• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah

Pendidikan Islam sebagaimana diketahui adalah pendidikan yang dalam pelaksanaannya berdasar pada ajaran Islam. Karena ajaran Islam berdasar al-Quran, al-Sunnah, pendapat ulama serta warisan sejarah, maka pendidikan Islam pun berdasarkan pada al-Quran, al-Sunnah, pendapat ulama serta warisan sejarah tersebut1

Dalam masyarakat yang dinamis, pendidikan memegang peranan yang menentukan terhadap eksistensi dan perkembangan masyarakatnya, hal ini karena pendidikan merupakan proses melestarikan, mengalihkan, serta mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspek dan jenisnya kepada generasi penerus.

Dimikian pula dengan pendidikan Islam. Keberadaannya merupakan salah satu bentuk dari manifestasi cita-cita hidup Islam yang bisa melestarikan, mengalihkan, menanamkan (internalisasi), dan mentransformasi nilai-nilai Islam kepada generasi penerusnya sehingga nilai-nilai kultural-religius yang dicita-citakan dapat tetap berfungsi dan berkembang dalam masyarakat dari waktu-ke waktu.2

1Abuddin Nata, Pendidikan dalam Pespektif al-Quran, (Jakarta: UIN Jakarta Press, cet 1, 2005) h. 15.

2 H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, cet 3, 2008), h. 8.

Pendidikan Islam sebagai disiplin ilmu merupakan konsepsi pendidikan yang mengandung berbagai teori yang dikembangkaan dari hipotesis-hipotesis atau wawasan yang bersumber dari kitab suci al-Quran atau hadis, baik dilihat dari segi sistem, proses dan produk yang diharapkan maupun dari segi tugas pokoknya untuk membudayakan manusia agar bahagia dan sejahtera.3

Athiyah al-Abrasyi memberikan defenisi Pendidikan Islam adalah usaha sadar untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan anak dengan segala potensi yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya agar mampu mengemban amanah dan tanggung jawab sebagai khalifah Allah di bumi.4

Fadhil berpendapat, sebagaimana dikutip oleh Arifin, Pendidikan Agama Islam adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang lebih baik dan mengangkat derajat kemanusiaannya, sesuai dengan dasar kemampuan (fitrah) dan kemampuan ajaran dari luar.5

Selanjutnya, pendidikan dari sudut pandang kultural manusia, merupakan suatu alat pembudayaan (enkulturasi) masyarakat manusia itu sendiri. Dalam hal itu, proses pembudayaan sangat bergantung pada pemegang alat tersebut, yaitu para pendidik. Para pendidik memegang posisi kunci dalam menentukan keberhasilan proses belajar sehingga mereka dituntut persyaratan tertentu, baik toritis maupun praktis, dalam pelaksanaan tugasnya.6

Pendidikin Islam yang bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam harus bisa menanamkan atau membentuk sikap hidup yang dijiwai oleh nilai-nilai Islam, juga mengembangkan kemampuan berilmu pengetahuan sejalan dengan nilai-nilai Islam yang melandasi, merupakan sebuah proses secara pedagogis mampu

3 H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam,……... h. 4.

4 Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, (PT Gemawindu Pancaperkasa, 2000) cet 1 h 2.

5H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, ……h. 17.

mengembangkan hidup anak ke arah kedewasaan atau kematangan yang menguntungkan dirinya. Oleh karena itu usaha tersebut tidak boleh dilakukan secara coba-coba (trial and error) atau atas dasar keinginan dan kemauan pendidik tanpa dilandasi dengan teori-teori kependidikan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam konteks itu, proses belajar mengajar dapat diartikan bukan hanya mentransformasikan ilmu pengetahuan, wawasan, pengalaman, dan keterampilan kepada peserta didik, melainkan juga menggali, mengarahkan, dan membina seluruh potensi yang ada dalam diri peserta didik, sesuai dengan tujuan yang direncanakan.

Proses belajar mengajar tersebut harus berjalan dengan baik dan efektif. Yaitu, proses belajar mengajar yang menyenangkan, menggembirakan, penuh motivasi, tidak membosankan, serta menciptakan kesan yang baik pada diri peserta didik. Untuk mewujudkan keadaan yang demikian, maka proses belajar mengajar harus disertai dengan memelihara motivasi, kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan, tujuan-tujuan, dan perbedaan-perbedaan perseorangan di antara peserta didik, menjadi tauladan bagi mereka dalam segala hal yang disampaikan.7

Namun demikian, dalam realitas, paradigma pembelajaran tradisional pada umumnya masih terkesan mengenyampingkan peran pengembangan potensi kemampuan nalar dan berkreasi. Hal ini dapat dilihat dari fenomena begitu banyaknya orang yang menimba ilmu pengetahuan, namun mereka ibarat alat perekam bagi ilmu-ilmu yang mereka pelajari, tidak lebih kurang. Kadang kala mereka mempelajari sebuah kitab dari guru mereka dengan tekun dan konsentrasi, mereka berusaha memahami bacaan bahkan menghafalnya dan mencatatnya. Pada masa yang akan datang mereka menjadi para guru. Lalu mereka ajarkan dengan menerapkan metode pengajaran persis apa yang mereka dahulu dapatkan.8

7 Abuddin Nata, Pendidikan dalam Pespektif al-Quran, h. 225.

8 Murtadha Muthahhari, Konsep Pendidikan Islam, (Depok: Iqra Kurnia Gemilang, cet 1 2005), h 20-21.

Keberhasilan pembelajaran dalam arti tercapainya standar kompetensi sangat tergantung pada kemampuan guru mengolah pembelajaran yang dapat menciptakan situasi yang memungkinkan siswa belajar sehingga merupakan titik awal berhasilnya pembelajaran. Rendahnya mutu pendidikan pembelajaran dapat diartikan kurang efektifnya proses pembelajaran. Penyebabnya dapat berasal dari siswa, guru maupun sarana dan prasarana yang kurang memadai, minat dan motivasi yang rendah, kinerja guru yang rendah akan menyebabkan pembelajaran kurang efektif.

Selain itu, terjadinya ketimpangan di sekolah-sekolah salah satunya dapat dilihat dari aspek peserta didik, bagi seorang guru, peserta didik di sebagian besar sekolah dianggap sebagai seseorang yang masih kosong dan siap untuk dijadikan sesuai kebutuhan pasar. Peserta didik yang dianggap demikian, berdampak pada proses pendidikan di berbagai sekolah. 9

Sekolah tugasnya adalah menyiapkan peserta didik untuk mencapai nilai terbaik dalam bidang tertentu untuk dijadikan sebagai manusia yang ahli sesuai dengan jurusannya. Sementara latar belakang perilaku, akhlak, sikapnya terhadap siswa.10

Akibatnya, kritik atau keluhan yang sering dilontarkan masyarakat dan pihak orang tua murid selama ini, pendidikan agama di sekolah dan perguruan tinggi, belum mampu mengantar peserta didik untuk dapat memahami dan mengamalkan ajaran agamanya dengan baik dan benar.

Demikian pula kemampuan dalam praktek ibadah tidak seperti yang diharapkan. Selain kelemahan dalam peguasaan materi (aspek kognitif ) juga dalam hal pembentukan prilaku (aspek afektif) dampak nilai-nilai luhur agama dari proses pendidikan agama di sekolah-sekolah oleh sebagian masyarakat dinilai kurang nampak dalam pribadi anak dalam kehidupan sehari-hari.11

9Dawam Ainurrofiq, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta, Penerbit INSPEAL, 2006), h.1.

10Dawam Ainurrofiq, Pendidikan Multikultural,... h.1. 11Dawam Ainurrofiq, Pendidikan Multikultural,... h. 2

Tingginya frekuensi perkelahian sesama pelajar di kota-kota besar, kurangnya rasa hormat sang anak atau murid kepada guru, bahkan ada yang memukul guru kalau ia tidak naik kelas, akrabnya sebagian anak muda dengan obat-obat terlarang seperti narkotika, adanya pergaulan bebas, sering diangkat oleh sebagian anggota masyarakat dan orang tua sebagai indikasi ketidakberhasilan pendidikan agama di sekolah dan perguruan tinggi.

Setiap terjadi dekadensi (kerusakan) moral masyarakat, maka semua pihak akan menoleh kepada lembaga pendidikan dan seakan menuduhnya tidak becus mendidik anak bangsa. Tuduhan berikutnya terfokus pada pendidik yang dianggap alpa dan tidak profesional dalam menjaga gawang moralitas anak bangsa. Para pendidik tiba-tiba menjadi perhatian saat musibah kebobrokan moral, ketertinggalan ilmu pengetahuan dan peradaban terjadi.12

Sekolah khususnya guru hanya bertugas menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan kognitif intelektual belaka, sama sekali terlepas dari kemampuan afeksi sosial, afeksi kelembutan, afeksi menghargai orang lain, afeksi menjunjung harkat dan martabat semua manusia13 Sekolah hanya bertugas untuk mempersiapkan peserta didik untuk mencapai nilai baik dalam bidang tertentu untuk dijadikan sebagai manusia yang ahli sesuaidengan jurusannya. Sementara latar belakang perilaku, akhlak, sikapnya terhadap sesama manusia bukan menjadi pertimbangan utama dalam perekrutan peserta didik.14

Belum lagi keadaan guru di Indonesia yang memprihatinkan. Fakta menyebutkan bahwa, kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.

12Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integratif, di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta:LKIS, cet I, 2009), h. 35.

13Ainurrofiq Dawam, Pendidikan Multikultural,….h. 29-30

Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).15

Dalam pada itu, tidak sedikit masalah-masalah dalam kelas muncul. Mulai dari pembelajaran yang membosankan, pembelajaran yang hanya berkisar pada ceramah dimana guru belum mampu berdialog dengan baik kepada peserta didik, hingga guru yang keluar ruangan sebelum waktunya karena kehabisan materi dalam mengajar.

Metode pembelajaran yang kurang efektif dan efisien, menyebabkan tidak seimbangnya kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik, misalnya pembelajaran yang monoton dari waktu kewaktu, guru yang bersifat otoriter dan kurang bersahabat dengan siswa sehingga siswa merasa bosan dan kurang minat belajar.16

Di mana letak kesalahannya? Pada isi kurikulum yang kurang tepat, sistem atau metodologi, alokasi waktu atau ketidakmampuan pihak guru agama untuk menjawab hhal seperti itu. Dalam hal ini, penulis ingin melihat bagaimana al-Quran menjelaskan tentang proses pembeajaran.

Sebagaimana mafhum al-Quran adalah kalamullah (firman Allah) yang mutlak benar, berlaku sepanjang zaman dan mengandung ajaran dan petunjuk tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia di dunia dan di akhirat nanti17

15http://zaifbio.wordpress.com/2010/01/14/ciri-ciri-dan-masalah-pendidikan-di-indonesia. 1/11/10

16Risjayanti, Peningkatan Motivasi dan Minat Belajar Siswa, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta), h. 3.

17 Abudin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarata: PT Raja Grafindo Persada, 2002) h. 1.

Al-Qur'an merupakan firman Allah yang selanjutnya dijadikan pedoman hidup (way of life) kaum muslim yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya. Di dalamnya terkandung ajaran-ajaran pokok (prisip dasar) menyangkut segala aspek kehidupan manusia yang selanjutnya dapat dikembangkan sesuai dengan nalar masing-masing bangsa dan kapanpun masanya dan hadir secara fungsional memecahkan problem kemanusiaan. Salah satu permasalah yang tidak sepi dari perbincangan umat adalah masalah pendidikan.18

Al-Quran memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah, syariah, dan akhlak, dengan jalan meletakkan dasar-dasar prinsip mengenai persoalan-persoalan tersebut; dan Allah SWT menugaskan Rasul Saw untuk memberikan keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar itu, “Kami telah turunkan kepadamu Al-Dzikr (Al-Quran) untuk kamu terangkan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir.” (QS an-Nahl [16]; 44).

Sebagai referensi utama umat Islam, al-Quran telah hadir untuk menjawab berbagai persoalan manusia. Meski terbatas pada 114 surat dan 6666 ayat, namun manusia kerap kali menemukan penemuan-penemuan baru. Dalam konteks keilmuan, al-Quran telah melahirkan berbagai macam ilmu. Mulai dari fisika, biologi, astronomi, kimia, geologi, psikologi dan seterusnya hingga ilmu pendidikan.19

Kehadiran al-Quran senantiasa eksis untuk setiap zaman dan kondisi. Ia hadir untuk menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia. Hal ini tersurat jelas dalam firman-Nya, “Kitab suci diturunkan untuk memberi putusan (jalan keluar) terbaik bagi problem-problem kehidupan manusia” (QS al-Baqarah [2]; 213).

Terkait dengan pendidikan, al-Quran sejak dari awal mula diturunkan telah memberikan sinyalmen yang begitu terasa. Ditemukan langsung ayat pertama yang diturunkan;

18 Abudin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, ...h. 1. 19Abudin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, ...h. 2













Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,” (QS al-‘Alaq [96]; 1)

Ayat-ayat ini dan yang semacamnya memberikan ruh progresivitas kepada manusia untuk senantiasa mengembangkan wawasannya. Dalam hal ini, manusia dituntut untuk mengembangkan ayat-ayat Allah, baik yang bersifat tanziliyah maupun yang bersifat kauniyah.

Berdasarkan wacana di atas, penulis berkesimpulan bahwa wawasan tentang pendidikan, khususnya pengajaran benar-benar perlu diangkat dan dipaparkan kembali. Semua itu, lantaran al-Quran dan Ilmu pengetahuan termasuk pendidikan merupakan satu kesatuan yang begitu erat. Dimana al-Quran mencakup pelbagai macam masalah terkait pendidikan. Bahkan, al-Quran sendiri hadir ke tengah-tengah manusia sebagai kitab yang mendidik, membimbing, dan mengajarkan.

Sementara itu, penulis sendiri memiliki beberapa asumsi sendiri yang menjadi beberapa pertimbangan dalam penulisan skripsi ini, di antaranya:

Pertama, al-Quran adalah kitab suci umat Islam yang berwawasan global bersifat universal. Sebagaimana maklum bahwa Islam adalah agama universal, agama yang membawa misi rahmatan lil alamin.20

Kedua, penulis menginginkan pandangan yang utuh yang diberikan oleh al-Quran. Tujuannya, agar pandangan ini dapat menjadi pijakan yang otentik terkait pembelajaran berdasakan prinsip-prinsip Islam oleh para guru, khususnya guru-guru yang beragama Islam.

Ketiga, membangkitkan semangat cinta Islam. Karena tidak sedikit, kaum terpelajar muslim lebih bangga manakala merujuk pada referensi tokoh-tokoh barat. Alih-alih merujuk kepada tokoh-tokoh muslim dianggap ortodok, rigid, dan tidak keren.

Pada dasarnya, al-Qur'an sendiri telah memberi isyarat bahwa

permasalahan pendidikan sangat penting, jika al-Qur'an dikaji lebih mendalam maka kita akan menemukan beberapa prinsip dasar pengajaran, dan nilai-nilai pengajaran yang lebih manusiawi, yang selanjutnya bisa dijadikan inspirasi untuk dikembangkan dalam rangka membangun pendidikan yang bermutu.

Bersandar pada beberapa pernyataan di atas, penulis dengan ini memberi judul untuk karya tulis ini dengan, Proses Pembelajaran dalam al-Quran (Telaah Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam QS al-Kahfi [18]; 60-82). Semoga karya ini dapat menjadi acuan sebagai model pembelajaran yang benar-benar memiliki ruh.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Tentu pembahasan terkait pengajaran dalam al-Quran tidaklah sedikit. Maka itu, penulis membatasi pembahasan hanya pada upaya menemukan Proses Pembelajaran dalam al-Quran melalui pendekatan Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam QS al-Kahfi [18]; 60-82 pada upaya meningkatkan kinerja dan semangat guru dalam mengajar.

Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, perumusan masalahnya adalah bagaimana proses pembelajaran Musa dan Khidir dalam al-Quran?

C. Tujuan Penelitian

Sementara itu, yang menjadi tujuan peneliti pada wacana Proses Pembelajran dalam al-Quran adalah memberikan sebuah ide dan gagasan guna mewujudkan pengajaran yang berkulitas dan bertanggung jawab. Hal ini dikarenakan banyak guru yang mengajar tapi minim dalam hal teori meskipun tidak memungkiri bahwa teori tidak selalu dapat menjawab praktik yang terjadi di lapangan. Selanjutnya, diharapkan para guru tidak hanya asal berani mengajar, melainkan pula memiliki bekal dan landasan yang kuat. Begitu hanya dengan siswa agar mengerti dan memahami arti pembeajaran yang sebenarnya. Adapun yang lebih ditekankan adalah penulis berusaha dengan sebijak mungkin untuk memunculkan sebuah contoh proses pembeajaran dalam al-Quran sekaligus menjadi respon atas banyaknya wacana seputar proses beajar-mengajar.

Dari hasil penelitian diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis kepada berbagai pihak.

1. Bagi penulis, untuk menambah wawasan serta pengalaman penulis mengenai penelitian ini, baik dalam merencanakan ataupun melaksanakan penelitian.

2. Bagi universitas, menambah khazanah ilmiah di kalangan akademis khususnya mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan diharapkan menjadi sumbangsih gagasan dan sebuah tawaran solusi terhadap tantangan globalisasi serta dapat dipraktikkan dalam membangun guru-guru yang berkualitas, penuh integritas, dan memiliki semangat pengabdian.

3. Bagi guru, untuk mengetahui bagaimana penerepan proses pembelajaran yang lebih baik berdasarkan al-Qur’an.

D. Metodologi Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian ini, jenis penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Libarary Research), yaitu berusaha mengungkap dan menemukan secara sistematis berbagai data mengenai proses pembelajaran dengan merujuk kepada QS. Al-Kahfi {18}, 60-82. Secara rinci penelitian ini berusaha menemukan jawaban. “Bagaimanakah nilai-nilai pengajaran yang terdapat dalam ayat tersebut? Dilihat dari objek penelitian ini, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan tafsir kependidikan (tafsir tarbawy)

Penelitian ini bersifat kepustakaan karena sumber datanya adalah terdiri dari buku-buku yang ada hubungannya dengan pokok pembahasan. Dimana sumber pokoknya (primer) adalah:

1. Al-Qur'an dan terjemahannya.

2. Tiga buku tafsir al-Qur'an: Pertama, Tafsir al-Maragi, karya Ahmad Mustafa al-Maraghi. Kedua, Tafsir fi Zilalil Quran karya Sayyid Qutb. Ketiga, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran karya M Quraish Shihab.

4. Dan buku-buku pendukung (sekunder) baik yang ada hubungan langsung maupun tidak langsung.

Sumber-sumber pendukung ini antara lain adalah:

1. Buku-buku Tafsir yang dianggap memadai dan mewakili,

2. Buku-buku yang berisikan pengetahuan tentang al-Qur’an, atau yang dikenal dengan ‘Ulum al-Qur’an

3. Kamus-kamus yang memuat daftar kata-kata al-Qur’an, yang mana isinya merupakan petunjuk praktis untuk menemukan ayat-ayat. Dan dipakai pula kamus-kamus lain yang relevan dengan pembahasan,

4. Buku-buku tentang pendidikan, dikhususkan tentang nilai-nilai pengajaran yang akan dibatasi pada buku-buku yang dianggap memadai,

5. Sumber-sumber lain yang relevan dengan pembahasan.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I : Merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Pandangan Umum Tentang Pembeajaran, di dalam bab ini akan dibahas mengenai konsep pembelajaran, pengertian pembelajaran, tujuan pembelajaran, metode dan teknik pembelajaran, kedudukan guru dalam pengajaran, teori-teori pengajaran dengan menggunakan referensi psikolog Barat, terakhir mengenai anak didik dalam pandangan Islam.

BAB III : Seputar Penafsiran QS al-Kahfi [18]; 60-82, dengan merujuk kepada penafsiran ahi tafsir dalam ayat ini.

BAB IV : Proses Pembelajaran Musa dan Khidir dalam QS al-Kahfi [18]; 60-82

BAB II

KONSEP PEMBELAJARAN IDEAL

A. Definisi Pembelajaran 1. Mengajar

Di dalam dunia pendidikan, pihak-pihak yang melakukan kegiatan mendidik dikenal dengan dua predikat yaitu: pendidik dan guru. Pendidik (murabby) adalah orang yang berperan mendidik subjek didik atau melakukan tugas pendidikan (tarbiyah). Sedangkan guru adalah orang yang melaksanakan tugas mengajar (ta’lim).1 Meski demikian term guru juga dimaknai dengan pendidik.

Dalam bahasa Indonesia guru adalah orang yang digugu (diindahkan) oleh peserta didik serta ditiru dalam arti perilaku guru akan selalu diikuti oleh peserta didiknya, karena guru sebagaimana ulama adalah pewaris para nabi, yaitu sebagai uswah hasanah (contoh teladan yang baik).2

Pendidik mengandung makna pembinaan kepribadian, memimpin dan memelihara sedangkan pengajaran bermakna sekedar memberi informasi kepada peserta didik yang dalam prosesnya dilakukan oleh pendidik atau guru.3

1Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integratif, di Sekolah,

Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta:LKIS, cet I, 2009), h. 36.

2Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan ………h. 35.

Meskipun istilah mendidik dan mengajar dapat dibedakan, pada hakikatnya kedua istilah tersebut tidak dapat dipisahkan secara dikotomis. Sebab pada kenyatannya antara pendidikan dan pengajaran adala suatu proses yang tidak dapat dipisahkan. Seorang pendidik dalam proses belajar mengajar selalu terlibat dalam kegiatan pengajaran (mengajar), demikian juga pengajar pada saat melakukan kegiatan mengajar ia juga harus menjaga moral dan keteladan terhadap anak didiknya.4

Ada beberapa pengertian yang digunakan untuk mendefinisikan kegiatan mengajar antara lain:

Definisi klasik menyatakan bahwa mengajar diartikan sebagai penyampaian sejumlah pengetahuan karena pandangan yang seperti ini, maka guru dipandang sebagai sumber pengetahuan dan siswa dianggap tidak mengerti apa-apa. Pengertian ini sejalan dengan pandangan Jerome S. Brunner yang berpendapat bahwa mengajar adalah menyajikan ide, problem atau pengetahuan dalam bentuk yang sederhana sehingga dapat dipahami oleh siswa. 5

Sebagian para ahli mengatakan bahwa mengajar adalah menanamkan pengetahuan sebanyak-banyaknya dalam diri anak didik. Dalam hal ini guru memegang peranan utama, sedangkan siswa tinggal menerima, bersifat pasif. Pengajaran yang berpusat kepada guru bersifat teacher centered. Ilmu pengetahuan yang diberikan kepada siswa kebanyakan hanya diambil dari buku-buku pelajaran, tanpa dikaitkan dengan realitas kehidupan sehari-hari siswa. Pelajaran serupa ini disebut intelektualistis.6

Mengajar pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk menciptakan kondisi atau sistem lingkungan yang mendukung dan memungkinkan untuk 4Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integratif, di Sekolah,

Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta:LKIS, cet I, 2009), h. 37.

5Dawna Markova, The Smart Parenting Revolution, Psikologi Pendidikan

6 http://raflengerungan.wordpress.com/korupsi-dan-pendidikan/pengertian-mengajar-didaktik. diakses tanggal 20 November 2010.

berlangsungnya proses belajar mengajar.7

Mengajar adalah menyampaikan pengetahuan kepada siswa didik atau murid di sekolah. Implikasi dari pengertian ini adalah:

b. Pengajaran dipandang sebagai persiapan hidup, c. Pengajaran adalah suatu proses penyampaian, d. Penguasaan Pengetahuan adalah tujuan utama, e. Guru dianggap yang paling berkuasa,

f. Murid selalu bertindak sebagai penerima.

Mengajar adalah mewariskan kebudayaan pada generasi muda melalui lembaga pendidikan di sekolah. Perumusan ini bersifat lebih umum dan berimplikasi sebagai berikut:8

a. Pendidikan bertujuan membentuk manusia berbudaya. b. Pengajaran berarti suatu proses pewarisan.

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa aktivitas yang sangat menonjol dalam pengajaran ada pada siswa. Namun, bukan berarti peran guru tersisihkan, tetapi diubah, kalau guru dianggap sebagai sumber pengetahuan, sehingga guru selalu aktif dan siswa selalu pasif dalam kegiatan belajar mengajar. Guru adalah seorang pemandu dan pendorong agar siswa belajar secara aktif dan

Dokumen terkait