonesia dengan
membawa bendera Islam.
Sekembalinya beliau dari Jeddah membuatnya menetap di Jakarta. Tetapi
beberapa waktu kemudian beliau kembali ke kampong halaman dan mendirikan
sebuah sekolah. Setelah hampir 3 tahun beliau menjalani ini, ia kembali dan
macam organisasi pergerakan sosial, politik, pendidikan dan lain-lainnya, tetapi
Agus Salim belum juga memasuki salah satu dari sekian banyak organisasi
pergerakan yang ada. Oleh karena itu nama beliau belum lagi mencuat dan
dikenal dalam dunia pergerakan politik maupun sosial lainnya.
Sejak dari Jeddah Agus Salim mengalami banyak perubahan, terutama
kehidupan beragamanya dan rasa keagamaannya yang dihayatinya secara
sungguh-sungguh, kemudian dilanjutkannya dengan berbagai usaha yang
dilakukan dikalangan masyarakat Islam. Salah satunya adalah mengadakan usaha
pembaharuan pemikiran di bidang agama. Menurut Agus Salim, bahwa
kemunduran umat Islam Indonesia ialah lantaran salah satu dan kekeliruan
didalam menafsirkan ajaran-ajaran Islam. Itulah yang menjadi salah satu sebab
adanya kebekuan dan kemandegan serta kekolotan di dalam masyarakat Islam
Indonesia. Dengan kata lain bahwa dinamika masyarakat Islam tidak
menghiraukan kedudukan akan sebagai pembanding antara ajaran Al-Quran dan
realitas yang ada, baik membandingkan dengan kemajuan-kemajuan yang telah
dicapai oleh Barat maupun membandingkan dengan kenyataan yang ada dan
masih berlaku di masyakat sekitarnya. Di bagian lain Agus Salim mengatakan
sebagai berikut:33
“Islam bukanlah agama yang statis tapi dinamis. Tidak beku,
tetapi dapat mengikuti zaman sesuai dengan perkembangan
zaman. Dasar agama Islam tidak boleh berubah, tetapi
pelaksanaan dalam masyarakat harus disesuaikan dengan
kemajuan zaman”.
Di kalangan umat Islam Indonesia, banyak yang mulai menyadari bahwa
tantangan yang sedang dihadapi adalah sebuah kekuatan yang tangguh dalam
menghadapi tantangan baik dari Barat, yaitu orang-orang Belanda dan dari
agama Kristen maupun dari bangsanya sendiri. Orang-orang Belanda, melalui
33
penguasa kolonialnya, ikut serta menyebarkan agama Kristen di tengah-tengah
masyarakat Islam Indonesia, terutama mengawali dengan mengemansipasikan
kalangan Islam melalui pendidikan yang berorientasi kebudayaan Barat,
sekaligus menjauhkan Islam sebagai agama yang dipeluknya.
Sedangkan umat Islam pada umumnya belum siap didalam menghadapi
usaha yang sistematis dari pihak penguasa colonial Belanda. Antara lain, karena
keadaan umat Islam Indonesia dalam kehidupan sehari-hari belum dapat
mencerminkan ketinggian dan keluhuran Islam, lembaga-lembaga pendidikan
Islam ataupun pesantren sama sekali tidak dapat mencetak ahli-ahli piker dalam
soal-soal keduniaan setaraf dengan ahli-ahli piker yang dihasilkan oleh sekolah
Barat. Oleh karena itu kehadiran Agus Salim yang memiliki watak ulama dan
berintelek, sangat bermanfaat bagi masa depan Islam. Seperti pada waktu itu
beliau mengatakan sebagai berikut:34
“Agama Islam tidak akan dipandang lagi sebagai pusaka yang
menghalang-halangi kemajuan, tidak lagi sebagai tempat lari,
karena kita takut ancaman akhirat. Tapi Islam dijunjung tinggi
sebagai panji yang kita banggakan karena ajaran-ajarannya
sudah 13 abad tidak saja tahan uji terhadap pemilihan yang
jujur, menang kalau dibandingkan dengan agama apapun, juga
tahan terhadap perlakuan yang tidak wajar dari ilmu
pengetahuan Barat malah karena ilmu pengetahuan Barat
dibenarkan”.
Adapun butiran-butiran pemikirannya yang lain, sekaligus merupakan
upaya Agus Salim didalam menjawab tantangan dari kalangan masyarakat yang
mempunyai kesan kolot atau kurang sesuai dengan kehidupan modern terhadap
Islam, ialah sebagai berikut: 35
34
Ibid Hal 23
35
“Islam tahan terhadap penyelidikan kritis, maka mengharapkan diselidiki yang sungguh-sungguh, Islam memberikan pengertian
yang terang tentang penghidupan dunia, tentang penghidupan
kemanusiaan pada umumnya dan manusia sendiri. Ia
memberikan sarana-sarananya untuk meningkatkan penghidupan
yang mungkin dicapai”.
Menurut Agus Salim, agama Islam tidaklah menjadikan pemeluknya
bodoh, baku dan kolot, tetapi sebaliknya yaitu akan menjadikan para pemeluknya
dinamis, maju dan terampil bahkan lebih dari itu yakni selamat di dunia dan di
akhirat. Sebagaimana yang dia kemukakan, bahwa:36
“Agama Islam mendidik akal dan hati, supaya jangan bergantung kepada keduniaan, akan tetapi tidak dengan jalan menjauhkan diri daripada
ikhtiar dan usaha. Agama Islam adalah pedoman dan petunjuk yang
sempurna bagi manusia untuk kehidupannya di dalam dunia. Supaya siap
ia pada tiap-tiap waktu akan menjalani jalan akhiratnya”.
Karena itu menurut pandangan Agus Salim, bahwa manusia didalam
melakukan seluruh usaha kegiatan hidupnya sekali-kali jangan melupakan Allah.
Hidup manusia harus dilandasi tauhid yang teguh, kemudian bertawakal kepada
Allah, dan yang demikianlah yang akan memeliharakan hidup manusia. Jika
dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi dari akibat-akibat pendidikan
Belanda, bagi mereka yang memandang agama dari segi realitas yang ada pada
waktu itu, maka sangatlah berbahaya dan mengkaburkan pengertian agama yang
sebenarnya. Lebih dari itu mengandung makna penolakan terhadap segala
macam isme-isme yang dijadikan dasar berfikir, berpijak dan bergerak untuk
menuju terciptanya masyarakat yang sejahtera, bahagia lahir dan batin.
Sedangkan menurut beliau, bahwa untuk menuju terwujudnya masyarakat yang
sejahtera, bahagia lahir batin hanyalah dengan pemahaman ajaran Islam.
Oleh karena itu umat Islam Indonesia mulai melakukan
perubahan-perubahan penting dan pembenahan guna mendapatkan sistem dan metode
36
perjuangan yang lebih baik dan lebih teratur, sehingga diharapkan mampu
menandingi gerakan dari lawan. Sejarah telah mencatat bahwa peristiwa di awal
abad 20 seperti tersebut adalah sebagai tolak ukur adanya gerakan modern bagi
kaum muslimin di Indonesia. Antara lain ditandai dengan berdirinya
organisasi-organisasi Islam, yang sekaligus merupakan sistem dan metode baru perjuangan
umat Islam Indonesia. Sejak itu pula kekuatan umat Islam dapat dihimpun
kembali yang kemudian diarahkan guna membenahi kembali kehidupan
beragama Islam secara benar, disamping juga diusahakan untuk mengusir
penjajah Belanda serta untuk membendung gerakan misi Kristennya, dan lain
sebagainya.
Gelombang baru yang merupakan era kebangkitan kaum muslimin
Indonesia itu telah melahirkan tokoh-tokoh nasionalis yang berkualitas, sekaligus
sebagai pemimpin Islam Indonesia yang besar perjuangan dan jasanya, seperti
Haji Agus Salim. Agus Salim adalah salah satu tokoh pemimpin Indonesia yang
dapat diterima oleh berbagai golongan sosial politik yang ada. Memang terlihat
Agus Salim, telah mengabdikan dirinya untuk kepentingan agama, bangsa dan
tanah airnya.
Memasuki periode pertengahan tahun 1915, gerakan perubahan
masyarakat Islam semakin terus berkembang, sehingga timbul kekhawatiran bagi
pemerintah Belanda. Perubahan ini terutama terlihat pada banyaknya jumlah
anggota organisasi-organisasi seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah dan yang
lainnya. Oleh karena itu pemerintah semakin memperketat pengawasannya
terhadap organisasi yang ada. Ketakutan pemerintah semakin terasa, terbukti
dengan dilontarkannya isu politik serta usaha-usaha memecah belah orang-orang
dikalangan pergerakan.
Hal ini terlihat dari pengakuan Agus Salim yang diungkapkannya melalui
surat kabar Bendera Islam pada 2 Mei 1927, sebagai berikut:37
37
“Permulaan saya berkenalan dengan perhimpunan itu adalah didalam jabatan pada politik. Saya diminta orang (pihak polisi) bagi keperluan pemeriksaan
berhubungan dengan kabar-kabar angin yang mengandung gugatan bahwa
Tjokroaminoto telah menjual pergerakan SI kepada Jerman yaitu dengan
bayaran dia menyanggupi akan membangunkan pemberontakan besar di Jawa,
yang akan mendapat senjata dan lain-lain kelengkapan perang dari orang
Jerman. Dari bermula saya yakin akan dua perkara, pertama bahwa kabar itu
adalah kabar angin belaka, tak ada isinya dan yang kedua bahwa pekerjaan itu
apabila sampai betul-betul dicoba orang, mesti menjadi bala yang besar atas
negeri dan rakyat. Saya menerima pekerjaan itu, tetapi tidak ketinggalan saya
memberitahukan keyakinan saya itu kepada pembesar polisi yang berunding
dengan saya. Oleh penyelidikan itu saya menjadi berkenalan betul dengan
pergerakan SI, istimewa dengan pimpinannya Tjokroaminoto, dan kenal sampai
menyebabkan saya akhirnya masuk dalam SI. Sesudah itu saya berhenti
berhubungan dengan polisi ”.
Sejak peristiwa tersebut di atas, bagi Agus Salim merupakan langkah
awalnya di medan pergerakan rakyat yang telah membawa namanya ke kancah
perjuangan yang sedang dirintis Tjokroaminoto bersama kawan-kawan
seperjuangan. Pada mulanya Agus Salim hanya tercatat sebagai anggota biasa
saja, tetapi beberapa tahun kemudian namanya telah naik dan disebut-sebut
sebagai orang muda yang berbobot serta sangat cekatan. Rekan-rekan
seperjuangannya tidak ragu-ragu lagi memilih beliau untuk duduk dalam
pengurus besar Central Sarekat Islam, sekaligus masuk dalam deretan pemimpin
SI yang disejajarkan dengan tokoh-tokoh lain yang lebih dulu, seperti Abdul
Muis, dan Tjokroaminoto. Kecakapan Agus Salim baik dibidang agama maupun
ilmu pengetahuan dan pengalamannya sulit dicari tandingannya. Oleh karena itu
kehadiran Agus Salim di SI, yang ada pada waktu itu anggotanya telah mencapai
jumlah ratusan ribu orang.
Sebagaimana yang terlihat dalam peristiwa terpentalnya paham
komunisme dari tubuh SI di tahun 1921 adalah hasil usaha Agus Salim dan
kawan-kawannya di dalam memperjuangkan dasar Islam sebagai warna serta
dicapai oleh SI sebagai pergerakan rakyat Indonesia, Agus Salim adalah orang
yang meletakkan garis Islam secara tegas dan jelas. Hal ini terlihat dalam
keterangan asas SI, yang disusun oleh beliau dalam rangka mempertegas garis
perjuangan SI. Apalagi pada waktu itu SI sedang dilanda kegoncangan akibat
masuknya pengaruh-pengaruh sosialisme marxis melalui anggota SI Semarang
yang sekaligus sebagai pengurusnya.
Tidak sedikit anggota lain yang terkecoh mengikuti jalan pikiran yang
dikembangkan oleh SI Semarang. Di samping itu faktor lain seperti akibat
pendidikan kolonial Belanda yang bersifat mengemansipasikan pemuda Islam
dari ajaran Islamnya sangat membantu adanya perubahan sikap di dalam
memandang dan memahami ajaran Islam sebagai agamanya. Di kalangan penyiar
dan guru-guru agama Islam belum banyak yang mampu menterjemahkan Islam
secara integral dan sistematik, seperti lebih banyak menerangkan secara sepihak,
sehingga menimbulkan rasa tidak puas dan kurang memahami ajaran agama
Islam dengan sebenar-benarnya.
Tersirat adanya petunjuk bahwa Agus Salim menghendaki adanya
perubahan kerangka berpikir di kalangan umat Islam di Indonesia, agar supaya
tidak hanyut dengan sistem pendidikan kolonial Belanda. Dengan kata lain
pendidikan kolonial Belanda bukan satu-satunya tempat untuk menjadikan
bangsa Indonesia memiliki pribadi yang mulia sekaligus pandai dan mampu
tampil sebagai pemimpin bangsanya. Oleh karena itu beliau menghendaki
perubahan sikap yang radikal, agar supaya tidak tergantung dengan pola
pendidikan yang berorientasi pada kebudayaan dan peradaban Barat. Tetapi
harus kembali kepada pola dan sikap Islami, demikian pula cita-cita hidup dan
perjuangannya juga harus Islami. Selanjutnya beliau mengatakan:38
38
“Bibit kebangsaan perlu ditanamkan kepada anak-anak di
samping pelajaran-pelajaran lainnya. Anak-anak yang
bersekolah di sini dipersiapkan untuk menjadi pemimpin yang
akan menggantikan pemimpin yang lebih tua. Pemuda-pemuda
Islam harus mengajukan pengetahuannya dan hidup secara
agama. Kebangsaan hendaknya dijiwai cita-cita keagamaan”.
Di samping Agus Salim menekankan Islam sebagai dasar perjuangan
bangsa Indonesia, terutama di SI, Agus Salim juga menekankan perlunya
persatuan para petani dan pekerja untuk secara bersama-sama berjuang
menghapuskan segala kejahatan dari perbudakan politik dan ekonomi.
Selanjutnya Agus Salim mengemukakan pula tentang cita-cita perjuangannya
yang harus dicapai yaitu kemerdekaan yang berasas keislaman bagi bangsa
Indonesia.
Jalan yang ditempuh Agus Salim untuk mendekatkan cita-cita kepada
perjuangannya antara lain menyebarkan ide-idenya melalui berbagai surat kabar,
seperti melalui Neratja, Suara Bumi Putera, Dunia Islam, Hindia Baru, Fadjar
Asia, Mustika dan lain-lainnya. Demikian pula melalui pidato dan ceramahnya di
Volksraad, dalam forum-forum pertemuan dengan pemuda terpelajar, di radio
dan majalah serta media lainnya. Sebagaimana ucapan pidato Agus Salim yang
disampaikan di tengah-tengah pertemuan pemuda pelajar pada tahun 1926, di
antaranya sebagai berikut:39
“Pendirian JIB merupakan terlaksananya idaman hati yang menyebabkan saya sewaktu dan sesudah perserikatan berdiri
memberikan bantuan dan dukungan yang diharapkan
daripadanya. Hal itu saya jalankan semata-mata sebagai
kewajiban orang Islam, yang saya juga sanggup memberikan
seterusnya”.
Setelah itu usaha yang dilakukan Agus Salim di dalam memperjuangkan
Islam di kalangan pemuda tidak ada hentinya. Hal ini terlihat dari lontaran
kata-katanya sebagai berikut:40
“Ketahuilah, masa muda saya sama saja dengan masa muda anda. Meskipun dilahirkan dari keluarga yang beragama dan dibesarkan dengan mendapat
didikan agama, dalam waktu singkat saya kehilangan kepercayaan. Kepandaian
sekolah mengganti kepandaian hidup. Penghidupan pelajar, tanpa tanggung
jawab sungguh-sungguuh memudahkan pergantian itu, dan keadaan itu akan
berlangsung selama waktu singkat sesudah kita meninggalkan bangku sekolah.
Anda sudah mempersatukan diri untuk mempelajari agama Islam. Menurut
keyakinan saya, Islam tahan uji terhadap penyelidikan yang kritis, maka
mengharapkan diselidiki sungguh-sungguh. Islam memberikan pengertian yang
terang tentang penghidupan dunia, tentang penghidupan kemanusiaan pada
umumnya dan manusia sendiri. Ia memberikan sarana-sarananya untuk
meningkatkan penghidupan yang mungkin dicapai. Ada sebab lain yang
membuat saya sangat bersyukur dengan lahirnya Jong Islaminten Bond.
Pendirian itu terlepas dari hasil-hasil yang diharapkan, sudah menjadi buku
kemajuan kebebasan dari pendukungnya”.
Dari apa yang disampaikannya pada kalangan intelektual muslim yang
bergabung di JIB, tampak bahwa Agus Salim tidak saja memperjuangkan Islam
lewat SI saja. Usaha ini merupakan petunjuk yang jelas tentang wawasan Agus
Salim yang sangat luas dan jauh ke depan. Demikian pula sebaliknya bahwa
usaha Agus Salim memiliki petunjuk lain tentang adanya pembelokan arah
kehidupan di kalangan pemuda pelajar pada masa itu. Dalam hubungan ini perlu
diketahui secara jelas dengan melihat faktor lain yang erat kaitannya dengan
proses perubahan yang terjadi. Antara lain ialah sistem politik dan penguasanya,
keberagamannya serta pengaruh agama terhadap dirinya dan lain sebagainya.
Dari sini dapat secara jelas dikatakan bawah sistem politik yang berlaku adalah
diskriminasi kolonial, di samping itu ditunggangi oleh gerakan missi dan
zending. Seperti terlihat dalam pernyataan Belanda di tahun 1901, pada waktu
diberlakukannya politik etis, yaitu sebagai berikut:41
“Sebagai bangsa Kristen, Belanda mempunyai kewajiban untuk memperbaiki keadaan orang-orang Kristen pribumi di daerah
Nusantara, memberikan bantuan lebih banyak kepada kegiatan
missi Kristen, dan memberikan penerangan kepada segenap
petugas bahwa Belanda mempunyai kewajiban moral terhadap
penduduk wilayah ini”.
Demikian pula kaitannya dengan saran-saran politik penasehat
pemerintah kolonial yaitu Snouck Hurgronje, antara lain bahwa pemerintah harus
bertindak netral terhadap Islam sebagaimana agama. Dalam perkembangan
selanjutnya ternyata usaha pemerintah kolonial Belanda menunjukkan hasil.
Diantaranya banyak dari kalangan pemuda pelajar muslim menjadi sinis dan
acuh tak acuh terhadap ajaran agamanya sendiri. Malah timbul anggapan bahwa
agama Islam adalah kolot, menghambat kemajuan bangsa, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu kelahiran generasi yang melepaskan agama Islam sebagai
agamanya diganti dengan pola hidup kebudayaan Barat tidak dapat dicegah lagi.
Meskipun demikian, tidaklah semua anak didikan sekolah Belanda terhanyut,
terbukti dengan timbulnya kelompok JIB yang mendapat pengarahan langsung
tentang ajaran agama Islam dari Agus Salim, sedangkan bagi beliau hal ini suatu
kesempatan untuk berusaha menegakkan kembali Islam sebagai agama yang
telah sirna dari pandangan hidup para pemuda pelajar muslim dewasa itu. Selain
itu dari sisi lain terlihat keterlibatan Agus Salim dalam kegiatannya di
lingkungan pemuda pelajar Muslim tersebut merupakan pewarisan nilai-nilai
Islam dalam rangka menjemput dan menghantar serta melestarikan gerak
perjuangan kaum Muslim di Indonesia, sekaligus sebagai bentuk adanya proses
regenerasi di kalangan umat Islam.
41
Sebagaimana yang terlihat dalam peristiwa terpentalnya paham komunis
dari tubuh SI tahun 1921 adalah hasil usaha Agus Salim dan kawan-kawannya di
dalam memperjuangkan dasar Islam sebagai landasan perjuangan SI. Demikian
pula tentang cita-citta dan tujuan yang akan dicapai oleh SI sebagai pergerakan
rakyat Indonesia, Agus Salim adalah orangnya yang meletakkan garis Islam
secara tegas dan jelas. Agus Salim dalam usaha memperjuangkan Islam saat
menghadapi Belanda kadang bersikap kooperasi (1918-1924), juga bersikap non
kooperasi (sejak dilakukannya politik Hijrah tahun 1924). Akan tetapi dalam
tahun 1936 beliau cenderung bersikap kooperasi meskipun menurut beliau
istilahnya beralih parlementer.
Hal ini merupakan kelanjutan dari sikapnya sebelum keluar dari PSII,
melalui gerakan Penyadar bersama Mohammad Roem dan lain-lainnya. Dalam
periode ini pula beliau mengusahakan terciptanya sebuah masyarakat yang
memiliki pandangan hidup universal, dalam arti Islamis. Baik itu sebagai dasar
nasionalisme yang sedang diperjuangkan bangsa Indonesia menentang
pemerintahan penjajah Belanda maupun sebagai sistem nilai yang mendasari
seluruh aspek kehidupan masyarakat sehari-hari. Sehingga suasana kehidupan
ekonomi, sosial, budaya, politik, pendidikan serta lain bukan lagi sekuler
(terpisah-pisah) dengan agama, melainkan suasananya adalah Islami atau agamis.
Oleh karena itu disamping beliau telah menggunakan berbagai media untuk
kepentingan menyebarkan ideologi Islam, sejak tahun 1934 beliau dengan
melalui radio telah mendapatkan sambutan baik.
Sesudah Agus Salim keluar dari PSSI, aktifitas perjuangan beliau
disalurkan melalui gerakan Penyadar. Di samping itu melalui radio Nirom, media
lain seperti surat kabar dan majalah dilakukannya sejak tahun 1917. Oleh karena
itu pengaruhnya terhadap masyarakat secara luas terjadi sangat cepat, sehingga
menambah semangat untuk bergerak menuju cita-cita Indonesia merdeka. Ini
merupakan salah satu faktor tersebarnya dan meluasnya gerakan bangsa
Indonesia ke seluruh penjuru nusantara, karena adanya fasilitas surat kabar dan
radio sebagai media untuk menyampaikan ide dan mengajak seluruh elemen
bangsa Indonesia dalam menggalang persatuan untuk menuju cita-cita Indonesia
Peran Agus Salim dalam periode tahun 1937-1942, bukan lagi naik terus
melainkan menurun. Hal ini akibat dari hilangnya minat Agus Salim dalam
kegiatan politik, apalagi semakin sering terjadi pertikaian dan perpecahan
terutama di PSII, sedangkan di pihak lain di luar Islam semakin menonjol dalam
gerakan-gerakannya. Sementara Agus Salim disibukkan oleh kegiatan menulis
dan menyampaikan ceramah-ceramah melalui radio, dalam kalangan kaum
Muslimin pada umumnya telah terjadi suatu peristiwa penting, yaitu terbentuknya federasi Islam baru bernama Majlisul Islamil A’laa Indonesia (MIAI), atas sponsor dari Muhammadiyah dan Nadlatul Ulama serta PSII pada
tahun 1937 yang didirikan di Surabaya. Pada tahun 1939 terbentuk lagi sebuah
federasi gerakan social, politik yang meliputi kalangan Islam dan nasionalis
sekuler, yaitu bernama Gabungan Politik Indonesia (GAPI).
Di tahun ini pula suasana politik di Indonesia sedang mengalami
kegoncangan, antara lain akibat pengaruh dari adanya ancaman pihak Jepang
yang terlibat dengan Perang Dunia II. Oleh karenanya pemerintah kolonial
Belanda sadar bahwa untuk menghadapi ancaman Jepang diperlukan adanya
sahabat terutama di kalangan pemimpin Islam, meskipun tidak ada usaha yang
dilakukan untuk memperbaiki satu dari tindakan-tindakan yang merusak Islam.
Tetapi waktu berjalan terlalu cepat sehingga usaha-usaha pendekatan terhadap
pemimpin-pemimpin Islam terasa sangat lambat. Oleh karena itu masuknya
Jepang tidak dapat dicegah lagi dan sangat terpaksa Belanda harus menyerahkan
Indonesia ke tangan Jepang.
Dengan datangnya Jepang ke Indonesia yang menggantikan Belanda,
maka terjadilah banyak sekali perubahan di bidang sosial, ekonomi dan terutama
politik. Meskipun Jepang menguasai Indonesia hanya selama tiga setengah
tahun, tetapi pengaruhnya terhadap kehidupan bangsa Indonesia sangat besar.
Seperti dibekukannya kegiatan politik bagi bangsa Indonesia. Ini sangat
mempengaruhi terhadap patriotisme dan aktifitas bangsa Indonesia.
Ketidakjelasan situasi telah menyebabkan banyak orang yang menunggu dan
menanti bahkan banyak juga yang mengalihkan kegiatannya ke bidang yang
tidak pernah digeluti. Keadaan ekonomi yang sangat buruk telah mengakibatkan
terjadinya pergeseran prioritas. Demikian pula terjadi pergeseran di bidang
terjadi, terutama di bidang politik dan petunjuk-petunjuk mengenai diberikannya
suatu kesempatan untuk mempersiapkan sebagai negara merdeka semakin jelas.
Bermula dengan diberikannya kebebasan politik, bahkan banyak dari
orang-orang Indonesia dididik kemiliteran oleh Jepang.
Pada periode ini Agus Salim sama sekali tidak kelihatan dalam
kegiatan-kegiatan politik. Beliau bersama anaknya berusaha mempertahankan hidup
dengan berjualan arang. Meskipun demikian beliau tetap memberikan ceramah
tentang soal-soal ke Islaman terhadap kawan juga murid dan sahabat-sahabatnya.
Tetapi menjelang hari kemerdekaan Indonesia, beliau dihubungi oleh Soekarno
dan Hatta supaya turut serta dalam gerakan Poetera. Sejak itu beliau kembali
aktif ke dunia pergerakan, meskipun peranan beliau tidak seperti di waktu masih
aktif dalam SI.
Pada saat terakhir kedudukan Jepang atas Indonesia, Agus Salim diangkat
sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI), yang selanjutnya menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI). Salah satu tugas Agus Salim ialah menghaluskan susunan
bahasa Indonesia dari rencana Undang-undang Dasar Negara dan sekaligus ikut
serta memikirkan dasar negara dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia.
Pada tanggal 22 Juni 1945, untuk pertama kalinya yang digunakan sebagai Dasar
Negara adalah Pancasila dengan rumusannya yang lengkap terdapat dalam satu
dokumen yang disusun dan ditandatangani oleh sebuah panitia yang terdiri dari
Sembilan orang anggota Badan Penyelidik yaitu Ir.Soekarno, Moh Hatta,
Maramis, Abikoesno Tjokroakoesoemo, Abdul Kahar, Haji Agus Salim, Ahmad
Subardjo, Wahid Hasjim, dan Moh Jamin.
Perumusan pancasila yang pertama kali ini kemudian menjadi terkenal
dengan nama Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Adapun peristiwa ini salah
satunya adalah merupakan daya penarik untuk dapat mempersatukan gagasan
ketatanegaraan dengan tekad bulat atas persatuan nasional dalam rangka
menyongsong datangnya negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Sesudah
Indonesia merdeka, Agus Salim terpilih sebagai anggota Dewan Pertimbangan
Agung (DPA). Kemudian secara berturut-turut Agus Salim duduk dalam kabinet
pemerintah Republik Indonesia, sebagai Menteri Muda Luar Negeri dalam
Negeri dalam Kabinet Syarifuddin (1947), dan Menteri Luar Negeri Kabinet
Hatta I dan II (1948 dan 1949).
Pada waktu Agus Salim menjabat sebagai Menteri Muda Luar Negeri,
adapun tugas yang dipikulnya ialah berusaha agar kemerdekaan Indonesia dapat
segera diakui oleh dunia Internasional. Hal ini dimaksudkan agar Belanda tidak
lagi mempunyai kesempatan untuk menguasai dan menjajah Indonesia. Oleh
sebab itu dalam kesempatan mengikuti konfrensi antar Asia di New Delhi pada
bulan maret 1947, Agus Salim sebagai pimpinan delegasi diplomat RI telah
memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya beliau bersama rombongan
meneruskan perjalanannya menuju ke negara-negara Arab, seperti Mesir, Siria,
Yaman, Irak, Libanon, Arab Saudi, Afganistan, dan negara-negara lainnya.
Usaha missi diplomatiknya sangat berhasil, terbukti dengan munculnya
pengakuan dari negara-negara yang dikunjunginya.
Dengan keberhasilan missi diplomatik Republik Indonesia yang dipimpin
oleh Agus Salim, maka posisi Indonesia semakin kuat dan diakui oleh
negara-negara besar lainnya di dunia. Meskipun demikian pihak Belanda masih juga
mengadakan agresi militernya, bahkan agresi yang kedua telah berhasil menawan
Agus Salim, Soekarno, Moh Roem, Ali Sastroamidjojo, Syahrir dan yang
lainnya. Mereka diasingkan ke Brastagi kemudian dipindahkan ke Prapat dan
akhirnya dipindahkan lagi ke Pulau Bangka. Setelah suasana dianggap kondusif
mereka semua kembali ke ibukota RI yang dulu di Yogyakarta.
Pada tahun 1950, di usia Agus Salim yang telah lanjut maka jabatannya
sebagai Menteri Luar Negeri diletakkan dan beliau diangkat sebagai ahli Menteri
Luar Negeri. Sampai pada tahun 1953, beliau sudah banyak mengurangi kegiatan
politiknya maupun pemerintahan. Tetapi karena beliau mendapatkan undangan
pemerintah dari Amerika Serikat untuk memberikan kuliah di Cornell University
dan Princeton University, maka tahun 1953 beliau bersama istrinya berangkat ke Amerika Serikat. Disana beliau memberikan mata kuliah tentang “Pergerakan dan Cita Islam Indonesia”.
Sepulangnya dari Amerika Serikat, di Indonesia para sahabat dan
muridnya telah menyiapkan peringatan 70 tahun usianya. Dengan rasa bangsa
yang dipersembahkan kepada beliau. Sebelumnya Agus Salim dalam usianya
yang sudah tidak muda lagi sedang berusaha melanjutkan tulisan beliau tentang
tafsir Al-Quran yang sudah dimulai sejak tahun 1918. Tetapi belum sempat
beliau merampungkan penulisannya, Allah SWT sudah memanggilnya kembali
ke PangkuanNya. Tepat pada tanggal 4 November 1954, belum sampai sebulan
setelah diadakannya peringatan usia 70 tahunnya.
Umat Islam Indonesia merasa kehilangan seorang pejuang yang luar
biasa, demikian pula bangsa dan negara Indonesia telah kehilangan putra terbaik
yang kembali ke Hadirat Allah SWT selama-lamanya. Beliau tidak
meninggalkan harta dan benda, melainkan amal perbuatan serta pelajaran yang
luar biasa bagi bangsa Indonesia. Kesungguhannya di dalam memperjuangkan
cita-citanya telah dilukiskan dalam sejarah umat Islam Indonesia. Maka benar
apa yang dikatakan George Mc Turnan Kahin bahwa gerakan nasional yang
dipimpin oleh para ulama telah berhasil menciptakan integritas nasional, bahwa
Islam bukan saja ajaran tentang hubungan manusia dengan Allah SWT semata,
melainkan sebagai agama perjuangan. Agus Salim bersama para sahabatnya
mencerminkan sikap baik sebagai kaum muslimin Indonesia yang tidak mau
menyerah ataupun kalah terhadap Belanda. Agus Salim telah membuktikan
terhadap dunia, bahwa mereka mampu memberikan sesuatu yang pantas untuk
3.2 Pemikiran Politik Haji Agus Salim
Berkaitan dengan dalam sejarah perjalanan nasionalisme Islam yang
diterapkan Agus Salim, hubungan semangat nasionalisme islam menjadi dasar
negara menimbulkan polemik tersendiri antara tokoh politik pada waktu itu.
Yaitu antara Agus Salim dan Soekarno. Polemik hubungan agama dan negara
antara Agus Salim dan Soekarno, memiliki makna historis sangat penting.
Pertama, secara substansial, polemik Agus Salim dan Soekarno ini mewakili
perbedaan pandangan dua golongan terkemuka di Indonesia, yaitu golongan
nasionalis Islami dan nasionalis sekuler.
Polemik mereka juga mereflesikan pertarungan ideologis kedua golongan
yang tak terujukkan sekitar tahun 1920 sampai akhir pengujung 1930.
Gagasan-gagasan yang dipolemikkan itu mendasar dan aktual, seperti masalah apakah
agama harus disatukan atau dipisahkan dari politik, masalah prinsip kenegaraan
yang bagaimana yang harus dijadikan dasar negara dan sekulerisasi politik dalam
masyarakat berpenduduk mayoritas muslim. Masalah-masalah ini menjadi
perdebatan sengit antara golongan nasionalis islam dan nasionalis sekuler, baik
menjelang Indonesia merdeka (perumusan Piagam Jakarta 1945), demokrasi
parlementer (perdebatan di bawah konstituante 1957-1959) masa Orde Baru, dan
era reformasi pasca Soeharto sekarang ini.
Polemik yang menyangkut berbagai ide dan tujuan ini mewarnai corak
perkembangan politik, yang berkisar pada peranan Islam, hubungan antara
agama dan negara, corak nasionalisme, serta ideologi yang diperlukan dalam
menata suatu negara kebangsaan (nation state). Kedua, berkaitan dengan kedua
tokoh polemik, antara Agus Salim dan Soekarno. Keduanya tokoh politik paling
legendaris dalam sejarah Indonesia kontemporer. Agus Salim, ulama intelek
yang memiliki ketajaman otak dan dalamnya kehidupan keagamaannya.
Sedangkan Soekarno, ideologi dan politikus Indonesia telah memberikan banyak
kontribusi intelektual.
Ketiga, polemik yang dilakukan secara demokratis itu, telah memberikan
kesadaran di kalangan umat Islam saat itu, bahwa Islam tidaklah hanya sekedar
sebagai suatu sistem teologi, ajaran-ajaran yang hanya mengatur masalah
ketuhanan dan akhirat, tetapi juga mencakup misi kehidupan pribadi,
satu letupan pertarungan-pertarungan ideologis yang terjadi sekitar tahun
1940an, yaitu pertarungan antara golongan nasionalis Islami dengan nasionalis
sekuler. Golongan nasionalis sekuler adalah mereka yang berprinsip bahwa
dalam kehidupan politik kenegaraan harus ada pemisahan tegas antara agama
dan politik.
Pada umumnya, golongan ini menyakini bahwa agama hanyalah
merupakan ajaran-ajaran yang menyangkut masalah akhirat dan urusan pribadi,
sedangkan politik kenegaraan merupakan masalah duniawi. Sedangkan golongan
nasionalis Islam berprinsip bahwa agama (Islam) tidak dapat dipisah dari urusan
kenegaraan. Golongan ini yakin dan mempunyai komitmen pada pandangan
bahwa negara dan masyarakat harus diatur oleh Islam sebagai agama, yang
dalam arti luas, yaitu agama yang bukan hanya mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan saja, melainkan juga hubungan antara sesama manusia, sikap
manusia terhadap lingkungannya, alam, dan lain sebagainya.
Indikasi pertarungan ideologis antara kedua golongan yang menganut
prinsip berbeda ini dapat dilihat dari kasus retaknya hubungan Sarekat Islam (SI)
dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), kasus Jawi Hisworo, kasus majalah
Timboel dan Swara Oemoem, kasus perdebatan dan polemik sengit dan
berkepanjangan antara tokoh-tokoh nasionalis Islam seperti Haji Agus Salim
dengan tokoh-tokoh nasionalis sekuler yang diwakili oleh Soekarno. Polemik ini bermula dari terbitnya artikel Soekarno, “Memudahkan Pengertian Islam”, yang isinya mencerminkan agar dalam Islam ada keharusan pembaharuan pemikiran dan melakukan “reorientasi ajaran-ajaran Islam”. Menurut Soekarno, dasar pembaharuan ini melandasi setiap perubahan dalam sejarah. Ia merupakan
keharusan sejarah yang pasti dialami setiap kepercayaan, ideologi atau agama,
termasuk Islam. Dengan demikian, hendaknya dalam Islam ada usaha
rasionalisasi, misalnya dalam menafsirkan Al-Quran dan Hadis, agar kedua
sumber hukum Islam itu lebih rasional dan mampu menjamah realitas.
Dengan kemunculan dan lajunya pola pemikiran nasionalis sekuler, maka
Agus Salim yang berada di pihak Islamis, yang diketahui sebagai orang yang
gigih mempertemukan antara kaum intelektual muslim dengan Islam sebagai
agamanya, mengeritiknya dengan tajam. Antara lain beliau mengatakan bahwa
mengandung unsur-unsur yang menyesatkan terhadap pemahaman tentang
agama, bahwa agama itu bersifat pribadi atau individual. Oleh karena itu Agus
Salim mengatakan bahwa nasionalisme yang keterlaluan bisa jatuh pada
chauvinisme, imperalisme dan kolonialisme, karena nasionalisme semacam itu
dapat pula mengabaikan rasa sosial, bukan saja terhadap bangsa lain tetapi juga
dalam kalangan bangsa sendiri.
Agus Salim dan kawan-kawannya yang sepaham memandang bahwa
nasionalisme dan apapun juga ajaran atau paham yang timbul dalam benak
kepala manusia, hendaklah diletakkan di bawah niat pengabdian kepada Allah
SWT. Atas kritikan yang disampaikan tersebut, Soekarno dari kaum nasionalis
sekuler yang menanggapi bahwa nasionalisme sebagai pedoman yang harus
dinomorsatukan karena inilah pegangan untuk persatuan dan kesatuan Indonesia.
Paham-paham lain hendaklah tunduk pada tuntutan ini. Malah menurutnya
nasionalisme, Islam dan Marxisme harus dapat bekerja sama dalam rangka
kesatuan itu. Di tahun 1927 pula lahir suatu federasi partai-partai yang
beranggotakan semua organisasi, meliputi PNI, PSI, BU, Pasundan, Kaum
Betawi, Sumatranen Bond dan beberapa klub-klub studi dengan nama
Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia
(PPPKI). Tujuannya ialah mendatangkan persatuan di dalam aksi perjuangannya
menghadapi kolonial Belanda bagi semua perhimpunan yang ada, dan berdaya
upaya aksi itu bisa lebih teratur.
Tetapi harapan terciptanya persatuan dan kesatuan langkah perjuangan
tersebut tidaklah segampang dengan kenyataannya. Terbukti hanya beberapa saat
terjadilah perpecahan yaitu dengan keluarnya SI dari PPPKI. Di antara sebabnya
ialah adanya perbedaan yang mendasar antara organisasi yang satu dengan yang
lainnya. Di satu pihak ada yang menganut garis koorperatis, dan lain pihak ada
yang menganut garis non-kooperasi. Di samping itu bagi SI adalah suatu langkah
yang sangat merugikan organisasi. SI adalah organisasi terbesar (jumlah
anggotanya paling banyak), dan Islam merupakan dasar perjuangannya di
samping bertujuan membangun masyarakat Islam yang adil, makmur dan
diridhoi Allah SWT. Organisasi lainnya lebih banyak mengedepankan
Oleh karena itu menurut kalangan dari SI, tujuan federasi yang telah
dibentuk ini tidak mungkin dapat dicapai, sebab perbedaannya sangat
fundamental. Perencanaan dan penyusun konsep bahan federasi ini adalah
Soekarno. Pokok-pokok pikirannya antara lain sebagai berikut: Bahwa ide
persatuan itu terlepas dari dan tidak peduli terhadap prinsip lain yang berbeda.
Bahwa untuk membangkitkan perasaan dan semangat rakyat ada pertaliannya
dengan keindahan dan kekayaan Ibu Indonesia yang melahirkan
Pahlawan-pahlawan seperti Gajah Mada serta tokoh-tokoh lain dari masa Hindu. Untuk
menciptakan dan mempertahankan persatuan ini, maka penting artinya akan cinta
kepada tanah air, kesediaan yang tulus dalam membangkitkan diri kepada tanah
air serta kesediaan untuk mengesampingkan kepentingan yang sempit.
Gagasan Soekarno tersebut telah mendorong Agus Salim untuk berusaha
meningkatkan dan membetulkan arah perjuangan yang seharusnya kepada
masyarakat umum (bangsa Indonesia) tanpa kecuali, beserta tokoh-tokoh
pergerakan. Beliau mengatakan bahwa ide Soekarno yang memuliakan tanah air
di atas segalanya, akan mencairkan keyakinan Tauhid seseorang dan akan
mungkin mengurangi bakti seseorang kepada Tuhan. Beliau juga setuju dengan
dipentingkannya ide persatuan dan cinta tanah air, tetapi hendaklah cinta ini
jangan sekedar slogan kosong yang tidak akan berarti bagi rakyat.
Selanjutnya Agus Salim mengatakan bahwa cinta tanah air yang
berlebihan dapat membahayakan rakyat sendiri dan rakyat lain diluar.
Sebagaimana yang terjadi dalam sejarah Eropa, dimana negeri yang satu
memerangi negeri yang lain atas nama tanah air, dan menekan serta merendakan
derajat bangsa-bangsa lain diluar Eropa. Lebih dari itu dapat menjadi berhala
agama.
Agus Salim juga menerangkan bahwa agama yang menghambakan
manusia kepada tanah air mendekatkan kepada persaingan berebut-rebutan
kekayaan, kemegahan dan kebesaran, memperhinakan dan merusakkan tanah air
orang lain dengan tidak mengingati hak dan keadilan. Inilah bahayanya apabila
kita menghamba dan membudak kepada Ibu Pertiwi yang menjadi tanah air kita
itu karenanya sendiri saja; karena eloknya dan cantiknya; karena kayanya dan
perhubungan yang karena benda dunia dan rupa dunia belaka tidaklah akan dapat
ditumbuhkan sifat-sifat keutamaan yang perlu untuk mencapai kesempurnaan.
Agus Salim menganjurkan dan mengajak kepada seluruh bangsa
Indonesia, terutama di kalangan tokoh-tokoh pergerakan nasionalis sekuler, agar
di dalam mencintai tanah air itu hendaklah dirinya menempatkan cinta
rohaniahnya diatas tujuan kebendaan. Cinta tanah air mestinya menunjukkan
cita-cita yang lebih tinggi daripada segala benda dan rupa dunia, yaitu kepada
hak keadilan dan keutamaan yang batasnya dan ukurannya dalam pengabdian
kepada Allah sebagai cermin iman kita kepadaNya.
Akan tetapi bagi Soekarno, gagasan pemikiran mengenai nasionalisme
lain baginya. Nasionalisme yang ia perjuangkan dan kemukakan tidak sama
dengan yang berkembang di Barat. Hal itu timbul dari kesombongan belaka.
Seterusnya Soekarno menegaskan:42
“Nasionalisme ketimuran ini telah memberi inspirasi kepada berbagai pemimpin Asia, seperti Mahatma Gandhi, CR Das dan
Arabindo Ghose dari India, Mustofa Kamil dari Mesir, dan Sun
Yat Sen dari Cina. Bahwa nasionalisme kita ini membuat kita
jadi perkakas Tuhan dan membuat kita hidup dalam roh.”
Di samping itu Soekarno juga mengatakan, bahwa nasionalismenya itu
bukanlah chauvinisme, bukan pula suatu penjiplakan daripada nasionalisme
Barat. Tetapi nasionalisme itu timbul daripada pengetahuan atas susunan dunia
dan riwayat. Nasionalisme yang sedemikian itu menimbulkan keinsyafan kepada
kita bahwa negeri dan rakyat kita adalah sebagian dari dunia dan rakyat dunia.
Oleh karena itu bukan saja menjadi hamba tumpah darah kita, tetapi juga
menjadi hamba Asia, juga menjadi hamba kaum sengsara dan hamba dunia.
42
Atas cap dari Agus Salim tentang nasionalismenya dengan berhala
agama, Soekarno menantangnya sebagai berikut:43
“Jikalau memang harus disebutkan begitu, jikalau itu yang disebutkan menyembah berhala, jikalau itu yang disebutkan
membudak kepada benda, jikalau itu yang mendasarkan diri atas
keduniaan, maka kita kaum nasionalis Indonesia, dengan segala
kesenangan hati bernama mendasarkan diri atas keduniaan itu,
sebab kita yakin bahwa nasionalisme pendekar itu, yang dalam
hakikatnya tidak beda asal dan tidak beda sifat dengan
nasionalisme kita, adalah nasionalisme yang luhur.”
Gagasan Soekarno tersebut sangat penting artinya dalam kaitannya
dengan perkembangan politik di Indonesia, sebab gagasan diatas menjadi lawan
yang tangguh bagi gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh Agus Salim dan
yang sepaham, yaitu yang mengajukan tentang nasionalisme Islam. Sebagai
jawaban Agus Salim atas tantangan Soekarno tersebut, beliau mengatakan
sebagai berikut: Tidak ada perbedaan dalam hal maksud, tujuan dan bidang kerja,
hanya saja berbeda dalam dasar dan niat masing-masing. Asas kita agama, yaitu Islam. Niat kita Lillahi Ta’ala. Rela menerima tewas pada jalan (Allah) perintahNya, syukur jika mendapat kemenangan di jalan itu. Tetapi tetap dalam
kalah menang, menyerahkan nasib bagaimanapun akan jatuh keputusannya Subhanahu wa Ta’ala.
Sekali lagi Agus Salim mengingatkan mereka, bahwa
pemimpin-pemimpin tersebut (Mahatma Gandhi dan lain-lain) tidak bisa lepas dari berbuat
salah. Oleh sebab itu tidak patut dijadikan ukuran, apalagi dijadikan pedoman.
Cukup mengambil teladan dari Ibrahim A.S yang kemurnian perjuangannya telah
dijamin oleh Tuhan. Apabila pujian itu untuk mereka manusia biasa saja, mudah
sekali berubah menjadi caci makian. Lebih lanjut Agus Salim mengatakan bahwa
hanya Allah SWT semata yang dapat menjaga kesucian perjuangan. Perjuangan
kita tidak bersandar kepada persatuan, melainkan semata-mata bersandar kepada
43
Allah SWT. Manusia itu timbul keserakahannya apabila mendapat keuntungan. Di sinilah diperlukannya sikap dan niat Lillahi Ta’ala, agar tidak jatuh pada sikap yang demikian.
Nasionalisme menurut Haji Agus Salim ditinjau dari Islam menunjukkan
bahwa ide dasar pemikirannya berlandaskan ajaran-ajaran Islam yaitu arti
pentingnya mempertahankan kedaulatan suatu bangsa dan negara dari tangan
penjajah. Ini menunjukkan bahwa ideologi yang dipegang Haji Agus Salim
adalah nasionalisme atau cinta tanah air, karena Haji Agus Salim ingin
membebaskan warga negara dari ketertindasan yang merupakan masalah yang
paling krusial dalam masyarakat untuk diperangi agar terciptanya suatu keadaan
atau suasana yang tenteram dan damai, ini sesuai dengan Al-Qur’an dalam surat
al-Hujurat ayat 9 yang berbunyi: 44
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya tapi kalau
yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah
yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut
kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah
antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku
adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku
adil.” (QS. Al-Hujurat ayat 9).
Haji Agus Salim sangat menyakini kebenaran Islam sebagai suatu
ideology kenegaraan. Sebagai suatu ideology, Islam dalam pandangan Haji Agus
Salim mempunyai cakupan pengertian yang sangat luas. Cakupan kehidupan ini
tidak hanya meliputi kehidupan dunia, tetapi juga kehidupan akhirat. Segala
aspek yang terdapat dalam kehidupan dunia dan akhirat itu diatur oleh
ajaran-ajaran Islam. Oleh karena itu Islam merupakan suatu ajaran-ajaran yang serba
mencakup. Dalam hal ini Haji Agus Salim mengikuti prinsip Al-Quran agar
setiap orang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, hendaknya mengatur seluruh
aspek kehidupannya secara Islami.
44
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya”.
Konsekuensi dari firman Allah ini adalah bahwa seorang manusia itu
tidak lebih hanya merupakan seorang hamba Allah yang harus mematuhi segala
perintah dan menjauhi larangan-Nya. Yang namanya seorang hamba adalah
manusia yang jauh lebih banyak berusaha untuk menunaikan kewajibannya
daripada menuntut hak yang dimilikinya. Sikap seorang hamba lainnya adalah
selalu berusaha menerjemahkan perintah-perintah Tuhannya yang seringkali
tanpa diikuti oleh keinginan untuk mempertanyakan perintah-perintah tersebut.
Oleh karena ia yakin bahwa segala perintah itu benar. Prinsip penghambaan diri
kepada Allah seperti inilah yang tampaknya dijadikan dasar ideologis Haji Agus
Salim dalam meneropong persoalan-persoalan kehidupan yang terjadi di
sekitarnya.
Dari gagasan-gagasan polemiknya dengan Soekarno, terkesan bahwa Haji
Agus Salim memandang ajaran Islam bukan semata-mata sebagai agama yang
hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (hablun minallah), tetapi
juga antara manusia dengan sesamanya (hablun minannas). Islam adalah sebuah
ideology yang mampu membimbing manusia dalam hidupnya di dunia guna
mencapai kebahagiaan di akhirat kelak. Dalam kehidupan politik, manusia
membutuhkan dasar ideologi ini. Dengan demikian seorang Muslim tidak
mungkin melepaskan keterlibatannya dalam politik tanpa member perhatian
kepada Islam. Berdasarkan pemikiran ideologinya itu, Haji Agus Salim menolak
segala bentuk pemikiran sekular, sebab pemikiran tersebut mengabaikan
nilai-nilai transedental Islam. Ini sekaligus merupakan bahaya tersendiri bagi umat
Islam.
Haji Agus Salim menegaskan bahwa paham sekularisme mengandung
bahaya-bahaya. Ia juga mengemukakan bahwa sekularisme adalah suatu
pandangan hidup, opini-opini, tujuan-tujuan dan sifat-sifat yang dibatasi oleh
batas-batas keberadaan duniawi. Dalam kehidupan seorang sekularis tidak
terdapat tujuan-tujuan apa pun yang akhirnya kehilangan makna hidup dan
Agus Salim tentang bahaya sekularisme dan Islam sebagai ideologi perlu
dikemukakan dalam hubungan ini karena pemahamannya itu mempunyai kaitan
yang erat dengan pandangannya tentang masalah persatuan agama dan negara.
Keyakinan Haji Agus Salim akan kebenaran Islam sebagai ideologi inilah yang
membuatnya gigih memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dan gagasan
persatuan agama dengan negara. Keyakinannya itu juga membuatnya begitu peka
terhadap nilai-nilai sekular yang dianggapnya bertentangan dengan Islam.
Haji Agus Salim mengemukakan salah satu sebab mengapa orang tidak
sependapat dengan gagasan persatuan agama dan negara adalah karena
terdapatnya gambaran keliru mengenai negara Islam. Haji Agus Salim
menganggap kekeliruan tersebut karena ketidaktahuan mengenai gambaran
negara Islam yang sesungguhnya. Kekhalifahan Usmaniah terakhir di Turki yang
menurut Soekarno dianggap sebagai negara Islam, oleh Agus Salim dinilai tidak
mencerminkan cirri-ciri negara Islam. Kekhalifahan ini penuh
penyimpangan-penyimpangan Islam dalam praktik kenegaraannya. Haji Agus Salim mencoba
menjernihkan gambaran negara Islam sebagaimana yang dipahami Soekarno
maupun kalangan nasionalis yang antipersatuan agama dan negara.
Seperangkat hukum-hukum saja, bagaimanapun kelebihan yang
dimilikinya, tidak akan mampu menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera,
atau meminjam istilah Al-Quran “baldatun thayyibatun wa rabbun ghaffur
(negeri yang baik, aman, dan memperoleh ampunan Tuhan)”. Agar hukum
-hukum tersebut mampu menjamin dan membentuk masyarakat yang
diidam-idamkan, maka mutlak diperlukan adanya kekuatan eksekutif atau pelaksana.
Kekuatan eksekutif tersebut adalah negara. Di sinilah arti pentingnya lembaga
negara sebagai alat untuk menerapkan hukum-hukum yang telah ada. Tanpa
adanya negara sulit diharapkan adanya ketaatan pada hukum-hukum itu.
Bagi Agus Salim, oleh karena negara itu hanya merupakan alat untuk
merealisasikan hukum-hukum Allah, maka hal ini dapat diartikan bahwa negara
itu sifatnya bisa saja sementara. Sebab manakala tujuan yang dikehendaki Islam
telah tercapai, dengan sendirinya ada kemungkinan negara tidak diperlakukan
lagi. Sifat dan watak asli hukum-hukum Allah (syariah Islam) memberikan bukti
lain tentang keharusan menegakkan negara sebagai alat untuk menerapkan
hukum-hukum itu diwahyukan demi menciptakan negara dan mengorganisasikan
berbagai aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi maupun budaya dalam
masyarakat umat manusia.
Yang menjadi sifat dan watak asli hukum-hukum Allah itu, pertama,
bahwa hukum-hukum itu meliputi sejumlah hukum dan aturan, yang dalam
tingkatan tertentu, membentuk suatu sistem sosial. Oleh karena di dalam sistem
hukum ini aturan pokok yang berkenaan dengan kehidupan manusia sebagai
makhluk sosiokultural dapat ditemukan. Kedua, yaitu bahwa pelaksanaan semua
hukum-hukum itu mempunyai tingkat ketergantungan yang besar dengan
keberadaan negara yang akan dijadikan alat untuk melaksanakannya. Dalam
polemiknya dengan Soekarno, terlihat bahwa Agus Salim mencari dasar suatu
pemerintahan negara. Dasar pemerintahan negara, menurut Agus Salim telah
jelas dan pasti (qath’i), yaitu Islam.
Jadi prinsip pemerintahan negara ini tidak boleh yang lain, sekalipun
ditentukan melalui musyawarah parlemen atau meminta persetujuan mayoritas
warga negara. Dalam hubungan inilah Agus Salim pernah menyatakan bahwa
untuk dasar negara, Indonesia hanya mempunyai dua pilihan pada saat itu, yaitu
sekularisme atau paham agama. Maka negara yang dikehendaki Agus Salim
adalah negara yang pada prinsipnya diatur oleh syariat Islam. Pandangan Agus
Salim urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah
Islam. Ia menegaskan bahwa dalam Islam mustahil memisahkan agama dari
politik. Islam, menurutnya adalah ideologi komprehensif yang mengatur seluruh
BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Awal abad 20 merupakan sebuah tolak ukur dari gerakan pembaharuan
Islam di Indonesia, terutama di bidang politik. Diantaranya ialah bahwa dewasa
ini umat Islam di Indonesia secara politisi dikuasai penjajah Belanda. Tetapi di
lain segi telah terjadi suatu benturan nilai-nilai budaya antara Barat yang dibawa
oleh Belanda dengan nilai-nilai budaya yang hidup di Indonesia. Gerakan
pembaharuan yang berlandaskan agama diwakili oleh Haji Agus Salim. Dalam
sejarah bangsa Indonesia kita mengenal Haji Agus Salim, tidak saja sebagai
seorang pahlawan, politikus, wartawan dan pengarang, melainkan juga ulama
dan diplomat. Jenjang kariernya dicapai tidak dengan mudah begitu saja,
melainkan melalui aneka kesulitan dan pengorbanan. Kejeniusan otaknya dan
watak kepribadiannya diakui kawan maupun lawan. Agus Salim adalah seorang
cendikiawan yang luas ilmu pengetahuannya. Dia juga seorang pejuang
kemerdekaan yang rela berkorban dan hidup menderita demi prinsip perjuangan
yang diyakininya. Agus Salim dikenal sebagai pemimpin yang hidupnya
diwarnai kesederhanaan.
Agus Salim dalam gerakan pembaharuan Islam di Indonesia terlihat
dalam usaha yang dilakukannya sejak masa mudanya sampai meninggal, yaitu
berupaya mewujudkan cita-cita politiknya, sekaligus berkaitan dengan agama
yang dijadikan sebagai sumber insipirasi gerakannya. Pada awalnya beliau
mendapatkan pendidikan sekolah kolonial Belanda selama 12 tahun di ELS dan
HBS, kemudian selama 5 tahun beliau memperdalam agama Islam di Mekah.
Latar belakang kepribadian dan kecerdasan otaknya serta kehidupan sosial
politik yang mengitari dirinya, memberikan kesempatan bagi Agus Salim untuk
tampil sebagai pemikir dan penggerak kebangkitan umat Islam Indonesia melalui
jalan politik.
Suka duka dalam hidupnya diawali sejak masa penjajahan Belanda,
kemudian masa pendudukan Jepang dan diakhiri masa kemerdekaan bangsa dan
negaranya. Selama tiga masa tersebut Agus Salim pernah menjadi guru,
Dasar dan penandatanganan Piagam Jakarta, serta sebagai diplomat bagi
Republik Indonesia dan lain sebagainya. Adapun pemikirannya dibidang politik,
Agus Salim dengan tegas menolak konsep-konsep kapitalisme, sosialisme marxis
atau komunis, juga nasionalisme sekuler. Beliau cenderung pada nasionalisme
Islam, yang berusaha kearah persatuan umat, kesatuan moral sekaligus kesatuan
aqidah. Agus
Salim mempunyai cita-cita kebangsaan berdasarkan agama Islam
(memajukan negeri berdasarkan cita-cita Islam). Ini terlihat dalam proses
menyepakati dasar negara Indonesia. Saat itu terjadi perdebatan antara golongan
nasionalisme Islam dan sekuler, keduanya memiliki pandangan yang berbeda
mengenai dasar negara yang pantas untuk Republik ini. Dari golongan Islam,
Agus Salim sebagai salah satu tokohnya menganjurkan agar Indonesia didirikan
sebagai negara yang berladaskan Islam. Nasionalisme Islam yang merupakan
apresiasi kecintaan terhadap negara dalam balutan agama Islam yang
berlandaskan kerangka ibadah semata-mata hanya kepada Allah SWT.
Nasionalisme Islam menurut Agus Salim seharusnya berkaitan dengan rasa
kemanusiaan, persaudaraan, kemuliaan bangsa demi kemerdekaan dan berdasarkan kepada niat Lillahi Ta’ala.
Percikan pemikiran dan langkah perjuangannya mempunyai pengaruh
yang sangat besar bagi bangsanya, terutama kebangkitan umat Islam Indonesia.
Keberhasilannya di bidang penggarapan dan pembinaan terhadap kaum
intelektual muslim, tampak pada sikap Islamismenya di kalangan pemuda pelajar
Islam yang terkandung dalam JIB. Demikian pula terlihat dalam gigihnya
memperjuangkan Islam di Indonesia, beliau juga berhasil mendapatkan
kemerdekaan bangsanya, melalui usaha diplomasinya di dunia internasional.
Menyinggung jasa dan perjuangan Agus Salim di bidang diplomasi sesudah
Indonesia merdeka, Negara Belanda, Inggris dan Amerika Serikat baru mengakui
de facto Republik Indonesia berdasarkan perjanjian Linggarjati. Atas usahanya
negara-negara Arab juga memandang Republik Indonesia sebagai Negara yang
merdeka sempurna dan berdaulat. Pengakuan secara penuh oleh negara-negara di
dunia atas kemerdekaan dan kedaulatan rakyat Indonesia adalah salah satu jerih
Dalam menelusuri jejak langkah pemikiran dan perjuangan Agus Salim,
maka ada beberapa hal yang penting untuk diperhatikan. Diantaranya ialah
bahwa usaha yang dilakukannya telah melahirkan generasi yang tangguh dan
teguh terhadap ajaran Islam, lebih dari itu prestasi yang hebat. Baik di bidang
pemikiran, sikap mentalitas, moral serta pengabdiannya terhadap agama Islam,
bangsa dan negara. Kemunculannya merupakan perwujudan dari sebuah proses
regenerasi, sekaligus sebagai jembatan generasi yang terdahulu dan generasi kini.
Oleh Karena itu perlu segera dilahirkan kembali sebuah generasi yang
mempunyai bekal yang komplit, yaitu perpaduan antara ilmu pengetahuan dan
ajaran agama Islam secara mendalam.
Demikian juga kemerdekaan dan keserasian hubungan antara generasi tua
dengan generasi muda, sekaligus dipersiapkan sebagai jembatan bagi generasi
berikutnya, dengan tanpa memandang siapa, dari mana asal generasi itu datang.
Demikian pula sikap bebas dan keterbukaan dalam batas-batas tertentu perlu
ditumbuhkan. Agus Salim juga menanamkan sifat-sifat terpuji dalam usaha
mewariskan nilai kepribadian muslim adalah sangat penting, karena merupakan
suatu keharusan dalam usaha mempelopori suatu perbuatan yang akan dijadikan
4.2 Saran
Kajian singkat yang sudah penulis lakukan, tentu hanya ikhtiar untuk
mengembangkan diskusi tentang pemikiran Haji Agus Salim, dan karena
keterbatasan pembahasan maka sebenarnya masih banyak hal yang bisa dijadikan
sebagai bahan kajian. Didalam penulis skripsi ini penulis memberikan Saran :
1. Sikap nasionalisme masih dibutuhkan hingga sekarang, karena dengan
adanya sikap nasionalisme dapat merubah negara Indonesia menjadi
negara yang adil dan makmur serta dapat menentukan arah
pemerintahannya sendiri tanpa adanya campur tangan dari negara lain.
2. Nasionalisme harus selalu ditanamkan dalam diri kita sebagai warga
negara, karena dapat memberikan motivasi bagi kita didalam membangun
bangsa lebih maju dan lebih modern.
3. Nasionalisme merupakan manivestasi dari perubahan sosial yang paling
spektakuler, nasionalisme menengarai guncangan fundamental dalam
proses sejarah, membentuk masyarakat dari dalam dan merancang lagi
keutuhan bangsa.
4. Agama dan negara merupakan suatu unsur yang saling mengikat antara
satu dengan lainnya. Ini merupakan suatu bentuk gabungan aliran
kepercayaan yang dianut oleh masyarakat dalam suatu negara untuk
kemudian diterapkan dalam tatanan hidup bersosial dan bernegara. Sifat
toleransi dalam kehidupan antar umat beragama didalam ruang lingkup
wilayah suatu negara hendaknya memiliki kemurnian yang luhur yaitu
menanamkan jiwa keluhuran kepada Allah Yang Maha Esa sang pencipta
segala dan umatnya untuk mewujudkan kehidupan yang damai sesuai
BAB II
BIOGRAFI HAJI AGUS SALIM
2.1 Den Bagus dari Koto Gadang
Perjalanan sejarah suatu bangsa kadang-kadang mampu melahirkan
pemimpin-pemimpin besar yang penuh pesona dan membawa gelora bangsa di
jamannya, atau disebut juga melahirkan pemikir, pejuang yang ingin membawa
bangsanya keluar dari kemelut kehidupannya dengan memberikan alternatif lain
sebagai tandingan terhadap sistem yang dianut dalam hidup dan kehidupan
bangsanya. Menurut catatan sejarah bangsa Indonesia, sejak dahulu sampai
sekarang, nama-nama dari para pemimpin, pemikir, pejuang yang terkenal
jumlahnya cukup besar di bumi Indonesia, antara lain: Imam Bonjol, Teuku
Umar, Diponegoro, dan lain-lain yang tampil sebagai tokoh jauh sebelum
pergerakan Belanda yang dilakukannya, menunjukkan bahwa kesadaran untuk
mengubah keadaan menuju yang lebih baik, bagi kehidupan masa depan
bangsanya telah ada sejak akhir abad ke 19. 21
Demikian juga nama-nama seperti, Haji Agus Salim, HOS
Cokroaminoto, Tan Malaka, Sutan Syahrir, Soekarno dan lain-lainnya adalah
sederatan nama yang pernah hadir dan mengisi sejarah bangsa Indonesia di awal
abad ke 20, yang dikenal sebagai awal dari periode pergerakan nasional.
Tokoh-tokoh tersebut sekaligus sebagai generasi yang menjadi cikal bakal adanya
berbagai corak ideologi yang mewarnai sejarah perjuangan bangsa Indonesia22.
Adanya berbagai corak ideologi tersebut, sangat berkaitan dengan latar
belakang pengalaman, pendidikan serta pribadi tokoh yang melahirkan gagasan
tersebut. Demikian juga erat hubungannya dengan kondisi sosial, budaya, politik
dan agama. Di samping itu juga pengaruh bangsanya dewasa ini. beberapa faktor
yang ada tersebut, menimbulkan kesadaran terhadap keadaan yang sebenarnya,
yang sedang dialaminya sendiri serta bangsanya. Sehingga lahirlah
gagasan-gagasan baru sebagai produk