• Tidak ada hasil yang ditemukan

PIDANA KORUPS

E. Kewenangan Melakukan Penyidikan Pada Perkara Tindak Pidana Korups

1. Tinjauan Umum Tentang Penyelidikan

Penyelidikan merupakan tahap persiapan atau permulaan dari penyidikan. KUHAP merumuskan pengertian penyelidikan adalah

Serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang di duga sebagai suatu tindak pidana guna menentukan dapat atau tindaknya di lakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang- undang.72

Penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan, akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Berdasarkan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupkan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang, mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.73

Pengertian penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian "tindakan pengusutan"' sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti sesuatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana. Karena penyelidikan merupakan tahap persiapan atau permulaan dari

71

Djoko Prakoso, Op. cit., hal 6.

72

Indonesia (a, Op. cit., pasal 1 angka 5.

73

penyidikan, Soesilo Yuwono mengatakan bahwa lembaga penyelidikan mempunyai fungsi sebagai "penyaring", apakah suatu peristiwa dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Sehingga kekeliruan pada tindakan penyidikan yang sudah bersifat upaya paksa terhadap seseorang dapat dihindarkan sedini mungkin.74

Penegasan dan pembedaan pengertian antara penyelidikan dan penyidikan sangat berguna demi untuk kejernihan fungsi pelaksanaan penegakan hukum sehingga:75

1. Telah tercipta penahapan tindakan guna menghindarkan cara-cara penegakan hukum yang tergesa-gesa seperti yang dijumpai pada masa- masa lalu. Akibat dari cara-cara penindakan yang tergesa-gesa dapat menimbulkan sikap dan tingkah laku aparat penyidik kepolisian sering tergelincir ke arah mempermudah dan menganggap sepele nasib seseorang yang diperiksa.

2. Dengan adanya tahapan penyelidikan, diharap tumbuh sikap rasa hati- hati dan rasa tanggung jawab hukum yang lebih bersifat manusiawi dalam melaksanakan tugas penegakan hukum. Meng hindari cara-cara penindakan yang men.jurus kepada mengutamakan pemerasan

pengakuan daripada menemukan keterangan dan bukti-bukti. Apalagi jika pengertian dan tujuan penahapan pelaksanaan fungsi penyelidikan dan penyidikan dihubungkan dengan Pasal 17 KUHAP (Perintah

74 Soesilo Yuwono

Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP, ( Bandung : Alumni, 1982), hal. 137.

75

penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup) semakin memperjelas pentingnya arti penyelidikan, sebelum dilanjutkan dengan tindakan penyidikan agar tidak terjadi tindakan yang melangar hak-hak asasi yang merendahkan harkat martabat manusia.

Mengigat pentingnya fungsi penyelidikan dalam kaitannya dengan fungsi penyidikan dengan segala konsekuensinya (terutama ganti rugi dan rehabilitasi), maka banyak hal yang harus mendapat perhatian dan ketelitian dari pejabat penyelidik dalam melaksanakan tugas-tugas penyelidikan yang dimaksud. Adapun hal-hal yang harus mendapatkan perhatian dan ketelitian tersebut antara lain:76

1. Penyelidikan sebagai rangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana.

Karena untuk dapat menentukan suatu peristiwa sebagai suatu tindak pidana atau bukan merupakan suatu tindak pidana memerlukan pengetahuan pengalaman yang memadai, maka seyogyanya penyelidikan ditangani oleh petugas-petugas penyidik yang memenuhi syarat ditinjau dari pengetahuan dan pengalamannya. Oleh karena itu adalah bijaksana apabila penugasan para pejabat penyelidik yang melakukan penyelidikan dilakukan secara selektif.

2. Penyelidikan sebagai suatu usaha untuk menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan terhadap suatu tindak pidana.

76

Harun M. Husein, Penyidikan dan Penentuan Dalam Proses Pidana (Jakarta : Rineka Cipta, 1991), hal 56.

Setelah seorang penyelidik mendapat kepastian bahwa suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, benar-benar merupakan suatu tindak pidana, maka ia masih harus menentukan apakah terhadap tindak pidana itu dapat atau tidak dilakukan penyidikan. Hal ini erat kaitannya dengan upaya penyidikan dalam mengumpulkan bahan- bahan berupa keterangan-keterangan maupun benda- benda yang diperlukan bagi dilakukannya tindakan penyidikan atas tindak pidana tersebut. Jadi yang menjadi inti dari tindakan penyelidikan itu adalah mengarah kepada pengungkapan bukti-bukti tentang telah dilakukannya suatu tindak pidana oleh seseorang yang di curigai sebagai pelakunya. Oleh karena itu pada tahap ini meskipun masih termasuk tahap penyelidikan, penyelidik sudah harus mendapat gambaran tentang: tindak pidana apa yang terjadi, kapan dan dimana terjadinya tindak pidana itu, bagaimana pelakunya melakukan tindak pidana itu, apa akibat- akibat yang di timbulkannya, siapa yang melakukannya dan benda-benda apa yang dapat di pergunakan sebagai barang bukti.

Adapun yang merupakan Penyelidik yang berwenang melakukan penyelidikan pada perkara pidana secara umum di atur oleh KUHAP dalam pasal 1 angka 4 sebagai berikut: Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk melakukan penyelidikan.77 Selanjutnya dalam Pasal 4 KUHAP juga di

77

sebutkan bahwa yang berwenang melakukan fungsi penyelidikan adalah setiap pejabat negara Republik Indonesia.78 Tegasnya penyelidikan adalah setiap pejabat POLRI, sedangkan Jaksa atau pejabat lain tidak berwenang melakukan penyelidikan. Penyelidikan merupakan monopoli tunggal POLRI.

2.Tinjauan Umum Tentang Penyidikan

Kamus Besar Indonesia, terbitan Balai Pustaka cetakan kedua 1989 halaman 837, menemukan yang di maksud penyidikan adalah serangkaian penyidikan yang diatur oleh undang- undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti pelaku tindak pidana. 79 Penyidikan suatu istilah yang di maksudkan sejajar dengan pengertian opsporing atau onderzoek (Belanda ) dan

investigation (Inggris)atau penyiasatan atau siasat (Malaysia )menurut de Pinto, menyidik (opsporing) berarti: 80

Pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum.

KUHAP merumuskan pengertian penyidikan sebagai berikut :

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang

78

Ibid., pasal 4.

79 Harun M. Husein,

Op. cit., hal 1.

80

Andi hamzah (a), Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, Mei 2005), hal 118.

tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.81

Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut:82

1. Ketetentuan tentang alat-alat penyidik

2. Ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik 3. Pemeriksaan di tempat kejadian

4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa 5. Penahanan sementara

6. Penggeledahan

7. Pemer-iksaan atau interogasi

8. Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat)

9. Penyitaan

10. Pengenyampingan perkara83

Sebelum suatu penyidikan dimulai dengan konsekuensi penggunaan upaya paksa, terlebih dahulu perlu di tentukan secara cermat berdasarkan segala data dan fakta yang di peroleh dari hasil penyelidikan bahwa suatu peristiwa yang semula diduga sebagai sesuatu tindak pidana adalah benar-benar merupakan suatu. Terhadap tindak pidana yang telah terjadi itu dapat dilakukan peyidikan, dengan demikian penyidikan merupakan tindak lanjut dari suatu penyelidikan.84 Pada tindakan peyelidikan, penekanan di letakkan pada tindakan mencari dan

81

Ibid., pasal 1 angka 2.

82

Andi Hamzah (b), Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Wewenang Kepolisian dan Kejaksaan Di Bidang Penyidikan, ( Jakarta : Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, 2001), hal 8.

83

Penulis tidak akan membahas lebih lanjut mengenai bagian-bagian hukum acara yang menyangkut penyidikan seperti yang sudah disebutkan di atas. Penulisan bagian-bagian tersebut dimaksudkan agar pembaca mengetahui ruang lingkup yang menjadi bagian dari hukum acara

yangmenyangkut penyidikan.

84

menemukan suatu peristiawa yang di anggap atau diduga sebagai tindak pidana. Pada penyidikan, titik berat tekanannya di letakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti, supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya.85 Hampir tidak ada perbedaan antara penyelidikan dan penyidikan, namun di tinjau dari beberapa segi, terdapat perbedaan antara kedua tindakan tersebut:86

1. Dari segi pejabat pelaksana, pejabat penyelidik terdiri dari “semua anggota” POLRI, dan pada dasarnya pangkat dan wewenangnya berada di bawah pengawasan penyidik

2. Penyelidik memiliki kewenangan yang sangat terbatas, hanya meliputi penyelidikan atau mencari dan menemukan data atas suatu tindakan yang diduga merupakan tindakan yang diduga merupakan tindak pidana. Hanya dalam hal-hal telah mendapat perintah dari pejabat penyidik, barulah penyelidik melakukan tindakan yang disebut pasal 5 ayat (1) huruf b (penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, penyitaan, dan sebagainya).

Adapun yang merupakan Penyidik menurut Pasal 6 KUHAP adalah:87 1) a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia

b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang

85

M. Yahya Harahap, Op. cit., hal 109.

86

Ibid.

87

2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

Berdasarkan ketentuan di atas, penyidikan merupakan kewenangan dari pejabat polisi negara Republik Indonesia (POLRI) dan pegawai negeri sipil yang ditunjuk (PPNS). Agar para pejabat yang dimaksud mempunyai kewenangan menyidik maka harus memenuhi syarat-syarat kepangkatan tertentu. Syarat- syarat kepangkatan penyidik diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983.88

a. Pejabat Polisi Negara Rebublik Indonesia (POLRI)

Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat penyidik harus memenuhi syarat kepangkatan dan pengangkatan sebagai berikut:89

a. Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi

b. Atau berpangkat Bintara di bawah Pembantu Letnan Dua apahila dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua

c. Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian RI.

Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang, sebagaimana diatur Pasal 7 ayat (1) KUHAP, yaitu:90

88

M. Yahya harahap, Op. cit., hal 111.

89

Ibid.

90

Indonesia, Op. cit., pasal 7 ayat (1)

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka

d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan. dan penyitaan e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat

f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang,

g. Memangil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara

i. Mengadakan penghentian penyidikan91

j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab

Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP, pada daerah terpencil, terdapat keterbatasan tenaga Polri dengan pangkat tertentu untuk diangkat menjadi penyidik. Pasal 10 KUHAP menyatakan pejabat polisi dapat diangkat sebagai penyidik pembantu dengan syarat kepangkatannya sebagai berikut:92

a. Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi

b. Atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kepolisian Negara dengan syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (Golongan II/a)

c. Diangkat oleh Kepala Kepolisian RI atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing masing.

b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Terminologi kepolisian sebagai penyidik tunggal, secara teknis yuridis tidak tepat. Istilah penyidik tunggal dapat menimbulkan penafsiran keliru, yaitu seolah-olah Polri hanya satu-satunya pejabat penyidik. Menurut Pasal 6 KUHAP penyidik terdiri dari polisi dan PPNS. Oleh karena itu lebih tepat

91 Mengenai penghentian penyidikan akan dibahas lebih lanjut pada sub bab berikutnya

dalam penulilisan ini.

92

disebut penyidik Polri daripada Polri sebagai penyidik tunggal.93 Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP mengatur PPNS dapat mempunyai wewenang menyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan undang-undang pidana khusus yang telah menetapkan sendiri pemberi wewenang penyidikan. Misalnya Undang- Undang Merek No. 19 Tahun 1992 yang diubah menjadi Undang-Undang No.14 Tahun 1997. Pasal 80 undang- undang ini menegaskan kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana merek dilimpahkan kepada PPNS.94

Wewenang penyidikan yang dimiliki oleh PPNS hanya terbatas sepanjang tindak pidana yang diatur dalam undang-undang pidana khusus itu. Hal ini sesuai dengan pembatasan wewenang yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang menyatakan:95

Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a (Polri).

Hubungan koordinasi antara PPNS dan Penyidik POLRI ialah:96

a. PPNS kedudukannya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik POLRI.

93

Harun M. Husein, Op. cit., hal 88.

94 M. Yahya Harahap,

Op. cit., hal 113.

95

Indonesia, Op. cit., pasal 7 ayat (2)

96

b. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik POLRT memberikan petunjuk kepada PPNS tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan.

c. PPNS harus melaporkan kepada penyidik POLRI tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik jika dari penyidikan tersebut ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum.

d. Apabila PPNS telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan harus diserahkan kepada penuntut umum melalui POLRI

e. Apabila PPNS menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik POLRI, penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada penyidik POLRI dan penuntut umum.

c. Penyidik Kejaksaan

Kewenangan institusi Kejaksaan untuk melakukan penyidikan sebenarnya tidak di atur KUHAP, namun Penulis menggolongkan Kejaksaan sebagai salah satu institusi yang berwenang melakukan penyidikan ke dalam sub bab ini agar terlihat pembedaan berdasarkan kewenangan yang dimiliki antara penyidik Polri dan Kejaksaan serta penyidik KPK .

Undang–undang yang mengatur mengenai kewenangan Kejaksaan sebagai penyidik sudah berganti sebanyak 3 kali yaitu : yang pertama Undang- Undang No.15 Tahun 1961 yang mengatur secara implisit kewenangan

Kejaksaan untuk melakukan penyidikan segala tindak pidana.97 Kemudian undang- undang tersebut dicabut dan diganti denagan Undang-Undang No. 5 Tahun 1991. Alasannya karena sudah tidak selaras dengan pembaruan hukum nasional yaitu pemberlakuan KUHAP dan lebih mengkonsentrasikan perannya di bidang penuntutan. Undang-undang ini kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No.16 Tahun 2004. Undang-undang ini memberi wewenang penyidikan lagi pada Kejaksaan namun hanya tidak pidana khusus.98 Tindak pidana khusus yan g di maksud adalah perkara pidana korupsi99 dan hak asasi manusia.100

Berdasarkan ketentuan pasal 53 dan 54 Statuta Roma, penuntut umum mempunyai kewenangan untuk menyidik.101 Statuta Roma atau Rome Statute of The International Criminal Court adalah persetujuan yang di sepakati pada tahun 1998 oleh United Nations Diplomats Conference of Plenipotentiaries on Establishment of an International Criminal Court untuk membentuk International Criminal Court (ICC) atau Pengadilan Pidana Internasional. ICC adalah Pengadilan Internasional yang permanen dan independen untuk melakukan penyidikan dan mengadili pelaku kejahatan internasional seperti

97 Indonesia (d),

Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan–Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia.

98

Indonesia (b), Op. cit., pasal 30 ayat (1) huruf d

99

Ibid.

100

Indonesia (e), Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, LN. No.191 Tahun 2000 TLN No.3911.

101

http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d+lain+1&f=statuta%20Roma.htm, diakses pada Jumat, 17 September 2010, pukul 19:08:30 WIB.

genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan , dan kejahatan perang.102 ICC sifatnya melengkapi keberadaan sistem peradilan nasional sebuah negara. ICC hanya akan memproses suatu perkara apabila suatu negara tidak memiliki kemauan atau kemampuan untuk menyidik dan menuntut perkara tersebut.103 Meskipun Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma, namun ketentuan- ketentuan dalam Statuta Roma telah diadopsi ke dalam hukum nasional. Antara lain dengan menyempurnakan hukum acara pidana yang merupakan hukum acara untuk perkara pelanggaran hak asasi manusia dengan mengundangkan Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang- Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 104

Berdasarkan uraian tersebut, KUHAP menegaskan instansi Kejaksaan sebagai lembaga penuntut umum saja, namun pada pengaturan undang-undang yang lebih khusus instansi Kejaksaan dapat berfungsi menjadi dua, yaitu sebagai penyidik dan penuntut umum.

Dokumen terkait