• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

7. Persarafan ginjal

1.1. Latar Belakang

Menurut sejarah, sejumlah istilah seperti gejala Benign Prostate Hyperplasia (BPH), dan clinical BPH telah digunakan untuk menggambarkan gejala yang berhubungan dengan proses berkemih pada pria yang lebih tua. Istilah

Lower Urinary Tract Symptom (LUTS) telah diadopsi dan beberapa konsensus dan pedoman komisi telah berusaha untuk mendefinisikan istilah yang tepat untuk mengelompokkan kondisi patofisiologi yang mendasari LUTS pada laki-laki.

Lower Urinary Tract Symptom (LUTS), seperti yang didefinisikan oleh

Internationol Continence Society) adalah indikator subjektif dari penyakit atau perubahan kondisi yang dirasakan oleh pasien dan pasangannya dan dapat menyebabkan mereka mencari bantuan ke tenaga kesehatan professional (Rosette, 2011).

Lower Urinary Tract Symptom (LUTS) adalah masalah umum, terutama bagi pria yang lebih tua. Telah dilaporkan bahwa 90% dari pria yang berusia 50 sampai 80 tahun menderita LUTS. Prevalensi gejala penyimpanan meningkat dan 3% pada pria yang berusia 40 hingga 44 tahun menjadi 42% pada mereka yang 75 tahun baya atau lebih tua. Satu studi menemukan bahwa prevalensi nokturia pada pria berusia di atas 85 adalah sekitar 69% dibandingkan dengan 49% pada wanita. Sekitar sepertiga dari pria akan mengembangkan gejala saluran kemih (outflow), yang penyebab utamanya adalah benign prostatic hyperplasia (BPH). Setelah gejala muncul, kemajuan gejala tersebut adalah bervariasi dan tak terduga dengan sekitar sepertiga dari pasien membaik, sepertiga memburuk dan yang tersisa stabil (Rodrigues, 2008).

Menurut Ikatan Ahli Urologi Indonesia (2009), Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) sering ditemukan pada pria yang berusia lanjut. Istilah BPH sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Hiperplasia prostat benigna ini dapat dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 50 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun. Meskipun jarang mengancam jiwa,

BPH memberikan keluhan yang menjengkelkan dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat atau benign prostate enlargement (BPE) yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate obstruction (BPO). Obstruksi ini lama kelamaan dapat menimbulkan perubahan struktur buli-buli maupun ginjal sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah. Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptom) maupun iritasi (storage symptom) yang meliputi: frekuensi miksi meningkat, urgensi nokturia pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus (intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis miksi, dan tahap selanjutnya terjadi retensi urin. Hubungan antara BPH dengan LUTS sangat kompleks. Tidak semua pasien BPH mengeluhkan gangguan miksi dan sebaliknya tidak semua keluhan miksi disebabkan oleh BPH (Barkin, 2011).

Sebagai pria berumur mereka memiliki risiko yang signifikan mengalami gejala yang berhubungan dengan pembesaran prostat. Usia merupakan faktor risiko terbesar untuk presentasi LUTS, dan BPH adalah salah satu penyebab paling umum dari LUTS. Diperkirakan bahwa 50% dari pria di atas usia 60 dan hampir 90% pria di tahun 90an memiliki gejala dari pembesaran prostat dan membutuhkan terapi untuk ini. Bushman melaporkan bahwa 18% pria di usia 40an melaporkan gangguan yang signifikan dari pembesaran prostat sehingga mereka meminta bantuan medis (Barkin, 2011). Hampir 20 tahun yang lalu, Michael J.Barry, MD, menyarankan bahwa dengan menggunakan kuesioner yang sederhana, yang kemudian divalidasi, dokter bisa mengukur gejala penyimpanan urin dan gejala berkemih dilaporkan oleh pasien dengan BPH atau LUTS. Kuesioner juga termasuk pertanyaan tentang kwalitas hidup, yang juga dapat disebut “indeks mengganggu” atau “indeks motivasi” pertanyaan. Pertanyaan ini bertanya, “Jika Anda adalah untuk menghabiskan sisa hidup Anda tentang itu?”. Dari sinilah lahir International Prostate Symptom Score (IPSS), yang menjadi

gejala “ringan”, 9-20 untuk gejala “moderat”, dan 2l-35 untuk gejala “parah”. Tanggapan terhadap kwalitas berbagai pertanyaan kehidupan dari 0 (senang) sampai 6 (mengerikan) (Speakman, 2008). Uji klinis untuk pengobatan BPH dan LUTS mencari “gejala respon” yang adalah perubahan skor IPSS dan baseline

setelah diukur pada waktu yang 3 ditentukan setelah mulai pengobatan. Pasien bertindak sebagai kontrol mereka sendiri. Uji coba menunjukkan bahwa untuk melihat manfaat klinis dari terapi, pasien membutuhkan peningkatan 3-point minimum IPSS. Selain itu, jika skor pasien pada kwalitas hidup adalah 3 atau lebih tinggi, pasien “cukup terganggu” dengan gejala-gejala yang akan termotivasi untuk mencari pengobatan dan akan lebih mungkin untuk menerima/mematuhi pengobatan. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa jika BPH tidak diobati, sering berlangsung, menyebabkan gejala memburuk, komplikasi, kebutuhan untuk intervensi bedah, dan kwalitas hidup yang buruk (Velho, 2013).

Faktor resiko terbesar untuk diprediksi perkembangan BPH adalah: usia yang lebih tua dari 50, gejala prostat sedang (IPSS≥8), dan volume prostat lebih besar dari 30cc atau PSA>1,5 ng/mL, dimana PSA adalah tanda pengganti untuk volume prostat) pada saat diagnosis. Parameter berikut adalah tanda-tanda perkembangan BPH: perubahan dalam skor gejala (IPSS), peningkatan sisa (PVR) volume urin postvoid, infeksi saluran kemih berulang, gagal ginjal hematuria imbulnya retensi urin, dan kebutuhan untuk operasi.

Menurut dari pengalaman Barkin pada pasien dengan BPH, potensi komplikasi yang paling mengkhawatirkan yang paling diinginkan untuk mencegah adalah retensi urin atau kebutuhan untuk operasi. Jika komplikasi ini dapat dihindari dengan manajemen medis, kebanyakan pria akan menerima pilihan pengobatan (Barkin, 2011). Di Semarang, pada penelitian terhadap 52 laki-laki tanpa keluhan usia>40 tahun didapati 88% adalah IPSS ringan dan 12% dengan IPSS sedang. Lee (1997) di Korea melaporkan dari 514 laki-laki yang diteliti l8,7% adalah BPH dengan IPSS sedang dan 4,5% adalah BPH dengan IPSS berat. Sedangkan Bosch (1995) di Belanda melaporkan dari 502 laki-laki penderita BPH didapati 24% dengan IPSS sedang dan 6% IPSS berat. Kondisi keterlambatan deteksi dini ini dipengaruhi oleh beragamnya persepsi penderita terhadap keluhan yang dirasakan (Nugroho, 2002).

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui nilai IPSS pada pasien BPH dan menganalisis gejala-gejalanya di Poliklinik Urologi RSUP. Haji Adam Malik Medan yang merupakan rumah sakit pusat rujukan tipe A seluruh lapisan masyarakat kota Medan, yang menarik minat peneliti untuk melakukan penelitian ini karena belum pernah diteliti sebelum ini di kota Medan, Sumatera Utara.

Dokumen terkait