• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Sistematika Penulisan Laporan Tugas Akhir

Adapun yang menjadi sistematika dalam penyusunan laporan Tugas Akhir adalah :

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis menjelaskan mengenai latar belakang yang menjadi dasar pemilihan dalam penyusunan laporan, tujuan dan manfaat, uraian teoritis, ruang lingkup, metode praktik, metode pengumpulan data serta sistematika penulisan laporan TugasAkhir

BAB II : GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Pada bab ini penulis menguraikan sejarah singkat Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota, Struktur Organisasi, uraian tugas pokok dan fungsi serta gambaran pegawai.

BAB III : GAMBARAN DATA DAN HASIL PENELITIAN Pada bab ini penulis menguraikan ketentuan perpajakan tentang tata cara pemotongan dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 23

BAB IV : ANALISIS DAN EVALUASI

Pada bab ini penulis membahas tentang analisa dan evaluasi data yang diperoleh mengenai Tata Cara Pemotongandan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 23 Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota

BAB V : PENUTUP

Pada bab ini penulis mengemukakan tentang kesimpulan dan saran-saran mengenai Laporan Tugas Akhir dan permasalahan yang penulis hadapi selama mengerjakan Laporan Tugas Akhir

BAB II

GAMBARAN UMUM OBJEK LOKASI

PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI

A. Sejarah Singkat Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota

Sejarah umum dari Kantor Pelayanan Pajak dimulai dari masa penjajahan Belanda, Kantor Pelayanan Pajak bernama Belasting, kemudian setelah kemerdekaan berubah menjadi Kantor Inspeksi Keuangan.Kemudian berubah lagi menjadi Kantor Inspeksi Pajak dengan induk organisasinya Direktorat Jenderal Pajak Keuangan Republik Indonesia. Di Sumatera Utara pada Tahun 1976 berdiri 3 (tiga) Kantor Inspeksi Pajak, yaitu:

a. Kantor Inspeksi Pajak Medan Selatan.

b. Kantor Inspeksi Pajak Medan Utara.

c. Kantor Inspeksi Pajak Pematang Siantar.

Tahun 1976 Kantor Inspeksi Pajak Medan Selatan dipecah menjadi dua yaitu, Kantor Inspeksi Pajak Medan Selatan dan Kantor Inspeksi Pajak Kisaran.Untuk memudahkan pelayanan pembayaran pajak dari masyarakat, dan dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin cepat, maka didirikanlah Kantor Inspeksi Pajak Medan Timur (sekarang Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Timur dan Kantor Pajak Pelayanan Medan Kota). Dan untuk semakin memantapkan pelayanannya kepada masyarakat dalam pelayanan

pembayaran pajak, maka berdasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 267/KMK.01/1989, diadakanlah perubahan secara menyeluruh pada Direktorat Jenderal Pajak yang mencakup reorganisir Kantor Inspeksi Pajak yang diganti nama menjadi Kantor Pelayanan Pajak yang sekaligus dibentuknya Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan.

Berdasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: Kep.758/KMK.01/1993 tertanggal 3 Agustus 1993, maka pada tanggal 1 April 1994 didirikanlah Kantor Pelayanan Pajak Medan Timur.

Kantor Pelayanan Pajak Medan Timur merupakan pecahan dari 3 (Tiga) Kantor Pelayanan Pajak, yaitu:

1. Kantor Pelayanan Pajak Medan Selatan.

2. Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat.

3. Kantor Pelayanan Pajak Medan Utara.

Dan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan, Kantor Pelayanan Pajak Berubah menjadi 4 (empat) wilayah kerja, yaitu:

1. Kantor Pelayanan Pajak Medan Timur.

2. Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat.

3. Kantor Pelayanan Pajak Medan Polonia.

4. Kantor Pelayanan Pajak Medan Binjai.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 443/KMK.01/2001 tentang “Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak” dimana Kantor Pelayanan Pajak di Kota Madya Medan menjadi 6 (enam) wilayah kerja. Terkahir sesuai Keputusan Menteri Keuangan 1 April 2007 Kantor Pelayanan Pajak dibagi menjadi 6 (enam), yaitu :

1. Kantor Pelayanan Pajak Medan Timur, dengan ruang lingkup meliputi wilayah:

1.1. Kecamatan Medan Timur.

1.2. Kecamatan Medan Tembung.

1.3. Kecamatan Medan Perjuangan.

2. Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat, dengan ruang lingkup meliputi wilayah:

2.1. Kecamatan Medan Barat.

2.2. Kecamatan Medan Petisah.

2.3. Kecamatan Medan Helvetia.

3. Kantor Pelayanan Pajak Medan Kota, dengan ruang lingkup meliputi wilayah:

3.1. Kecamatan Medan Kota.

3.2. Kecamatan Medan Denai.

3.3. Kecamatan Medan Amplas.

4. Kantor Pelayanan Pajak Medan Polonia, dengan ruang lingkup meliputi wilayah:

4.1. Kecamatan Medan Polonia.

4.2. Kecamatan Medan Maimun.

4.3. Kecamatan Medan Baru.

4.4. Kecamatan Medan Tuntungan.

4.5. Kecamatan Medan Selayang.

4.6. Kecamatan Medan Johor

5. Kantor Pelayanan Pajak Belawan, dengan ruang lingkup meliputi wilayah:

5.1. Kecamatan Medan Belawan 5.2. Kecamatan Medan Marelan 5.3. Kecamatan Medan Labuhan 5.4. Kecamatan Medan Deli 6. Kantor Pelayanan Pajak Binjai

7. Kantor Pelayanan Pajak Lubuk Pakam

Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota adalah sebagai Intitusi pemerintah yang mempunyai tugas pokok dalam menyelenggarakan urusan perpajakan.Karena Pajak merupakan kontribusi wajib kepada Negara yang terhutang oleh orang pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan

rakyat.Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota berada di Gedung Keuangan Negara 1 Lantai IV yang beralamat di Jalan Diponegoro Nomor.30-A.tetapi saat ini Kantor Pajak dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota telah berpindah dan berada di Jalan Sukamulia No.17-A Kampung Aur Kec.Medan Maimun Kota Medan.

Adapun Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota merupakan pecahan dari Kantor Pelayanan Pajak Medan Timur yang didirikan untuk melayani masyarakat dalam melaporkan pajak terutangnya, sehingga masyarakat yang berada dalam wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota dapat terbantu khususnya bagi wajib pajak badan atau pun wajib pajak orang pribadi (OP). Berdasarkan peraturan Direktorat Jenderal Pajak, maka perlu adanya suatu badan atau instansi berupa Kantor Pelayanan Pajak untuk sebagai wadah atau pun tempat dalam menerima atau pun menampung aspirasi atau pun sekedar keluhan masyarakat tentang pajak dan bagaimana pentingnya membayar pajak kepada Negara. Adapun sejarah dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota adalah sebagai berikut:

1. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota merupakan pecahan dari dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Timur yang berdasarkan kepada:

a. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor:

443/KMK.01/2001 Tanggal 23 Juli 2001.

b. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor:

58/KMK.01/2002 Tanggal 26 Februari 2002.

B. Struktur Organisasi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Medan Kota membawahi 1 (satu) bagian dari 6 (enam) seksi, ditambah kelompok jabatan Fungsional.

Adapun bidang-bidang yang ada di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota antara lain:

1. Sub Bagian Umum dan Kepatuhan Internal.

2. Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan Perpajakan.

3. Seksi Pengolahan Data (PDI).

4. Seksi Pelayanan.

5. Seksi Pengawasan dan Konsultasi (WASKON I, II, III, dan IV).

6. Seksi Pemeriksaan, 7. Seksi penagihan.

8. Kelompok Jabatan Fungsional.

C. Bidang-Bidang Kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota 1. Sub Bagian Umum

Membantu dan menunjang kelancaran tugas kantor dalam mengkoordinasikan tugas dan fungsi pelayanan kesekretariatan terutama

dalam hal pengaturan kegiatan tata usaha dan kepegawaian, rumah tangga dan keuangan.

2. Seksi Ekstensifikasi dan penyuluhan perpajakan

Membantu tugas Kepala Kantor mengkoordinasikan pelaksanaan dan penatausahaan pengamatan potensi perpajakan, pendapatan objek dan subjek pajak, penilaian objek pajak, dan kegiatan ekstensifikasi perpajakan serta sosialisasi dan penyuluhan perpajakan.

3. Seksi Pengolahan Data dan Informasi

Membantu tugas Kepala Kantor dalam mengkoordinasikan pengumpulan, pengolahan data, penyajian informasi perpajakan, perekaman dokumen perpajakan, urusan tata usaha angka penerimaan pajak, pengalokasian dan penatausahaan bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, pelayanan dukungan teknis computer, pemantauan aplikasi e-SPT dan e-Filling dan penyiapan kinerja.

4. Seksi Pelayanan

Membantu tugas Kepala Kantor dalam mengkoordinasikan penetapan dan penerbitan produk hokum perpajakan, pengadministrasikan dokumen dan berkas perpajakan, penerimaan dan pengolahan surat pemberitahuan dan surat lainnya, penyuluhan perpajakan, pelaksanaan registrasi WP, serta kerja sama perpajakan sesuai ketentuan berlaku.

5. Seksi Pengawasan dan Konsultan (WASKON I, II, III, IV)

Membantu tugas Kepala Kantor mengkoordinasikan pengawasan kepatuhan wajib pajak (PPh, PPN, dan pajak lainnya), bimbingan atau himbauan kepada wajib pajak dan konsultasi teknis perpajakan, penyusunan profil wajib pajak, analisis kinerja wajib pajak dalam rangka melakukan intensifikasi dan melakukan evaluasi hasil banding berdasarkan ketentuan yang berlaku. Dalam satu KPP Pratama terdapat 4 (empat) Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi yang pembagian tugasnya didasarkan pada cakupan wilayah (territorial tertentu).

6. Seksi Pemeriksaan

Membantu tugas Kepala Kantor mengkoordinasikan pelaksanaan penyusunan perencanaan pemeriksaan, pengawasan pelaksanaan aturan pemeriksaan, penerbitan dan penyaluran Surat Perintah Pemeriksaan Pajak serta administrasi pemeriksaan perpajakan lainnya.

7. Seksi Penagihan

Membantu tugas Kepala Kantor mengkoordinasikan pelaksanaan dan penatausahaan penagihan aktif, piutang pajak, penundaan dan angsuran tunggakan pajak dan usulan penghapusan pajak serta penyimpanan dokumen-dokumen penagihan.

8. Kelompok Jabatan Fungsional

Pejabat Fungsional terdiri dari Pejabat Fungsional Pemeriksaan dan

Kepala KPP Pratama.Dalam melaksanakan pekerjaannya, Pejabat Fungsional Pemeriksaan berkoordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplifikasi dengan Seksi Ekstensifikasi.Selain itu, teknologi informatika dan sistem informasi dimanfaatkan secara optimal.

BAB III

GAMBARAN DATA

A. Ketentuan Pemotongan dan Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 23 Dasar Hukum:

a. Pasal 1 Undang - Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

b. Pasal 2 Undang - Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan; dan

c. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008.

Atas jasa lain sesuai dengan Pasal 23 Ayat (3) Undang - Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan.

Sebelum membahas lebih jauh mengenai Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23, ada baiknya kita mengetahui apa arti pajak. Pajak menurut Rochmat Soemitro adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal-balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Sedangkan pengertian pajak menurut Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 adalah kontribusi wajib kepada kas Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa

berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ada 2 (dua) fungsi pajak yaitu fungsi regular (mengatur), pajak merupakan alat yang digunakan oleh pemerintah untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.

Contohnya, pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup komsumtif dan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 0% (nol persen) atas ekspor diterapkan untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasar dunia.

Kemudian, fungsi budgetair (sumber keuangan Negara), pajak sebagai salah satu sumber penerimaan Negara digunakan untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan.Untuk menjalankan tugas-tugas rutin Negara dan melaksanakan pembangunan, Negara membutuhkan biaya.Sebagai sumber keuangan Negara, pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak-banyaknya pada kas Negara. Upaya yang ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui sensus pajak, penyediaan aplikasi elektronik oleh Direktorat Jenderal Pajak, penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak, seperti Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan lain-lain sehingga mempermudah proses pelaksanaannya. Pajak penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada

dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada subjek pajak lainnya.Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhinya kewajiban pajak subjektif menjadi sangat penting.

Pada umumnya subjek pajak penghasilan dibedakan menjadi 2 yaitu, subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.Subjek pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan, baik penghasilan yang diterima atau diperoleh dari dalam negeri maupun penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri.Sedangkan subjek pajak luar negeri terutang pajak di Indonesia atas penghasilan yang berasal dari Indonesia saja. Pajak penghasilan pada umumnya dibagi lagi menjadi Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26, Pajak Penghasilan Pasal 22, Pajak Penghasilan Pasal 23 dan Pasal 26, Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2), dan Pajak Penghasilan Pasal 15.

Pada kesempatan ini, kita akan membahas lebih jauh mengenai Pajak Penghasilan Pasal 23 yang dalam laporan ini disingkat menjadi PPh Pasal 23.

PPh Pasal 23 merupakan pajak yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri (orang pribadi maupun badan), dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21. Untuk meringankan pajak yang terutang wajib pajak, maka besarnya pajak atas penghasilan wajib pajak yang telah dipotong oleh pihak yang memberikan penghasilan tersebut dapat dikreditkan terhadap total pajak

Wewenang sebagai pemotong PPh Pasal 23 ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang implementasinya dapat dilihat pada Surat Keterangan Terdaftar (SKT) yang diperoleh pada saat wajib pajak mendaftarkan diri ke kantor pajak wilayah domisili/ kedudukan wajib pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Pada Surat Keterangan Terdaftar (SKT) terdapat keterangan jenis kewajiban pajak setiap wajib pajak.

Apabila tidak ada penunjukan dari kantor pelayan Pajak Pratama dimana wajib pajak terdaftar maka tidak boleh memotong atau memungut pajak selain jenis pajak yang diwajibkan.

Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Selanjutnya mengatur ketentuan besarnya pajak penghasilan yang dipotong oleh pihak yang memberikan penghasilan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK. 03/2008 tanggal 31 Desember 2008, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK. 03/2010 tanggal 1 April 2010 tentang tanggal jatuh tempo penyetoran pajak penghasilan pasal 23.

B. Subjek dan Objek Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23

Subjek Pajak Penghasilan adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan Pajak Penghasilan. Subjek pajak yang telah memenuhi kewajiban pajak secara objektif maupun subjektif dalam Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak disebut sebagai wajib pajak. Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 menyebutkan bahwa

1.1 Yang menjadi subjek pajak adalah : a. Orang Pribadi

b. Badan

c. Bentuk Usaha Tetap (BUT)

d. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

1.2 Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri

Yang menjadi subjek pajak PPh Pasal 23 adalah subjek pajak dalam negeri, yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga hari) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak memiliki niat untuk bertempat tinggal di Indonesia, badan yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia, warisan yang belum

2. Objek Pajak Penghasilan Pasal 23

Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (1) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, yang menjadi objek Pajak Penghasilan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan. Yang menjadi Objek PPh Pasal 23 adalah :

2.1.Deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil koperasi.

2.2.Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.

2.3.Royalti.

2.4.Hadiah, penghargaan, dan sejenisnya selain yang telah dipotong pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

2.5.Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

2.6.Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultasi, dan jasa lainnya selain jasa yang telah dipotong pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

2.7.Jenis jasa lain selain jasa sebagaimana dimaksud diatas diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 Tanggal 31 Desember 2008.

3. Pengecualian Objek Pajak Penghasilan Pasal 23

Beberapa jenis penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 (Bukan Objek Pajak Penghasilan Pasal 23) sesuai dengan Pasal 23 ayat (4) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, yaitu:

3.1.Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada Bank.

3.2.Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi.

3.3.Deviden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan deviden yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 yat (2c) .

3.4.Bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i.

3.5.Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada

3.6.Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman keuangan dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

4. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 23

Tarif PPh Pasal 23 sebagaimana diatur pada pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 adalah sebagai berikut:

4.1.Sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas penghasilan berupa deviden, bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang, royalti, hadiah, penghargaan, bonus selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 ayat (1) huruf e.

4.2.Sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas penghasilan dari sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

4.3.Jenis Jasa lain berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 dikenakan Sebesar 2% (dua persen) dari imbalan sehubungan dengan jasa manajemen, jasa teknik, jasa konsultasi, dan atas jasa lainnya selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21. Tarif tersebut dapat lebih besar 100% (seratus persen) jika wajib pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan yang

dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

5. Saat Terutang, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 23

5.1. Pajak Penghasilan Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannnya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan;

5.2. Pajak Penghasilan Pasal 23 harus disetorkan oleh pemotong pajak selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos Indonesia;

5.3. Pajak Penghasilan Pasal 23 di wajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selambat-lambatnya 20 hari setelah masa pajak berakhir;

5.4. Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 harus memberikan tanda bukti pemotong kepada orang pribadi atau badan yang dibebani Pajak Penghasilan yang dipotong; dan

5.5. Pelaksanaan pemotong, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 23 dilakukan secara desentralisasi artinya dilakukan di tempat terjadinya pembayaran atau terutangnya penghasilan yang merupakan Objek Pajak Penghasilan Pasal 23,

hal ini dimaksudkan untuk mempermudah, pengawasan terhadap pelaksaan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 tersebut.

Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Dalam pengertian hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Pembayaran dan penyetoran pajak harus dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak. Surat Setoran Pajak ini berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi. Surat Setoran Pajak dianggap sah jika telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). Adapun tempat pembayaran adalah Kantor Pos atau Bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai tempat pembayaran pajak.

Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 wajib memberikan tanda bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 kepada orang pribadi atau badan yang dipotong setiap melakukan pemotongan atau pemungutan. Bagi penerima penghasilan, bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 ini

adalah bukti pelunasan Pajak Penghasilan terutang dalam tahun tersebut yang nantinya akan dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunannya.

Apabila masa pajak telah berakhir, pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 wajib melaporkan pemotongan yang telah dilakukan dalam masa pajak tersebut. Pelaporan ini dilakukan dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 23/26 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 terdaftar.

Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan Pasal 23/26 harus disampaikan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

6. Contoh Penghitungan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23

6.1. PT. Jumbo (pihak pertama) melakukan kontrak dengan PT.Iklan Promo selaku perusahaan agen periklanan (pihak kedua) untuk membuat iklan sekaligus memasang iklan pada PT.Perusahaan Media (pihak ketiga). Nilai Kontrak yang telah disepakati adalah sebesar Rp.255.000.000. rincian tagihan PT.Iklan Promo kepada PT.Jumbo terdiri dari:

a. Jasa pembuatan materi iklan sebesar Rp.100.000.000;

b. Fee agen Rp.5.000.000; dan

c. Biaya pemasangan iklan Rp.150.000.000

Atas biaya pemasangan iklan tersebut, PT.Perusahaan Media menagih kepada PT.Iklan Promo sebesar Rp.150.000.000 yang

kemudian akan dilakukan reimbursement (penggantian) oleh PT.Jumbo kepada PT.Iklan Promo.

Pemotongan PPh Pasal 23 atas transaksi di atas adalah sebagai berikut:

a. Pemotongan PPh Pasal 23 yang dilakukan PT.Jumbo atas pembayaran jasa pembuatan materi iklan dan jasa keagenan kepada PT.Iklan Promo adalah:

1) Untuk jasa pembuatan materi iklan sebesar:

2% x Rp.100.000.000 = Rp.2.000.000,00 2) Untuk jasa keagenan sebesar:\

2% x Rp.5.000.000 = Rp.100.000,00

b. Pemotongan PPh Pasal 23 yang dilakukan PT.Iklan Promo atas pembayaran jasa pemasangan iklan kepada PT.Perusahaan Media adalah sebesar:

2% x Rp.150.000.000 = Rp.3.000.000,00

c. Dalam hal tidak ada faktur tagihan atau bukti pembayaran dari PT.Iklan Promo kepada PT.Perusahaan Media atas rincian tagihan diatas, maka jumlah bruto

c. Dalam hal tidak ada faktur tagihan atau bukti pembayaran dari PT.Iklan Promo kepada PT.Perusahaan Media atas rincian tagihan diatas, maka jumlah bruto

Dokumen terkait