• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang Munculnya Kebijakan dan Peraturan Perundang- Perundang-Undangan Koperasi

KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG KOPERASI SYARIAH

B. Latar Belakang Munculnya Kebijakan dan Peraturan Perundang- Perundang-Undangan Koperasi

Pada perekonomian modern dewasa ini, telah banyak diperlihatkan kegagalan yang dialami sistem ekonomi yang dianut. Sisitem ekonomi kapitalis yang berporos pada begitu besar peran pemerintah terhadap kehidupan rakyat, kemudian runtuh dengan tumbangnya rezim komunis Uni Sovyet. Selian itu, bisa dilihat sistem ekonomi kapitalis yang menyebabkan kekayaan terpusat pada segelintir orang dan menyebabkan semakin besar gap antara kaya dan miskin, yang diharapkan membawa kemakmuran banyak orang ternyata semakin menimbulkan permasalahan-permasalahan sosial-ekonomi.

Agama Islam yang di dalamnya terdapat pedoman hidup yang komprehensif telah ‘mewanti-wanti’ umat Islam untuk menjaga kesimbangan. Dengan konsep keseimbangan inilah yang melahirkan pemerataan pendapatan, karena kesejahteraan itu muncul berawal adanya pemerataan pendapatan. Sebagaimana firman Allah SWT:

...

“.... supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah.

dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (Al-Hasyr: 7)

Pemerintah memandang koperasi syariah suatu yang penting untuk menuju efektifitas, intensif, proporsional dan pemerataan pendapatan dalam rangka mengurangi konsentrasi kekayaan hanya pada satu kalangan saja. Di samping itu, ternyata perkembangan koperasi syariah sangat signifikan mengingat kontribusinya yang cukup besar di tengah masyarakat, maka pemerintah memandang perlu membuat kebijkan khusus tentang koperasi syariah.

Koperasi di Indonesia sudah ada sewaktu di masa penjajahan Hindia Belanda. Dahaulu dinamakan hulp end spaarbank (bank simpanan) yang fungsinya menolong para pegawai negeri/ kaum priyayi yang terjerat utang dari kaum lintah darat. Namun, perkembangan koperasi pada waktu itu kurang memuaskan karena adanya hambatan dari pemerintah Belanda, terlebih gerakan Boedi Oetomo pada tahun 1908 dengan dibantu Sarekat Islam melahirkan koperasi pertama kali di Indonesia bersamaan dengan lahirnya kebangkitan nasional. Pemerintah Belanda khawatir koperasi makin tumbuh dan berkembang dikalangan bumiputra. Agar perkembangan koperasi tidak meluas, pada tahu 1915 pemerintah Belanda mengeluarkan undang-undang koperasi yang pertama kali di Indonesia yang disebut sebagai

verordening op de cooperatieve verenegingen (koninkklijk Besluit, 7 April 1915, stb. 431). Selanjutnya, Belanda membentuk komisi atau panitia koperasi atas desakan pemuka masyarakat sehingga melahirkan Undang-undang Koperasi Tahun 1927 yang disebut Regeling Inlandsche Cooperatieve

Verenegingen (stb. 1927-91). Kemudian tahun 1933 Belanda kembali mengeluarkan peraturan koperasi, yaitu algemene regeling op de cooperatieve verenegingen (stb. 1933 – 108) sebagai pengganti UU Koperasi Tahun 1927. Ternyata peraturan baru ini tidak ada bedanya dengan peraturan koperasi Tahun 1915 yang sama sekali tidak cocok dengan kondisi rakyat Indonesia. Akibatnya, koperasi pada zaman Belanda semakin bertambah mundur.38

Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, pemerintah Orde Lama memberlakukan sejumlah undang-undang dan peraturan baru, antara lain sebagai berikut:39

1. Undang-undang Tahun 1949 yang masih menggunakan bahasa Belanda kembali diberlakukan, yakni Regeling Cooperatieve Verenegingen (stb. 1949 – 179). Tetapi, perubahannya tidak disertai dengan pencabutan stb. 1933 – 108, sehingga pada tahun 1949 di Indonesia terdapat dualisme peraturan, yakni Regeling Cooperatieve Verenegingen 1949 yang hanya berlaku bagi golongan bumipoetra dan Algemene Regeling op de Cooperatieve Verenegingen 1933 (stb. 1933 – 108) yang berlaku bagi golongan rakayat termasuk golongan bumipoetra.

2. Undang-undang Koperasi Tahun 1958 yang dibuat berdasarkan UUD Sementara 1950 pasal 38 dimana isinya sama dengan ketentuan pasal 33

38

Muhammad Firdaus dan Agus Edhi Susanto, “Perkoperasian; Sejarah, Teori & Parktek,” cet.II, (Bogor: Ghalia Indoensia, 2004), h. 21-22

39

UUD 1945. Kemudian pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 1959 sebagai peraturan pelaksana dari UU Nomor 79 Tahun 1958. Dalam peraturan ini ditentukan bahwa pemerintah bersikap sebagai pembina, pengawas perkembangan koperasi Indonesia.

3. Pada tahun 1960, keluar Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1960 yag isinya “bahwa untuk mendorong pertumbuhan gerakan koperasi harus ada kerja sama antara jawatan dengan masyarakat, dalam satu lembaga disebut Badan Penggerak Koperasi (Bapengkop).” Bapengkop bertugas untuk mengadakan kordinasi dalam kegiatan-kegiatan pemerintah, untuk menumbuhkan gerakan koperasi secara teratur, baik dari tingkat pusat sampai ke daerah-daerah.

4. Pada tanggal 2 – 10 Agustus 1965 diselenggrakan Musyawarah Nasional II Koperasi Indonesia, yang musyawarah sebelumnya tanggal 24 April 1961 belum dapat memberikan hasil maksimal untuk kemajuan koperasi, sehingga pada musyawarak II telah melahirkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1965 tentang perkoperasian.

Besarnya perhatian pemerintah terhadap perkembangan koperasi berdampak pada ketergantungan koperasi terhadap bantuan pemerintah, sehingga banyak sekali diantara pengurus koperasi menjadi kehilangan inisatif untuk menciptakan lapangan usaha bagi kelangsungan hidup koperasi. Selain itu, masa-masa transisi perpindahan rezim dari Orde Lama ke Orde

Baru telah banyak menimbulkan disorientasi kegiatan operasional koperasi dari prinsip-prinsip semestinya. Koperasi telah dijadikan alat perjuangan dari partai-partai politik yang berkuasa. Kondisi ini menyebabkan anggota koperasi kehilangan kepercayaan kepada pengurus, karena pengurus tidak lebih hanya motor penggerak atas kendali dari partai politik yang menguasai koperasi.

Setelah tumbangnya rezim Orde Lama, pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, mulai menertibkan koperasi-koperasi yang ada. Diantara kebijakan pemerintah Orde Baru antara lain:

1. Diberlakukannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian

2. Diberlakukannya Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1973 mengenai pembentukan BUUD (Badan Usaha Unit Desa)

3. Pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 2 Tahun 1978 tentang Badan Usaha Unit Desa (BUUD)/ Koperasi Unit Desa (KUD)

4. Dikeluarkannya Inpres Nomor 4 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan KUD

5. Tanggal 21 Okrober 1992 pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang Nommor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Pemberlakukan undang-undang ini dimaksudkan untuk lebih menyesuaikan perkembangan keadaan.

Pasca berakhirnya pemerintahan Orde Baru, kondisi perekonomian Indonesia mengalami kacau balau. Banyak perusahaan besar yang berbasis konglomerasi gulung tikar akibat melonjaknya mata uang dollar terhadap rupiah dan kenaikan suku bunga yang berlipat-lipat. Tetapi, apa yang terjadi dengan koperasi dan UKM malah sebaliknya, mereka mampu bertahan dari kondisi krisis hingga pemerintah menyadari kesalahannya selama ini. Akhirnya, pemerintah melalui presiden BJ. Habibie telah menetapkan Inpres Nomor 18 Tahun 1998 tentang pengembangan koperasi. Inpres ini merupakan antiklimaks dari pemberlakuan Inpres Nomor 4 Tahun 1984 di mana KUD merupakan koperasi satu-satunya menjadi gugur dengan semestinya. Dengan demikian, pemerintah telah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk membentuk dan mengelola koperasi tanpa batas wilayah kerja, dan koperasi diberikan kesempatan untuk lebih mandiri dan bebas melakukan aktifitas usahanya.

Perubahan rezim ke era reformasi tidak hanya meninggalkan problematika krisis multidemiensi, tetapi juga menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya bertransaksi sesuai syariah. Indikasinya adalah dikeluarkannya undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Karena undang-undang inilah dimulainya fase bisnis lembaga keuangan syariah sebagaimana bunyi undang-undang tersebut pasal 1 yakni, “Pengertian bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa

dalam lintas pembayaran.” Terlebih lagi saat Bank Muamalat Indonesia (BMI) mampu bertahan dari badai krisis, sehingga banyak pebisnis lembaga keuangan berupaya melebarkan sayap bisnisnya dengan menggarap industri perbankan syariah. Lahirnya undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 memberikan snowball effect bagi lembaga-lembaga keuangan yang selama ini terpinggirkan untuk “unjuk gigi” terhadap eksistensi dan perkembangannya di kancah perekonomian nasional. Kenyataan ini tidak bisa dihindari, tren bisnis syariah telah merambah pula ke lambaga-lembaga keuangan lainnya, baik lembaga perbankan maupun lembaga keuangan non-bank. Seperti BPR Syariah, Asuransi Syariah, Pegadaian Syariah, Lembaga Pembiayaan Syariah, Reksa Dana Syariah, Koperasi Syariah/ BMT bahkan Hotel Syariah dan lembaga keuangan lainnya yang menggunakan prinsip syariah.

Ada beberapa aspek yang melatarbelakangi lahirnya Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Pada aspek ekonomi, pemerintah memandang pentingnya dikeluarkan Kepmenegkop Nomor: 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 dalam rangka mendorong pertumbuhan dan pemberdayaan usaha mikro dan kecil dan koperasi khususnya yang bergerak dalam pembiayaan syariah.

Dari aspek sosial-politik adalah, koperasi syariah mempunyai peran besar dalam menuntaskan kemiskinan dan pengangguran. Hal ini bisa dilihat dari peran Maal-nya yang sangat potensial untuk memberdayakan perekonomian umat sehingga pemerintah menilai perlu mengakomodasi bentuk badan hukum koperasi syariah dalam kebijakan menteri koperasi dan

usaha kecil dan menengah agar ada kepastian hukum mengingat bahwa selama ini belum tersedia undang-undang atau peraturan pemerintah yang mengatur operasional koperasi syariah.

Dari aspek keagamaan adalah, agama Islam adalah yang mempunyai perhatian penuh terhadap masalah perekonomian baik dari segi pengarahan, pengaturan dan penerapan. Selain itu, dikeluarkan fatwa haram Bunga bank oleh majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2003 semakin menambah mantap keyakinan umat Islam untuk terus bertransaksi secara Halal dan Thayibah

dalam setiap aktifitas ekonominya.

C. Kebijakan Pemerintah prihal Koperasi Syariah

Lahirnya Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai bank syariah pertama di Indonesia pada akhir tahun 1990 merupakan momen terpenting dalam sejarah Indonesia yang membidani lahirnya lembaga-lembaga keuangan syariah lainnya tak terkecuali koperasi syariah atau Baitul Mal wa Tamwil (BMT). Berdirinya Bank Muamalat Indonesia juga membawa angin segar tumbuh berkembangnya industri keuangan mikro syariah untuk mengakomodasi keinginan sebagian besar umat Islam bertansaksi secara halal. Di Indonesia koperasi syariah/ BMT berdiri pada tahun 1992 yang kemudian di dukung Presiden RI yang meluncurkan BMT sebagai gerakan nasional pada tahun 1996. Sejak itu, Koperasi Syariah/ BMT menapak

momentumnya dengan berkembang secara nasional.40 Selanjutnya, sampai saat ini koperasi syariah semakin bertambah jumlahnya, di satu sisi regulasi khusus yang mengatur koperasi syariah baik berupa peraturan pemerintah ataupun undang-undang tidak menjelaskan secara rinci dan definitif. Maka perlu ada kebijakan tersendiri yang mengatur koperasi syariah atau BMT yang berbadan hukum koperasi, dalam hal ini Departmen Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah mengeluarkan kebijakan mengenai petunjuk pelaksanaan KJKS/ UJKS.

Kelahiran Bank Muamalat Indonesia dan bermunculannya berbagai Bank syariah di era reformasi, memberikan berkah tersendiri bagi lembaga keuangan lainnya, seperti lembaga keuangan mikro syariah semacam Koperasi Syariah. Sehingga “memaksa” pemerintah memberikan kesempatan lembaga keuangan mikro ini berperan di sektor ekonomi akar rumput. Upaya pemerintah sejauh ini adalah memberikan tata cara pelaksanaan koperasi syariah yang terangkum dalam Keputusan Menteri Koperasi dan UKM (Kepmenegkop) Republik Indonesia Nomor 91//Kep/M.KUKM.IX/2004. Tindakan tersebut dilakukan karena sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang menjelaskan koperasi syariah secara definif. Dan sudah seharusnya pemerintah melakukan tindakan ini untuk memastikan status hukum lembaga keuangan koperasi walaupun baru setingkat keputusan menteri.

40

Zainul Arifin, “Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek,”

Koperasi baik sebagai gerakan ekonomi rakat maupun sebagai badan usaha berperan serta untuk mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berlandaskan sesuai dengan konstitusi. Agar koperasi berfungsi secara maksimal sebagaimana yang dicita-citakan dalam UUD 1945 maka perlu dibentuk Undang-undang koperasi.

Fungsi maksimal itu diperlukan karena koperasi perlu lebih membangun dirinya dan dibangun menjadi kuat dan mandiri berdasarkan prinsip koperasi sehingga mampu berperan sebagai soko guru perekonomian nasional.

Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Hal ini menjelakan bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama yang didirikan berdasarkan asas kekeluargaan sangat cocok dengan kondisi perekonomian di Indoensia mengingat komposisi masyarakat Indonesia sangat kental dengan lingkungan kultural. Bangun usaha yang sesuai dengan lingkungan seperti ini ternyata adalah koperasi.

Atas dasar itulah, pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian. Seiring berjalanya waktu, usaha koperasi merambah ke unit usaha syariah sehingga lahir lembaga Koperasi Jasa Keuangan Syariah atau Unit Jasa Keuangan. Perlahan tapi pasti, unit syariah dalam usaha koperasi juga tumbuh berkembang. Namun, regulasi

yang mengatur koperasi syariah baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan pemerintah belum tersedia. Maka diterbitkan keputusan Menteri yang dikomandoi oleh Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004.

Selanjutnya akan dipaparkan gambaran umum singkat bab dan pasal demi pasal Kepmenegkop: 91/Kep/M.KUKM/IX/200441

• Bab I pasal 1 mengenai ketentuan umum, menjelaskan apa yang dimaksud koperasi, Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS), Unit Jasa Keuangan Syariah (UJKS), simpanan, simpanan wadiah yad dhamanah, simpanan mudharabah al-muthlaqah, simpanan mudharabah berjangka, pembiayaan, pembiayaan mudharabah, pembiayaan musyarakah, piutang murabahah, piutang salam, piutang istisna, piutang ijarah, ijarah muntahiyah bittamlik, qardh, nisbah, marjin, dewan pengawas syariah, standar operasional prosedur, menteri dan pejabat.

• Bab II pasal 2 dijelaskan tentang tujuan pengembangan Koperasi Jasa Keuangan Syariah/ Unit Jasa Keuangan Syariah secara rinci.

• Bab III tentang persyaratan dan tata cara pendirian Koperasi Jasa Keuangan Syariah/ Unit Jasa Keuangan Syariah. Pada bab ini dibagi 2 bagian. Bagian pertama menjelaskan mengenai persyaratan dan tata cara pendirian Koperasi Jasa Keuangan Syariah yang terdiri dari pasal 3, 4,

41

Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia,

Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah, (Jakarta: Kepmenegkop, 2006), h.1-42

dan 5. Adapun pada bagian kedua menjelaskan mengenai tata cara pendirian Unit Jasa Keuangan Syariah yang terdiri dari pasal 6, 7, dan 8. Pasal 9 termasuk pada bab ini yang menjelaskan larangan Koperasi Jasa Keuangan Syariah/ Unit Jasa Keuangan Syariah untuk mengubah prinsip usahanya menjadi usaha kegiatan konvensional.

• Bab IV pasal 10, 11, 12 dan 13 tentang persyaratan pembukaan jaringan kantor Koperasi Jasa Keuangan Syariah/ Unit Jasa Keuangan Syariah.

• Bab V tentang pengelolaan. Bab ini terdiri dari 4 bagian. Pada bagian pertama menjelaskan pengelolaan Koperasi Jasa Keuangan Syariah yang terdiri dari pasal 14 dan 15. Bagian kedua menjelaskan pengelolaan Unit Jasa Keuangan Syariah yang terdiri pasal 16 dan pasal 17. Pada bagian ketiga menjelaskan mengenai penyelenggaraan Unit Jasa Keuangan Syariah oleh KSP/ USP Koperasi di pasal 18. Dan bagian terakhir menjelaskan penggunaan nama di pasal 19.

• Bab VI pasal 20 tentang pembagian SHU Koperasi Jasa Keuangan Syariah/ Unit Jasa Keuangan Syariah.

• Bab VII pasal 21 mengenai permodalan.

• Bab VIII tentang produk dan layanan. Bab ini terbagi menjadi 4 bagian. Bagian pertama menjelaskan tabungan dan simpanan di pasal 22. Bagian kedua menjelaskan pembiayaan di pasal 23. Bagian ketiga menjelaskan kegiatan maal Koperasi Jasa Keuangan Syariah/ Unit Jasa Keuangan

Syariah di pasal 24. Dan bagian terakhir menjelaskan prinsip kerajasiaan yang terdiri dari pasal 25 dan 26.

• Bab IX pasal 27 dan 28 tentang pengendalian resiko.

• Bab X pasal 29 tentang kelebihan dana.

• Bab XI pasal 31 dan 32 tentang pembinaan.

• Bab XII tentang laporan keuangan. Bab ini dibagi menjadi 4 bagian. Bagian pertama mengenai kewajiaban laporan keuangan di pasal 33. Bagian kedua mengenai bentuk penyajian Laporan Keuangan di pasal 34. Bagian ketiga mengenai audit di pasal 35. Bab terakhir mengenai penilaian kesehatan yang terdiri dari pasal 36 dan 37.

• Bab XIII pasal 39, 39, 40, 41, 42 dan 43 tentang sanksi.

• Bab XIV tentang pembubaran Koperasi Jasa Keuangan Syariah/ Unit Jasa Keuangan Syariah. Bab ini terbagi menjadi 2 bagian. Pada bagian pertama menjelaskan pembubaran oleh angota yang terdiri dari pasal 44 dan 45. Bagian kedua menjelaskan pembubaran oleh pemerintah yang terdiri dari pasal 46, 47, 48 dan 49.

• Bab XV pasal 50 tentang ketentuan peralihan dimana KSP/ USP yang ingin mengkonversikan kegiatan usahanya menjadi unit syariah harus dengan ketentuan yang berlaku pada pasal ini.

Dengan dikeluarkannya keputusan ini, keberadaan koperasi syariah bisa dipertanggung jawabkan status hukumnya mengingat selama ini belum tersedianya kebijakan yang mengatur koperasi syariah. Pemerintah memang sudah seharusnya memberikan kepastian hukum bagi kelangsungan usaha koperasi syariah sehingga mampu mengembangkan iklim yang kondusif untuk mendorong perkembangan kegiatan usaha dengan pola syariah ke depan. Karena koperasi syariah jauh sebelum keputusan ini diterbitkan telah ambil bagian dalam penyuksesan perekonomian mikro.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Ajaran Islam telah menggariskan prinsip-prinsip yang harus dipatuhi oleh para penguasa negara dalam pengembangan ekonomi. Prinsip-prinsip itu antara lain, Prinsip yang berkaitan dengan Falsafah Islam dalam bermuamalah adalah Tauhid dan Khilafah. Adapun, Prinsip yang relevan dengan pemenuhan nilai dasar Islam pada pengembangan ekonomi dalam Islam adalah Keadilan, Kepemilikan, Kebebasan berusaha, Kebersamaan dan Kerjasama. Sedangkan Prinsip yang berkaitan dengan konsistensi antara teori dan praktik adalah Etika/ akhlak (code of ethics) dan Pengawasan.

2. Kebijakan yang mengatur koperasi syariah baru diterbitkan pada tahun 2004 melalui Keputusan Menteri Koperasi dan UKM (Kepmenegkop) Nomor 91/Kep/M.KUKM/IV/2004 tentang petunjuk pelaksanaan KJKS/UJKS. Dengan kebijakan ini landasan operasional koperasi syariah di Indonesia setidaknya mempunyai kepastian hukum dan dilegalkan pemerintah.

3. Dari Kepmenegkop Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang petunjuk pelasanaan koperasi jasa keuangan syariah, kesesuaian antara prinsip yang

digariskan Islam dengan keputusan tersebut sepenuhnya terakomodasi oleh pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah berupaya semaksimal mungkin memuat prinsip-prinsip tersebut agar tidak terjadi ketimpangan antara teori dan praktik dalam pengembangan koperasi syariah. Namun, dalam beberapa hal Keputusan Menteri ini masih terdapat kekurangan dimana kekurangan tersebut sangat substansi seperti payung hukum Kepmen yang masih dipertanyakan, ketiadaan aspek syariah dan ketidakjelasan kedudukan dan peran Dewan Pengaswas Syariah.

B. Saran

1. Pemerintah semestinya memberikan porsi perhatian yang lebih besar pada usaha mikro di sektor koperasi syariah, mengingat banyak koperasi konvensional mulai tumbang.

2. Walaupun sudah ada kepastian hukum, landasan konstitusi operasional koperasi syariah masih belum kuat karena keputusan tersebut belum di undangkan oleh pemerintah. Pemerintah sebaiknya membuat undang-undang yang berkaitan dengan koperasi syariah atau mengamendemen undang-undang nomor 25 tahun 1992 tentang perkoperasian dengan memasukkan aspek kesyariahan.

3. Pemerintah perlu menjelaskan lebih rinci mengenai kedudukan, posisi, peran dan fungsi Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam keputusan menteri terkait pengembangan koperasi syariah.

Dokumen terkait