• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. USULAN PROGRAM PELAJARAN AGAMA DENGAN AUDIO

A. Latar Belakang Pemilihan Program

Permasalahan aborsi di dalam Gereja sudah ada sejak awal mula Gereja. Sejak jaman Gereja purba sampai sekarang, masalah aborsi ini selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Namun, sangat menarik bahwa di seluruh Kitab Suci, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru tidak ada satupun ayat yang menyebutkan

kata “aborsi” secara langsung dan bagaimana harus bertindak bila terjadi kasus aborsi. Meskipun demikian, dalam Kitab Kel 20:13 dan Ul 5:17 yang berbunyi “jangan

membunuh” kiranya dapat dijadikan sebagai dasar untuk tidak boleh melakukan aborsi. Semua orang setuju bahwa membunuh itu tidak diperbolehkan. Namun permasalahannya apakah aborsi itu membunuh manusia atau tidak? Ada sebagian

Memang jika dilihat secara sepintas, Kitab Suci tidak berbicara secara langsung mengenai aborsi. Akan tetapi larangan terhadap aborsi adalah konsekuensi langsung dari permenungan terhadap harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu, meskipun tidak disebutkan secara langsung dalam Kitab Suci, ajaran mengenai aborsi sudah ada sejak Gereja Perdana dan secara konsisten tetap dipertahankan sampai sekarang.

Dalam tradisi Gereja Katolik, aborsi secara konsisten selalu digolongkan sebagai suatu perbuatan yang terkutuk sebab janin adalah manusia. Ensiklik

Evangelium Vitae mengatakan:

“..kami menyatakan, bahwa pengguguran langsung, yakni pengguguran yang dikehendaki sebagai tujuan atau sebagai sarana, selalu merupakan dosa moril yang berat; sebab itu pembunuhan manusia tidak bersalah yang disengaja. Ajaran itu berdasarkan hukum kodrati dan Sabda Allah yang termaktub, disalurkan oleh Tradisi Gereja, dan diajarkan oleh Magisterium biasa dan universal. Tiada situasi, tiada tujuan, tiada hukum apapun dapat pernah akan menghalalkan tindakan yang intrinsik tidak halal, karena bertentangan dengan Hukum Allah yang tertera di setiap hati manusia, dapat ditangkap oleh akal

budi sendiri, dan dimaklumkan oleh Gereja” (EV art 62).

Dalam Kitab Suci tidak pernah ada teks yang menyebutkan kehamilan sebagai suatu beban. Anak dianggap sebagai berkah sebab pencipta kehidupan adalah Allah sendiri, sehingga jika ada kehamilan disitulah terletak karya penciptaan Allah. Manusia memiliki keistimewaan untuk berpartisipasi dalam karya penciptaan Allah melalui prokreasi, dia membantu Allah dalam menciptakan manusia baru. Oleh karena itu, penghentian paksa akan kehamilan (aborsi) bukan hanya berarti kekejaman terhadap sesama ciptaan tetapi juga merusak karya Allah.

Salah satu naskah yang sangat berpengaruh pada masa awal Kristianitas ialah Didaché (Ajaran Dua Belas Rasul). Didaché adalah kumplan instruksi bagi komunitas Kristiani abad pertama dan menjadi pegangan bagi orang yang baru saja bertobat ke dalam iman Kristen. Pada bagian pertama Didaché membicarakan dua jalan yakni jalan menuju kehidupan dan jalan menuju kematian. Pada bab dua dibicarakan apa saja yang masuk ke dalam jalan kematian, antara lain dikatakan “jangan membunuh, jangan berzinah,..jangan meniadakan anak melalui aborsi, jangan membunuh anak kalau sudah lahir”. Dari teks ini dapat dilihat bahwa larangan aborsi alasannya sangat

religius karena aborsi merupakan jalan menuju kematian (Kusmaryanto, 2005:34) Selain Didaché, masih ada beberapa naskah dari Gereja Purba yang berbicara mengenai aborsi. Misalnya surat Barnabas yang ditulis sekitar tahun 130 di Mesir. Pada bagian kedua surat itu merupakan komentar atas Didhacé “cintailah sesamamu manusia lebih dari hidupmu sendiri. Janganlah membunuh keturunanmu dengan aborsi demikian juga janganlah membunuh anak yang sudah lahir” (Kusmaryanto.

2005:35).

Pada abad pertengahan yaitu sekitar tahun 1140, Gratianus, seorang biarawan Camaldolese membuat kompilasi hukum (Concordia Discordantium Canonum) yang di dalamnya terdapat perbedaan yang tegas antara janin yang sudah berjiwa dan yang belum berjiwa. Aborsi yang dilakukan sesudah jiwa masuk ke dalam badan disebut pembunuhan sedangkan yang dibuat sebelum jiwa masuk ke dalam badan tidak disebut pembunuhan tetapi quasi pembunuhan. Hukuman diberikan sesuai dengan tingkat pembentukan janin yang diaborsi itu. Pernyataan ini tidak pernah dijadikan

sebagai ajaran resmi Gereja, namun dampaknya sangat besar dalam Gereja terutama bagi penyusunan hukum Gereja. Hal ini kemudian dikenal dengan nama Decretum Graziani. Barulah pada tahun 1591 Paus Gregorius XVI mengundangkan sebuah konstitusi Constitution Sedes Apostolica yang memuat hukuman ekskomunikasi hanya dijatuhkan apabila aborsi dilakukan terhadap janin yang sudah bernyawa, sedangkan aborsi yang dilakukan sebelum janin itu bernyawa tidak diekskomunikasi meskipun tetap dinyatakan sebagai dosa berat (Kusmaryanto, 2005:42).

Pada tanggal 12 Oktober 1869, Paus Pius IX mengeluarkan Constitution Apostolicae Sedis yang menyatakan bahwa pelaku aborsi mendapatkan hukuman ekskomunikasi tanpa membedakan lagi antara janin yang sudah bernyawa atau belum bernyawa, dan hukuman ekskomunikasi itu bertahan sampai sekarang (Kusmaryanto, 2005:43). Namun meskipun demikian, tidak semua orang beriman mengetahui hal ini.

Di tengah perkembangan jaman yang pesat ini khususnya dalam bidang teknologi ini, orang dimudahkan untuk mengakses situs-situs yang ditawarkan oleh para penyedia layanan internet termasuk situs-situs dengan kategori dewasa. Kemudahan inilah yang membuat orang dengan gampangnya mengakses situs-situs yang pada awalnya dianggap sebagai hal yang tabu. Hal ini tentunya akan dapat mempengaruhi cara bergaul orang yang melihatnya, termasuk kaum muda yang pada dasarnya memiliki sifat ingin tahu yang besar. Salah satu dari sekian banyaknya kaum muda adalah para siswi Stella Duce 2 Yogyakarta yang kesemuanya berjenis kelamin perempuan. Para siswi perlu mendapatkan pendampingan yang membuat mereka

mampu memahami tentang seksualitas itu sendiri termasuk contoh tindakan yang melenyapkan kehidupan (aborsi).

Weekend moral merupakan salah satu upaya mendampingi para siswi agar mereka menyadari keberadaan dirinya sebagai makhluk hidup yang mendapatkan anugerah yang luar biasa yakni kehidupan. Oleh karena itu kehidupan ini haruslah dijaga. Melalui weekend moral, diharapkan mereka memiliki “pertahanan diri” untuk

berani berkata “tidak” pada tawaran seks bebas atau “tidak mau” menjadi “budak”

nafsu yang dapat merusak citra diri mereka atau menghambat perjalanannya dalam mempersiapkan diri menjadi mitra kerja Allah sebab mampu mengelola pikiran dan emosinya menghadapi daya seksualitasnya. Singkat kata, mereka memiliki komitmen moral yang jelas bahwa seksualitas harus dilihat sebagai anugerah Allah (God centered) bukan hanya demi kesenangan pribadi semata (self-centered). (Esti Sumarah dkk, 2011:6). Untuk mengimbangi perkembangan teknologi yang sedemikian pesatnya itu, weekend moral yang diusulkan sebagai upaya mencegah aborsi ini hendak menggunakan audio visual dengan model rekoleksi.

Dokumen terkait