• Tidak ada hasil yang ditemukan

orang-orang y ang khusy u” ( Al-Baqarah : 4 5)

A. Latar Belakang

Dalam kurikulum 2006, pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemaham- an yang lebih mendalam tentang alam sekitar (Sudibyo, 2006).

Ilmu kimia merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), yang berkem- bang berdasarkan pada fenomena alam. Ada tiga hal yang berkaitan dengan kimia yaitu kimia sebagai produk yang berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori; kimia sebagai proses atau kerja ilmiah; dan kimia sebagai sikap. Oleh sebab itu pembelajaran kimia harus memperhatikan karakteristik kimia sebagai proses, produk, dan sikap.

Faktanya, pembelajaran kimia di sekolah cenderung hanya menghadirkan konsep- konsep, hukum-hukum, dan teori-teori saja; tanpa menyuguhkan bagaimana proses ditemukannya konsep, hukum, dan teori tersebut; sehingga tidak tumbuh

2 sikap ilmiah dalam diri siswa. Sebagian besar materi kimia dapat dikaitkan dengan kondisi atau masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari, seperti pada topik asam-basa; misalnya rasa asam pada buah-buahan, pemanfaatan senyawa basa dalam mengobati sakit maag, pemanfaatan kapur untuk menetralkan tanah pertanian yang asam, dan lain sebagainya. Namun yang terjadi selama ini adalah topik asam-basa dalam pembelajaran kimia di SMA lebih dikondisikan untuk dihafal oleh siswa, akibatnya siswa mengalami kesulitan menghubungkannya dengan apa yang terjadi di lingkungan sekitar, dan tidak merasakan manfaat dari pembelajaran asam-basa sehingga keterampilan proses sains siswa rendah (Setiawan, 2011).

Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan di SMAN 1 Terbanggi Besar, dapat dilihat bahwa pembelajaran kimia seolah-olah hanya sebatas terjadi di dalam sekolah tanpa adanya keterkaitan dengan lingkungan di sekitar mereka. Pembelajaran kimia yang seolah tak berguna untuk kehidupan mereka ini jelaslah membuat siswa tidak tertarik pada pelajaran kimia. Kenyataan di lapangan, siswa hanya menghafal konsep dan kurang mampu menggunakan konsep tersebut jika menemui masalah dalam kehidupan nyata yang berhubungan dengan konsep yang dimiliki. Lebih jauh lagi bahkan siswa kurang mampu menentukan masalah dan merumuskannya. Pembelajaran yang dilakukan masih berpusat pada guru (teacher centered learning). Pada pembelajaran ini siswa cenderung hanya bertindak sesuai dengan apa yang diinstruksikan oleh guru, tanpa berusaha sendiri untuk memikirkan apa yang sebaiknya dilakukan untuk mencapai tujuan

belajarnya. Mereka tidak dapat menjadi seorang pembelajar mandiri yang dapat membangun konsep dan pemahamannya sendiri. Guru hendaknya memposisikan

3 siswa sebagai insan yang harus dihargai kemampuannya dan diberi kesempatan untuk mengembangkan potensinya. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran perlu adanya suasana yang terbuka, akrab dan saling menghargai. Sebaliknya perlu menghindari suasana belajar yang kaku, penuh dengan ketegangan dan sarat dengan perintah dan instruksi yang membuat peserta didik menjadi pasif, tidak bergairah, cepat bosan dan mengalami kebosanan (Budimansyah, 2002).

Dalam melakukan proses pembelajaran guru dapat memilih beberapa model mengajar. Model mengajar banyak sekali jenisnya. Masing-masing Model mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pemilihan suatu model perlu memper- hatikan beberapa hal seperti materi yang disampaikan, tujuan pembelajaran, waktu yang tersedia, jumlah siswa, mata pelajaran, fasilitas dan kondisi siswa dalam pembelajaran serta hal-hal yang berkaitan dengan keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran (Suryabrata, 1993). Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan adalah model pembelajaran problem solving. Model pembelajar- an problem solving adalah suatu penyajian materi pelajaran dengan menghadap- kan siswa kepada persoalan yang harus dipecahkan atau diselesaikan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dalam pembelajaran ini, siswa diharuskan melakukan penyelidikan otentik untuk mencari penyelesaian terhadap masalah yang diberikan. Mereka menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengem- bangkan hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis informasi, membuat referensi dan merumuskan kesimpulan.

Model pembelajaran problem solving terdiri dari lima tahap yaitu tahap satu yaitu mengorientasikan siswa pada masalah, tahap dua yaitu mencari data atau

4 keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah, tahap tiga yaitu menetapkan jawaban sementara dari masalah, tahap empat yaitu menguji kebenaran jawaban sementara, dan tahap lima yaitu menarik kesimpulan (Depdiknas, 2008). Pada tahap empat model pembelajaran problem solving ini siswa diminta untuk menguji kebenaran jawaban sementara dari masalah. Siswa diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi

sebanyak-banyaknya sehingga siswa lebih aktif dalam proses belajar. Kemudian siswa diminta memprediksikan gejala yang akan terjadi berdasarkan gejala yang ada atau gejala yang telah diamati sebelumnya, sehingga diharapkan siswa dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa yaitu keterampilan memprediksi. Salah satu keterampilan proses sains adalah keterampilan meramalkan (mempre- diksi). Memprediksi merupakan keterampilan meramal yang akan terjadi, berda- sarkan gejala yang ada. Keteraturan dalam lingkungan kita mengizinkan kita untuk mengenal pola dan untuk memprediksi terhadap pola-pola apa yang mung- kin dapat diamati. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2002) memprediksi dapat diartikan sebagai mengantisipasi atau membuat ramalan tentang segala hal yang akan terjadi pada waktu mendatang, berdasarkan perkiraan pada pola atau kecenderungan tertentu, atau hubungan antara fakta, konsep, dan prinsip dalam pengetahuan.

Terampil memprediksi sekilas bukanlah keterampilan yang begitu penting untuk dikuasai siswa, namun sebaliknya keterampilan inilah yang harus menjadi dasar dalam pengamatan-pengamatan langsung yang mereka lakukan terhadap suatu permasalahan serta prospek kerja yang mungkin akan dijalani mereka di esok hari yang sangat memerlukan keterampilan ini. Hal ini menunjukkan bahwa secara

5 tidak langsung model pembelajaran problem solving ini mampu meningkatkan keterampilan memprediksi siswa.

Hasil penelitian Purwani (2009), yang dilakukan pada siswa SMA kelas X di SMAN 1 Jombang, menunjukkan bahwa pembelajaran dengan melalui strategi problem solving memberikan kesempatan kepada siswa untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa serta hasil penelitian Hotang (2010) yang dilakukan pada siswa di salah satu SMP di Bandung, menunjukkan bahwa pembelajaran berdasarkan fenomena pada materi panas dapat meningkatkan keterampilan problem solving pada siswa. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian guna melihat efektivitas model pembelajaran ini dalam upaya meningkatkan kemampu- an memprediksi siswa khususnya pada materi asam-basa. Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukanlah penelitian dengan judul “Efektivitas Model

Pembelajaran Problem Solving pada Materi Asam-Basa Dalam Meningkat- kan Keterampilan Memprediksi pada Siswa”.

Dokumen terkait