• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI ANAK KADUK DALAM WALIMATUL URSY DI NAGARI KOTO BARU KECAMATAN SUNGAI TARAB SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI ANAK KADUK DALAM WALIMATUL URSY DI NAGARI KOTO BARU KECAMATAN SUNGAI TARAB SKRIPSI"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI ANAK KADUK

DALAM WALIMATUL ’URSY DI NAGARI KOTO BARU KECAMATAN

SUNGAI TARAB

SKRIPSI

Ditulis Sebagai Syarat Untuk Gelar Sarjana Hukum (SH )

Pada Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah

Oleh:

MUHAMMAD IQBAL NIM 13 2010 23

JURUSAN AHWAL AL-SYAKSHIYYAH FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BATUSANGKAR

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

MUHAMMAD IQBAL NIM 13201023. Judul Skripsi :”PANDANGAN

HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI ANAK KADUK DALAM

WALIMATUL ’URSY DI NAGARI KOTO BARU KECAMATAN

SUNGAI TARAB“. Jurusan Ahwal Al-Syakshiyyah Institut Agama Islam Negeri Batusangkar.

Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana proses pelaksanaan tradisi Anak Kaduk di Nagari Koto Baru dan bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap Tradisi Anak Kaduk di Nagari Koto Baru Kecamatan Sungai Tarap. Penelitian ini adalah (Field Research) penelitian lapangan. Untuk mendapatkan data penelitian ini dilakukan melalui teknik wawancara dan dokumentasi. Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. Pengolahan data dilakukan secara deskriptif kualitatif, kemudian diuraikan serta melakukan klasifikasi terhadap aspek permasalahan tertentu dan memaparkan melalui kalimat yang efektif.

Hasil penelitian penulis ialah tradisi Anak Kaduk di Nagari Koto Baru Kecamatan Sungai Tarap merupakan tradisi adat yang telah turun temurun sebagai bentuk menjaga nilai-nilai adat dan norma adat yang berlaku, sebagai bentuk memperhatikan anak kemenakan dalam menempuh hidup berumah tangga, menjaga dan menghargai niniak mamak dalam Nagari sebagai bentuk mempertahankan nilai-nilai adat dan Norma Agama, sehingga tradisi ini boleh dilakukan selama tidak menyalahi aturan atau norma adat dan agama yang berlaku. Namun sebaliknya jika telah banyak mengadung kemudharatan maka harus diselesaikan dan diarahkan kembali kepada ketentuan dan aturan yang berlaku. Tradisi Anak kaduk di Nagari Koto Baru merupakan suatu aturan yang dibuat oleh niniak mamak dalam Nagari sebagai bentuk menjaga kemenakanya dalam menempuh hidup berkeluarga dan berumahtangga. Dan aturan tersebut berguna untuk menjaga kemenakan dari fitnah dan ancaman yang tidak baik dimasa yang akan datang.

Pelaksanaan Tradisi Anak kaduk menurut Hukum Islam termasuk kedalam kategori „Urf Shahih, yaitu Adat atau kebiasaan yang berlaku disuatu tempat yang tidak bertentangan dengan ajaran Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah SAW, maka dapat dijadikan pegangan jika terjadi tuntutan terhadap permasalahan dan perselisihan mengenai harta itu sendiri. Penerapan sanksi Adat terhadap tradisi Anak Kaduk termasuk kepada kategori Istihsan, sebab penerapan sanksi tersebut telah disepakati oleh niniak mamak dan berkewajiban untuk mengikutinya. Artinya penerapan aturan tersebut telah disepakati oleh seluruh niniak mamak dan bagi kemenakannya berkewajiban untuk mematuhinya. Namun dalam hal ini Hukum Islam tidak melarang dan dikategorikan kepada Mubah artinya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan dan mencegah kepada kemudharatan.

(6)

DAFTAR ISI

COVER

HALAMAN JUDUL

DAFTAR RIWAYAT HIDUP PERNYATAAN KEASLIAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ABSTRAK ... i KATA PENGANTAR ... ii DAFTAR ISI ... iv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Fokus Penelitian... 5

C. Rumusan Masalah ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 6

E. Kegunaan Penelitian ... 6

F. Definisi Operasional ... 7

BAB II KAJIAN TEORI A. Tinjauan umum terhadap perkawinan dalam hukum islam .. 8

1. Pengertian Perkawinan ... 8

2. Rukun dan Syarat Perkawinan ... 10

3. Dasar Hukum Perkawinan ... 12

4. Tujuan dan Fungsi Perkawinan ... 15

B. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan dalam Hukum Adat ... 17

1. Pengertian Perkawinan Hukum Adat ... 17

2. Bentuk-bentuk Perkawinan Hukum Adat ... 18

C. Walimah tentang Pernikahan ... 22

1. Pengertian Walimah ... 22

2. Dasar Hukum Walimah ... 24

(7)

4. Adab Walimah ... 26

5. Tujuan dan Hikmah Walimah... 27

6. Kewajiban Menghadiri Walimatul „Ursy ... 29

7. Pelaksanaan Walimah Menurut Hukum Islam ... 30

D. Tinjauan Umum tentang ‘Urf... 31

1. Pengertian „Urf ... 31

2. Dalil Pendukung Kehujjahan „Urf ... 31

3. Macam-macam „Urf ... 32

4. Syarat-syarat „Urf untuk Dapat Dijadikan Landasan Hukum .. 34

E. Penelitian Relevan ... 38

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 40

B. Latar dan Waktu Penelitian ... 40

C. Instrumen Penelitian ... 41

D. Sumber Data ... 41

E. Teknik Pengumpulan Data ... 42

F. Teknik Analisis Data ... 42

G. Teknik Penjamin Keabsahan Data ... 42

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Nagari Koto Baru ... 43

B. Latar Belakang Pelaksanaan Tradisi Anak Kaduk di Nagari Koto Baru Kecamatan Sungai Tarab ... 51

C. Pandangan Hukum Islam Terhadap Tradisi Anak Kaduk di Nagari Koto Baru Kecamatan Sungai Tarab ... 54

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 60

B. Saran ... 60 DAFTAR KEPUSTAKAAN

(8)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Allah Swt telah menciptakan manusia dari jenis laki-laki dan perempuan supaya mereka saling kenal-mengenal dan dapat berinteraksi satu sama lain. Allah Swt telah menciptakan manusia dan menetapkan aturan yang sesuai dengan fitrah manusia supaya harga diri dan kehormatannya dapat terjaga. Allah Swt tidak ingin manusia memiliki perilaku yang sama dengan makhluk lainnya (binatang) yang senang melampiaskan nafsunya dengan bebas. Oleh karena itu Allah Swt menjadikan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam ikatan yang suci yaitu pernikahan. Pernikahan merupakan pola hidup yang ditetapkan oleh Allah Swt bagi manusia untuk melanjutkan keturan, disamping itu, diri para perempuan juga dapat terjaga dari pemuas nafsu setiap laki-laki yang menginginkannya, tentu untuk mendapatkan itu semua harus dengan proses yang di sebut dengan pernikahan. ( Sayyid Sabiq, 2011: 197)

Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah Swt, sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya. Beberapa penulis juga terkadang menyebut pernikahan dengan kata perkawinan.(Tihami, Sohari Sahrani, 2014: 6)

Berkaitan dengan itu perkawinan merupakan sebuah anjuran yang ditetapkan Allah dalam Al-Qur‟an surat An-Nisa‟(3) : 3)



























































Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian

(9)

jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah sebagai jalan bagi manusia untuk mempunyai anak untuk berkembang biak dan melestarikan kehidupannya. Pernikahan adalah suatu upaya untuk membentuk kebahagiaan oleh pasangan yang menyelenggarakannya, begitupun keluarga yang bersangkutan. Dengan demikian, kebahagiaan itu diungkapkan melalui rasa syukur yang terwujud dalam menyelenggarakan pesta pernikahan yang akan dihadiri oleh kerabat dan tamu undangan sekaligus bertujuan untuk mengumumkan pernikahan yang sedang berlangsung agar terhindar dari sangkaan buruk orang lain terhadap kedua mempelai atau keluarganya.

Pesta perkawinan atau walimatul„ursyadalah suatu acara yang dianjurkan dalam ajaran Islam. Perkawinan adalah suatu peristiwa yang diharapkan hanya sekali dalam seumur hidup seseorang, maka sudah sewajarnya apabila disambut dengan rasa syukur dan gembira dan dirayakan dengan mengundang sanak saudara secukupnya sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Perintah walimah‟ursy terdapat dalam sebuah hadis Nabi Muhammad SAW, yang berbunyi:

ِوَِوَّتلا يََ ْذٍَ ُيْث يََ ْذٍَ بٌََثَّذَد

ٌُِّنَتَعْلا َدُواَد ُيْث ُىبَوََْلُس ِعَِثَّشلا وُثَأَو ٌُّ

بٌََثَّذَد ِىاَشَخ ُْا َهبَقَو بًََشَجْخَأ يََْذٍَ َهبَق يََْذََِل ُظْفَّللاَو ٍذَِعَس ُيْث ُخَجََْتُقَو

َُّاللّ يَّلَص ٌَِّجٌَّلا َّىَأ ٍلِلبَه ِيْث ِسًََأ ْيَع ٍتِثبَث ْيَع ٍذٍَْص ُيْث ُدبَّوَد

َنَّلَسَو ِهََْلَع

َهوُسَس بٍَ َهبَق اَزَه بَه َهبَقَف ٍحَشْفُص َشَثَأ ٍفْوَع ِيْث ِيَوْدَّشلا ِذْجَع يَلَع ىَأَس

ْنِلْوَأ َلَل ُ َّاللّ َكَسبَجَف َهبَق ٍتَهَر ْيِه ٍحاَوًَ ِىْصَو يَلَع ًحَأَشْها ُتْجَّوَضَت ًٌِِّإ ِ َّاللّ

ٍحبَشِث ْوَلَو

(MUSLIM - 2556) : Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At Tamimi, Abu Ar Rabi' Sulaiman bin Daud Al 'Ataki dan Qutaibah bin Sa'id sedangkan lafazhnya dari Yahya. Yahya mengatakan; Telah mengabarkan kepada kami, sedangkan dua yang lainnya mengatakan; Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Tsabit dari Anas bin Malik bahwasannya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melihat bekas kuning pada Abdurrahman bin Auf, maka beliau bersabda: "Apa ini?" Dia menjawab; "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya baru menikahi wanita dengan maskawin seberat biji

(10)

kurma." Lalu beliau bersabda: "Semoga Allah memberkati perkawinanmu, adakanlah walimah walaupun hanya dengan seekor kambing" (Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist).

Hadis tersebut menerangkan bahwa Nabi menganjurkan walimatul „ursy harus dilaksanakan walaupun dengan satu ekor kambing. Pada hakikatnya walimatul „ursy adalah pemberitahuan kepada undangan yang hadir tentang “Penyerahan kewajiban dan tanggung jawab seorang ayah kepada laki-laki sebagai suami anaknya, secara tidak langsung diumumkan dan diberitahu kepada semua orang yang hadir disaat berlangsungnya pesta peresmian pernikahan anaknya” (Syahril. 2013: 26).

Waktu Walimah adalah saat diadakan akad nikah, atau setelahnya, atau saat mempelai pria menemui mempelai perempuan, atau setelahnya. Pengadaan walimah merupakan suatu acara atau kebiasaan yang relatif leluasa dalam pelaksanaannya sesuai dengan tradisi dan adat. Dalam menghadiri undangan acara walimah pernikahan hukumnya wajib. Karena memenuhi undangan ini menunjukkan adanya perhatian kepada pihak yang mengundang, memberikan kegemberiaan kepadanya, dan membuat hatinya lega (Sayyid Sabiq. 2008: 513).

Walimatul „ursy disesuaikan dengan kemampuan masing-masing jangan sampai adanya pemborosan dan memaksakan diri untuk melakukannya.Nabi Muhammad Saw memotong seekor kambing ketika mengadakan walimah untuk perkawinan beliau dengan Zainab binti Jahsyi (Mardani, 2011: 12).

Berdasarkan dengan penjelasan diatas yang penulis temukan dilapangan tentang mengadakan Walimatul‟Ursy di Nagari Koto Baru Kecamatan Sungai Tarab Kabupaten Tanah Datar ada tradisi Adat bahwa ketika mempelai laki-laki diantarkan kerumah mempelai perempuan maka mempelai laki-laki itu harus ditemani oleh beberapa orang, supaya mempelai laki-laki itu tidak masuk kekamar istrinya, atau tidak diizinkan melakukan aktifitas dikamar selama tiga hari. Kalau dilakukan maka mempelai laki-laki itu akan mendapat sanksi.(Wawancara Pribadi dengan bapak Rustam, selaku tokoh Adat(Mamak kapalo kaum) Di Nagari Koto Baru, pada tanggal 04 Februari,2020)

(11)

Peresmian Walimatul‟ursy tentang tradisi Anak kaduk di Nagari Koto Baru Kecamatan Sungai Tarab merupakan tradisi yang wajib dilakukan, sebab kalau tidak dilakukan maka mempelai laki-laki dirumah mempelai perempuan tidak akan dihargai sebagai menantu dan tidak dibawa Baiyo atau berunding didalam rumah.(Wawancara pribadi dengan Dt Rajo Soli, pada tanggal 05 Februari 2020).

Berdasarkan keterangan dari Dt Sinaro Batuah tentang Tradisi Anak kaduk di Nagari Koto Baru Kecamatan Sungai Tarab merupakan tradisi yang mesti ada sebagai bentuk menjga nilai-nilai Adat dan norma-norma yang berlaku sebagai perilaku menjaga nilai-nilai sopan santun dan tengang raso dalam suatu perbuatan dan hubungan bermasyarakat.

Sebagai data awal maka dapat penulis gambarkan dalam bentuk data agar lebih memudahkan berapa banyak orang yang melakukan tardisi Anak kaduk dan yang tidak melakukan tradisi anak kaduk beserta sanksi Adat nya sebagai berikut:

Tabel 1.1

Data pasangan yang tidak melakukan Tradisi Anak kaduk

No Nama

Tahun Nikah Sanksi Adat

Suami Istri 1 Al Ra 2015 Dikucilkan dalam kaum 2 Ml Rn 2017 Tidak dihargai sebagai urang sumando 3 At Sv 2017 Dikucilkan dalam kaum

(12)

Tabel 1.2

Data Pasangan yang Melakukan Tradisi Anak Kaduk

No Nama

Tahun Nikah Anak Kaduk yang diutus

Suami Istri

1 Ar Rn 2016 7 orang/ 3 hari

2 Nz Mt 2017 9 orang/ 2 hari

3 Fn Rt 2019 15 orang/ 1 hari

(Wawancara pribadi dengan Bapak Rustam Pada Tanggal 05 Februari 2020) Dari data diatas maka dapat kita lihat bahwa ada yang melakukan tradisi Anak kaduk da nada yang tidak melakukan tradisi Anak kaduk. Sehingga dari data diatas ada mempelai laki-laki yang tidak dihargai dan dikucilkan didalam kaum sebagai sanksi sosial yang karena tidak melakukan tradisi Anak kaduk da nada yang melakukan tradisi anak kaduk tidak mendapatkan sanksi tersebut.

Berkaitan dengan data diatas maka ada ketidak sesuaian dengan anjuran Walimatul‟Ursy yang diajarkan dalam Islam dan Hukum Adat, mengenai tradisi Anak kaduk di Nagari Koto Baru Kecamatan Sungai Tarab. Kemudian juga dapat memunculkan beberapa pertanyaan mengenai Bagaimana latar belakang terjadinya Tradisi Anak kaduk di Nagari Koto Baru Kecamatan Sungai Tarab, kenapa ada penerapan sanksi Adat terhadap pihak mempelai laki-laki jika tidak melakukan tradisi Anak kaduk tersebut, dan Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap pelaksanaan tradisi Anak kaduk tersebut di Nagari Koto Baru Kecamatan Sungai Tarab. Maka penulis tertarik untuk meneliti dengan judul ”Pandangan Hukum Islam Terhadap Tradisi Anak Kaduk Dalam

Walimatul’Ursy Di Nagari Koto Baru Kecamatan Sungai Tarab.

B. Fokus penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang penulis jelaskan di atas, fokus penelitian ini yaitu tata cara pelaksanaan tradisi Anak kaduk dalam

(13)

Walimatul‟ursy di Nagari Koto Baru Kecamatan Sungai Tarab menurut Hukum Islam.

C. Rumusan Masalah

Untuk lebih memfokuskan dan memperoleh kejelasan dalam pembahasan ini dan agar penelitian ini lebih tepat dan mencapai sasaran, maka penulis membatasi masalah yang akan di teliti yaitu:

1. Bagaimanalatar belakang munculnya dan pelaksanaan tradisi Anak kadukdi Nagari Koto Baru Kecamatan Sungai Tarab?

2. Bagaimana Pandangan Hukum Islam terhadap Tradisi Anak kaduk di Nagari Koto Baru Kecamatan Sungai Tarab?

D. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalahan di atas, maka tidak lepas dari yang namanya tujuan penelitian, sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisislatar belakang munculnya danpelaksanaan tradisi Anak kaduk tersebut di Nagari Koto Baru Kecamatan Sungai Tarab.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis pandangan Hukum Islam terhadap Tradisi Anak kaduk di Nagari Koto Baru Kecamatan Sungai Tarab.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini ada dua yaitu: a. Secara teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memperkaya wacana intelektual, menambah wawasan baik bagi penulis, masyarakat, akademis, organisasi dan pengkaji hukum Islam khususnya tentang perkawinan secara hukum adat.

(14)

b. Secara praktis

Penelitian ini dapat dijadikan acuan oleh masyarakat dan pemangku adat dalam memperhatikan nilai-nilai adat tentang persoalan perkawinan dan memperhatikan lagi bagaimana pandangan masyarakat tentang sanki adat yang ada,sehingga tidak terjadi permasalahan yang terus menerus berkelanjutan khususnya di Nagari Koto Baru Kecamatan Sungai Tarab.

F. Defenisi Operasional

Untuk memudahkan memahami penelitian ini, maka peneliti memberikan penjelasan terhadap beberapa kata yang di anggap penting antara lain:

Pandangan menurut KBBI adalah hasil perbuatan memandang atau memperhatikan, melihat, dan sebagainya. (KBBI)

Hukum Islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Rasul, tentang tingkah laku manusia mukallaf yang di akui dan di yakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam. Dengan demikian ,hukum Islam menurut ta‟rif ini mencakup hukum syara‟ dan juga mencakup hukum fiqih.(Ismail Muhammad syaf,1992:17-18)

Anak Kadukadalah orang yang diutus oleh pihak mempelai laki-laki kerumah pihak mempelaiperempuan setelah acara walimah‟ursy dan datang dimalam hari guna untuk menemani mempelai laki-laki untuk tidak diizinkan dulu sekamar dengan istrinya.

Maka yang penulis maksud adalah Pandangan Hukum Islam terhadap Tradisi Anak Kaduk di Nagari Koto Baru kecamatan Sungai Tarap, dilihat secara Hukum Islam dan penerapan sanksi Adat yang juga dikaitkan dengan Hukum Islam.

(15)

8 BAB II KAJIAN TEORI

A.Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Dalam Hukum Islam 1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan dalam literature fiqih berbahasa Arab disebut dengan dua kata yaitu nikah ( ََحَكَن) dan zawaj ( ََجَوَز). Kedua kata ini kata yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat didalam Al-Quran dan hadis Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam al-quran dengan arti kawin, seperti: (Amir Syarifuddin, 2010: 73). Dalam surat An-Nisa‟(3) : 3)



























































Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Demikian pula terdapat kata za-wa-ja dalam Al-Quran yang berarti kawin, seperti surat Al-Ahzab (33) : 37)







































































































Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat

(16)

kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah ) حبنً( yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). ( Abdul Rahman Ghazali, 2008: 7)

Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan, juga untuk arti akad nikah. Sedangkan menurut syara‟ nikah adalah:

Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz na-ka-ha atau za-waja.(Amir Syarifuddin, 2009:37)

Para Ulama sepakat bahwa pernikahan baru dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan qabul antara wanita yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali, dan dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya akad. (Jawad Mughniyah, 2008:309).

2. Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun adalah sesuatu yang mesti ada menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan, dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian perkerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudhu‟ dan takbiratul ihram untuk sholat. Atau adanya calon penganten laki laki dan perempuan ketika perkawinan (Abdul Rahman, 2010: 45).

(17)

Syarat adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu perkerjaan, tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian perkerjaan itu, seperti menutup aurat untuk sholat. Atau menurut Islam calon penganten laki-laki atau perempuan itu harus beragama islam(Tihami, Sohari Sahrani, 2014: 12)

Rukun nikah itu wajib terpenuhi ketika diadakan akad pernikahan, sebab tidak sah akadnya jika tidak terpenuhi rukunnya. Jadi syarat-syarat nikah masuk pada setiap rukun nikah dan setiap rukun nikah mempunyai syarat masing-masing yang harus ada pada tujuan tersebut. Sehingga antara syarat dan rukun itu menjadi satu rangkaian artinya saling terkait dan melengkapi. Sementara itu sahnya perkawinan sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 2 ayat (1) dikatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agamanya dan kepercayaannya itu (Departemen Agama RI,Undang-undang No. 1 Tahun 1974).

Bagi umat Islam ketentuan mengenai terlaksananya akad nikah dengan baik tetap mempunyai kedudukan yang sangat menentukan untuk sah atau tidaknya sebuah perkawinan.

1) Rukun nikah

Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas: a) Adanya calon suami dan calon istri yang akan melangsungkan

pernikahan.

b) Adanya wali (wali dari perempuan) yaitu orang yang berkewajiban atau yang berhak untuk memikahi. jika tidak ada wali dari perempuan maka pernikahan nya batal dan tidak sah(Abdul Rahman, 2010: 46).

c) Adanya dua orang saksi. Pelaksanaan akatnikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksikan akad nikah tersebut ( Abdul Rahman, 2010: 47).

Syrat- syaratnya: (1) Islam.

(18)

(2) Baliq. (3) Berakal. (4) Merdeka.

(5) Mendengarkan omongan dari kedua belah pihak adil (Sabiq, 2015: 90).

d) Siqhat (akad) yaitu perkataan dari pihak wali perempuan kepada calon mempelai laki-laki “ saya nikahkan engkau dengan anak anak saya yang bernama..”

2) Syarat Nikah

Calon mempelai nya halal di kawin oleh laki-laki yang ingin di jadikan istri. Jadi perempuan itu bukan termasuk kedalam perempuan yang haram untuk di nikahi.

Syarat-syarat Calon mempelai pria (1) Beragama Islam (2) Laki-laki

(3) Jelas orangnya

(4) Dapat memberikan persetujuan (5) Tidak terdapat halangan perkawinan Syarat-syarat Calon Mempelai Wanita

(1) Beragama Islam (2) Perempuan (3) Jelas orangnya

(4) Dapat dimintai persetujuannya

(5) Tidak terdapat halangan perkawinan(Abdul Rahman, 2010: 47-48).

Antara keduanya harus ada persetujuan bebas, yaitu persetujuan yang dilahirkan dalam keadaan pikiran yang sehat dan bukan karena paksaan. Disyaratkan persetujuan bebas adalah pertimbangan yang logis karena dengan tidak adanya persetujuan bebas ini berarti suatu indikasi bahwa salah satu pihak atau keduanya tidak memiliki hasrat untuk membentuk kehidupan

(19)

keluarga sebagai salah satu yang menjadi tujuan perkawinan (Sayuti Thalib, 1974: 66).

3. Dasar Hukum Perkawinan

Perkawinan disyariatkan dengan dalil Al-Qur‟an, sunnah, dan ijma‟. Dalam Al-Qur‟an Allah SWT berfirman diantaranya dalam surat An-Nisa‟(3): 3)



























































Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Hadits Nabi

ِذْجَع ْيَع ُحَسبَوُع ٌٌَِثَّذَد َهبَق ُشَوْعَ ْلْا بٌََثَّذَد ٌِثَأ بٌََثَّذَد ٍثبََِغ

َهبَقَف ِ َّاللّ ِذْجَع يَلَع ِدَوْسَ ْلْاَو َخَوَقْلَع َعَه ُتْلَخَد َهبَق َذٍِضٍَ ِيْث ِيَوْدَّشلا

َعَه بٌَُّم ِ َّاللّ ُذْجَع

َهبَقَف بًئََْش ُذِجًَ َلَ بًثبَجَش َنَّلَسَو ِهََْلَع ُ َّاللّ يَّلَص ٌِِّجٌَّلا

َعبَطَتْسا ْيَه ِةبَجَّشلا َشَشْعَه بٍَ َنَّلَسَو ِهََْلَع ُ َّاللّ يَّلَص ِ َّاللّ ُهوُسَس بٌََل

َو ِجْشَفْلِل ُيَصْدَأَو ِشَصَجْلِل ُّضَغَأ ُهًَِّإَف ْجَّوَضَتََْلَف َحَءبَجْلا

ْعِطَتْسٍَ ْنَل ْيَه

ٌءبَجِو ُهَل ُهًَِّإَف ِمْوَّصلبِث ِهََْلَعَف

)

ًسبخجلا خَذص

(

“Telah menceritakan kepada kami Amru bin Hafsh bin Ghiyats telah menceritakan kepada kami bapakku telah menceritakan kepada kami Al A'masy ia berkata. Telah menceritakan kepadaku Umarah dari Abdurrahman bin Yazid ia berkata; Aku, Alqamah dan Al Aswad pernah menemui Abdullah, lalu ia pun berkata; Pada waktu muda dulu, kami pernah berada bersama Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Saat itu, kami tidak sesuatu pun, maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda kepada kami: "Wahai sekalian pemuda, siapa diantara kalian telah mempunyai kemampuan, maka hendaklah ia menikah, karena menikah itu dapat menundukkan pandangan, dan juga lebih bisa

(20)

menjaga kemaluan. Namun, siapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa, sebab hal itu dapat meredakan nafsunya."

Islam mengatur tentang hukum perkawinan yang dikutip didalam buku Sayyid Sabiq sebagai berikut:

a. Wajib

Untuk melakukan perkawinan dan dia khawatir manakala tidakk menikah, dia akan terjebak pada perzinaan, maka pernikahan baginya adalah wajib. Sebab, menjaga diri dari sesuatu yang diharamkan ( zina,red) hukumnya adalah wajib, sementara mencegah perbuatan tersebut hanya bisa dilakukan dengan jalan menikah. Karena itu, hukum menikah adalah wajib. (Sayyid Sabiq, 2011: 208-211).

Imam Qurthubi berkata. Tidak ada perbedaan pendapat ulama atas kewajiban menikah bagi orang yang mampu dan dia tidak takut jika hidup membujang ( tidak menikah), hal itu akan membahayakan pada dirinya dan agamanya. Tapi, jika dia tidak mampu memberi nafkah kepada istrinya, Allah swt. Memberi keluasan kepadanya. Allah swt, berfirman:

Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. An-Nur ( 24: 33)

Bagi yang belum siap dan mampu menikah, hendaknya memperbanyak puasa. Imam Muslim, Abu Daud, Termizi, Nasa‟I dan Baihaki meriwayatkan hadis yang bersumber dari Ibnu Mas‟ud ra., bahwasanya Rosulullah saw. Bersabda:

ُّضَغَأ ُهًَِّ ِإَف ْجَّوَضَتََْلَف َحَء بَجْلا ُنُنٌِْه َع بَطَتْسا ِيَه ِة بَجَّشلا َشَشْعَه بٍَ

ُهَل ُهًَّ ِإَف ِمْوَّصلبِث ِهََْلَعَف ْعِطَتْسٍَ ْنَل ْيَهَو ِجْشَفْلِل ُيَصْدَاَو ِشَصَجلِل

ُءبَجِو

Wahai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah mampu, hendaknya menikah, karena sesungguhnya menikah dapat menundukan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan bagi yang

(21)

belum mampu, hendaklah berpuasa karena berpuasa baginya adalah sebagai tameng.

b. Sunat

Untuk memungkinkan dan mampu untuk melansungkan pernikahan, dia mampu menjaga dirinya dari hal-hal yang diharamkan jika tidak menikah, mak nikah baginya hukumnya sunnah. Meskipun demikian, menikah tetap dianjurkan dan mungkin lebih utama daripada melakukan berbagai macam ibadah. Pada pembahasan sebelumnya telah ditegaskan bahwahidup melajang dan enggan menikah tidak ada dalam anjuran islam.

Thabrani meriwayatkan dari Sa‟ad bin Abu Waqqash ra. Bahwasanya Rosulullah saw. Bersabda:

بٌََل َذْثأ ْذَق َ ّاللّ َّىِإ

ِخَذْوَّسلا ِخََِّفٌََذْلا ِخًََِّ بَجْهَّشلبِث

Sesungguhnya allah telah menggantikan dengan ( ajaran) yang lurus dan toleransi.

Baihaqi juga meriwayatkan dari Abu Umamah ra. Bahwasanya Rasulullah SAW. Bersabda:

ُنُنِث ٌشِث بَنُه يًِّ إَف اوُجَّوَضَت

بَصٌَّلا ِخًََِّ بَجْهَشَم اوًُ وُنَت َلَ َو ُنَه ُلْا

ىَس

Menikahlah, sesungguhnya sesungguhnya aku membanggakan kalian kepada umat yang lain karena banyaknya jumlah kalian, dan janganlah kalian bertindak seperti para pendeta Nasrani ( hidup membujang, red)

c. Haram

Seseorang yang dipastikan dia tidak akan mampu memberi nafkah kepada istri ( dan keluarganya) baik secara lahir maupun bathin, maka menikah baginya hukumnya haram. (Sayyid Sabiq, 2011: 208-211).

(22)

Seseorang yang tidak bisa memberikan nafkah lahir dan bathin, tapi perempuan yang akan dinikahinya mau menerima kekurangnnya, karena dia termasuk orang yang kaya dan syahwatnya tidak begitu besar, maka menikah baginya hukumnya makruh. Jika dia suami tidak mampu memberi nafkah lahir maupun bathin karena melakukan ketaatan maupunhalangan, seperti tentang ilmu pengetahuan, maka hukum makruh bertambah kuat. e. Mubah

Hukum menikah menjadi mubah jika faktor-faktor yang mengharuskan maupun manghalangi terlaksananya pernikahan tidak ada pada diri seseoran. (Sayyid Sabiq, 2011: 208-211).

4. Tujuan dan Fungsi Perkawinan

Perkawinan adalah salah satu media untukmengembangkan keturunan dan penyaluran instinguntuk melakukan relasi seksual. Untuk itu Allah telahmemberikan aturan-aturan dan batasan-batasan untuk menjamin agar pernikahan itu bisa dicapai oleh setiaporang.Al-Qur‟an menunjukkan bahwa cara riil dan natureuntuk meraih kedamaian dan kepuasan dalam hidupadalah melalui hubungan suami-istri yang baik sesuaidengan apa yang telah digariskan oleh Allah lewat apayang telah difirmankan-Nya dan juga apa yang telahdilakukan oleh rasul-Nya, yaitu Adam dan Siti Hawa.

Melalui tatanan hukum yang tersistematis dengan baik,maka kedamaian dalam pernikahan dapat tercapaidan terjamin secara nyata, karena dalam diri manusiaterdapat insting untuk menyukai lawan jenis. Prinsiputama dari kehidupan pernikahan adalah manusia harushidup secara berpasang-pasangan yaitu seorang laki-lakidan seorang perempuan harus menikah dan hidupbersama dalam sebuah ikatan pernikahan yang bahagia (Haifaa A. Jawad, 2002:103).

Islam telah menetapkan pentingnya pernikahanyang agung. Pernikahan betul-betul dianjurkanberdasarkan beberapa: pijakan, agama, moral dan sosial.Pernikahan dalam Islam dinilai sebagai sebuahikatan yang kokoh dan sebuah komitmen yang menyeluruhterhadap kehidupan, masyarakat dan

(23)

manusia untukmenjadi seseorang yang terhormat. Pernikahan adalahsebuah janji yang diikrarkan oleh pasangan suami istriterhadap diri mereka sendiri dan terhadap Allah. Usahayang dilakukan oleh masing-masing pasangan suami istriini bertujuan untuk mempermudah mereka menemukanpemenuhan bersama (mutual fullfilment) dan realisasi diri(self realisation) atas nama cinta dan kedamaian, keinginandan harapan. Ini semua karena, pernikahan dalam Islamsecara esensial, adalah sebuah tindakan kesalehan danketaatan yang sempurna.Dari uraian di atas tersebut mengisyaratkanbahwa hidup membujang tidak dianjurkan dalamIslam, baik kepada laki-laki maupun perempuan. Halini mempertimbangkan adanya kenyataan bahwakebutuhan laki-laki dan perempuan itu sama-sama logisdan sah.

Sesungguhnya, Islam memandang pernikahanitu adalah sebagai sebuah jalan hidup yang alami baikbagi perempuan maupun bagi laki-laki, dan mungkinlebih dari sekedar memandang bahwa pernikahan ituhanya memberikan beberapa bentuk jaminan ekonomisbagi perempuan. Harus ditekankan di sini, bahwakemanfaatan bagi perempuan sama sekali bukanindikasi bahwa pernikahan dalam Islam hanyalahsebuah transaksi ekonomi belaka. Sesungguhnya,faktor ekonomi merupakan aspek yang paling terakhirdari sebuah kegiatan, penekanannya selalu didasarkankepada kualitas-kualitas keagamaan dari pasangan suami istri tersebut (Haifaa A. Jawad, 2002:103-104). Tujuan pernikahan Islam tidak dapat dilepaskandari pernyataan al-Qur‟an, sumber ajarannya yangpertama. Al-Qur‟an menegaskan, bahwa di antara tanda-tandakekuasaan Allah SWT ialah bahwa Ia menciptakanistri-istri bagi para lelaki dari jenis mereka sendiri,agar mereka merasa tenteram (sakinah).

(24)

B.Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Dalam Hukum Adat 1. Pengertian Perkawinan Hukum Adat.

Menurut hukum adat, perkawinan bisa merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan, martabat, bisa merupakan urusan pribadi, bergantung kepada tata-susunan masyarakat yang bersangkutan. Bagi kelompok marga yang menatakan dirinya sebagai suatu kesatuan, sebagai persekutuan hukum, perkawinan yang dilakukan oleh para warganya ( pria, wanita atau keduanya) adalah sarana untuk melansungkan hidup kelompoknya secara tertib dan teratur, sarana yang dapat melahirkan generasi baru yang melanjutkan garis hidup kelompoknya. Namun di dalam lingkungan persekutuan-persekutuan kerabat itu perkawinan juga selalu merupakan cara meneruskan garis keluarga tertentu yang masuk kedalam persekutuan tersebut, jadi itu merupakan urusan keluarga, urusan bapak ibunya selaku inti keluarga yang bersangkutan.Perkawinan yang dipilih dengan tepat akan mempertahankan gengsi atau martabat kelas-kelas di dalam dan diluar persekutuan, dalam hal ini perkawinan adalah urusan kelas.( Iman Sudiyat, 2007: 107-108).

Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangan serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti merupakan suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan dari pihak suami. Terjadinya perkawinan, berarti berlakunya ikatan kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menunjang hubungan kekerabatan yang rukun dan damai. Dengan terjadinya perkawinan, maka diharapkan dari perkawinan tersebut didapatkan keturunan yang akan melanjutkan silsilah orang tua dan kerabat, menurut garis ayah atau garis ibu ataupun agaris orang tua. Adanya silsilah yang menggambarkan kedudukan seseorang sebagai anggota kerabat, adalah merupakan barometer dari asal usul keturunan seseorang yang baik dan

(25)

teratur. Jika darii suatu perkawinan tidak dapat keturunan, maka keluarga itu di anggap putus keturunan.( Hilman Hadikusuma, 2003: 70-71).

2. Bentuk-bentuk Perkawinan Hukum Adat.

Dikarenakan system yang di anut oleh masyarakat adat di idonesia berbeda-beda, maka terdapat bentuk perkawinan yang berbeda- beda. Dikalangan masyarakat adat yang susunan sistemnya Patrilineal pada umumnya dianut bentuk perkawinan Jujur, yaitu seperti(Batak dan Lampung). Dikalangan masyarakat adat yang patrilinealalternerend ( kebapakan beralih-alih)dan matrilineal, pada umumnya dianut bentuk perkawinan Semenda, sedangkan dilingkungan masyarakat parental dianut bentuk perkawinan Mentas. Dari ketiga macam bentuk perkawinan itu masih terdapat berbagai variasi yang beragam menurut kepentingan kekerabatan bersangkutan. (Hilman Hadikusuma, 2003: 72).

Berangkat dari system yang dianut oleh beberapa masyarakat adat diatas, maka ada beberapa bentuk perkawinan didalam adat khususnya Adat Minangkabau yang dikutip dalam buku Hilaman Hadikusuma dan dalam Buku Yaswirman, yaitu:

a. Perkawinan Jujur.

Bentuk perkawinan jujur adalah adalah perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran “jujur” dari pihak pria kepada pihak wanita, sebagaimana terdapat didaerah Batak, Nias, Lampung, Bali, Sumba, Timur. Dengan diterimanya uang atau barang jujur oleh pihak wanita, maka berarti setelah. Siwanita akan mengalihkan kedudukannya dari anggota kerabat akan mengalihkan kedudukannya dari keanggotaan kerabat suami untuk selama ia mengikatkan dieinya dalam perkawinan itu, atau sebagaimana berlaku di daerah batak dan lampung untuk sumur hidup.Dikalangan masyarakat adat yang menganut system perkawinan jujur dan menarik garis keturuna berdasarkan hukum kebapakannya, setiap anak akan mengganggap dirinya nak orang lain. Anak-anak wanita disiapkan orang tuanya, terutama

(26)

oleh ibunya, sejak kecil sehingga dewasa menjadi anak orang lain dan menjadi warga adatorang lain. Namun demikian tidak berarti hubungan hukum dan hubungan biologis antara siwanita dengan orang tua kerabat asaslnya hlang sama sekali. Tetapi tugas dan perannya sudah berlaiinan, ia harus lebih mengutamakan kepentingan kerabat pihak suami daripada kepentingan kerabat asalnya.( Hilman Hadikusuma, 2003: 23).

b. Perkawinan Ideal.

Salah satu tujuan perkawinan di Minangkabau adalah untuk melestarikan harta pusaka. Untuk itu perlu ada langkah-langkah yang berjangka panjang. Salah satunya dengan melakukan perkawinan antara keluarga terdekat, seperti kawin dengan anak mamak yang lazim disebut “ pulang ka mamak” atau kawin dengan kemenakan ayah yang disebut “ pulang ka bako”, sebagai wujud dari “ anak dipangku kemenakan dibimbing”. Bentuk lainnya adalah perkawinan “saling mengambil” untuk mempererat hubungan besan-beripar. Perkawinan yang lazim disebut dengan cross-cousin ini yang sangan menonjol pada wilayah yang memakai “uang jemputan”, agar uang jemputan itu tidak berpindah ketangan orang lain. Karena setinggi-tingginya uang jemputan tetap akan pergi kepada keluarga mereka juga. ( Yaswirman, 2006: 138).

Perkawinan yang mempertahankan tertib matrilineal tidak disertai pembayaran-pembayaran seperti jujur ataupun pemberian perkawinan. Sang suami menetap dilingkungan kewangsaannya, tetapi diizinkan bergerak dan bergaul didalam kerabat istrinya sebagai urang sumando Minangkabau. Sebagai ipar, pada saat pelaksanaan nikah, ia dijapuik atau dikenal (dijemput) dari rumahnya dengan sekedar upacara untuk meluluskannya pergi ( alat melepas mempelai) dan kemudian dibawa kerumah, ialah kerumah tangga istrinya. Diadakan pula pemberian hadiah-hadiah sekedarnya untuk menjalin bako ( hubungan perkawinan timbal balik) yang dibina kelansungannnya dengan perkawinan-perkawinan berikutnya. ( Iman Sudiyat, 2007; 125)

(27)

c. Perkawinan Campuran.

Yang dimaksud perkawinan campuran adalah perkawinan yang terjadi antara pria dan wanita yang berbeda keanggotaan masyarakat hukm adatnya, misalnya terjadi perkawinan antara pria dan masyarakat adat Lampung beradat pepadun dan wanita dari masyarakat adat peminggir, atau perkawinan antara pria dari masyarakat Batak dengan wanita dari masyarakat adat Jawa, atau juga terjadi perkawinan antara orang jawa dengan orang Cina warga Negara Indonesia dan lain-lain. ( Hilman Hadikusuma, 2003: 73-97)

d. Perkawinan Semenda.

Perkawinan semenda adalah bentuk perkawinan tanpa pembayaran jujur dari pihak pria kepada pihak wanita. Setelah perkawinan pria harus menetap dipihak kekerabatan istri atau bertanggung jawab meneruskan wanita dipihak istri. Adakalanya walaupun tidak ada pembayaran jujur, namun pihak pria harus memenuhi permintaan uang atau barang dari pihak wanita. Perkawinan semenda dalam arti sebenarnya ialah perkawinan dimana suami setelah perkawinan menetap dan berkedudukan dipihak istri dan melepaskan hak dan kedudukannya dipihak kerabatnya sendiri. ( Yaswirman, 2006:139).

Bentuk perkawinan semenda terdapat didaerah minangkabau yang susunan kekerabatannya matrilineal, peminangan dari wanita kepada si pria dapat saja terjadi secara sederhana, diaman tidak diperlukan si pria memberikan suatu pembayaran, misalnya dalam perkawinan semenda “ mati tungu mati manuk” maksudnya tungaunya mati ayamnya mati. Didaerah Lampung beradat Peminggir, atau dalam bentuk perkawinan “ nyalindung kegelung” yang maksudnya berlindung dibawah gelung. ( Hilman Hadikusuma, 2003: 82-83).

(28)

Istilah Sumbang dipakaikan kepada perbuatan yang dilakukan tidak pada tempatnya atau tidak baik menurut penilaian orang banyak, seperti laki-laki berkunjung kerumah seorang gadis, apalagi janda. Mamak laki-laki atau sigadis akan tersinggung dan dianggap tidak bisa menjaga kemenakannya. Kata Sumbang kalau digandengkan dengan kata salah ( SumbangSalah), maka itu merupakan suatu perbuatan yang tidak bermoral lagi, seperti melakukan perzinaan, penghinaan tehadap penghulu dan sebagainya. Pada bagian ini, urusannya difokuskan kepada perbuatan sumbang, tepatnya perkawinan sumbang yang tergolong kepada perbuatan yang tidak pada tempatnya atau tidak baik menurut penilaian masyarakat. Pelakunya bisa disebut tidak punya rasa malu atau tidak beradat, karena telah melakukan tindakan tidak terpuji dan menyinggung norma-norma adat. ( Yaswirman, 2006: 146).

Perkawinan sumbang berpengaruh terhadap harga diri keluarga. Sebuah keluarga akan tersinggung dan merasa direndahkan kalau ada salah satu anggotanya yang melakukan perkawinan sumbang. Artinya sudah tidak mengindahkan rasojopareso ( rasa dan periksa) atau tenggangraso ( tenggangrasa). Artinya melakukan sesuatu, perasaan jernih harus menjadi pertimbangan, lalu diperiksa dengan akal rasa sebagai tenggangrasa apakah tindakan itu dapat diterima orang lain. Istilah yang dipakai adalah lamak dek awak katuju dek urang ( enak bagi kita, disukai pula oleh orang lain). Diantara perkawinan sumbang adalah:

1) Mengawini seseorang yang telah diceraikan sahabat, sahabat atau kerabat dekat.

2) Mempermadukan perempuan yang sekerabat ( selain yang dilarang oleh agama), sepergaulan atau setetangga.

3) Mengawini orang yang sedang bertunangan dengan orang lain ( diluar peminangan yang dimaksud oleh agama).

(29)

f. Perkawinan Pantang

Menurut adat Minangkabau, selain dikenal larangan perkawinan menurut agama, juga ada perkawinan pantang. Perkawinan ini kendati tidak dilarang oleh islam tetapi harus dihindari. Perkawinan pantang adalah perkawinan yang dapat merusak system kekerabatan, yaitu setali darah menurut garis keturunan matrilineal, sekaum atau sesuku meskipun tidak mempunyai hubungan geologis atau tidak senagari. Setali darah dalam arti dekat seperti A (laki-laki) dan B ( perempuan) saudara kandung, anak mereka sampai kebawah. Dan ini juga berlaku antara cucu dan seterusnya selama masih dalam garis kekerabatan matrilineal. Juga pada pertalian darah yang sudah jauh, kendati mereka tidak seharta pusaka atau sepandam pekuburan atau berpisah dan membentuk satu keluarga lagi ( telah berpematang bak sawah, telah berbintalak bak ladang). Perkawinan sekaum sesuku tidak merupakan larangan sebagaimana larangan dalam arti agama, tetapi hanya sebatas pantang ( incest) yang ditetapkan oleh adat. Hal ini telah berlansung secara lama seiring sejarah kekerabatan matrilineal tersebut. Sampai sekarang masih dipegang teguh oleh masyarakatnya.( Yaswirman, 2006:145)

C.Walimah tentang Pernikahan

a. Pengertian Walimah

Walimah„Urs terdiri dari dua kata, yaitu al-walimah dan al-„urs. Al-walimah secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata ( ةميلولا) dalam bahasa Indonesia berarti pesta, jama‟nya adalah ( مئلاو). Sedangkan al-„urs secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu ( سرع) yang dalam bahasa Indonesia berarti perkawinan atau makanan pesta (Syaikh Kamil, 2008: 581).

Pengertian walimah„urs secara terminologi adalah suatu pesta yang mengiringi akad pernikahan, atau perjamuan karena sudah menikah. Menurut Imam Syafi‟i bahwa walimah terjadi pada setiap perayaan

(30)

dengan mengundang seseorang yang dilaksanakan dalam rangka untuk memperoleh kebahagiaan yang baru. Yang paling mashur menurut pendapat yang mutlak, bahwa pelaksanaan walimah hanya dikenal dalam sebuah pernikahan.

Menurut Sayyid Sabiq Walimah berasal dari kata al-walam yang artinya berkumpul, karena sepasang suami istri berkumpul. Sedangkan secara istilah, walimah adalah makanan yang disajikan secara khusus dalam perkawinan. Adapun menurut Syaikh Kamil Muhammad, uwaidah walimah berarti penyajian makanan untuk acara pesta. Ada juga yang mengatakan, walimah berarti segala macam makanan yang dihidangkan untuk acara pesta atau lainnya (Sabiq, 1981: 184).

Walimah‟Urs diadakan ketika acara akad nikah berlangsung atau sesudahnya, walimah biasa diadakan menurut adat dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, karena setiap adat mempunyai cara yang berbeda dalam melaksanakan Walimah‟ Urs. Yang terpenting dari tujuan diadakannya pesta pernikahan (walimah urs) adalah pengumuman atas adanya sebuah perkawinan dan mengumpulkan kaum kerabat serta teman-teman, atas kegembiraan dan rasa syukur kedua mempelai serta mendoakan kedua mempelai agar menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah: (kuzari, 2016: 36).

Adapun macam-macam walimah sebagai berikut :

1) Walimah Urs : Walimah yang diadakan dalam rangka mensyukuri pernikahan

2) Walimah „Aqiqah : Walimah yang diadakan dalam rangka mensyukuri kelahiran anak

3) Walimah Khurs :Walimah dalam rangka mensyukuri keselamatan seorang istri dari Talak.

4) Walimah Naqi‟ah : Walimah yang diadakan untuk menyambut kedatangan musafir (orang yang datang dari berpergian)

(31)

5) Walimah Wakirah : Walimah dalam rangka mensyukuri renovasi rumah

6) Walimah Wadimah : Walimah yang diadakan ketika mendapat musibah

7) Walimah Ma‟dubah : Walimah yang diadakan tanpa adanya sebab tertentu

8) Walimah I‟dzar atau Walimatul Khitan : Walimah yang diadakan dalam rangka mensyukuri khitanan anak (Syaikh kamil, 2008: 517). b. Dasar Hukum Walimah

Walimatul „urs merupakan mata rantai dalam pembahasan nikah yang jugamempunyai aspek-aspek hukum dalam pelaksanaannya. Sudah menjadi kebiasaanfiqh (yang terkadang juga dipahami sebagai hukum Islam) mengenal istilahikhtilaf dalam penetapan hukum. Ikhtilaf sudah sering terjadi di kalangan ulama‟fiqh dalam penetapan hukum suatu masalah yang menurut mereka perludisikapi.Sikap peduli para ulama‟ dalam pemaknaan dan pemahaman ayat-ayatal-Qur‟an maupun hadist-hadist Rasul dijadikannya sebagai dalil untukmenentukan hukum yang pantas bagi pelaksanaan walimatul „urs.Pandangan mereka terhadap dalil-dalil yang menerangkan tentangwalimah jelaslah berbeda, sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka kuasai dalammemahami sumber hukum Islam sebagai pemaknaan sosial. Hukum yangdilegalisasikan oleh para ulama‟ ada beberapa macam, diantaranya hukum wajibdalam mengadakan suatu walimatul „urs bagi orang yang melangsungkan pernikahan. Wajibnya melaksanakan walimatul „urs adalah pendapat Ibnu Hazmdalam kitabnya al-Muhalla( Purnadi. 2016: 21).

Pendapat ini disandarkan pada hadist Nabi SAW:

Qutaibah menceritakan pada kami, Hammad bin Zaid dari Tsabitmenceritakan dari Anas; Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melihat pada Abdurrahman bin Auf bekas kekuning-kuningan,lalu beliau bertanya: Apa ini? Berkata Abdurraman bin Auf:Sesungguhnya saya telah kawin dengan seorang wanita denganmaskawin seberat biji kurma

(32)

dari emas, lalu Rasulullah bersabda:Semoga Allah memberkatimu, adakanlah walimah meskipun hanyaseekor kambing” (H.R Tirmidzi)

Dalam hadist tersebut, Ibnu Hazm menjadikan lafadz

ةاَشِبْوَلَوْمِلْوَأ

sebagai dalil keharusan mengadakan sebuah walimatul ‟urs.Menurut beliau,fi‟il amar dalam hadist tersebut mengandung perintah wajib. Hal ini dikemukakanoleh Abdul Aziz Dahlan dalam Ensiklopedi Hukum Islam. Akan tetapi jumhur ulama‟ berpendapat bahwa mengadakan acarawalimatul ‟urs hukumnya adalah sunah saja. Hal ini dikarenakan walimah adalahmakanan yang tidak dikhususkan bagi orang-orang yang membutuhkan, maka haltersebut menyerupai terhadap hari perayaan qurban, serta diqiyaskan padapelaksanaan walimah-walimah yang lain.Dan dalil yang dipergunakan untukuntuk memperkuat argumentasinya adalah hadist Rasul yang artinya Ali bin Muhammad telah menceritakan pada kami, Yahya binAdam telah menceritakan dari Syarik, dari Abi Hamzah, dariSya‟bi, dari Fatimah binti Qaisy, sesungguhnya Fatimah telahmendengarkan dan bermaksud pada Rasulullah SAW, kemudianRasulullah SAW bersabda: tidak ada kewajiban (hak) bagi suatuharta kecuali untuk zakat.” (H.R At-Tirmidzi)

Ada juga ulama‟ yang berpendapat bahwa mengadakan walimatul ‟ursadalah fardhu kifayah. Yang dimaksud adalah, adalah apabila melaksanakan satuorang atau dua orang pada satu daerah, maka telah dianggap cukup.( Purnadi. 2016: 22-23).

c. Hukum Walimah

Dalam kitab fiqih sunnah disebutkan bahwa hukum walimah mayoritas ulama‟ berpendapat adalah sunnah muakkadah (Sabiq, 2013: 149).

Walimah (perayaan pernikahan) atas suatu perkawinan hukumnya wajib menurut zhahir nash, tetapi ada pula yang mengatakan tidak wajib, dan inilah lebih shahih. Disunnahkan menyembelih seekor kambing

(33)

untuk walimah itu, tetapi dibolehkan juga mengadakan walimah dengan menyungguhkan makanan apa saja adanya (Hafid Abdullah, 1992: 237).

Walimah yang diperintahkan oleh baginda Nabi Muhammad Saw.Karena Nabi mengetahui sahabat yang baru menikah, kemudian Nabi memerintahkan untuk mengadakan walimah meskipun hanya menyembelih satu ekor kambing.

Walimah hukumnya sunnah mua‟akad. Bagi pengantin laki-laki untuk mengadakannya sesuai kemampuan dan kemudahan baginya.Karena Nabi Saw mengadakan walimah untuk para istri beliau, beliau juga memerintahkan para sahabatnya untuk mengadakan walimah. d. Adab Walimah

Adab-adab walimah nikah adalah sebagai berikut :

1) Bagi pengantin (wanita) dan tamu undangannya tidak diperkenankan untuk tabarruj. Memamerkan perhiasan dan berdandan berlebihan, cukup sekedarnya saja yang penting rapi dan bersih dan harus tetap menutup aurat.

2) Tidak adanya ikhtila‟t (campur baur) antara laki-laki dan perempuan. Hendaknya tempat untuk tamu undangan dipisah antara laki–laki dan perempuan. Hal ini dimaksudkan agar pandangan terpelihara, mengingat ketika menghadiri pesta semacam ini biasanya tamu undangan berdandannya berbeda dan tidak jarang pula yang melebihi pengantinnya.

3) Disunahkan untuk mengundang orang miskin dan anak yatim bukan hanya orang kaya saja.

4) Tidak berlebih-lebihan dalam mengeluarkan harta juga makanan, sehingga terhindar dari mubazir.

5) Boleh mengadakan hiburan berupa nasyid dari rebana dan tidak merusak akidah umat Islam.

(34)

7) Menghindari berjabat tangan yang bukan muh}rimnya, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat kita bahwa tamu menjabat tangan mempelai wanita, begitu pula sebaliknya

8) Menghindari syirik dan khurafat (Muyassarah, 2015:47).

Oleh karena itu walimah merupakan ibadah, maka harus dihindari perbuatan-perbuatan yang mengarah pada syirik dan khurafat. Dalam masyarakat kita, terdapat banyak kebiasaan dan adat istiadat yang dilandasi.

e. Tujuan dan Hikmah Walimah

Setiap perbuatan yang telah diatur dan ditetapkan oleh syariat Islam pastinya mempunyai hikmah yang sangat bermanfaat bagi yang melaksanakannya dengan benar sesuai dengan perintah agama. Begitu pun pelaksanaan walimah ini mempunyai hikmah yang sangat besar yaitu sebagai sarana yang dapat digunakan untuk memberitahukan kepada orang banyak tentang adanya pernikahan, sehingga penikahan tersebut tidak dianggap rahasia (sirri) oleh masyarakat, untuk menampakkan kegembiraan karena menyambut kedua mempelai. Disamping itu juga sebagai tanda rasa gembira dan rasa syukur kepada Allah SWT atas berlangsungnya pernikahan tersebut ( Amir, 2009: 157).

Selain itu hikmah dari perintah untuk mengadakan walimah ini adalah dalam rangka mengumumkan pada khalayak bahwa akad nikah sudah terjadi sehingga semua pihak mengetahuinya dan tidak ada tuduhan dikemudian hari. Ulama Malikiyah dalam tujuan untuk memberitahukan terjadinya perkawinan itu lebih mengutamakan walimah daripada meenghadirkan dua orang saksi dalam akad perkawinan.

Adapun tujuan walimah adalah sebagai informasi dan pengumuman bahwa telah terjadi pernikahan, sehingga tidak menimbulkan fitnah dikemudian hari ( Mardani. 2011: 12).

(35)

Walimah dapat mempererat hubungan silaturahmi antara kedua belah keluarga, kerabat, tetangga sekitar, serta sesama masing-masing pihak yaitu antara pihak suami dan pihak istri. Adanya saling mengundang antara pihak suami dan istri dapat mempererat hubungan persaudaraan dan dapat mengenal lebih jauh saudara dekat dan saudara jauh. Menurut Muhammad Mutholib tujuan dan hikmah dari walimah adalah agar terhindar dari nikah sirri. Walimah juga menyiarkan kepada khalayak ramai baik itu yang terdekat dan yang jauh atas pernikahannya.

Terdapat hikmah dengan diadakannya walimah yaitu : 1). Menjalin kerukunan hidup bermasyarakat

2). Mengenal lebih dekat dengan keluarga besar dan mengetahui langsung terhadap kedua mempelai.

3) Menghindari adanya kekeliruan terhadap pihak lain yang mungkin ada hasrat untuk menjalin hubungan kepada kedua mempelai.

Walimah bisa juga diartikan sebagai kenduri yang diseleggarakan dengan tujuan menyebarkan berita tentang telah terjadinya pernikahan agar diketahui umum, sehingga terhindar dari fitnah. Walimah disyariatkan dalam Islam, dalam rangka mempublikasikan dan menampakkan kegembiraan pernikahan, sebagai pembeda antara pernikahan dan kumpul kebo, sebagai relisasi syukur kepada Allah SWT atas anugerah nikmat tersebut, dan untuk mempertemukan keluarga, kerabat, dan teman sejawat. Sehingga bertambahlah kegembiraan, kecintaan dan suka cita di antara manusia( Nina, 2005: 253).

Diadakannya walimah dalam pesta perkawinan mempunyai beberapa keuntungan (hikmah), antara lain sebagai berikut:

1) Merupakan rasa syukur kepada Allah SWT.

2) Tanda penyerahan anak gadis kepada suami dari kedua orang tuanya. 3) Sebagai tanda resminya adanya akad nikah.

4) Sebagai tanda memulai hidup baru bagi suami istr. 5) Sebagai realisasi arti sosiologis dari akad nikah.

(36)

Hikmah dari disuruhnya mengadakan walimah ini adalah dalam rangka mengumumkan kepada khalayak bahwa akad nikah sudah terjadi sehimgga semua pihak mengetahuinya. Ulama Malikiyah dalam tujuan untuk memberi tahukan terjadinya perkawinan itu lebih mengutamakan walimah dari menghadirkan dua orang saksi dalam akad perkawinan (Amir, 2006: 157).

f. Kewajiban Menghadiri Undangan Walimah al-’urs

Memenuhi undangan perayaan pernikahan hukumnya wajib, bagi orang yang tidak berhalangan datang seseorang dinyatakan telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya apabila tidak menghadiri undangan walimah. Abu Hurairah berkata sejelek-jelek makanan ialah makanan walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya dan meninggalkan orang-orang fakir. Barangsiapa meninggalkan undangan (tidak menghadirinya), ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya (Faud, 2009: 144).

Mengenai ketentuan untuk memenuhi undangan walimah bagi mereka yang mendapat undangan hukumnya adalah wajib, demikian ini untuk menggembirakan hati mempelai serta menunjukkan perhatian kepada kedua mempelai.

Pada dasarnya memenuhi undangan untuk menggembirakan pengantin merupakan hal yang sangat baik. Paling tidak dengan tindakan yang demikian ini akan terbina kehidupan yang harmonis dalam bersahabat, bertentangga, dan bermasyarakat. Hikmah yang demikian inilah yang harusnya dibina dan dipupuk. Makanya mengundang jangan dipilih dari sudut materi atau jabatan serta statusnya, demikian ini tentunya agar jangan terjadi kesenjangan yang akan mengakibatkan ketidakharmonisan dalam bertetangga dan bermasyarakat. Adapun syarat wajib untuk memenuhi undangan yaitu adalah sebagai berikut (Dewani. 2009: 60).

(37)

1) Hendaklah pihak yang mengundang adalah seorang yang mukalllaf lagi sehat; walimah tidak dikhususkan bagi orang kaya saja.

2) Tidak bermaksud mengambil hati kepada seseorang. 3) Wajib menghadiri adalah untuk hari pertama.

4) Tidak didahului oleh undangan lain.

5) Bukan Resepsi atau walimah yang menimbulkan kemungkaran

6) Tidak ada udzur atau halangan yang tidak berarti. (Dewani. 2009: 60).

g. Pelaksanaan Walimah Menurut Hukum Islam

Islam menganjurkan untuk sederhana dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam melaksanakan walimah harus sederhana tidak boleh berlebih-lebihan. Sesorang yang tidak mau dianggap miskin atau ketinggalan zaman lalu mengadakan walimah dengan pesta meriah. Para tamu bersenang-senang, akan tetapi tuan rumahnya mengalami kesedihan, bahkan dengan berhutang dan menjual atau menggadaikan harta.

Tidak dibenarkan, karena yang terpenting adalah mengadakan pesta pernikahan sebagi tanda rasa syukur kepada Allah Swt.Imam Taqiyudin dalam Khifayatul Ahyar menyebutkan bahwa sedikitnya walimah bagi orang yang mampu adalah dengan seekor kambing, karena Nabi Muhammad SAW menyembelih seekor kambing ketika menikah dengan Zaenab binti Jahsy. Dan dengan apapun seorang itu melakukan walimah sudah diaanggap cukup karena Nabi Muhammad SAW melakukan walimah untuk Shofiyah binti Syaibah dengan tepung dan kurma Walimah yang dilaksanakan oleh Nabi jauh dari sifat pemborosan dan kesia-sian dengan membuat berbagai macam jenis makanan. Dengan kata lain standarisasi biaya dalam sebuah perayaan walimah adalah dengan tidak melebihi seekor kambing, artinya mengundang orang yang cukup dijamu dengan seekor kambing. Kalau pun lebih tidak masalah asalkan masih dalam batas-batas kemaslahatan (Aldila, 2018: 23).

(38)

D.Tinjaun Umum Tentang ‘Urf 1. Pengertian (‘Urf)

Kata „urf secara etimologi berarti sesuatu yang dipandang baik dan terima oleh akal sehat. Sedangkan secara terminologi, seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan „urf yaitu:Sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan maupun perkataan.(Satria Efendi, 2005: 153).

Istilah urf dalam istilah tersebut sama dengan perngertian istilah al-adah (adat istiadat). „Urf dalam bentuk perbuatan, misalnya transaksi jual beli barang kebutuhan sehari-hari di pasar, tanpa mengucapkan lafal ijab dan qabul. Sedangkan contoh „urf dalam bentuk perkataan, misalnya kalimat “engkau saya kembalikan kepada orang tuamu” dalam masyarakat Islam Indonesia mengandung arti talak

2. Dalil Pendukung Kehudjahan ‘Urf

Sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-Baqarah : 180 yang berbunyi:



































Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.

Maksud dan ma‟ruf di semua ayat ini adalah dengan cara baik yang diterima oleh akal sehat dan kebiasaan manusia yang berlaku. Bahwa tradisi masyarakat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari‟at Islam dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam (fiqh). Jadi, karakteristik hukum Islam adalah syumul (universal) dan waqi‟iyah (kontekstual) karena dalam sejarah perkembangan penetapannya sangat memperhatikan tradisi, kondisi sosiokultural, dan tempat masyarakat sebagai

(39)

objek (khitab), dan sekaligus subjek (pelaku, pelaksana) hukum. Perjalanan selanjutnya, para Imam Mujtahid dalam menerapkan atau menetapkan suatu ketentuan hukum (fiqh) juga tidak mengesampingkan perhatiannya terhadap tradisi, kondisi, dan kultural setempat.

Tradisi, kondisi (kultur sosial), dan tempat merupakan faktor-faktor yang tidak dapat dipisahkan dari manusia (masyarakat). Oleh karenanya, perhatian dan respon terhadap tiga unsur tersebut merupakan keniscayaan.Tujuan utama syari‟at Islam (termasuk didalamnya aspek hukum) untuk kemaslahatan manusia sebagaimana di kemukakan as-Syatibi akan teralisir dengan konsep tersebut. Pada gilirannya syari‟at hukum Islam dapat akrab, membumi, dan diterima di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang plural, tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya. Sehingga dengan metode „urf ini, sangat diharapkan berbagai macam problematika kehidupan dapatdipecahkan dengan metode ushul fiqh salah satunya „urf, yang mana „urf dapat memberikan penjelasan lebih rinci tanpa melanggar al-Quran dan as-Sunnah (Istanto, 2017: 27).

3. Macam-Macam ‘Urf

1).„Urf Ditinjau dari Segi Objeknya

Dari segi obyeknya „urf (adat kebiasaan) dibagi pada al-„urf al-lafẓi (adat kebiasaan/ kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan „urf al-„amali (adat istiadat/ kebiasaan yang berbentuk perbuatan).

a) Al-„Urf al-lafẓi adalah adat atau kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan ungkapan tertentu dalam meredaksikan sesuatu. Sehingga makna ungkapan itulah yangdipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat.

b) Al‟Urf al-„amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Yang dimaksud dengan “perbuatan biasa” adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain. 2) „Urf Ditinjau dari Segi Cakupannya

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis jalur ( path ) menunjukkan bahwa variabel motivasi kerja merupakan salah satu faktor yang memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan, hal

Hasil penelitian yang dilaksanakan pada ekosistem pegunungan di Desa Rejeki Kecamatan Palolo Kabupaten Sigi tahun 2014, ditemukan tujuh spesies nyamuk Anopheles dan

Istilah pemerolehan bahasa dipakai untuk membahas penguasaan bahasa pertama (language acquisition) di kalangan anak-anak karena proses tersebut terjadi tanpa sadar,

Sedikitnya jumlah kader aktif pasca LK1 Ini disebabkan oleh kebingungan yang disebabkan karena minimnya saluran organisasi yang tersedia di HMI Cabang Jakarta

Dengan hasil Penilaian Kinerja Dosen tersebut, setidaknya Program Studi D-III Kesehatan Lingkungan sudah memiliki peningkatan dari tahun sebelumnya namun masih

Setelah ikan masuk ke dalam kantong, maka rangkaian jaring kaki panjang dan kaki pendek secepat mungkin dilepaskan dari jaring kantong, kemudian jaring kantong

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah adanya pebedaan hasil belajar kelas yang menggunakan media alat peraga dengan kelas yang tidak menggunakan media alat peraga

16 Tombol Cari Dapat menampilkan thread dari kata yang dicari 17 Textbox pencarian kata Member dapat mengetikkan kata yang ingin dicari 18 Hyperlink Judul thread Dapat