• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PROSES PEMBELAJARAN MUSA DAN KHIDIR

A. Sumber Ilmu dan Motivasi Mencari Ilmu

1. Sumber Ilmu

Perjalanan Nabi Musa AS. Mencari guru sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadis tentang kisah Musa “Ibnu Abbas mendengar Ubai bin Kaab berkata bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda, Musa berdiri khutbah di hadapan Bani Israil, kemudian ia ditanya, “Siapa Manusia yang paling pintar?” Musa menjawab, “Saya”. (Atas jawaban itu) Allah SWT mencela Musa yang tidak mengembalikan ilmu kepada Allah. Kemudian Allah mewahyukan kepada Musa bahwasannya seorang hamba-Ku berada di tempat bertemunya dua laut dia lebih pintar daripadamu. Kemudian Musa bertanya, “Bagaimana aku dapat bertemu dengannya?” Allah berfirman, “Ambillah seekor ikan lalu tempatkan ia di wadah. Maka, dimana engkau kehilangan ikan itu, di sanalah dia. (HR Bukhori)1

Pada hadis di atas, terang bahwa Musa tidak mengembalikan ilmu kepada Allah, merasa diri paling pintar. Hal ini yang menjadi sebab ia diperintahkan untuk belajar kembai kepada hamba shaleh. Berdasar hal itu, seorang peserta didik harus menyadari bahwa sumber ilmu adalah Allah SWT.

Syed Naquib al-Attas menyebutkan, bahwa semua tindakan dalam Islam harus diniati dengan niat yang disadari. Ini sebagaimana hadis yang berbunyi,

1 Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhori, Jami’ Shahih al-Mukhtashor min Umuri Rasulillah wa Sunaninhi wa Ayyamih, (Beirut: Daar Ibnu Katsir, Cet 3 1987) j. 4 h. 1757. Hadis no. 4450.

“perbuatan seorang itu berdasar niatnya” “dan Allah akan memberi pahala sesuai niatnya. Di samping itu prinsip dasar perbuatan tersebut diiringi pula dengan sifat keikhasan, kejujuran, dan kesabaran.

Abu Sa’id al-Kharaz, seorang sufi kenamaaan abad 9 M, sebagaimana dinukil oleh Syed Nuquib memaparkan, bahwa salah satu prinsip etika adalah keikhlasan di samping kebenaran dan kesabaran.

Pada hal ini, menurut Syed Naquib al-Attas, peserta didik harus mengenal prinsip ini sejak dini dan harus mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga kualitas keimanannya akan menjadi lebih kuat dan lebih kukuh, di samping amal perbuatannya yang lurus dan ikhlas.2

Senada dengan itu, Nashir Al-Din Al-Thusi dalam tesisnya mengenai adab peserta didik, sebagaimana dinukil pula oleh Syed Nuquib, bahwa penting bagi peserta didik untuk mencari ridha Allah SWT.3

2. Motivasi Mencari Ilmu

Perintah menuntut ilmu dalam Islam diwajibkan. Perintah ini sebagaimana termaktub dalam al-Quran dan hadis. Dalam al-Quran seperti ayat yang berbunyi, “qul hal yastawilladzina ya’amuuna walladzina laa ya’lamuun” (katakanlah: tidaklah sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui).4

Dalam hadis disebutkan, “thalabul ‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin” (menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimat). Bahkan dalam syiir yang populer “Uthubul ilma minal mahdi ila lahdi” (tuntutlah ilmu sejak buaian hingga liang lahad). Atau “Uthlubul ilma wa lau bishshin” (tuntutah ilmu sampai negeri Cina”. ‘

Spirit menuntut ilmu inilah yang juga diperlihatkan dalam proses pembelajaran Musa dan Khidir. Dalam hal ini Musa setelah mendapat wahyu untuk menemui hamba shaleh. Ia bertekad untuk menimba ilmu darinya. Quraish

2

M. Nuquib al-Attas, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Nuquib Al-Attas, (Bandung: Mizan, cet I 2003) h. 256.

3 M. Nuquib al-Attas, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Nuquib Al-Attas,...h. 258.

4

Shihab menyebutkan, kata huquban (ﺄﺒﻘﺣ) yang menunjukkan waktu yang lama ada yang berpendapat setahun, tujuh puluh tahun, atau delapan puluh tahun, bahkan sepanjang masa.

Motivasi Musa begitu jelas, menurut al-Maraghi, Musa tertantang untuk menemui hamba shalih itu, meski menguras tenaga, bersusah payah dan menempuh perjalanan yang panjang.5 Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, ”Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun." (QS al-Kahfi [18]; 60).

Pada usaha mencari sumber pembelajaran dan guru yang profesional, seorang siswa dituntut untuk memiliki semangat dan motivasi yang kuat untuk menuntut ilmu, karena motivasi berperan sebagai daya gerak seseorang untuk melakukan kegiatan pembelajaran.

Dalam kegiatan pembelajaran maka motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan yang memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki subjek belajar dapat tercapai.6

Namun pada intinya bahwa motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan dapat tercapai. Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar.7

Dengan motivasi yang kuat dalam diri Nabi Musa AS, untuk mencari guru

5

Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Maktabah Mustafa Babi al-Halabi wa Awladih, 1946) J. 15 h. 175.

6 Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo, cet-IX, 2001), h. 73.

7

yang lebih ahli mendorongnya untuk melakukan perjalanan dalam mencari ilmu dari sumbernya langsung. Yang dalam dunia pendidikan hal ini dikenal dengan rihlah ilmiah, perjalanan intelektual. Imam Syafi’i menyebutkan dalam kitab Diwan Imam Syafi’i, dalam bab qafiyah nuun (syi’ir yang berakhiran huruf nun) enam syarat yang harus dipenuhi agar bisa mendapatkan ilmu, yaitu kecerdasan, semangat, sabar dan harta (dalam hal ini biaya), petunjuk (bimbingan) guru dan dalam tempo waktu yang lama.

Motivasi yang tinggi telah mendorong Imam Ibn Mandah untuk mengelilingi timur dan barat sebanyak dua kali. Beliau melakukan perjalanan menuntut ilmu dalam jangka waktu yang lama. Imam Ibn Mandah pergi menuntut ilmu ketika berumur 20 tahun dan kembali ketika berumur 65 tahun. Lama perjalanan menuntut ilmu beliau selama 45 tahun. Imam Ibn Mandah kembali ke negerinya setelah tua dan dia baru menikah ketika berumur 65 tahun. Kecintaan para ulama pada ilmu syar’I meyebabkan mereka rela untuk lelah berjalan, menahan lapar dan dahaga.8

Mempelajari perjuangan para ulama dalam menuntut ilmu akan menyalakan semangat yang padam kembali membara. Perjuangan mereka yang tak kenal lelah dan segala keterbatasan mereka baik moril maupun materil dalam menuntut ilmu telah menjadikan mereka sebagai orang-orang yang mulia dari kalangan kaum Muslimin hingga saat ini. Para ulama salaf telah memberikan contoh yang baik dan teladan yang agung tentang bagaimana bersemangat dalam menuntut ilmu, meraihnya serta merindukannya. Mereka mengembara keluar dari negerinya dengan membawa bekal seadanya dan meninggalkan kenikmatan berkumpul bersama keluarga untuk berburu ilmu pada para ulama tanpa mengenal batas dimensi ruang dan waktu.9

Selain itu, kata-kata nabi Musa As: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.” Memiliki pelajaran. Keteguhan Nabi Musa untuk menambah

8

Syaikh Muhammad Ibn Shaleh Al-Utsaimin, Panduan Lengkap menuntut ilmu (Pustaka Ibn Katsir), h.102 .

9Abul Qa’qa Muhammad bin Shalih alu Abdillah, Kiat Agar Semangat Belajar Membara (Terj), (Beirut: Daar An-Naba), 52.

ilmu demi keselamatan dunia akhirat. Oleh karena itu, beliau mencari orang yang dapat mengobati kehausannya akan ilmu. Hal ini mengajarkan kepada kita, bahwa orang yang ingin mendapatkan ilmu haruslah keluar dari tempatnya dan mencari dimana sang guru berada dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu, Nabi Musa rela melakukan perjalanan yang sangat jauh untuk menuntut ilmu dan merasakan keletihan. Beliau lebih suka meninggalkan Bani Israil agar nantinya dapat mengajar dan membimbing mereka, dan memilih berangkat mencari tambahan ilmu.10

Sampai di sini motivasi yang dimiliki Musa masing amat tinggi, hingga ia tak kenal menyerah untuk mencari sumber ilmu yang Allah wahyukan. Dalam bahasan motivasi, maka Musa telah merasuk padanya motivasi intrinsik maupun ekstrinsik. Motivasi instrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu diransang dari luar, karena dalam diri individu telah ada dorongan mencari sesuatu. Sedang motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar.11 Dan semestinya setiap siswa memiliki kedua macam motivasi ini.

B. Bertemu Guru yang Tepat

Dalam dunia pendidikan guru memiliki peranan yang sangat penting pada kegiatan pembelajaran. Guru sebagai fasilitator, koordinator, transformator, bahkan agent of change dan pengelola lalu lintas jalannya pembelajaran yang aktif, kreatif, serta produktif, merupakan faktor penting yang tidak dapat di pandang sebelah mata. Pembelajaran akan baik jika disampaikan oleh guru yang baik, guru yang memiliki standar kompetensi. Adapun sebagaimana maklum Kompetensi guru tersebut mencakup empat jenis, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian.

Pada proses pendidikan, guru tidak hanya menjalankan fungsinya sebagai pen-transfer pengetahuan (transfer of knowledge), tapi juga berfungsi untuk

10Soraya Haque, Jejak-Jejak Perjalanan Jiwa, (Bandung: Mizan Publika, 2009), h. 74 11

menanamkan nilai (value), serta berfungsi untuk menanamkan karakter (character building) secara berkelanjutan.

Dalam terminologi Islam, guru diistilahkan dengan murabby, satu akar dengan rabb yang berarti Tuhan. Jadi, fungsi dan peran guru dalam sistem pendidikan merupakan salah satu manifestasi dari sifat ketuhanan.12 Jika demikian, benarlah bahwa tugas guru merupakan tugas yang amat mulia, bukan hanya mulia di sisi manusia lainnya namun juga mulia di sisi Allah Swt.

Pada konteks itu, pembelajaran Musa kepada Khidir merupakan pembelajaran yang tepat. Pertama, karena Khidir adalah guru yang Allah pilih dan rekomendasikan secara langsung sebagaimana yang disebutkan pada hadis di atas. Menurut kebanyakan ulama berpendapat ia adalah seorang nabi.13 Kedua, lantaran Khidir adalah nabi yang Allah berikan padanya rahmat yang tampak pada dirinya dan ilmu yang istimewa. Yaitu ilmu yang diberikan bukan ilmu kasby, namun ia adalah anugrah khusus bagi para auliya.14

Sepadan dengan hal tersebut, peserta didik disarankan untuk tidak tergesa-gesa belajar pada sembarang guru. Sebaliknya peserta didik harus meluangkan waktu untuk mencari siapakah guru terbaik, demikian papar Syed Nuquib. Al-Gazali mengingatkan, meski demikian peserta didik untuk tidak bersikap sombong. Tetapi harus memperhatikan mereka yang mampu membantunya dalam mencapai kebijaksanaan, kesuksesan, dan kebahagiaan serta tidak hanya berdasarkan mereka yang masyhur dan terkenal.15

Prof. Dr. Imam Suprayogo, rektor UIN Malang, dalam catatannya menuliskan, tidak saja calon murid yang seharusnya dipilih, tetapi mestinya guru juga perlu diseksi. Setiap tahun, lembaga pendidikan menyeleksi para calon murid. Lembaga pendidikan memilih calon murid di antara sekian banyak yang

12

Asrarun Ni’am Shaleh, Membangun Profesionalitas Guru, (Jakarta: Elsas, 2006), hal 3. 13

Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,... J. 15 h. 172-173.

14 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 95-96.

15

M. Nuquib al-Attas, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Nuquib Al-Attas,...h. 260-261.

kemampuanannya lebih baik. Tentu hal ini dilakukan oleh lembaga pendidikan yang peminatnya berlebih. Jika peminatnya kurang, tentu seleksi yang dilakukan tidak serius, sebatas bersifat formal.

Sama dengan yang dilakukan oleh guru atau lembaga pendidikan, mestinya calon murid juga melakukan pemilihan terhadap orang yang akan dijadikan guru. Sebab kualitas guru ternyata juga bermacam-macam. Ada guru yang hebat, artinya berkualitas tinggi, tetapi ada pula guru yang kemampuannya terbatas. Calon murid mestinya juga memilih lembaga pendidikan yang memiliki tenaga guru yang hebat-hebat.16

Adapun guru yang baik menurut Al-Mawardi, sebagaimana yang dikutip Abuddin Nata, adalah guru yang tawadhu (rendah hati), menjauhi sikap ujub (besar kepala) dan memiliki rasa ikhlas. Selain itu, dalam melaksanakan tugasnya seorang guru harus dilandasi dengan kecintaan terhadap tugasnya sebagai guru, kecintaan ini akan benar-benar tumbuh dan berkembang apabila keagungan, keindahan dan kemuliaan tugas guru itu sendiri benar-benar dapat dihayati.17

Khidir sendiri telah menunjukkan sikap itu pada pengajarannya kepada Musa. Salah satu gambaran itu dapat dilihat dari tutur katanya kepada Musa.

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﻚﻧِﺇ

ﻦﹶﻟ

ﻊﻴِﻄﺘﺴﺗ

ﻲِﻌﻣ

ﺍﺮﺒﺻ

)

67

(

ﻒﻴﹶﻛﻭ

ﺮِﺒﺼﺗ

ﻰﹶﻠﻋ

ﺎﻣ

ﻢﹶﻟ

ﹾﻂِﺤﺗ

ِﻪِﺑ

ﺍﺮﺒﺧ

)

68

(

"Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku." (67)

"Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" (68).

Menurut Quraish Shihab, jawaban Nabi Khidir ini adalah jawaban yang tidak kalah halusnya dengan pertanyaan Musa. Ia tidak serta-merta menolak secara langsung permintaan Musa, melainkan memberinya jawaban dengan penilaian bahwa Musa tidak akan sabar mengikutinya sambil menyertakan alasan

16

http://rektor.uin-malang.ac.id/index.php/artikel. memilih-guru-.html diakses tanggal 30 November 2010.

17

Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 50.

yang logis dan tidak menyinggung perasaan atas ketidaksabaranya itu.18

Guru adalah orang yang mengajarkan kita dengan berbagai-bagai ilmu pengetahuan dan mendidik kita menjadi orang yang berguna pada masa akan datang. Walau bagaimana tingginya pangkat atau kedudukan seseorang itu mereka adalah bekas seorang pelajar yang tetap terhutang budi kepada gurunya yang pernah mendidiknya pada masa dahulu.19

Karena pendidik adalah orang yang telah berjasa, maka sebagai siswa, seharusnya selalu mendoakan kebaikan sang pendidik. Nabi Saw. bersabda:

”Siapa yang telah berbuat baik kepada kalian, maka balaslah kebaikannya. Apabila kalian tidak mendapatkan sesuatu untuk membalas budi kepadanya, maka doakanlah (memohon kebaikan) untuknya sehingga kalian berpendapat telah membalas budinya”20

Oleh karena itu Islam mengajar kita supaya menghormati guru dan memuliakannya sebagaimana kita memuliakan ibu bapa kita.kerana merekalah menyampaikan ilmu kepada kita untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Dalam kisah ini diterangkan kepada kita agar mempunyai adab sopan santun dan bersikap lemah lembut terhadap guru atau pendidik sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Musa. Firman Allah:

َﻋ َﻚُﻌِﺒﱠﺗَأ ْﻞَھ اًﺪْﺷُر َﺖْﻤﱢﻠُﻋ ﺎﱠﻤِﻣ ِﻦَﻤﱢﻠَﻌُﺗ ْنَأ ﻰَﻠ

Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu-ilmu yg telah diajarkan kepadamu?”

Ayat itu disebutkan cara Nabi Musa mengeluarkan tutur kata yang sangat santun dan seakan-akan sedang meminta pendapat. Seakan-akan beliau menyebutkan: “Apakah engkau bersedia memberi ijin kepada saya atau tidak?” Di

18

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 98.

19http://mgcmpi.wordpress.com/bahan-kerohanian/adab-menghormati-guru/ didownload, Jumat, 3 Desember 2010.

20HR.Ahmad 2/68,Abu Daud1672,Nasa`i 5/82,Bukhari dalam buku Al-Adab Al-Mufrad 216, Ibnu Hibban 3408, AlHakim 1/412 dan 2/13, At-Thayalisi 1895 dan selain mereka dari hadist Abdullahbin Umar bin Khattab radhiallohu `anhuma).

sini beliau tampakkan sangat butuh untuk berguru. Beliau belajar dari Khidir dan mempunyai keinginan besar untuk mendapatkan ilmu yg ada pada gurunya.

C. Strategi Pembelajaran Musa dan Khidir

Guna menciptakan pembelajaran yang efektif, maka guru hendaknya menentukan terlebih dahulu strategi pembelajaran yang akan di terapkan di lapangan. Strategi pembelajaran sendiri adalah suatu garis-garis besar halauan untuk bertindak untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Jika dihubungkan dengan belajar mengajar adalah pola-pola umum kegiatan guru anak didik dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan.21

Ada empat strategi dasar dalam belajar mengajar yang meliputi hal-hal berikut:22

1. Mengidentifikasi serta menetapkan spesifikasi perubahan tingkah laku dan kepribadian anak didik sebagaimana yang diharapkan.

2. Memilih sistem pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat.

3. Memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan tehnik belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif sehingga dapat dijadikan pegangan oleh guru dalam menunaikan kegiatan mengajarnya.

4. Menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria serta standar keberhasilan sehingga dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam melakukan evaluasi.

Di sisi yang sama, strategi pembelajaran pada Musa dan Khidir dapat dilihat pada dua sisi.

21 Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar mengajar, (Jakarta: Rieneka Cipta, Cet 3 2006. h. 5.

22

Pertama, pengajuan Musa untuk menimba ilmu kepada Khidir. Pengajuan ini merupakan bentuk etika seorang murid, yaitu sebelum belajar hendaknya meminta izin kepada sang guru terlebih dahulu.

اًﺪْﺷُر َﺖْﻤﱢﻠُﻋ ﺎﱠﻤِﻣ ِﻦَﻤﱢﻠَﻌُﺗ ْنَأ ﻰَﻠَﻋ َﻚُﻌِﺒﱠﺗَأ ْﻞَھ ﻰَﺳﻮُﻣ ُﮫَﻟ َلﺎَﻗ )

66 (

"Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" (66)

Ibnu Katsir menjelaskan, pertanyaan tersebut bukanlah pertanyaan degan nada yang mewajibkan atau memaksa. Dan, contoh inilah yang menurut Ibnu Katsir hendaknya pula diikuti oleh para pembelajar (murid) kepada pengajar (guru).23

Selain itu, Quraish Shihab menambahkan, kata attabi’uka (ﻚﻌﺒﺗأ) yang di dalamnya terdapat penambahan huruf ta menunjukkan kesungguhan. Memang demikianlah seharusnya seorang pelajar harus bertekad untuk bersungguh-sungguh mencurahkan perhatian bahkan tenaganya, terhadap apa yang akan dipelajarinya.

Kedua, Khidir memberikan syarat pembelajaran kepada Musa. Khidir sebagai guru Musa menetapkan strategi pembelajaran. Sebagai guru yang mengetahui maka terlebih dahulu memberikan penilaian kepada muridnya. Khidir pula mengetahui, bahwa Musa akan mengingkari atas apa yang dia dalihkan. Dan dikarenakan pula Musa tidak mampu menelaah hikmah dan kemaslahatan bathiniah yang Khidir dapat telaah.24

Sementara itu, pertimbangan yang dilakukan Khidir dalam memilih strategi pembelajaran untuk mencapai pembelajaran yang efektif dan efisien adalah pertimbangan yang berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai, pertimbangan yang berhubungan dengan bahan atau materi pembelajaran, dan pertimbangan dari sudut siswa.25

23 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, (Riyad: Daaru Thaibah, Cet 2 1999), j. 5 h. 181. 24

Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim,... j. 5 h. 181. 25

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Beroroentasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Prenada Media Group, Cet 6 2009). h. 130.

Guru harus menjelaskan kepada murid persyaratan atau tata-tertib sebelum memulai proses pembelajarn. Ini ditunjukan oleh ayat ke 70 . Khidir memberikan syarat kepada Musa, yaitu jangan bertanya hingga khidir sendiri yang menjelaskannya.

Dalam konteks ini, sebagaimana yang diungkapkan Quraish Shihab, bahwa ucapan hamba Allah, memberi isyarat bahwa seorang pendidik hendaknya menuntun anak didiknya dan memberitahu kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam menuntut ilmu, bahkan mengarahkannya untuk tidak mempelajari sesuatu jika sang pendidik tahu bahwa potensi anak didiknya tidak sesuai dengan bidang ilmu yang akan dipelajari.26

Dalam berinteraksi dengan sesama manusia seorang guru tidak boleh membebani mereka siswa dengan sesuatu yg mereka tidak mampu melakukanuntuk dilakukan karena akan sangat memberatkan atau bahkan menghancurkan mereka. Kalau ini terjadi tentu akan menjadi pemicu bagi mereka untuk malas belajar. Bahkan hendaknya seorang guru mempunyai sikap suka memudahkan.

D. Proses Pembelajaran Musa dan Khidir

Proses berasal dari bahasa latin, processus yang berarti berjalan ke depan. Kata ini memiliki makna konotasi urutan langkah atau kemajuan yang mengarah pada suatu sasaran atau tujuan. Dalam psikologi belajar, proses berarti cara-cara atau langkah-langkah khusus yang dengannya beberapa perubahan ditimbulkan hingga tercapainya hasil-hasil tertentu (Reber, 1988).

Dalam kisah ini diterangkan bahwa ilmu yang diajarkan kepada para hamba-Nya ada dua jenis:

Pertama, Ilmu yg diusahakan yg dapat difahami oleh seseorang dgn mempelajari dan bersungguh-sungguh mendapatkannya.

Kedua, Ilmu yg berupa ilham laduni sebagai hadiah yg dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya dengan dalil:

26

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,... v. 8 h. 99

ﺎًﻤْﻠِﻋ ﺎﱠﻧُﺪَﻟ ْﻦِﻣ ُهﺎَﻨْﻤﱠﻠَﻋَو “Dan telah Kami ajarkan kepada ilmu dari sisi Kami.”

Dijelaskan dalam kisah ini bahwa ilmu yg bermanfaat adalah ilmu yg membimbing pemilik kepada kebaikan. Demikian pula hal ilmu-ilmu yg mengandung bimbingan dan hidayah atau petunjuk menuju jalan kebaikan dan mengingatkan agar menjauhi jalan yang buruk. Boleh jadi hanya akan menimbulkan madharat atau tidak berguna sama sekali. Inilah yg diisyaratkan dalam ayat

اًﺪْﺷُر َﺖْﻤﱢﻠُﻋ ﺎﱠﻤِﻣ ِﻦَﻤﱢﻠَﻌُﺗ ْنَأ Adapun proses belajar sendiri adalah tahapan perubahan prilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik yang terjadi dalam diri siswa. Tentunya, perubahan yang terjadi adalah perubahan ke arah posistif dalam arti berorientasi ke arah yang lebih maju daripada keadaan sebelumnya.27

Menurut Jerome S. Burner, salah seorang penentang teori S-R Bond (Barlow, 1985), dalam proses pembelajaran siswa menempuh tiga episode atau fase:28

1. Fase informasi (tahap penerimaan materi) 2. Fase transformasi (tahap pengubahan materi) 3. Fase evaluasi (tahap penerimaan materi)

Peroses pembelajaran Musa dan Khidir dapat dilihat dari tiga bagian penting perbuatan-perbuatan Khidir yang aneh dipandangan manusia biasa, bahkan Musa sekalipun.

Pertama, pembelajaran khusus Musa dan Khidir—karena hanya mereka berdua yang melakukan perjalanan ilmiah itu, Menurut Quraish Shihab ini agaknya disebabkan karena maqam yakni derajat keilmuan dan ma’rifat pembantunya itu belum sampai pada tingkat yang memungkinkannya ikut dalam

27 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Edisi Revisi, cet 14 2008) h. 113.

28

pengembaraan ma’rifat itu29--merupakan perjalanan yang dengan penuh semangat.

Pembelajaran pertama Khidir adalah berbentuk demonstrasi. Metode demonstrasi sendiri adalah metode mengajar dengan cara memperagakan barang, kejadian, aturan, dan urutan melakukan suatu kegiatan, baik secara langsung maupun melalui penggunaan media pengajaran yang relevan dengan pokok bahasan atau materi yang sedang disajikan.30 Metode demonstrasi adalah salah satu tehnik mengajar yang dilakukan oleh seorang guru atau orang lain yang

Dokumen terkait