• Tidak ada hasil yang ditemukan

PIDANA KORUPS

A. Latar Belakang Permasalahan

Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.1 Penyidikan merupakan suatu tahap terpenting dalam kerangka hukum acara pidana di Indonesia karena dalam tahap ini pihak penyidik berupaya mengungkapkan fakta-fakta dan bukti-bukti atas terjadinya suatu tindak pidana serta menemukan tersangka pelaku tindak pidana tersebut.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan yang dimaksud dengan penyidik adalah orang yang melakukan penyidikan yang terdiri dari pejabat yaitu Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) yang terbagi menjadi Pejabat penyidik penuh dan pejabat penyidik pembantu, serta Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang- undang.2 Namun, dalam hal tertentu jaksa juga memiliki kewenangan sebagai penyidik terhadap perkara / tindak pidana khusus, seperti perkara Hak Asasi Manusia dan Tindak Pidana Korupsi.3 Selain itu berdasarkan Undang-Undang No.

1

Indonesia (a) ,Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana, UU No.8 Tahun 1981, LN. No.76 Tahun !981, TLN No. 3209, pasal 1 angka 2.

2

Ibid., pasal 1 angka 1 jo. Pasal 6 jo. pasal 10

3

Ibid., pasal 284 ayat (2) jo. Indonesia (b) , Undang-Undang Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, UU No. 16 Tahun 2004, LN. No. 67 Tahun 2004, TLN No. 4401, pasal 30

30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) disebutkan bahwa penyidik tindak pidana korupsi adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.4

Sebelum dimulainya suatu proses penyidikan, terlebih dahulu telah dilakukan proses penyelidikan pada suatu perkara tindak pidana yang terjadi. Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan pengertian penyelidikan adalah sebagai berikut :

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.5

Dari pengertian tersebut terlihat bahwa penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan, namun pada tahap penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan “ mencari dan menemukan” suatu “peristiwa” yang

ayat (1), huruf d. Dalam penjelasan UU. No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia dijelaskan bahwa undang-undang tersebut mengatur dan menyempurnakan kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu, hal ini dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan, misalnya Undang-Undang No. 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, dan Undang- Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4

Indonesia ( c ) , Undang-Undang Nomor 30 Tentang Komisi Pemerantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002 LN. No. 137 Tahun 2002, TLN No. 4250 pasal 45. ( Selanjutnya Penulis akan menyebut dengan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK)

5

dianggap atau diduga sebagai suatu tindak pidana.6 Sedangkan pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Hampir tidak ada perbedaan makna antara keduanya (penyelidikan dan penyidikan), hanya bersifat gradual saja. Antara penyelidikan dan penyidikan saling berkaitan dan isi mengisi guna dapat diselesaikan pemeriksaan suatu peristiwa pidana.7

Keberhasilan penyidikan suatu tindak pidana akan sangat mempengaruhi berhasil tidaknya penuntutan Jaksa Penuntut Umum pada tahap pemeriksaan sidang pengadilan nantinya. Namun bagaimana halnya bila penyidikan berhenti ditengah jalan? Undang-Undang memberikan wewenang penghentian penyidikan kepada penyidik, yakni penyidik berwenang bertindak menghentikan penyidikan yang telah dimulainya. Hal ini ditegaskan Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang memberi wewenang kepada penyidik untuk menghentikan penyidikan yang sedang berjalan. Pasal 19 ayat (2) KUHAP menyatakan:8

Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.

Dengan demikian dapat disimpulkan alasan-alasan penyidik menghentikan penyidikan sesuai dengan Pasal 19 ayat (2) KUHAP adalah sebagai berikut:

6

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan ( Edisi Kedua), ( Jakarta : Sinar Grafika, 2003), hal 101.

7

Ibid., hal 109.

8

1. Karena tidak terdapat cukup bukti;

2. Karena peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana; 3. Penyidikan dihentikan demi hukum.

Ketika penyidik memulai tindakan penyidikan, kepadanya dibebani kewajiban untuk memberitahukan hal dimulainya penyidikan tersebut kepada penuntut umum. Akan tetapi masalah kewajiban pemberitahuan itu bukan hanya pada permulaan tindakan penyidikan, melainkan juga pada tindakan penghentian penyidikan. Untuk itu, setiap penghentian penyidikan yang dilakukan pihak penyidik secara resmi harus menerbitkan suatu Surat perintah Penghentian Penyidikan (SP3).9 Pemberian SP3 yang akan dibahas dalam penelitian ini bukanlah pemberian SP3 terhadap tindak pidana biasa/umum, seperti pembunuhan, penganiayaan, dan sebagainya, melainkan hanyalah dikhususkan pada pemberian SP3 terhadap tindak pidana khusus yaitu tindak pidana korupsi yang dalam beberapa waktu belakangan ini mengundang kontroversi dan perdebatan serta menciptakan persepsi yang cenderung negatif terhadap kinerja dan citra aparat penegak hukum, khususnya penyidik tindak pidana korupsi yang seringkali mengeluarkan SP3.10

Dikeluarkannya SP3 selalu menjadi bahan tudingan dari masyarakat bahwa penegak hukum tidak serius dalam menyelesaikan berbagai kasus tindak

9

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktis dan Permasalahannya,(Bandung: P.T. Alumni, 2007), hal 54. (Selanjutnya Penulis akan menyebut Surat Perintah Penghentian Penyidikan dengan SP3).

10

Tindak pidana Korupsi digolongkan oleh para ahli hukum sebagai extra ordinary crime

atau kejahatan luar biasa dikarenakan bukan hanya menyebabkan kerugian pada keuangan Negara dan menyengsarakan rakyat banyak, namun juga merusak moral dan karakter bangsa serta sendi- sendi kehidupan nasional. Oleh karena itu tindak pidana korupsi membutuhkan penanganan yang luar biasa pula.

pidana korupsi yang terjadi di negara ini. Di mata masyarakat yang mengehendaki agar pelaku tindak pidana korupsi diproses secara hukum dan dikenai hukuman yang seadil-adilnya, pemberian SP3 dianggap sebagai tindakan yang merusak harapan masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi.11 Dari ketiga alasan penghentian penyidikan berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang telah disebutkan diatas, alasan pertama yaitu karena tidak terdapat cukup bukti merupakan alasan yang paling sering digunakan oleh penyidik tindak pidana korupsi.12 Hal ini Penulis amati dari berbagai contoh perkara korupsi yang terjadi, di mana dilakukan penghentian penyidikan oleh penyidik dalam beberapa perkara tindak pidana korupsi yang dapat dikatakan besar.13 Berdasarkan data yang dihimpun Indonesian Corruption Watch (ICW), hingga saat ini, tercatat ada 25 tersangka kasus korupsi besar yang dihentikan penyidikannya, baik oleh Kejaksaan Agung maupun Kejaksaan Tinggi di daerah. Data tersebut diperoleh berdasarkan laporan media massa yang berhasil dihimpun selama 5 (lima) tahun terakhir ( 1999-2005). Pihak Kejaksaan selaku institusi yang melakukan penghentian penyidikan tidak mempunyai data-data yang akurat mengenai nama dan jumlah pelaku korupsi yang menerima SP3.14

11

Emerson Yuntho, “ Mencermati Pemberian SP3 Kasus Korupsi ”, http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=11608&cl=Kolom, diakses pada Jumat, 20 Agustus 2010, pukul 15:10:21 WIB

12

Ibid.

13

Ibid. (Yang dimaksud penulis dengan perkara korupsi besar adalah perkara korupsi yang cukup besar menarik perhatian masyarakat, baik dari segi jumlah maupun tersangkanya antara lain Perkara Dugaan Korupsi Technical Assistance Contract (TAC), Dugaan Korupsi Dana BLBI, dan Dugaan Korupsi Jamsostek).

14

Terdapat suatu kejanggalan apabila kita menilik kembali ke tahapan awal dari proses pemeriksaan suatu perkara pidana kemudian menghubungkannya dengan alasan dikeluarkannya SP3. Pnyelidikan merupakan suatu tindakan penyelidik yang bertujuan mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan tindakan lanjutan penyidikan. Sehingga dengan adanya tahapan penyelidikan diharapkan tumbuh sikap hati-hati rasa tanggung jawab hukum yang bersifat manusiawi dalam melaksanakan tugas penegakan hukum sebelum dilanjutkan dengan tindakan penyidikan agar tidak terjadi tindakan yang melanggar hak asasi yang merendahkan harkat dan martabat manusia.15

Jadi pada intinya sebelum dilakukan proses penyidikan, penyelidik harus lebih dahulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti yang ada sebagai landasan tindak lanjut penyidikan.16 Sedangkan penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik dalam mencari dan mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya. Dari kedua rangkaian proses ini terdapat semacam graduasi antara tahap penyelidikan menuju ke tahap penyidikan , karena itu dibutuhkan kehati-hatian yang amat besar serta alasan yang jelas, meyakinkan dan relevan ketika aparat penegak hukum meningkatkan tahap penyelidikan ke tahap penyidikan. Hal ini tentu saja bertujuan untuk menjaga kredibilitas dan kewibawaan dari aparat penegak hukum itu sendiri agar tidak dinilai tergesa-gesa dalam melakukan rangkaian pemeriksaan terhadap suatu tindak pidana.

15

M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 102

16

Dari berbagai contoh kasus yang ada, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat beberapa kasus tindak pidana korupsi yang dalam pemeriksaan di tahap penyidikan kemudian diterbitkan SP3 oleh penyidik yang adalah pihak kejaksaan dengan alasan yang dinilai kurang transparan dan tidak jelas. Dengan demikian yang menjadi persoalan adalah pemberian SP3 oleh kejaksaan terhadap perkara tindak pidana korupsi dimana dasar pemberian SP3 itu dinilai kurang transparan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan terhadap ketentuan-ketentuan hukum acara yang berlaku.17

Berbeda dengan Kejaksaan dan POLRI sebagai penyidik suatu tindak pidana, lembaga Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan sebuah institusi atau lembaga negara yang dibentuk dari Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak berwenang mengeluarkan SP3 dalam setiap penyidikan yang dilakukannya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang berbunyi, ” Komisi pemberantasan korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.”18

Pernyataan dalam pasal tersebut dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yang pertama ditinjau dari sudut pandang hak-hak yang dimiliki oleh seorang tersangka pada tindak pidana korupsi. Sekilas, ketentuan dalam pasal tersebut tentu saja dinilai mengebiri hak asasi tersangka yang juga merupakan

17 Emerson Yuntho,

Op. cit.

18

warga negara, sebab tanpa adanya SP3 , maka seseorang yang sudah dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK seolah-olah tidak lagi memiliki kemungkinan untuk dipulihkan kehormatan dan martabatnya, padahal filosofi adanya SP3 adalah sebagai sebuah mekanisme koreksi dan instrumen untuk memulihkan martabat tersangka bila penyidik ternyata tidak memiliki cukup bukti untuk meneruskan kasus ke tingkat penuntutan. Maka tanpa adanya mekanisme SP3, KPK akan memaksakan setiap kasus yang ditanganinya untuk diteruskan ke level yang lebih tinggi yaitu penuntutan dan pengadilan.19 Adanya Pasal 40 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK ini juga berarti seorang yang disangka melakukan tindak pidana korupsi, maka bagaimanapun juga kasusnya harus sampai ke pengadilan. Orang-orang KPK membenarkan hal ini dengan alasan untuk mencegah KPK menangkap orang secara sembarangan. Kalau benar seperti itu,maka maksud tersebut sungguh mulia sekali. Akan tetapi selain itu masih ada pembenaran lain yang tidak kalah mulianya, yaitu asas praduga tidak bersalah. Makna asas ini yang boleh menyatakan seseorang itu bersalah atau tidak adalah pengadilan. Sebelum pengadilan memutuskan seseorang itu bersalah atau tidak, bukanlah satu atau dua orang penyidik KPK yang penguasaan hukumnya sekuat majelis hakim. Dengan tidak dimilikinya wewenang pemberian SP3 itu oleh KPK, maka timbulah diskriminasi hukum terhadap warga negara. Disamping itu, terjadilah pula dualisme dalam sistem peradilan. Dalam hal ini, apabila ada dua orang yang disangka melakukan korupsi, maka mereka diadili dengan undang-

19 Suripto. “Wewenang Mahkamah Konstitusi Menguji Undang-Undang

(Judicial Review)”www.mahkamahkonstitusi.go.id/download/risalah_sidang_Perkara%20012.%20PUU- IV.2006.pdf, diakses pada Senin, 23 Agustus 2010, pukul 16:25:09 WIB.

undang yang sama, yaitu Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Tetapi lembaga yang mengadilinya berbeda. Yang satu diadili oleh Peradilan Umum, sedangkan yang lain diadili oleh Pengadilan Tipikor. Tersangka yang diadili oleh Peradilan Umum dapat menikmati SP3, wujudnya adalah si tersangka bisa tidak ditahan. Kalau sudah ditahan pun masih mungkin dikenakan tahanan luar. Akan tetapi tersangka yang diadaili oleh pengadilan Tipikor, tidak akan diberikan SP3, sekaipun dia belum terbukti bersalah. Apakah UUD 1945 membolehkan negara melakukan diskriminasi terhadap warga negara? Jawabannya terang benderang ’tidak boleh’. Hal ini tercantum dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 dimana dinyatakan bahwa ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Begitu juga dengan Pasal 28 I ayat 2 yang menyatakan bahwa ”Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.20

Akan tetapi berbeda halnya jika kita melihat dari sudut pandang lain, yaitu dari susut pandang latar belakang dibentuknya KPK yang berperan sebagai salah satu tonggak penegakan hukum dinegara Indonesia dalam usaha pemberantasan korupsi. Undang-Undang telah menggariskan KPK untuk selalu berada di luar cara-cara konvensional penegakan hukum karena tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana khusus yang sering disebut dengan extra ordinary crime, dan oleh karena itulah dibutuhkan cara-cara khusus pula untuk

20

mengananinya.21 Hal ini tercermin dalam wewenang yang dimiliki KPK yang berada diluar sistem hukum material dan formal undang-undang hukum pidana yang konvensional. Contoh tindakan yang tergolong non-konvensional adalah penyadapan atau merekam pembicaraan dalam rangka penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi.

Berbagai usaha telah dilakukan oleh banyak pihak yang merasa dirugikan oleh penerapan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK ini, diantaranya mengajukan judicial review atau pengujian materil mengenai klausula apakah undang-undang tersebut bertentang dengan Undang-Undang Dasar 1945 atau tidak. Adapun pihak-pihak tersebut antara lain terpidana kasus korupsi Prof. Nazaruddin Syamsudin untuk perkara No. 016/PUU-IV/2006, serta Mulyana W. Kusumah dan Captain Tarcisius Walla untuk perkara No.012 dan 019/PUU- IV/2006. Para pihak yang mengajukan judicial review tersebut berpendapat bahwa dengan adanya beberapa pengaturan kewenangan yang dimiliki KPK, seperti Pasal 40 dan Pasal 12 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK, telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sebelumnya, terhadap masalah ini juga pernah diajukan judicial review oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), namun MK menolak permohonan tersebut karena berpendirian bahwa pasal itu tidak bertentangan dengan konstitusi. Justru keberadaan pasal itu

21 Suara Pembaharuan, “Jadikan Korupsi Extra Ordinary Crime” http://www.prakarsa-

rakyat.org./artikel/fokus/artikel.php?aid=29687, diakses pada Rabu 25 Agustus 2010, pukul 21: 20.31

untuk menegakkan pesan konstitusi yaitu memberantas korupsi.22 Oleh karena itu, semuanya dikembalikan pada landasan sosiologis, yuridis dan filosofis undang-undang korupsi dan KPK itu sendiri yang berusaha mewujudkan clean government dan tegaknya keadilan bagi mereka yang melakukan perbuatan menyimpang.23 Dengan adanya Pasal 40 Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi penegakan hukum di Indonesia sehingga dapat mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia.

Maka berdasarkan latar belakang permasalahan yang diuraikan di atas, Penulis bermaksud menulis skripsi dengan judul ”ANALISIS YURIDIS TERHADAP KEWENANGAN PENYIDIK MENGELUARKAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS JUDICIAL REVIEW PASAL 40 UNDANG-UNDANG NO.30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)”

Dokumen terkait