• Tidak ada hasil yang ditemukan

Preeklampsia dan eklampsia merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang disebabkan langsung oleh kehamilan itu sendiri. Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria akibat kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum 20 minggu bila terjadi penyakit trofoblastik (Ammiruddin dkk, 2007). Preeklampsia terjadi karena adanya mekanisme imunolog yang kompleks, aliran darah ke plasenta berkurang, akibatnya suplai zat makanan yang dibutuhkan janin berkurang. Penyebabnya karena penyempitan pembuluh darah yang unik, yang tidak terjadi pada setiap orang selama kehamilan (Indiarti, 2009 & Cuningham, 2001). Perdarahan, infeksi, dan eklampsia, merupakan komplikasi yang tidak selalu dapat diramalkan sebelumnya dan mungkin saja terjadi pada ibu hamil yang telah diidentifikasikan normal (Senewe & Sulistiawati, 2006).

Di seluruh dunia, insiden atau kejadian preeklampsia berkisar antara 2% dan 10% dari kehamilan. Insiden dari preeklampsia awal bervariasi di seluruh dunia. WHO (World Health Organization) mengestimasi insiden preeklampsia hingga tujuh kali lebih tinggi di negara-negara berkembang (2,8% dari kelahiran hidup) dibandingkan dengan negara maju (0,4%) (Osungbade dan Ige, 2011).

Menurut WHO preeklampsia memengaruhi tujuh sampai sepuluh persen dari seluruh kehamilan di Amerika Serikat (WHO, 2009). Di Inggris kurang dari 10 wanita meninggal akibat preeklampsia setiap tahunnya, dan mempengaruhi maternal yang mengakibatkan kematian, di negara yang kurang berkembang terdapat 50.000 kematian maternal yang disebabkan oleh preeklampsia dan eklampsia (Champman, 2006). Pada sisi lain insiden dari eklampsia pada negara berkembang sekitar 1 kasus per 100 kehamilan sampai 1 kasus per 1700 kehamilan. Pada negara Afrika seperti Afrika Selatan, Mesir, Tanzania dam Etiopia bervariasi sekitar 1,8% sampai dengan 7,1%. Di Nigeria prevalensinya sekitar 2% sampai dengan 16,7% (Osungbade dan Ige, 2011).

Angka Kematian Ibu (AKI) di Sub Sahara Afrika 270/100.000 kelahiran hidup, Asia Selatan 188/100.000 kelahiran hidup dan di negara-negara ASEAN seperti Singapura 14/100.000 kelahiran hidup, Malaysia 62/100.000 kelahiran hidup, Thailand 110/100.000 kelahiran hidup, Vietnam 150/100.000 kelahiran hidup, Filipina 230/100.000 kelahiran hidup dan Myanmar 380/100.000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu di Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Kematian ibu akibat komplikasi dari kehamilan dan persalinan tersebut terjadi pada wanita usia 15-49 tahun diseluruh dunia (Widyawati, 2010). Indonesia merupakan negara yang mempunyai AKI tertinggi di ASEAN. Pada tahun 2010, AKI menjadi 228 per-100.000 (Depkes RI, 2010).

Berdasarkan distribusi persentase penyebab kematian ibu melahirkan sebesar 28% perdarahan, 24% eklampsia, 11% Infeksi, 5% abortus, 5% persalinan lama, 3%

emboli obat, 8% komplikasi masa puerperium, 11 % lain – lain (Widyawati, 2010). Kematian ibu di Indonesia disebabkan oleh multifaktor, baik faktor secara langsung maupun faktor tidak langsung, 90% kematian ibu disebabkan oleh faktor langsung yaitu terjadlnya komplikasi pada saat kehamilan dan segera setelah bersalin dengan rincian 28% akibat pendarahan, 24% akibat eklampsia dan 11% akibat infeksi. Sedangkan penyebab tidak langsung antara lain ibu hamil yang kurang asupan energi atau kekurangan energi protein sebesar 37%, dan adanya kejadian anemia sebesar 40% (Depkes RI, 2001). Salah satu penyebab kematian terbanyak adalah preeklampsia dan eklampsia yang bersama infeksi dan pendarahan, diperkirakan mencakup 75-80 % dari keseluruhan kematian maternal. Kejadian preeklampsia-eklampsia dikatakan sebagai masalah kesehatan masyarakat apabila CFR PE-E mencapai 1,4%-1,8% (Ammiruddin dkk, 2007).

Angka kejadian preeklampsia/eklampsia lebih banyak terjadi di negara berkembang dibanding pada negara maju. Hal ini disebabkan oleh karena di negara maju perawatan prenatalnya lebih baik. Kejadian preeklampsia dipengaruhi oleh paritas, ras, faktor genetik dan lingkungan. Kehamilan dengan preeklampsia lebih umum terjadi pada primigravida, sedangkan pada multigravida berhubungan dengan penyakit hipertensi kronis, diabetes melitus dan penyakit ginjal (Baktiyani, 2005).

Di negara maju angka kejadian preeklampsia berkisar 6-7% dan eklampsia 0,1-0,7%, sedangkan angka kematian ibu yang diakibatkan preeklampsia dan eklampsia di negara berkembang masih tinggi. Preeklampsia salah satu sindrom yang

dijumpai pada ibu hamil di atas 20 minggu terdiri dari hipertensi dan proteinuria dengan atau tanpa edema (Amelda, 2009).

Data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2010 menunjukkan jumlah kematian ibu masih sangat tinggi yaitu 228 kematian pada setiap 100.000 kasus dimana penyebab kematian ibu di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal, seperti pendarahan yang mencapai 28%, eklampsia atau keracunan saat kehamilan (24%), infeksi (11%) (Sri, 2011).

Berkat kemajuan dalam bidang anestesi, teknik operasi, pemberian cairan infus dan transfusi dan peranan antibiotik yang semakin meningkat, maka penyebab kematian ibu karena perdarahan dan infeksi dapat diturunkan dengan nyata. Namun penderita preeklampsia dapat berkembang menjadi preeklampsia berat karena ketidaktahuan dan sering terlambat mencari pertolongan. Sehingga angka kematian ibu karena preeklampsia belum dapat diturunkan (Haryono, 2006).

Frekuensi terjadinya preeklampsia dan eklampsia bertambah seiring dengan tuanya kehamilan, umumnya pada Primigravida Triwulan III, umur diatas 35 tahun, bisa dijadikan penyebab pada kejadian preeklampsia dan eklampsia (Mochtar, 2006). Ibu hamil haruslah mempunyai keberdayaan atau kemandirian untuk mengambil sikap melakukan pemeriksaan antenatal care, sehingga dapat diketahui terjadinya masalah preeklampsia dalam kehamilannya dan dapat dengan segera dilakukan pencegahan pada kondisi yang lebih berat (preeklampsia berat) (Rejeki dan Hayati, 2005).

Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2010 dilaporkan bahwa pemeriksaan kehamilan oleh tenaga kesehatan sudah lebih baik, yaitu 84%. Akan tetapi masih ada 2,8% tidak melakukan pemeriksaan kehamilan, dan 3,2% masih memeriksakan kehamilan ke dukun. Selain itu diketahui akses (K1) adalah 92,8% ibu hamil mengikuti pelayanan antenatal, akan tetapi hanya 61,3% selama kehamilan memeriksakan kehamilan minimal 4 kali (K4) (Suparyanto, 2011).

Ibu hamil perlu mewaspadai Preeklampsia dan Eklampsia (PE-E) karena di Indonesia menjadi penyebab 30-40 % kematian perinatal. Di beberapa rumah sakit di Indonesia, Preeklampsia-Eklampsia menjadi penyebab utama kematian maternal, menggeser Perdarahan dan Infeksi. Fakta ini terungkap dalam Simposium Pelantikan Dokter Periode 163 Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta (Kompas, 2008).

Asuhan antenatal penting untuk menjamin agar proses alamiah tetap berjalan normal selama kehamilan. WHO memperkirakan bahwa sekitar 15% dari seluruh wanita yang hamil akan berkembang menjadi komplikasi yang berkaitan dengan kehamilan serta dapat mengancam jiwanya. Tujuan utama dari asuhan antenatal

adalah untuk mempersiapkan ibu dan bayinya dalam keadaan sehat dengan cara membangun hubungan saling percaya dengan ibu, mendeteksi tanda bahaya yang mengancam jiwa, mempersiapkan kelahiran dan memberikan pendidikan kepada ibu (Depkes RI, 2002).

Antenatal Care merupakan pemeriksaan kehamilan untuk mengoptimalisasi kesehatan mental dan fisik ibu hamil, sehingga mampu menghadapi persalinan, nifas, persiapan memberikan ASI, dan kembalinya kesehatan reproduksi secara wajar

(Rozikhan, 2006). Pemeriksaan antenatal dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih dan terdidik dalam bidang kebidanan. Ibu hamil dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan antenatal sebanyak 4 kali, yaitu pada setiap trimester dan trimester terakhir sebanyak 2 kali (Kartika, 2001). Dengan kunjungan ANC yang teratur dan rutin dapat diketahui tanda-tanda preeklampsia, yang sangat penting dalam usaha pencegahan preeklampsia berat dan eklampsia (Wiknjosastro, 2007).

Preeklampsia berat merupakan risiko yang membahayakan ibu di samping membahayakan janin. Ibu hamil yang mengalami preeklampsia berisiko tinggi mengalami gagal ginjal akut, pendarahan otak, pembekuan darah intravaskular, pembengkakan paru-paru, kolaps pada sistem pembuluh darah dan eklampsia. Risiko preeklampsia pada janin antara lain plasenta tidak mendapat asupan darah yang cukup, sehingga janin bisa kekurangan oksigen dan makanan Hal ini dapat menimbulkan rendahnya bobot tubuh bayi ketika lahir dan juga menimbulkan masalah lain pada bayi seperti kelahiran prematur sampai dengan kematian pada saat kelahiran (Prawirohardjo, 2008).

Faktor-faktor yang memengaruhi kesehatan ibu hamil berdasarkan Program Keluarga Harapan (PKH) adalah antenatal care, gizi ibu hamil (tablet zat besi) dan imunisasi tetanus toxoid (Prasetyawati, 2012). Menurut hasil penelitian Rozikhan (2004) menyatakan bahwa ibu hamil mempunyai risiko 1,5 kali lebih besar untuk mengalami preeklampsia berat karena kurang dalam melakukan antenatal care. Menurut hasil penelitian Langelo (2012) di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Makasar menyatakan bahwa antenatal care berhubungan dengan kejadian

preeklampsia karena berguna untuk mengawasi dan memonitor kesehatan ibu dan bayi sehingga semuanya berjalan lancar dengan nilai OR 2,72 (95% CI). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rozanna (2009) menunjukkan bahwa ibu yang tidak melakukan antenatal care merupakan faktor risiko terhadap kejadian preeklampsia dengan nilai OR 2,66 (95% CI).

Kepatuhan seorang ibu hamil dalam memeriksakan kehamilannya sangat diperlukan agar setiap keluhan dapat ditangani sedini mungkin dan informasi yang penting bagi ibu hamil dapat tersampaikan sehingga angka kematian ibu dapat ditekan menjadi seminimal mungkin. Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang amat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketika persalinan, disamping itu juga untuk menjaga pertumbuhan dan kesehatan janin. Memahami perilaku perawatan kehamilan (antenatal care) adalah penting untuk mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri (Kandrawilko, 2009).

Menurut Roeshadi (2006) yang mengutip hasil penelitian Sukatendel tahun 2005 tentang kejadian preeklampsia di Rumah Sakit Pirngadi Medan dan Rumah Sakit Haji Adam Malik tahun 2004 bahwa masalah yang sering dihadapi pada penderita preeklampsia dan eklampsia adalah penderita tidak melakukan pemeriksaan

antenatal secara teratur dan sering datang terlambat ke rumah sakit. Sekitar 40% serangan kejang pada penderita eklampsia biasanya terjadi sebelum penderita masuk ke rumah sakit.

Konseling yang diberikan petugas kesehatan dapat membantu ibu untuk memantau perkembangan dan kesehatan pada masa kehamilan. Informasi yang diberikan petugas kesehatan kepada ibu yang memiliki risiko preeklampsia/eklampsia dapat melakukan upaya-upaya pencegahan dengan melakukan pemeriksaan rutin, menghindari konsumsi makanan yang dapat menimbulkan hipertensi dalam kehamilannya. Selain itu penyebab kematian ibu dan perinatal dapat dicegah dengan pemeriksaan kehamilan (antenatal care) yang memadai (Manuaba, 2008). Target cakupan kesehatan ibu yang dicapai pada tahun 2009 masing-masing sebesar 94% untuk akses pelayanan antenatal (cakupan ibu hamil K1), 84% untuk cakupan pelayanan ibu hamil sesuai standar (K4) (Depkes RI, 2010).

Pelaksanaan antenatal care dilakukan minimal 4 kali, yaitu l kali pada trimester I, 1 kali pada trimester II dan 2 kali pada trimester III. Namun jika terdapat kelainan dalam kehamilannya, maka frekuensi pemeriksaan disesuaikan menurut kebutuhan masing- masing. Ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan dikatakan teratur jika melakukan pemeriksaan kehamilan ≥ 4 kali kunjungan, kurang

teratur jika pemeriksaan kehamilan 2-3 kali kunjungan dan tidak teratur jika ibu hamil hanya melakukan pemeriksaan kehamilan kurang dari 2 kali kunjungan (WHO, 2006).

Penelitian yang dilakukan Soedjones pada tahun 1983 di 12 RS. Pendidikan Indonesia, didapat kejadian preeklampsia dan eklampsia 5,30% dengan kematian perinatal 10,83%/1000 (4,9 x lebih besar dibanding kehamilan normal). Sedangkan penelitian Lukas dan Rambulangi tahun 1994, di 12 RS pendidikan di Makasar

insiden preeklampsia berat 2,61%, eklampsia 84% dan angka kematian akibatnya 22,2% (Ridwananiruddin, 2007). Menurut Sunidaya (2000) mendapatkan angka kejadian preeklampsia dan eklampsia di RSU Tarakan Kalimantan Timur sebesar 74 kasus (5,1%) dari 1431 persalinan selama periode 1 Januari 2000 sampai 31 Desember 2000, dengan preeklampsia sebesar 61 kasus (4,2%) dan eklampsia 13 kasus (0,9%).

Pada tahun 2010 di RS DR.Pirngadi Medan juga ditemukan 43 kasus preeklampsia berat/eklampsia per 531 (8,1%) kehamilan. Pada tahun 2011 ditemukan 73 kasus per 644 (11,3%) kehamilan. Berdasarkan data tersebut terjadi peningkatan kasus preeklampsia dan eklampsia disebabkan karena tidak teraturnya pemeriksaan

antenatal care yang pernah dilakukan ibu hamil sehingga tidak dapat mendeteksi dini secara dini gangguan kesehatan yang dialami selama kehamilan dan kunjungan pemeriksaan yang dianjurkan belum dilaksanakan sehingga keterpaparan informasi yang diberikan petugas kesehatan melalui konseling masih terbatas. Penyakit preeklampsia harus dideteksi sedini mungkin, karena penyakit tersebut merupakan masalah kebidanan yang belum dapat ditanggulangi dengan tuntas. Kehamilan dengan preeklampsia dapat terjadi pada wanita yang sebelumnya mempunyai tekanan darah yang normal. Kehamilan dengan preeklampsia dapat dicegah, jika sebelumnya ibu patuh dalam melakukan antenatal care. Sebab tidak semua ibu hamil dapat dan mau melaksanakan perawatan kehamilan secara teratur dan patuh terhadap nasehat yang diberikan oleh tenaga kesehatan utuk mencegah memberatnya penyakit.

Di Rumah Sakit Ibu dan Anak Restu ibu dijumpai peningkatan kasus pre eklampsia setiap tahun. Pada tahun 2011 terdapat 32 kasus preeklampsia dan pada tahun 2012 terdapat peningkatan kasus preeklampsia sebanyak 37 kasus. Preeklampsia dapat dikurangi dengan pemberian pengetahuan dan pengawasan yang baik pada ibu hamil. Pengetahuan yang diberikan berupa tentang manfaat diet dan istirahat yang berguna dalam pencegahan. Istirahat tidak selalu berarti berbaring, dalam hal ini yaitu dengan mengurangi pekerjaan sehari-hari dan dianjurkan lebih banyak duduk dan berbaring. Diet tinggi protein dan rendah lemak, karbohidrat, garam dan penambahan berat badan yang tidak berlebihan sangat dianjurkan. Mengenal secara dini preeklampsia dan merawat penderita tanpa memberikan diuretika dan obat antihipertensi merupakan manfaat dari pencegahan melalui pemeriksaan antenatal yang baik (Wiknjosastro, 2006).

Penanganan preeklampsia terdiri atas pengobatan medik yang dilakukan secara simtomatis menurut etiologi preeklampsia. Penanganan obstetrik bertujuan agar dapat melahirkan bayi pada saat yang optimal, yaitu sebelum janin mati dalam kandungan dan sudah cukup matur untuk hidup di luar uterus (Manuaba, 1998).

Keberhasilan penangan preeklampsia pada preeklampsia ringan terjadi penurunan tekanan darah diastolik di bawah 15 mmHg dan tidak ditemukan proteinuria. Tidak ditemukan adanya edema. Meminimalkan gejala-gejala ke arah preeklampsia berat. Pertumbuhan janin, denyut jantung janin dan gerakan janin baik. Pemberian obat antihipertensi, jika tekanan diastoliknya di atas 110 mmHg. Keberhasilan dalam penanganan preeklampsia berat dan eklampsia diketahui dengan

penurunan tekanan darah diastolik diatas 110 mmHg sampai mencapai antara 90-100 mmHg, tidak ditemukan edema paru, tidak terjadi dekompensasi kordis atau gagal ginjal akut, tidak terjadi kejang dan trauma, tanda-tanda vital, refleks, dan denyut jantung janin dalam keadaan baik, tidak terjadi pembekuan darah, dan tidak terjadi depresi neonatal (Saifuddin, 2002).

Kemampuan mengenali dan mengobati preeklampsia ringan agar tidak berlanjut menjadi preeklampsia berat dan mencegah preeklampsia berat menjadi eklampsia. Hal ini hanya bisa diketahui bila ibu hamil memeriksakan dirinya selama hamil, meliputi pengukuran tensi setiap saat serta pemberian vitamin dan mineral. Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu serta teliti mengenai tanda-tanda sedini mungkin (preeklampsia ringan), dan diberikan pengobatan yang cukup supaya penyakit tidak menjadi lebih berat. Adanya selalu kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya preeklampsia. Memberikan penerangan tentang manfaat istirahat dan tidur, ketenangan, serta pentingnya mengatur diit rendah garam, lemak, serta karbohidrat dan tinggi protein, juga menjaga kenaikan berat badan yang berlebihan (Putri, 2009).

Berdasarkan hasil survei awal pada 6 orang ibu hamil yang pernah menderita preeklampsia diketahui seluruhnya ibu masih menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah dan kodrati. Ada 4 orang ibu yang merasa tidak perlu memeriksakan dirinya secara rutin ke pelayanan kesehatan karena sebelumnya merasa tidak pernah mengalami preeklampsia, 2 orang ibu mempunyai 1 orang anak dan usianya di atas 37 dan 38 tahun dan 2 orang lagi berusia 39 tahun, sedangkan 2

orang ibu hamil lagi ada kurang menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan, ibu belum pernah mempunyai anak dan ibu tersebut tidak patuh mengikuti anjuran peugas kesehatan untuk melakukan ANC. Kedua ibu tersebut hanya 1 kali melakukan pemeriksaan ANC pada trimester pertama. Salah satu berusia 35 tahun dan yang satunya lagi berusia 36 tahun. Ibu hamil yang tidak memeriksakan kehamilannya menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor risiko tinggi yang mungkin dialami. Risiko ini baru diketahui pada saat persalinan yang sering kali karena kasusnya sudah terlambat dapat membawa akibat fatal yaitu kematian. Hal ini kemungkinan disebabkan ibu hamil tersebut tidak mematuhi anjuran dokter untuk melakukan pemeriksaan ANC, mengatur pola makan dan istirahat yang cukup.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka ingin dilakukan penelitian tentang “Pengaruh kepatuhan ibu hamil terhadap keberhasilan penanganan preeklampsia di Rumah Sakit Ibu dan Anak Restu Ibu Medan tahun 2013.”

1.2 Permasalahan

Adanya peningkatan kejadian preeklampsia berat yang dijumpai pada ibu hamil, sehingga rumusan masalah yang akan diteliti adalah bagaimana “Pengaruh kepatuhan ibu hamil terhadap keberhasilan penanganan preeklampsia di Rumah Sakit Ibu dan Anak Restu Ibu Medan Tahun 2013.”

Dokumen terkait