• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia

terutama negara berkembang. Munculnya epidemik Human Immunodeficiency

Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) di dunia

menambah permasalahan TB, dimana ko-infeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB aktif secara signifikan. TB juga menjadi penyebab paling umum kematian pada penderita AIDS (Pawlowski, 2012).

Pada tahun 2013 diperkirakan 9 juta orang terjangkit TB, dan 1,5 juta orang meninggal karena TB (1,1 juta orang diantaranya HIV negatif dan 360.000 orang HIV positif.) TB merupakan tantangan bagi pengendalian AIDS karena merupakan penyakit yang sering terjadi pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) (31,8%). World Health Organization (WHO) memperkirakan jumlah pasien TB dengan status HIV positif di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 7,5%, terjadi peningkatan jika dibandingkan tahun 2012 yang hanya 3,3% (WHO, 2014).

Secara umum beban TB di Indonesia juga masih sangat besar, menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi TB berdasarkan diagnosis sebesar 0,4% dari jumlah penduduk. Dengan kata lain, rata-rata tiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 400 orang yang didiagnosis kasus TB oleh tenaga kesehatan. Hasil Riskesdas 2013 tersebut tidak berbeda dengan Riskesdas 2007 yang menghasilkan angka prevalensi TB paru 0,4%.

Perkembangan jumlah kasus baru HIV positif di Indonesia juga kembali mengalami peningkatan secara signifikan. Data pada Profil Kesehatan Indonesia tahun 2013 menyebutkan bahwa setelah tiga tahun berturut-turut (2010-2012) cukup stabil, pada tahun 2013 kenaikan jumlah kasus HIV mencapai 35% dibanding tahun 2012. Lebih dari dua per lima provinsi (14 provinsi) di Indonesia memiliki jumlah kasus HIV > 440. Jumlah kasus HIV pada kelompok tersebut hampir 90% dari seluruh jumlah kasus HIV di Indonesia. Secara kumulatif, kasus AIDS sampai dengan tahun 2013 sebesar 52.348 kasus. Menurut jenis kelamin,

persentase kasus baru AIDS tahun 2013 pada kelompok laki-laki 1,9 kali lebih besar dibandingkan pada kelompok perempuan. Penderita AIDS pada laki-laki sebesar 55,1% dan pada perempuan sebesar 29,7%. Sebesar 15,2% penderita AIDS tidak diketahui jenis kelaminnya.

Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik yang paling sering ditemukan pada anak terinfeksi HIV dan menyebabkan peningkatan angka kesakitan dan kematian pada kelompok tersebut. Besarnya angka kejadian TB pada anak terinfeksi HIV sampai saat ini sulit diperoleh secara akurat. Meningkatnya jumlah kasus TB pada anak terinfeksi HIV disebabkan tingginya transmisi

Mycobacterium tuberculosis dan kerentanan anak (CD 4 kurang dari 15%, umur

di bawah 5 tahun). Peningkatan kasus HIV pada dewasa mengakibatkan peningkatan jumlah anak yang terinfeksi HIV pada umur yang rentan sehingga anak tersebut sangat mudah terkena TB terutama TB berat (TB milier dan TB meningitis). (KEMENKES, 2013)

Tuberkulosis pada anak merupakan faktor penting di negara-negara berkembang karena jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40−50% dari jumlah seluruh populasi. Sekurang-kurangnya 500.000 anak menderita TB setiap tahun, 200 anak di dunia meninggal setiap hari akibat TB, 70.000 anak meninggal setiap tahun akibat TB. Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011 dan 8,2% pada tahun 2012. Apabila dilihat data per provinsi, menunjukkan variasi proporsi dari 1,8% sampai 15,9%. Hal ini menunjukan kualitas diagnosis TB anak masih sangat bervariasi pada level provinsi (KEMENKES, 2013).

Data di atas menunjukkan bahwa Permasalahan TB masih memerlukan perhatian yang lebih baik dalam program pengendaliannya. Secara umum, tantangan utama dalam program pengendalian TB anak adalah kecenderungan diagnosis yang berlebihan (overdiagnosis), disamping juga masih adanya

underdiagnosis, penatalaksanaan kasus yang kurang tepat, pelacakan kasus yang

belum secara rutin dilaksanakan serta kurangnya pelaporan pasien TB anak. (KEMENKES, 2011)

Beban kasus TB anak di dunia tidak diketahui karena kurangnya alat

diagnostik yang “child-friendly” dan tidak adekuatnya sistem pencatatan dan

pelaporan kasus TB anak. Diperkirakan banyak anak menderita TB tidak mendapatkan penatalaksanaan yang tepat dan benar sesuai dengan ketentuan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Short-Course). Kondisi ini akan memberikan peningkatan dampak negatif pada morbiditas dan mortalitas anak (KEMENKES, 2013).

Dalam usaha pemberantasan penyakit TB paru, pencarian kasus merupakan unsur yang penting untuk keberhasilan pelaksanaan program pengobatan. Hal ini ditunjang oleh sarana diagnostik yang tepat. Diagnosis kerja TB anak dibuat berdasarkan adanya kontak terutama dengan pasien TB dewasa aktif/baru, kumpulan gejala dan tanda klinis, uji tuberkulin, dan gambaran sugestif pada foto toraks. Meskipun demikian, sumber penularan tidak selalu dapat teridentifikasi, sehingga analisis yang seksama terhadap semua data klinis sangat diperlukan (Rahajoe dan Setyanto, 2010)

Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular yang lain adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium

tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal,

cairan pleura ataupun biopsi jaringan. Hanya saja, diagnosis pasti pada anak sulit didapatkan karena jumlah kuman yang sedikit pada TB anak (paucibacillary), dan lokasi kuman di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga hanya 10-15 % pasien TB anak yang hasil pemeriksaan mikrobiologiknya positif/ditemukan kuman TB (Rahajoe dan Setyanto, 2010; KEMENKES, 2013).

Pencitraan toraks merupakan pemeriksaan radiologis yang paling sering dikerjakan dan merupakan salah satu pemeriksaan yang penting dan menuntut. Analisis Roentgen toraks (chest x-ray) yang komprehensif juga merupakan kegiatan intelektual. Pemeriksaan paru tanpa pemeriksaan Roentgen saat ini dapat dianggap tidak lengkap. Suatu penyakit paru belum dapat disingkirkan dengan pasti sebelum dilakukan pemeriksaan radiologi. Selain itu, berbagai kelainan dini dalam paru juga sudah dapat dilihat dengan jelas pada foto Roentgen sebelum timbul gejala klinis (Eastman, 2013).

Tuberkulosis pada anak sering disebut sebagai TB primer dan biasanya memiliki karakteristik foto toraks yang tidak khas. Namun demikian pemeriksaan foto toraks tetap dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam penegakan diagnosis TB anak. TB primer disebut memiliki karakteristik berupa adanya lesi di lobus bawah, lobus tengah, dan lingula serta segmen anterior lobus atas. Kelainan foto toraks yang dominan adalah berupa limfadenopati hilus dan mediastinum (Icksan dan Luhur S, 2008)

Pada anak dengan Tuberkulosis-HIV, gambaran radiologis yang dapat dijumpai antara lain berupa pembesaran Kelenjar Getah Bening (KGB) hilus, efusi pleura, milier, gambaran pneumonia, atelektasis, kavitas dan bronkiektasis. Pada anak terinfeksi HIV, gambaran radiologi LIP (Lymphocytic interstitial

pneumonitis) menyerupai TB milier. Di antara berbagai gambaran radiologi

tersebut, pembesaran KGB hilus merupakan gambaran yang paling sering ditemukan. (KEMENKES, 2012).

Studi yang dilakukan oleh Badie et al. (2012) menyebutkan bahwa gambaran foto toraks yang tersering didapatkan pada penderita TB-HIV adalah gambaran atipikal. Salah satunya adalah gambaran infiltrat milier yang lebih banyak dijumpai pada TB-HIV dibanding TB non-HIV. Sementara itu dari hasil penelitian Mahomed (2013) didapatkan perbedaan yang signifikan secara statistik pada hasil pemeriksaan foto toraks anak dengan TB pada kondisi imunokompromais karena infeksi HIV dengan yang non-imunokompromais. Dimana gambaran limfadenopati lebih banyak dijumpai pada kelompok non-imunokompromais dibanding kelompok non-imunokompromais (p =0.041).

Berdasarkan berbagai uraian tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut perbandingan karakteristik foto toraks tuberkulosis dengan dan tanpa infeksi HIV pada anak di RSUP HAM, Medan. Dimana, berdasarkan survey pendahuluan, dari 1 Januari 2012 – 31 Desember 2014 ada 113 pasien anak yang didiagnosis TB dan 41 pasien diantaranya didiagnosis TB-HIV.

Dokumen terkait