• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Latar Belakang Masalah

Pembangunan ekonomi selalu menjadi sasaran utama dalam sistem pemerintahan setiap negara. Pembangunan ekonomi diartikan sebagai proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara dan pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu negara. Untuk mencapai pembangunan ekonomi nasional, diperlukan upaya sebagai pemberdayaan segala potensi dan sumber daya yang terdapat disetiap regional suatu negara dengan tetap menjalin hubungan dengan pemerintah pusat dan sektor swasta. Oleh karena itu, pembangunan sebaiknya difokuskan di setiap daerah sehingga pelaksanaan pembangunan tersebut diserahkan pada masing-masing daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri (Nurmayasari, 2010).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dilaksanakan untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya (kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintahan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah) di mana hubungan tersebut meliputi wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan Sumber Daya Alam, dan sumber daya lainnya agar terjadi

kemandirian disetiap daerah yang dapat mengurangi beban pada pemerintahan pusat. Undang-Undang tersebut juga memberikan penegasan bahwa setiap daerah memiliki kewenangan untuk menentukan alokasi sumber daya yang akan dibelanjakan dengan menganut asas kepatutan, kebutuhan, dan kemampuan terhadap daerahnya. Pelaksanaan kebijakan pemerintah di Indonesia tentang otonomi daerah dimulai secara efektif pada tanggal 1 Januari 2001 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi berdasarkan Undang Nomor 32 Tahun 2004, kemudian diperbarui menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Melalui kebijakan pemerintahan tentang otonomi daerah, maka pemerintahan derah diberikan wewenang untuk mengelola keuangan yang lebih luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada tiap daerahnya sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah masing-masing. Dana Perimbangan terdiri atas Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Alokasi Umum (DAU). Menurut Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK, 2006) secara umum Dana Alokasi Khusus (DAK) digolongkan ke dalam bentuk conditional grants atau biasa disebut dengan transfer bersyarat, sedangkan Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Umum (DAU) digolongkan ke dalam bentuk unconditional grants atau biasa disebut dengan transfer tak bersyarat.

Transfer tanpa syarat (unconditional grant) ditujukan untuk menjamin adanya pemerataan dalam kemampuan fiskal antardaerah, sehingga setiap daerah dapat melaksanakan urusan rumah tangganya sendiri pada tingkat yang layak. Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi ketimpangan fiskal yang bersifat horisontal (horizontal equalization). Ciri utama dari transfer ini adalah daerah memiliki keleluasaan (diskresi) penuh dalam memanfaatkan dana transfer ini sesuai dengan pertimbangan-pertimbangannya sendiri atau sesuai dengan aturan apa yang menjadi prioritas daerahnya (Iskandar, 2012)

Transfer atau yang disebut juga dengan grants dari pemerintahan pusat merupakan sumber dana utama pemerintahan daerah untuk membiayai operasi utamanya sehari-hari, yang oleh pemerintahan daerah dilaporkan dan diperhitungan sebagai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Adanya transfer merupakan konsekuensi dari tidak meratanya keuangan dan ekonomi daerah dalam memenuhi kebutuhan belanja derahnya agar terciptanya stabilitas terhadap aktivitas perekonomian di daerah (Iskandar, 2012). Anggaran pemerintah daerah merupakan cerminan dari kekuatan perekonomian yang tidak luput dari pengawasan masyarakatnya ataupun publik (Huddleston, 2005).

Semakin besar transfer pemerintahan menunjukkan bahwa adanya ketergantungan pemerintah daerah yang lebih tinggi dalam memenuhi belanja daerahnya sendiri, dan semakin kecil transfer pemerintahan menunjukkan bahwa adanya ketergantungan pemerintah daerah akan lebih kecil dalam memenuhi belanja daerahnya pula (Kang dan Setiawan, 2012)

Jumlah dana perimbangan ditetapkan setiap tahunnya dalam APBN. Didalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman yang bersumber dari pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan masyarakat. Peraturan perundang-undangan yang secara lengkap mengatur mengenai dana perimbangan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005.

Selain dana perimbangan, pemerintahan daerah mempunyai sumber pendanaan sendiri berupa Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut PAD. PAD adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sumber utamanya adalah pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. PAD ini bertujuan untuk memberikan keleluasaan bagi daerah untuk menggali pendanaan seperti belanja daerah, serta dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi. Desentralisasi sendiri mempunyai tujuan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat, pengembangan kehidupan berdemokrasi, keadilan, pemerataan, dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.

Didalam pelaksanaannya, salah satu fenomena yang paling mencolok dari otonomi daerah di Indonesia adalah ketergantungan pemerintah daerah yang tinggi terhadap pemerintah pusat pada aspek keuangan. Alokasi transfer (grants) pada Dana Alokasi Umum (DAU) yang diberikan pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah kurang memperhatikan kemampuan daerah dalam mengoptimalkan sumber-sumber pendanaannya. Akibatnya, pemerintah daerah akan selalu menuntut transfer yang besar dari pemerintah pusat, bukannya memaksimalkan kapasitas fiskal daerah (potensi fiskal) untuk memenuhi kebutuhan daerahnya. Ketergantungan ini akan menimbulkan rendahnya peran daerah itu sendiri dalam mendanai belanja daerah serta semakin dominannya peran transfer/grants dari pusat, yaitu Dana Alokasi Umum. Fenomena tersebut di dalam banyak literatur disebut sebagai Flypaper Effect (Tampubolon, 2011).

Setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Salah satunya adalah provinsi Sumatera Utara yang merupakan provinsi ke-enam berpenduduk terbanyak di Indonesia dengan memiliki 33 kabupaten/kota, yang terdiri dari 8 kota yaitu Medan, Pematang Siantar, Binjai, Tebing Tinggi, Sibolga, Padang Sidempuan, Gunung Sitoli, dan Tanjung Balai, serta 25 kabupaten yaitu Karo, Deli Serdang, Humbang Hasundutan, Samosir, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Tapanuli Selatan, Labuhan Batu, Labuhan Batu Utara, Labuhan Batu Selatan, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, Simalungun, Langkat, Serdang Bedagai, Dairi, Asahan, Batubara, Tapanuli Tengah, Mandailing Natal, Pakpak Bharat, Nias, Nias Barat, Nias Utara, dan Nias Selatan.

Provinsi Sumatera Utara memiliki keunikan tersendiri dalam kerangka perekonomian nasional. Provinsi ini adalah daerah agraris yang menjadi pusat pengembangan perkebunan dan hortikultura di satu sisi, sekaligus merupakan salah satu pusat perkembangan industri dan pintu gerbang pariwisata di Indonesia di sisi lain. Ini terjadi karena potensi Sumber Daya Alam dan karakteristik

ekosistem yang memang sangat kondusif bagi pembangunan ekonomi daerah dan nasional. Disamping itu, Sumatera Utara juga memiliki potensi di berbagai sektor. Pada sektor pertanian yang sebagian besar produksinya sayur-mayur dan jeruk telah dipasarkan ke provinsi lain bahkan ke luar negeri. Sehingga sektor ini menjadi salah satu prioritas pembangunan daerah. Bukan hanya itu, tanaman padi, palawija, hortikultura, sayur-sayuran, jagung, kedelai, singkong dan umbi-umbian juga terus dikembangkan. Di sektor perkebunan juga mengalami peningkatan. Komoditas unggulan sektor perkebunan antara lain karet, sawit , kelapa, kopi, dan kakao. Hal ini terbukti dengan terus bertambahnya areal perkebunan baik milik perkebunan rakyat, swasta asing, maupun nasional perkebunan negara. Sumatera Utara juga memiliki kekayaan tambang. Survey 2006 mencatat bahwa terdapat 27 jenis barang tambang nonlogam (golongan C), 15 jenis barang tambang logam, dan enam jenis minyak gas (migas), dan energi. Barang tambang nonlogam antara lain batu gamping, dolomite, pasir kuarsa, belerang, kaolin, diatomea, dan bentonit. Sedangkan barang tambang logam mencakup emas, perak, tembaga, dan timah hitam. Sementara potensi migas dan energi antara lain minyak bumi, gas alam, dan panas bumi.

Berbagai kondisi tersebut merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan daerah untuk mendanai Belanja Daerah. Dengan pengelolaan yang baik atas potensi keuangan daerah tersebut, seharusnya Sumatera Utara dapat menjadi daerah yang mandiri tanpa perlu meminta dana dari pusat dalam jumlah besar untuk membiayai Belanja Daerahnya sendiri. Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti apakah terjadi flypaper effect pada Pemerintah

Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara dengan melihat seberapa besar pengaruh Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil terhadap Belanja Daerah. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merasa tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul : “Flypaper effect pada Unconditional grant

dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah (studi kasus pada pemerintahan kabupaten/kota di Sumatera Utara)”.

Dokumen terkait