• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

B. Latar Belakang dan pelaksanaan Tradisi Anak Kaduk Di Nagari Koto Baru Kecamatan Sungai Tarab

1. Latar belakang munculnya tradisi Anak kaduk di Nagari Koto Baru

Pelaksanaan perkawinan menurut adat di Minangkabau umumnya tediri dari beberapa prosesi upacara adat yang harus dilakukan hingga perkawinan tersebut sah menurut ketentuan adat. pada pelaksanaanya, perkawinan pada masyarakat Nagari Koto Baru ada upacara perkawinan, yang merupakan salah satu perhelatan adat yang sangat penting dan tidak luput dari ketentuan-ketentuan adat yang ada didaerah tersebut yaitu tradisi Anak Kaduk.

Adapun keterangan yang disampaikan oleh Dt Sinaro batuah dalam wawancara penulis pada tanggal 05 maret 2020 menyebutkan, bahwasanya asal muasal adanya tradisi anak kaduk ini berawal dari pandangan niniak mamak dalam suatu Nagari untuk kemaslahatan anak kemenakan yang sudah patut dan layak untuk melanjutkan hidup ketinggakt yang lebih serius atau dewasa. Maka dari situlah muncul kesepakatan jika salah seorang dari anak kemenakan kita yang akan menikah dan bahkan telah menikah maka dimalam harinya harus diantarkan oleh beberapa utusan atau teman sebaya untuk mengantarkan dan menemani dimalam pertama sang mempelai laki-laki dan perempuan, dari sana akan Nampak dan bisa memilih siapa yang akan menyusul dan mampu dalam menempuh hidup berkeluarga.

Kemudian setelah penulis mendapatkan jawaban dari Dt Sinaro Batuah tersebut penulis mencari tahu lagi agar lebih mendalam, maka penulis bertanya kepada Uwan

Ali sebagai tetua Adat di Nagari Koto Baru tersebut, menjelaskan bahwa , tradisi Anak kaduk di Nagari Koto Baru merupakan bentuk penghormatan kepada mamak perempuan oleh mempelai laki-laki ketika dimalam pertama berada dirumah mempelai wanita, dengan alasan agar mempelai laki-laki tidak cangung dan gugup ketika menghadapi apa yang selanjutnya akan dilakukan, dan juga sebagai teman berbicara dan minta tolong jika ada keperluan yang mendesak supaya tidak ada kesalah pahaman yang terjadi dirumah mempelai wanita di malam pertama tersebut.

Adapun dinamakan Anak kaduk itu merupakan nama yang dulu diberikan oleh nenek moyang terdahulu yang itu hanya dimiliki oleh Nagari Koto Baru karena banyak hal-hal lain yang tidak dijelaskan dengan hal penamaan tersebut, yang ada hanya fungsi dan manfaat dengan adanya Anak kaduk tersebut dapat membatu dan teman berbicara mempelai laki-laki dirumah mempelai perempuan di malam pertama.

Berdasarkan keterangan dari Dt Sinaro Batuah tentang Tradisi Anak

kaduk di Nagari Koto Baru Kecamatan Sungai Tarab merupakan tradisi yang

mesti ada sebagai bentuk menjga nilai-nilai Adat dan norma-norma yang berlaku sebagai perilaku menjaga nilai-nilai sopan santun dan tengang raso dalam suatu perbuatan dan hubungan bermasyarakat.

Dinagari Koto Baru ada tradisi tentang pelaksanan tradisi Anak kaduk, bentuk pelaksaan tersebut adalah menurut keterangan dari Dt Sinaro Batuah yang dalam keterangannya mengatakan bahwa, Anak kaduk ini disebet sebagai nama atau bisa disematkan kepada seseorang yang menjad utusan kerumh mempelai perempuan untuk menemani mempelai laki-laki di malam pertama hingga tiga malam seterusnya. Dalam hal ini yang menjadi tugas dari Anak

kaduk ini adalah sebagai teman dimalam hari disiang harinya mereka kembali

kerumah masing-masing makan dan minum paginya dirumah pihak perempuan disediankan dan dihidangkan, dipagi harinya setelah bangu tidur kembali kerumah masing-masing, begitu seterusnya sampai tiga malam berikutnya.(Wawancara pribadi penulis dengan Dt sinaro Batuah pada tangal 10 April 2020).

Begitupun keterangan dari salah seorang pengantin baru yang bernama AS telah melakukan perkawinan dan dimalam pertamanya membawa utusan

beberapa orang teman yang, AS ini merupakan urang sumando dari daerah luar, yang tidak mengerti dengan tradisi Anak kaduk tersebut sehingga dalam hal ini disampaikan untuk menbawa utusan sebagai teman karena ada tradisi Anak

kaduk maka diadakan tradisi tersebut. Dalam keterangannya AS mengatakan

bahwa dimalam itu semua disuguhi makanan minuman dan tempat tidur diluar ruangan kamar, tidur bersama dan bahkan dimalam hari itu yang dilakukan hanya bercanda dan main kartu KOA dan Remi ketawa-ketawa dan bahkan sampai subuh, menurut keterangannya itu sangat meresahkan, karena As merasa sangat lelah dan butuh istrirahat, ketika AS masuk kekamar pengantin perempuan disuruh keluar lagi dan dilarang masuk kekamar bersama mempelai perempuan tersebut. Dalam hal ini As merasa dirinya sangat lelah dan teraniaya dengan tradisi tersebut, sampa akhirnya dia mencara tahu dan bertanya ke tetua Adat maka dia mendapatkan jawaban sebenarnya itu hanya menjaga nilai-nilai sopan santun dalam Nagari, namun kali ini banyak tidak diindahkan dan tidak memperhatikan nilai-nilai adat yang berlaku, dan harus dirobah dan dikembalikan kepada aturan dan tatakkrama yang baik. (Wawancara pribadi penulis dengan Arif samsul pada tanggal 12 April 2020 sebagai urang sumando di Nagari Koto Baru yang baru menikah.)

Adapun tatacara pelaksanaan tradisi anak kaduk ini adalah yang harus dilakukan oleh utusan beberapa orang untuk menemani memoelai laki-laki adalah datang dimalam hari dengan membawa pakaian dan kain sarung beserta

Kopiah masing-masing dari berapa jumlah utusan yang datang. Kemudian

dimalam harinya mereja disambut dan dijamu makan bersama beserta niniak mamak dan pihak keluarga beserta dengan kedua mempelai yang baru saja melakukan resepsi pernikahan, setelah itu berdoa dan berpituah adat atau pidato bersama guna menayankan berapa orang utusan atau Anak kaduk yang datang , kemudian mereka dipersilahkan berada dirumah tersbut sesuai kesepakatan berapa hari mereka disana atau berapa malam, kalau sudah selesai baru mereka dapat melakukan aktifitas layaknya seperi pemilik rumah dengan menjaga dan

memperhatikan nilai-nilai adat dan sopan santun.(Begitu keterangan dari Dt Sinaro Kayo pada tanggal 20 April 2020 ).

Menurut pemahaman penulis tradisi Anak Kaduk di Nagari penulis dari segi pelaksanan merupakan sebuah peran penting yang harus diperhatikan lagi oleh Dt niniak mamak dalam Nagari, dan bahkan harus merobah tatakrama yang baik dan tidak memberikan keresahan kepada tuan rumah. Dalam tradisi Anak

kaduk ini menurut penulis dalam keterangan yang ada jika dilakukan sesuai

dengan aturan dan menjaga nilai-nilai adat dan norma agama yang baik itu sangat baik, namun jika tidak maka tradisi Anak Kaduk ini harus dihilangkan digati dengan kegiatan positf yang menjaga nilai-nilai Adat dan Norma Agama. C. Pandangan Hukum Islam Terhadap Tradisi Anak Kaduk Di Nagari Koto

Baru Kecamatan Sungai Tarab

1. Pandangan Hukum Islam terhadap tradisi Anak kaduk di Nagari Koto Baru. Tradisi Anak kaduk di Nagari Koto Baru merupakan tradisi Adat yang sudah ada sejak nenek moyang terdahulu di Nagari Koto Baru, dan juga merupakan aturan yang telah disepakati selama melakukan pernikahan. Tradisi Anak kaduk ini Waktu

Walimah adalah saat diadakan akad nikah, atau setelahnya, atau saat mempelai

pria menemui mempelai perempuan, atau setelahnya. Pengadaan walimah merupakan perkara yang relatif leluasa dalam pelaksanaannya sesuai dengan tradisi dan adat (Sayyid Sabiq, 2008: 513).

Berkaitan dengn itu tradisi Anak kaduk dipandangan secara Hukum Islam sesuai dengan kaedah ushul Fiqh adalah

ومكمُ ة د اعل ا

Adat itu bisa dijadikan hukum”( kasmidin. 2011: 45).

Berdasarkan dari kaidah fikih di atas mengenai peristiwa yang sudah terjadi secara berulang-ulang dan sudah ditetapkan aturanya oleh masyarakat

setempat atas dasar keputusan orang-orang terdahulu. Maka adat tersebut bersifat mengikat dari masyarakat setempat.

Menurut pemahaman penulis mengenai pandangan Hukum Islam terhadap tradisi Anak kaduk di Nagari Koto Baru jatuh kepada Mubah selama menjaga nilai-nilai agama dan aturan Adat, sebab ada kemaslahatan didalamnya. Namun jika tidak memperhatikan nilai-nilai adat dan norma Agama maka ini harus dihilangkan dan diganti dengan kegiatan yang mengandung manfaat yang lebih baik sehingga jatuh kepada Urf‟ Fasid dan harus dihilangkan, karena selama penulis melakukan opsevasi mengahadiri lansung tradisi Anak kaduk tersebut, yang penulis temukan ada dua, dari segi kemaslahatan ada karena dapat menjalin hubungan baik dan menghargai satu sama lain. Yang kedua dari segi kemudharatan orang yang menjadi utusan mempelai laki-lai atau Anak kaduk tersebut begadang sampai pagi dan meresahkan pemilik rumah, main KOA dan tertawa-tertawa bersama sampai pagi dan bahkan ketika mempelai laki-laki hendak istirahat dilarang sedangkan mempelai laki-laki sudah seharian melayani tamu yang datang dan waktu istirahat disuruh lagi begadang dan tidak boleh untuk istrirahat dikamar pengantin atau tidur.

2. Pandangan Hukum Islam terhadap sanksi Tradisi Anak kaduk Di Nagari Koto Baru

Penerapan sanksi Adat terhadap tradisi anak kaduk menurut Hukum Islam dikaitkan dengan Istihsan karena dalam kaedahnya dikatakan bahwa”

berusaha mendapatkan yang baik untuk diikuti bagi sesuatu masalah yang diperhitungkan untuk dilaksanakan.Artinya aturan perkawinan sumbang di

Nagari Salimpaung sudah diatur dan ada sanksi Adat maka bagi seluruh yang mengetaui aturan tersebut berkewajiban untuk mengikutinya.

Adat dijadikan salah satu unsur yang dipertimbangkan dalam menetapkan hukum, penghargaan hukum Islam terhadap adat ini menyebabkan sikap yang toleransi dan memberikan pengakuan terhadap hukum yang berdasarkan adat menjadi hukum yang diakui oleh hukum

Islam. Sehingga dalam hal ini secara aturan perkawinan sumbang Islam tidak melarang tentang perkawinan sumbang namun pelaku perkawinan sumbang di gandengkan dengan kaedah ushul maka dapat menjadi sebuah ketentuan hukum, sehingga itu yang dikatakan bahwa adat menjadi salah satu unsur yang di pertimbangkan dalam menetapkan hukum.(Rizkiya & Nuraini, 2017: 46)

Menurut pemahaman penulis mengenai pandangan hukum Islam tentang Tradisi Anak kaduk di Nagari Koto Baru

1. Tentang adat tradisi Anak kaduk ini tidak ada yang mengatur dalam syariat Islam.

2. Tradisi Anak kaduk ini hanya di atur oleh adat setempat.

3. Tujuanya adalah untuk menciptakan dan menjaga nilai-nilai adat yang berlaku dan niniak mamak dalam nagari dan juga menemani mempelai laki-laki dirumah mempelai perempuan agar tidak cangung dan juga sebagai teman untuk berbicara di malam hari.

Sebagaimana hadis nabi muhammad Saw, yang berbunyi:

ٌُِّنَتَعْلا َدُواَد ُيْث ُىبَوََْلُس ِعَِثَّشلا وُثَأَو ٌُِّوَِوَّتلا يََْذٍَ ُيْث يََْذٍَ بٌََثَّذَد

بٌََثَّذَد ِىاَشَخ ُْا َهبَقَو بًََشَجْخَأ يََْذٍَ َهبَق يََْذََِل ُظْفَّللاَو ٍذَِعَس ُيْث ُخَجََْتُقَو

ُدبَّوَد

َنَّلَسَو ِهََْلَع ُ َّاللّ يَّلَص ٌَِّجٌَّلا َّىَأ ٍلِلبَه ِيْث ِسًََأ ْيَع ٍتِثبَث ْيَع ٍذٍَْص ُيْث

َهوُسَس بٍَ َهبَق اَزَه بَه َهبَقَف ٍحَشْفُص َشَثَأ ٍفْوَع ِيْث ِيَوْدَّشلا ِذْجَع يَلَع ىَأَس

ِه ٍحاَوًَ ِىْصَو يَلَع ًحَأَشْها ُتْجَّوَضَت ًٌِِّإ ِ َّاللّ

ْنِلْوَأ َلَل ُ َّاللّ َكَسبَجَف َهبَق ٍتَهَر ْي

ٍحبَشِث ْوَلَو

(MUSLIM - 2556) : Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At Tamimi, Abu Ar Rabi' Sulaiman bin Daud Al 'Ataki dan Qutaibah bin Sa'id sedangkan lafazhnya dari Yahya. Yahya mengatakan; Telah mengabarkan kepada kami, sedangkan dua yang lainnya mengatakan; Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Tsabit dari Anas bin Malik bahwasannya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melihat bekas kuning pada Abdurrahman bin Auf, maka beliau bersabda: "Apa ini?" Dia menjawab; "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya baru menikahi wanita dengan maskawin seberat biji kurma." Lalu beliau bersabda: "Semoga Allah memberkati perkawinanmu, adakanlah

walimah walaupun hanya dengan seekor kambing." (Lidwa Pusaka i-Software -

Kitab 9 Imam Hadist)

Hadis tersebut menerangkan bahwa Nabi menganjurkan walimatul „ursy harus dilaksanakan walaupun dengan satu ekor kambing. Pada hakikatnya

walimatul „ursy adalah pemberitahuan kepada undangan yang hadir tentang

“Penyerahan kewajiban dan tanggung jawab seorang ayah kepada laki-laki sebagai suami anaknya, secara tidak langsung diumumkan dan diberitahu kepada semua orang yang hadir disaat berlangsungnya pesta peresmian pernikahan (Syahril, 2013: 26). Waktu Walimah adalah saat diadakan akad nikah, atau setelahnya, atau saat mempelai pria menemui mempelai perempuan, atau setelahnya. Pengadaan walimah merupakan perkara yang relatif leluasa dalam pelaksanaannya sesuai dengan tradisi dan adat (Sayyid Sabiq, 2008: 513).

ا

ونذه ح د بعل

ه

Adat itu bisa dijadikan hukum”( kasmidin. 2011: 45).

Berdasarkan dari kaidah fikih di atas mengenai peristiwa yang sudah terjadi secara berulang-ulang dan sudah ditetapkan aturanya oleh masyarakat setempat atas dasar keputusan orang-orang terdahulu. Maka adat tersebut bersifat mengikat dari masyarakat setempat.

Penerapan adat dalam hukum Islam dapat dibagi menjadi empat kelompok yaitu:

1. Adat lama yang secara subtansial dan dalam hal pelaksanaannya mengandung unsur kemaslahatan. Artinya unsur manfaatnya lebih besar dari unsur mudaratnya.

2. Adat lama prinsipnya secara subtansial mengandung unsur kemaslahatan. (Tidakmengandung unsur mafsadat mudarat kemudaratan) namun dalam hal pelaksanaannya tidak di anggap baik oleh islam mendahulukan daruri.

3. Adat lama pada prinsip dan pelaksanaannya mengandung unsur (merusak) maksudnya, yang dikandungnya hanya unsur perusak.

4. Adat atau „urf yang telah berlangsung lama, di terima oleh banyak orang karena tidak mengandung unsur mafsadat (merusak) dan tidak bertentangan dengan dalil syara‟ baik secara lansung maupun tidak lansung. ( Amir. 2006: 393-394)

Sedangkan dalam hal ini hubungan dengantradisi Anak kaduk , boleh dilakukan, asalkan saja, tidak memberatkan di antara kedua belah pihak. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt: Al- (QS. al-Baqarah, 2: 286)

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir."

Kedudukan hukum adat („urf) dalam fiqh Islam, diperbolehkan yang sifatnya shahih atau al‟adah ashahihah, yaitu, „urf yang tidak bertentangan dengan syari‟at (Rizkiya & Nuraini, 2017: 46).Jika „urf dilihat dari segi syariah Islam, ia terbagi menjadi dua yaitu„urf shahih dan „urf fasid.

„Urf shahih (adat kebiasaan yang benar) adalah suatu hal yang baik yang

menjadi kebiasaan suatu masyarakat, ia tidak bertentangan ajaran agama, sopan santun, dan budaya yang luhur. Sedangkan „urf fasid (adat kebiasaan yang tidar benar) adalah suatu yang menjadi kebiasaan yang sampai pada penghalalan sesuatu yang diharamkan Allah (bertentangan dengan ajaran agama).

Menurut pendapat penulis tradisi Anak kaduk di Nagari Koto baru merupakan suatu kebiasaan yang tegolong kepada urf fasid, karena tradisi Anak

kaduk ini lebih banyak mengadung kemudratan dari pada manfaat yang

didapatkan, sebab ketika utusan yang datang kerumah pihak perempuan dimalam pertama sampai tiga malam berikutnya mereka hanya bergadang dan

menghabiskan waktu dengan tertawa dan seda gurau semata, dan bahkan itu dapat membuat resah penguhuni rumah dikarenakan kehebohan. Sebab dirumah tersebut juga ada anak kecil yang tidur, begitu menurut penulis.

Dan juga dapat dikategorikan kepada urf shahih jika pelaksanaan nya sesuai dengan aturan dan tatakrama yang berlaku dan menjaga nilai-nilai adat yang berada di Nagari tersebut. Karena dengan adanya tradisi ini maka dapat memberikan gambaran yang baik kepada yang belum menikah agar lebih memperhatikan lagi kemana dia akan melangkah, dan melangkah dijalan yang benar.

Adapun dalam kategori urf ini dapat dikemungkakan bahwa tradisi Anak

kaduk di Nagari Koto Baru merupakan kebiasaan yang dilakukan atas

kesepakatan Dt Niniak mamak dalam Nagari untuk menjaga nilai-nilai Adat dan norma agama yang berlaku. Sedangkan pelaksanan aturan tersebut sudah menjadi kebiasaan masyarakat di Nagari Koto Baru apabila terjadi perkawinan, baik yang datang dari luar ataupun masyrakat diNagari koto baru itu sendiri.

61 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pelaksanakan Tradisi Anak kaduk di Nagari Koto Baru merupakan suatu aturan yang dibuat oleh niniak mamak dalam Nagari sebagai bentuk menjaga kemenakanya dalam menempuh hidup berkeluarga dan berumahtangga. Dan aturan tersebut merupakan kesepakatan fungsionaris Adat di Nagari Koto Baru.

Kemudian penerapan sanksi Adat terhadap tradisi Anak kaduk ini merupakan bentuk menjaga nilai-nilai Adat yang berlaku di Nagari Koto Barudan menjaga kemenakan dari fitnah dan ancaman yang tidak baik dimasa yang akan datang, dan memberi pelajaran bagi mamak agar lebih memperhatikan kemenakannya lagi dalam menempuh hidup berumahtangga dan berkeluarga.

2. Pandangan Hukum Islam terhadap tardisi Anak kaduk ini merupakan bentuk „Urf

Shahih yang telah memenuhi syarat-syarat diberlakukan dan tidak bertentangan

dengan hukum Al-Qur‟an dan Sunnah.

Kemudian akan dapat berubah menjadi „Ur fasid karena dalam pelaksanaan nya berbeda dengan aturan dan norma agama yang berlaku, sebab dalam pelaksanaan selama tradisi Anak kaduk ini lebih banyak mengandung kemudharatan dari pada manfaat yang baik sesuai dengan aturan dan norma agama di Nagari Koto Baru tersebut.

Kemudian penerapan sanksi Adat merupakan bentuk Istihsan karena telah disepakati dan dibuat oleh fungsionaris Adat dalam kaum sebagai bentuk kewajiban dalam menjalani aturan yang telah disepakati, dan juga untuk menjaga nilai-nilai ikhuwah dan tali persaudaraan antara sesama muslim.

B. Saran

1. Dalam melakukan tradisi adat tentu harus memperhatikan aturan adat yang berlaku dan norma Agama yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan juga merupakan adat salingka Nagari atau adat istiadat maka boleh di fikirkan cara

lain yang lebih baik dan tidak mengandung masalah, kiranya Kerapatan Adat Nagari akan memikir ulang terhadap adat ini.

2. Karena yang ditonjolkan dalam pelaksanaan tradisi Anak kaduk dan penerapan sanksiini adalah kemashlahatan untuk menghilangkan yang tak baik antara sesama anggota masyarakat, maka aturan-aturan seperti ini dikembangkan dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip agama dan adat.

3. Para anggota masyarakat dapat kiranya melihat aspek fositif dari adat yang seperti ini.

Dokumen terkait