• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Nilai International Prostate Symptom Score Pada Pasien Benign Prostate Hyperplasia Di Poliklinik Urologi Rsup Haji Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Nilai International Prostate Symptom Score Pada Pasien Benign Prostate Hyperplasia Di Poliklinik Urologi Rsup Haji Adam Malik Medan"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1

LEMBAR PENJELASAN KUESIONER

GAMBARAN NILAI

INTERNATIONAL PROSTATE

SYMPTOM SCORE

PADA PASIEN

BENIGN PROSTATE

HYPERPLASIA

DI POLIKLINIK UROLOGI RSUP HAJI

ADAM MALIK MEDAN

Saya Kamaleswaran Chandrasegaran dengan nomor NIM 100100418 mahasiswa dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara melakukan penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui gejala yang paling sering muncul dari gejala IPSS pada pasien BPH di Poliklinik Urologi RSUP Haji Adam Malik Medan.

Saya mengedarkan kuesioner ini untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan untuk analisa. Oleh karena itu, saya berharap kesedian setiap partisipan untuk menjawab pertanyaan yang diberikan.

Data-data ini hanya akan digunakan untuk tujuan penelitian dan semua jawaban bagi pertanyaan serta identitas pertisipan dirahasiakan.

(2)

Lampiran 2

SURAT PERSETUJUAN

MENGIKUTI PENELITIAN (INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :

Umur :

Pekerjaan : Alamat :

Dengan ini menyatakan telah mendapat penjelasan dari peneliti tentang penelitian “Gambaran nilai International Prostate Symptom Score pada pasien Benign Prostate Hyperplasia di Poliklinik Urologi RSUP Haji Adam Malik Medan”. Maka dengan ini saya secara sukarela dan tanpa paksaan menyatakan bersedia ikut serta dalam penelitian tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini untuk dapat dipergunakan seperlunya.

Medan,... .2013 Yang menyatakan,

(3)

Lampiran 3. Kuesioner

INTERNATIONAL PROSTATE SYMPTOM SCORE (IPSS)

Dalam 1 bulan terakhir ini berapa seringkah

1. Merasakan masih terdapat sisa urin lalu anda baru saja BAK?

0 1 2 3 4 5

3. Harus berhenti ada saat BAK dan segera mulai BAK lagi dan hal ini dilakukan

(4)
(5)

Lampiran 4. Master Tabel

No.

Resp. Umur LengkapPengosongan Frekuensi Intermittensi Urgensi PancaranLemah Mengejan Nokturia tingkatkeparahan

1 70 5 1 1 0 1 2 2 12

2 52 1 0 2 0 2 2 3 10

3 49 1 1 2 2 5 4 5 20

4 43 2 4 2 1 2 3 5 19

5 62 2 1 1 2 3 3 4 21

6 44 4 4 1 2 3 2 5 21

7 62 3 2 2 3 1 2 4 17

8 63 4 3 2 1 3 3 4 20

9 45 1 1 2 4 3 3 4 18

10 56 4 4 2 3 1 4 5 23

11 80 2 1 1 4 2 3 4 17

12 82 2 2 1 3 4 2 4 18

13 75 2 1 0 1 2 1 2 9

14 70 3 3 0 4 2 2 3 17

15 70 4 2 3 1 0 0 4 14

16 56 1 1 2 1 0 1 3 9

17 58 5 4 4 2 4 4 4 27

18 59 1 2 4 2 3 3 2 17

(6)

20 54 2 1 1 2 3 3 2 14

21 48 1 3 2 2 2 3 4 17

22 47 3 4 1 1 2 4 4 19

23 65 1 3 2 2 3 3 5 19

24 66 4 4 2 2 1 2 4 19

25 65 1 1 2 3 2 1 3 13

26 55 1 3 4 2 1 3 5 19

27 56 3 0 2 2 1 4 3 15

28 71 4 2 3 3 2 2 2 18

29 71 1 3 2 2 3 3 4 18

30 69 1 1 3 2 3 2 3 15

31 68 3 3 3 3 4 4 5 25

32 72 0 3 3 4 0 4 4 18

33 58 0 0 0 1 0 0 1 2

34 49 3 3 1 1 2 3 4 17

35 54 0 1 0 1 0 0 2 4

36 63 4 1 4 3 0 3 3 18

37 67 1 2 0 2 4 1 4 14

38 62 3 3 1 1 4 2 5 19

39 48 5 3 3 2 2 2 3 20

40 49 2 2 3 5 2 4 3 21

41 82 1 3 2 4 3 2 5 20

(7)

44 62 2 1 1 3 2 2 4 15

45 57 2 1 1 2 2 3 4 15

46 56 2 2 3 4 3 2 5 21

47 57 4 5 3 2 2 2 3 21

48 66 2 3 1 3 3 2 2 14

49 63 3 1 2 2 1 3 2 14

50 75 5 3 2 1 2 3 4 20

51 58 2 1 2 3 2 2 4 16

52 47 5 4 2 3 2 1 5 22

53 63 4 3 3 0 2 1 4 16

54 65 1 2 2 1 3 3 5 17

55 74 3 5 2 0 1 2 3 16

56 74 2 3 1 2 2 3 4 17

Keterangan

0 TidakPernah

Tingkat Keparahan

1 Kurangdarisekalidari 5 kali kejadian Ringan 0 − 7

2 Kurangdariseparuhkejadian Sedang 8 − 19

3 Kuranglebihseparuhdarikejadian Berat 20 − 35

(8)

Lampiran 5. Hasil Analisis Data Frequencies

Statistics

Lengkap

Pengosongan Frekuensi Intermitten Urgensi

Pancaran

Lemah Mengejan Nokturia

N Valid 56 56 56 56 56 56 56

Missing 0 0 0 0 0 0 0

Frequency Table

Lengkap Pengosongan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak Pernah 3 5.4 5.4 5.4

Kurang dari sekali dari 5 kali

kejadian 14 25.0 25.0 30.4

Kurang dari separuh

kejadian 13 23.2 23.2 53.6

Kurang lebih separuh dari

kejadian 10 17.9 17.9 71.4

Lebih dari separuh dari

kejadian 11 19.6 19.6 91.1

Hampir Selalu 5 8.9 8.9 100.0

Total 56 100.0 100.0

Frekuensi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak Pernah 3 5.4 5.4 5.4

Kurang dari sekali dari 5 kali

kejadian 16 28.6 28.6 33.9

Kurang dari separuh

kejadian 11 19.6 19.6 53.6

Kurang lebih separuh dari

kejadian 17 30.4 30.4 83.9

Lebih dari separuh dari

kejadian 7 12.5 12.5 96.4

Hampir Selalu 2 3.6 3.6 100.0

(9)

Intermitten

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak Pernah 5 8.9 8.9 8.9

Kurang dari sekali dari 5 kali

kejadian 15 26.8 26.8 35.7

Kurang dari separuh

kejadian 20 35.7 35.7 71.4

Kurang lebih separuh dari

kejadian 10 17.9 17.9 89.3

Lebih dari separuh dari

kejadian 5 8.9 8.9 98.2

Hampir Selalu 1 1.8 1.8 100.0

Total 56 100.0 100.0

Urgensi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak Pernah 4 7.1 7.1 7.1

Kurang dari sekali dari 5 kali

kejadian 12 21.4 21.4 28.6

Kurang dari separuh

kejadian 21 37.5 37.5 66.1

Kurang lebih separuh dari

kejadian 12 21.4 21.4 87.5

Lebih dari separuh dari

kejadian 6 10.7 10.7 98.2

Hampir Selalu 1 1.8 1.8 100.0

Total 56 100.0 100.0

Pancaran Lemah

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak Pernah 6 10.7 10.7 10.7

Kurang dari sekali dari 5 kali

kejadian 8 14.3 14.3 25.0

Kurang dari separuh

kejadian 22 39.3 39.3 64.3

Kurang lebih separuh dari

kejadian 14 25.0 25.0 89.3

Lebih dari separuh dari

kejadian 5 8.9 8.9 98.2

Hampir Selalu 1 1.8 1.8 100.0

(10)

Mengejan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak Pernah 3 5.4 5.4 5.4

Kurang dari sekali dari 5 kali

kejadian 6 10.7 10.7 16.1

Kurang dari separuh

kejadian 19 33.9 33.9 50.0

Kurang lebih separuh dari

kejadian 20 35.7 35.7 85.7

Lebih dari separuh dari

kejadian 8 14.3 14.3 100.0

Total 56 100.0 100.0

Nokturia

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Kurang dari sekali dari 5 kali

kejadian 1 1.8 1.8 1.8

Kurang dari separuh

kejadian 8 14.3 14.3 16.1

Kurang lebih separuh dari

kejadian 13 23.2 23.2 39.3

Lebih dari separuh dari

kejadian 22 39.3 39.3 78.6

Hampir Selalu 12 21.4 21.4 100.0

(11)

TINGKAT KEPARAHAN

Frequency Percent Valid Percent

(12)

skor IPSS

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Frequency Percent Valid Percent

(13)

UMUR

Frequencies

Statistics

umur responden kelompok umur

N Valid 56 56

Missing 0 0

Frequency Table

umur responden

Frequency Percent Valid Percent

(14)

66 2 3.6 3.6 67.9

67 1 1.8 1.8 69.6

68 1 1.8 1.8 71.4

69 1 1.8 1.8 73.2

70 3 5.4 5.4 78.6

71 2 3.6 3.6 82.1

72 1 1.8 1.8 83.9

74 2 3.6 3.6 87.5

75 2 3.6 3.6 91.1

77 1 1.8 1.8 92.9

80 1 1.8 1.8 94.6

82 3 5.4 5.4 100.0

Total 56 100.0 100.0

kelompok umur

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid 40-49 9 16.1 16.1 16.1

50-59 15 26.8 26.8 42.9

60-69 17 30.4 30.4 73.2

70-79 11 19.6 19.6 92.9

≥80 4 7.1 7.1 100.0

(15)
(16)
(17)

DAFTAR PUSTAKA

Arianayagam M., Arianayagam R., Rashid P. 2011. Lower Urinary Tract Symptom and Current Management in Older Men. Available from : www.racgp.org.ar/download/documents/AFP/2011/October/20110

l0 [Accessed 24 April 2013].

Barkin J. 2011. Benign Prostate Hyperplasia and Lower Urinary Tract Symptom :

evidence and approaches for the best case management. Available from :http://canjurol.co/pdfs/s:rp.plemets/update2011/BPH-Dr-Barkin.pdf [Accessed 24 April 2013].

Barry M. J., Mc.Vary K. T., Gonzales C. M., Wei J. T. 2011. AUA Guideline on Management of Benign Prostate Hyperplasia. The Journal of Urology, Vo1.185.

Christoper.R., et al, 2006. The Impact of Nocturia in Patients with LUTS/BPH :

Need for New Recommendations. Available from :

[Accessed 24 April 2013].

Furqan, 2003. Evaluasi biakan urin pada penderita BPH setelah pemasangan kateter menetap : pertama kali dan berulang. Available from : library.usu.ac.id/download/fk/bedah-furqan.pdf [Accessed 24 April 2013]. Medan : Fakultas Kedokterun Universitas Sumatera Utara.

Gilroy, J., (2000). Basic Urology Third Edition United States of America: McGraw-Hill Health Professions Division, 225-236.

Groat W. C., Sarma A, V., Wei J. T. 2009. Benign Prostate Hyperplasia and lower Urinary Tract Symptom. The New England Journal of Medicine 2A09, Vol.9.

(18)

Netter, F., H.2003. Atlas of Human Anatomy 4th Edition. Pennsylvania: Saunders Elsevier.

Nugroho A.2002. Pengaruh Faktor Usia, Status Gizi dan Pendidikan Terhadap International Prostate Symptom Score (IPSS) pada Penderita Prostat

Hiperplasia (PH). Available from : eprints.undip.ac.id/14692/1/2002 FK525. pdf [Accessed 24 April 2013]. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Oxford Concise Medical Dictionary, 2010, 37 5.

Purnomo B. B. 2011, Dasar-Dasar Urologi, Edisi 3. 123-128. Jakarta : Sagung Seto.

Panahi A., Bidaki R., Rezahosseini O. 2010. Validity and Realibility of Persian Version of IPSS. Iran: Galen Medical Journal, Vol.2; No.l, 2010.

Roehborn C. G. 2009. Benign Prostatic Hyperplasia : Etiology Pathophysiology, Epidemiology and Natural History. Available from ;

library.rajavithi.go.th/homelibrary/Ebook_data/Campbell-Walsh%20Urology10th2011/91.pdf [Accessed 24 April 2013].

Rosette J.20ll. Definitions: LUTS, BPH, BPE, BOO, BPO. Available from: www.oup.com/pdf/13/9780199572779.pdf [Accessed 24 April 2013].

Rodrigues P., Hering F. P., Campagnari J. C. 2008. Impact of Urodynamic Learning on the Management of Benign Prostate Hyperplasia Issue.

Canada : Canadian Medical Journal;

LWS : Lower Urinary Tract Symptom, Vol. l; 2008.

(19)

Samira I. 2011. Referat Benign Prostate Hyperplasia. Available from : www.scribl.com/doc/124722832/BPH-referat-docx [Accessed 24 April 2013. Jakarta : Fakultas Kedokteran Trisakti.

Schoor J., 2004, Lower Urinary Tract Symptom (LUTS) In Men. SA Pharmaceutical Journal, Yol.76; No.4, 2004. Available from : www.sapj.co.zalindex.php/SAPJ/article/vied567/515 [Accessed 24 April 20l3].

Velho I. M., Bachmann A., Descazeaud A., Micheal M., N'Dow J.2013. Guidelines on the Treatment of Non-neurogenic Male LWS. European Association of Urology (2013). Available from: www.uroweb.orglgls/pdf/12_Male_LUTS.pdf [Accessed 24 April 2013].

(20)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Kamaleswaran Chandrasegaran

Tempat/Tanggal Lahir : Kuala Lumpur ,Malaysia / 01 September 1992

Agama : Hindu

Alamat : 16A, Jl. Dr. Mansyur, Gang Sehat, Medan

Telepon : 083197509351

Orang Tua : Ayah : Chandrasegaran Veerappan Ibu : Jegathambal Krishnasamy

Riwayat Pendidikan : 1. SK Kepong (FRIM), Selangor, Malaysia (1999 - 2004)

2. SMK Kepong (FRIM), Selamgor, Malaysia (2005 - 2009)

3. Fakultas Kedokteran USU (sekarang) Riwayat organisasi : 1. Ahli PKPMI FK USU 2010-2015

(21)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

LUTS

BPH

IPSS

3.2. Definisi Operasional

a. BPH adalah : pasien yang telah didiagnosa Benign Prostate Hiperplasia.

b. IPSS adalah : nilai IPSS untuk mengetahui gejala yang paling sering muncul daripada 7 gejala BPH.

c. Pengosongan lengkap adalah : skor untuk menilai seberapa sering pasien masih ada sisa selesai kencing.

d. Frekuensi adalah : skor untuk menilai seberapa sering pasien harus kembali kencing dalam waktu kurang dari 2 jam setelah selesai kencing.

e. Intermittensi adalah : skor untuk menilai seberapa sering pasien mendapatkan bahwa pasien kencing terputus-putus.

LUTS

BPH

IPSS

(22)

f. Urgensi adalah : skor untuk menilai seberapa sering pasien dapat menahan keinginan untuk kencing.

g. Pancaran lemah adalah : skor untuk menilai seberapa pancaran kencing pasien lemah.

h. Mengejan adalah : skor untuk menilai seberapa sering pasien harus mengejan unyuk mulai kencing.

i. Nokturia adalah : skor untuk menilai seberapa sering pasien harus bangun untuk kencing, sejak mulai tidur pada malam hari hingga bangun di pagi hari.

3.3. Alat Ukur

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner skor IPSS.

3.4. Cara Ukur

Data penelitian diambil dari kuesioner skor IPSS yang diisi oleh penderita BPH di Poliklinik Urologi RSUP. Haji Adam Malik dari bulan September hingga Oktober 2013. Kuesioner ini terdiri dari 7 pertanyaan yang berkaitan dengan gejala-gejala BPH dan tingkat keparahannya. Setiap pertanyaan mempunyai enam pilihan jawaban yaitu, skor 0 berarti tidak pernah, skor 1 berarti kurang dari sekali dari 5 kali kejadian, skor 2 berarti kurang dari separuh kejadian, skor 3 berarti kurang dari separuh kejadian, skor 4 berarti kurang lebih separuh dari kejadian, skor 5 berarti lebih dari separuh dari kejadian dan skor 6 berarti hampir selalu.

(23)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Desain penelitian adalah deskriptif potong lintang.

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Poliklinik Urologi RSUP Haji Adam Malik. Waktu penelitian adalah dari bulan September hingga Oktober 2013.

4.3. Subyek Penelitian 4.3.1. Populasi

Populasi adalah semua penderita dengan LUTS yang telah ditegakkan diagnosa klinisnya sebagai BPH, yang datang di instalasi rawat jalan maupun sudah dirawat di instalasi rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan.

4.3.2. Sampel

Sampel pada penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik total sampling artinya semua pasien yang telah didiagnosa BPH dengan kriteria inklusi dan eklusi di Poliklinik Urologi RSUP. Haji Adam Malik Medan dari bulan September hingga Oktober 2013 dipilih sebagai sampel dalam penelitian ini. Jumah sampel penelitian ini adalah 56 orang.

a. Kriteria inklusi

- Penderita dengan diagnosa klinis BPH. - Setuju disertakan dalam penelitian. b. Kriteria eksklusi

Dikeluarkan dari penelitian apabila BPH disertai dengan kelainan lain: - Terdapat kelainan di buli : batu buli, tumor buli.

- Terdapat kelainan di uretra : meatal stenosis, striktura uretra batu uretra, fumor uretra.

(24)

- Retensi total.

- Riwayat trauma vertebra, DM.

- Sedang dalam pengobatan dengan anti hipertensi.

4.4. Cara Penelitian

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer (kumpulan fakta yang dikumpul sendiri oleh peneliti). Peneliti melakukan pengumpulan data kepada pasien yang telah didiagnosa BPH disertai kelainan lain seperti tersebut dalam kriteria eksklusi dikeluarkan dari penelitian sedangkan yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan penilaian IPSS menggunakan kuesioner IPSS terjemahan dalam bahasa Indonesia, pengisian kuesioner secara wawancara dilakukan oleh peneliti.

4.5. Analisa Data

Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan:

a. Tahap pertama editing yaitu mengecek nama dan kelengkapan identitas maupun data responden serta memastikan bahwa semua jawaban telah diisi sesuai petunjuk.

b. Tahap kedua coding yaitu memberi kode atau angka tertentu pada kuesioner untuk mempermudah waktu mengadakan tabulasi dan analisa.

c. Tahap ketiga entry yaitu memasukkan data dari kuesioner ke dalam program komputer.

d. Tahap keempat adalah melakukan cleaning yaitu mengecek kembali data yang telah di entry untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak.

(25)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Urologi yang berlokasi di dalam RSUP Haji Adam Malik yang merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990 dan juga sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes/SK/IX/1991 yang memiliki visi sebagai pusat unggulan pelayanan kesehatan dan pendidikan serta merupakan pusat rujukan kesehatan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, D.I. Aceh, Sumatera Barat dan Riau. Lokasinya dibangun di ats tanah seluas ± 10 ha dan terletak di Jalan Bunga Lau No.17 km.12, Kecamatan Medan Tuntungan, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara.

5.2. Deskripsi Karakteristik Responden 5.2.1. Umur Responden

Berdasarkan hasil penelitian diketahui frekuensi responden menurut umur dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Responden Umur

(26)

5.3. Hasil Analisa Data dan Pembahasan 5.3.1. Hasil Analisa Data

Berdasarkan hasil penelitian diketahui frekuensi responden menurut gejala BPH berdasarkan skor kategori gejala BPH dengan menggunakan kuesioner IPSS pada tabel 5.2 - 5.8 di bawah ini :

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Gejala Kategori Pengosongan Lengkap pada Responden

Skor Frekuensi

(n)

Persentase (%)

0 3 5,4

1 14 25,0

2 13 23,2

3 10 17,9

4 11 19,6

5 5 8,9

Jumlah 56 100

(27)

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Gejala Kategori Frekuensi pada Responden

Berdasarkan tabel 5.3 didapatkan bahwa skor untuk gejala kategori frekuensi yang paling banyak adalah skor 3 dengan jumlah responden sebanyak 17 orang (30,4%) sedangkan skor untuk kategori tersebut yang paling sedikit adalah skor 5 dengan jumlah responden sebanyak 2 orang saja (3,6%) daripada keseluruhan 56 responden.

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Gejala Kategori Intermitten pada Responden

(28)

adalah skor 5 dengan jumlah responden sebanyak 1 orang saja (1,8%) daripada keseluruhan 56 responden.

Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Gejala Kategori Urgensi pada Responden

Skor Frekuensi

Berdasarkan tabel 5.5 didapatkan bahwa skor untuk gejala kategori urgensi yang paling banyak adalah skor 2 dengan jumlah responden sebanyak 21 orang (37,5%) manakala skor untuk kategori tersebut yang paling sedikit adalah skor 5 dengan jumlah responden sebanyak 1 orang saja (1,8%) daripada keseluruhan 56 responden.

(29)

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahawa skor untuk gejala kategori pancaran lemah yang paling banyak adalah skor 2 dengan jumlah responden sebanyak 22 orang (39,3%) manakala skor untuk kategori tersebut yang paling sedikit adalah skor 5 dengan jumlah responden sebanyak 1 orang saja (1,8%) daripada keseluruhan 56 responden.

Tabel 5.7. Distribusi Frekuensi Gejala Kategori Mengejan pada Responden

Skor Frekuensi

(n)

Persentase (%)

0 3 5,4

1 6 10,7

2 19 33,9

3 20 35,7

4 8 14,3

5 0 0,0

Jumlah 56 100

(30)

Tabel 5.8. Distribusi Frekuensi Gejala Kategori Nokturia pada Responden

Berdasarkan tabel 5.8 didapatkan bahwa skor untuk gejala kategori nokturia yang paling banyak adalah skor 4 dengan jumlah responden sebanyak 22 orang (39,3%) manakala skor untuk kategori tersebut yang paling sedikit adalah skor 1 dengan jumlah responden sebanyak 1 orang saja (1,8%) daripada keseluruhan 56 responden.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui juga tingkat keparahan responden yang dilakukan dengan menggunakan kuesioner dapat dilihat pada table 5.9.

Tabel 5.9. Distribusi Frekuensi Tingkat Keparahan Responden

Kategori Frekuensi

(31)

Tabel 5.10. Gambaran Frekuensi Jawaban Kuesioner Responden

Skor 0 1 2 3 4 5 Jumlah

n % n % n % n % n % n % n P1 3 5,4 14 25,0 13 23,2 10 17,9 11 19,6 5 8,9 56 P2 3 5,4 16 28,6 11 19,6 17 30,4 7 12,5 2 3,6 56 P3 5 8,9 15 26,8 20 35,7 10 17,9 5 8,9 1 1,8 56 P4 4 7,1 12 21,4 21 37,5 12 21,4 6 10,7 1 1,8 56 P5 6 10,7 8 14,3 22 39,3 14 25,0 5 8,9 1 1,8 56 P6 3 5,4 6 10,7 19 33,9 20 35,7 8 14,3 0 0,0 56 P7 0 0,0 1 1,8 8 14,3 13 23,2 22 39,3 12 21,4 56

Jumlah 24 72 112 101 64 22 56

n = frekuensi % = persentase P = pertanyaan

Kuesioner ini terdiri dari 7 pertanyaan yang berkaitan dengan gejala-gejala BPH dan tingkat keparahannya. Setiap pertanyaan mempunyai enam pilihan jawaban yaitu :

1. Tidak pernah = 0

2. Kurang dari sekali dari 5 kali kejadian = 1 3. Kurang dari separuh kejadian = 2

4. Kurang lebih separuh dari kejadian = 3 5. Lebih dari separuh dari kejadian = 4 6. Hampir selalu = 5

(32)

5.3.2. Pembahasan

Responden penelitian ini adalah pasien yang didiagnosa BPH di Poliklinik Urologi RSUP Haji Adam Malik Medan dari bulan September hingga Oktober 2013. Sebanyak 56 pasien bersetuju menjawab kuesioner dalam penelitian ini.

Berdasarkan hasil dari penelitian diketahui frekuensi responden menurut umur menunjukkan bahwa mayoritas pasien adalah dari kelompok umur 60-69 tahun dan minoritas pasien adalah dari kelompok umur ≥80 tahun. Dari beberapa autopsi dalam ukuran prostat dan insiden histologi hyperplasia prostat, dilaporkan bahwa prostat tumbuh dengan cepat selama masa remaja sampai ukuran dewasa dalam tiga dekade dan pertumbuhan melambat sampai laki-laki mencapai usianya yang ke 40 dan 50 tahun, mulai memasuki pertumbuhan yang makin lama makin besar. Mereka juga menetapkan insiden hiperplasia prostat makin meningkat dengan meningkatnya usia dimulai dari dekade ke-3 kehidupan dan menjadi sangat besar pada waktu usia 80-90 tahun (Rodrigues, 2008).

Melalui penelitian ini dapat disimpulkan bahwa gejala kategori nokturia dan pancaran lemah adalah gejala utama dan sering muncul pada pasien BPH sewaktu penelitian. Menurut pendapat Christopher (2006) di European Association of Urology, di mana banyak epidemiologi dan kasus klinikal membuktikan nokturia adalah salah satu gejala yang paling menjengkelkan bagi pasien BPH. Selain itu, menurut Brown (1982), Blandy (1983), Burkit (1990), Forrest (1990), dan Weinerth (1992) dalam Furqan (2003), gejala pertama dan yang paling sering dijumpai adalah penurunan kekuatan pancaran dan kaliber aliran urin, oleh karena lumen uretra mengecil dan tahanan di dalam uretra meningkat, sehingga kandung kemih harus memberikan tekanan yang lebih besar untuk dapat mengeluarkan urin dan dalam penelitian Gilroy (2000), mengatakan bahwa nokturia memberikan efek negatif yang besar terhadap kualitas hidup, energi, vitalitas dan fungsi sosial.

(33)

ke rumah sakit hanya apabila gejala klinikal yang dialami bertambah berat. Sementara di Semarang pada penelitian terhadap 52 laki-laki tanpa keluhan usia >40 tahun didapati 88% adalah IPSS derajat ringan dan 12% IPSS sedang. Lee(1997) di Korea pula melaporkan dari 514 laki-laki yang diteliti 18,7% adalah BPH dengan IPSS derajat sedang dan 4,5% adalah BPH dengan IPSS derajat berat (Nugroho, 2002). Hal ini mungkin karena perbedaan berbagai hasil penelitian tersebut mungkin disebabkan adanya perbedaan dari segi faktor yang berpengaruh pada IPSS misalnya faktor usia, pendidikan dan status gizi yang mampu meningkatkan risiko terjadinya BPH.

(34)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Gambaran gejala yang paling sering muncul pada pasien BPH di RSUP Haji Adam Malik dari bulan September hingga Oktober 2013 adalah nokturia dan pancaran lemah yaitu sebanyak 22 orang (39,3%) untuk setiap gejala tersebut daripada keseluruhan 56 pasien.

2. Di samping itu, tingkat keparahan sedang mencatatkan angka yang tertinggi yaitu 40 orang (71,4%) dibandingkan dengan tingkat keparahan ringan dengan jumlah responden 2 orang (3,6%) dan berat dengan jumlah responden 14 orang (25,0%) daripada keseluruhan 56 pasien.

6.2 Saran

Dari seluruh proses penelitian yang telah dijalani oleh penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, maka dapat diungkapkan bebrapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berperan dalam penelitian ini. Adapun saran tersebut, yaitu :

1. Bagi pasien harus tetap menjalankan terapi dengan merubah pola gaya hidup secara teratur yang telah diberitahukan kepada dokter agar tingkat keparahan pasien bisa terkontrol.

(35)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Sisfem Perkemihan

Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjadinya proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (air kemih) (Speakman, 2008). Susunan sistem perkemihan terdiri dari: a) dua ginjal (ren) yang menghasilkan urin, b) dua ureter yang membawa urin dari ginjal ke vesika urinaria (kandung kemih), c) satu vesika urinaria tempat urin dikumpulkan, dan d) satu uretra urin dikeluarkan dari vesika urinaria (Panahi, 2010).

Gambar 2.l. Anatomi Saluran Kemih

1. Ginjal (Ren)

(36)

2. Fungsi ginjal

Fungsi ginjal adalah memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau racun, mempertahankan suasana keseimbangan cairan, mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh, dan mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak.

3. Fascia renalis

Fascia renalis terdiri dari: a) fascia (fascia renalis), b) jaringan lemak perirenal, dan c) kapsula yang sebenarnya (kapsula fibrosa), meliputi dan melekat dengan erat pada permukaan luar ginjal.

4. Stuktur ginjal

Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa, terdapat korteks renalis di bagian luar, yang berwarna cokelat gelap, medulla renalis di bagian dalam yang berwarna cokelat lebih terang dibandingkan korteks. Bagian medulla berbentuk kerucut yang disebut piramides renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil yang disebut papilla renalis (Panahi, 2010).

Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus. Pelvis renalis berbentuk corong yang menerima urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua atau tiga calices renalis majores yang masing-masing akan bercabang menjadi dua atau tiga calices renalis minores. Struktur halus ginjal terdiri dari banyak nefron yang merupakan unit fungsional ginjal. Diperkirakan ada 1 juta nefron dalam setiap ginjal. Nefron terdiri dari: glomerulus, tubulus proximal, ansa henle, tubulus distal dan tubulus urinarius (Panahi, 2010).

5. Proses pembentukan urin Tahap pembentukan urin

a. Proses filtrasi, di glomerulus.

(37)

dll, diteruskan ke tubulus ginjal. Cairan yang disaring disebut filtrat glomerulus.

b. Proses reabsorbsi

Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa, sodium, klorida fosfat dan beberapa ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif (obligator reabsorbsi) di tubulus proximal. Sedangkan pada tubulus distal terjadi kembali penyerapan sodium dan ion bikarbonat bila diperlukan tubuh. Penyerapan terjadi secara aktif (reabsorbsi fakultatif) dan sisanya dialirkan pada papilla renalis.

c. Proses sekresi

Sisa dari penyerapan kembali yang terjadi di tubulus distal dialirkan ke papilla renalis selanjutnya diteruskan ke luar (Rodrigues, 2008).

6. Pendarahan

Ginjal mendapatkan darah dari aorta abdominalis yang mempunyai percabangan arteri renalis, arteri ini berpasangan kiri dan kanan. Arteri renalis bercabang menjadi arteri interlobularis kemudian menjadi arteri akuarta. Arteri interlobularis yang berada di tepi ginjal bercabang manjadi arteriole aferen glomerulus yang masuk ke gromerulus. Kapiler darah yang meninggalkan gromerulus disebut arteriole eferen gromerulus yang kemudian menjadi vena renalis masuk ke vena cava inferior (Barry, 201l).

7. Persarafan ginjal.

Ginjal mendapatkan persarafan dari fleksus renalis (vasomotor). Saraf ini berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk ke dalam ginjal, saraf ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ke ginjal (Barry, 2011).

8. Ureter

Terdiri dari 2 saluran pipa masing-masing bersambung dari ginjal ke vesika urinaria. Panjangnya ±25-34 cm, dengan penampang 0,5 cm. Ureter sebagian terletak pada rongga abdomen dan sebagian lagi terletak pada rongga pelvis. Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltik yang mendorong urin masuk ke dalam kandung kemih.

(38)

a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa) b. Lapisan tengah lapisan otot polos

c. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa

9. Vesika urinaria (kandung kemih)

Vesika urinaria bekerja sebagai penampung urin. Organ ini berbentuk seperti buah pir (kendi). Letaknya di belakang simfisis pubis di dalam rongga panggul. Vesika urinaria dapat mengembang dan mengempis seperti balon karet.

10. Uretra

Merupakan saluran sempit yang berpangkal pada vesika urinaria yang berfungsi menyalurkan air kemih ke luar. Pada laki-laki panjangnya kira-kira 13,7-16,2 cm, terdiri dari:

a. Uretra pars prostatika b. Uretra pars membranosa c. Uretra pars spongiosa.

Uretra pada wanita panjangnya kira-kira 3,7-6,2 cm. sphincter uretra terletak di sebelah atas vagina (antara clitoris dan vagina) dan uretra disini hanya sebagai saluran ekskresi (Panahi, 2010).

11. Urin.

Sifat fisis air kemih, terdiri dari:

a. Jumlah ekskresi dalam 24 jam ±1.500 cc tergantung dari pemasukan (intake) cairan dan faktor lainnya.

b. Warna bening kuning muda dan bila dibiarkan akan menjadi keruh.

c. Warna kuning tergantung dari kepekatan, diet, obat-obatan dan sebagainya.

d. Bau, bau khas air kemih bila dibiarkan lama akan berbau amoniak. e. Berat jenis 1,015-1,020.

f. Reaksi asam, bila lama-lama menjadi alkalis, juga tergantung daripada diet (sayur menyebabkan reaksi alkalis dan protein member reaksi asam). Komposisi air kemih, terdiri dari:

(39)

b. Zat-zat sisa nitrogen dari hasil metabolisme protein, asam urea, amoniak dan kreatinin.

c. Elektrolit natrium, kalsium, NH3, bikarbonat, fosfat dan sulfat. d. Pigmen (bilirubin dan urobilin).

e. Toksin.

f. Hormon (Velho, 2013).

12. Mikturisi

Mikturisi ialah proses pengosongan kandung kemih setelah terisi dengan urin. Mikturisi melibatkan 2 tahap utama, yaitu:

a. Kandung kemih terisi secara progesif hingga tegangan pada dindingnya meningkat melampaui nilai ambang batas, keadaan ini akan mencetuskan tahap ke-2.

b. Adanya refleks saraf (disebut refleks mikturisi) yang akan mengosongkan kandung kemih. Pusat saraf miksi berada pada otak dan spinal cord

(tulang belakang). Sebagian besar pengosongan diluar kendali tetapi pengontrolan dapat dipelajari “latih”. Sistem saraf simpatis : impuls menghambat vesika urinaria dan gerak spinchter interna, sehingga otot detrusor relax dan spinchter interna konstriksi. Sistem saraf parasimpatis : impuls menyebabkan otot detrusor berkontriksi, sebaliknya spinchter relaksasi terjadi mikturisi (Roehrborn, 2009).

13. Ciri-ciri urin normal.

a. Rata-rata dalam satu hari l-2 liter tapi berbeda-beda sesuai dengan jumlah cairan yang masuk.

b. Warnanya bening tanpa ada endapan. c. Baunya tajam.

(40)

Gambar 2.2. Fisiologi Sistem Perkemihan

2.2. Lower Urinary Tract Symptom (LUTS)

Gejala saluran kemih bawah dapat dibagi menjadi dua yaitu : gejala berkemih dan gejala penyimpanan, dan laki-laki mungkin hadir dengan kombinasi dua kelompok gejala tersebut.

Gejala berkemih mencakup aliran urin yang lemah, keraguan, dan tidak lengkap mengosongkan atau mengejan dan biasanya karena pembesaran kelenjar prostat. Gejala penyimpanan meliputi frekuensi, urgensi dan nokturia dan mungkin karena aktivitas yang berlebihan otot detrusor. Pada pria lansia yang hadir dengan gejala saluran kemih bawah, indikasi untuk rujukan awal untuk ahli urologi termasuk hematuria infeksi berulang, batu kandung kemih, retensi urin dan gangguan ginjal. Dalam kasus tanpa komplikasi, medis terapi dapat dilembagakan dalam pengaturan perawatan pertama. Pilihan untuk terapi medis termasuk alpha blocker untuk mengendurkan otot polos prostat, inhibitor 5 alfa reduktase untuk mengecilkan prostat, dan antimuscarinik untuk mengendurkan kandung kemih.

(41)

Penurunan keadaan umum termasuk menurunnya fungsi persarafan pada usia tua proses ini akan merangsang timbulnya LUTS. Timbulnya LUTS didasari oleh 2 keadaan :

1. Perubahan fungsi buli-buli yang menyebabkan instabilitas otot detrusor atau penurunan pemenuhan buli-buli sehingga terjadi gangguan pada proses pengisian. Secara klinis menunjukkan gejala : frekuensi, urgensi dan nokturia. 2. Pada tahap lanjut menyebabkan gangguan kontraktilitas otot detrusor sehingga

terjadi gangguan pada proses pengosongan. Secara klinis menunjukkan gejala: penurunan kekuatan pancaran miksi, hesitensi, intermitensi dan bertambahnya residu urin.

Dari uraian di atas diasumsikan terdapat hubungan yang jelas antara LUTS dengan pembesaran prostat dan BOO, namun bukti statistik menyatakan LUTS dengan kedua komponen BPH lainnya mempunyai hubungan yang lemah atau bahkan tidak ada hubungan yang signifikan, sehingga masih ada ahli yang berpendapat proses BPH masih belum banyak diketahui (Nugroho, 2002).

2.3. Benign Prostate Hiperplasia BPH 2.3.1. Anatomi Prostat

Prostat adalah organ genital yang hanya ditemukan pada pria karena merupakan penghasil cairan semen yang hanya dihasilkan oleh pria. Prostat berbentuk piramid, tersusun atas jaringan fibromuskular yang mengandung kelenjar. Prostat pada umumnya memiliki ukuran dengan panjeng 1,25 inci atau kira-kira 3 cm, mengelilingi uretra pria. Dalam hubungannya dengan organ lain, batas atas prostat bersambung dengan leher bladder atau kandung kemih. Di dalam prostat didapati uretra. Sedangkan batas bawah prostat yakni ujung prostat bermuara ke eksternal spinkter bladder yang terbentang diantara lapisan peritoneal. Pada bagian depannya terdapat simfisis pubis yang dipisahkan oleh lapisan ekstraperitoneal. Lapisan tersebut dinamakan cave of Retzius atau ruangan retropubik. Bagian belakangnya dekat dengan rectum, dipisahkan oleh fascia Denonvilliers (Groat, 2010).

(42)

1. True capsule : lapisan fibrosa tipis pada bagian luar prostat

2. False capsule : lapisan ekstraperitoneal yang saling bersambung, menyelimuti

bladder atau kandung kemih. Sedangkan Fascia Denowilliers berada pada bagian belakang (Groat, 2010).

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli dan melingkari uretra posterior. Bila mengalami pembesaran, organ ini dapat menyumbat uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urin keluar dari buli-buli. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada normal dewasa ±20 gram (Pumomo, 2001).

Normal Prostate Enlarged Prostate Gambar 2.3. Kelenjar prostat

2.3.2. Histologi Prostat

Sebelum melanjutkan perbahasan secara lebih dalah mengenai penyakit BPH dan kanker prostat, hams dilihat terlebih dahulu prostat itu sendiri secara normal. Histologi prostat penting diketahui supaya mudah dalam melihat perbedaan apabila adanya kelainan pada gambaran mikroskopik prostat. Secara umumnya kelenjar prostat terbentuk dari glandular fibromaskuler dan juga stroma, dimana prostat berbentuk piramida berada di dasar musculofascial pelvis dimana dan dikelilingi oleh selaput tipis dari jaringan ikat (Groat, 2009).

(43)

juga memiliki duktus akan tetapi menyambung dengan uretra prostat di bagian tengah, sesuai dengan bagiannya. Zona transisi, atau bagian yang terakhir dari kalenjar prostat terdiri dari dua lobus, dan juga seperti dua zona sebelumnya, juga memiliki duktus yang mana duktusnya menyambung hampir ke daerah sphincter pada uretra prostat dan menempati 5% ruangan prostat. Seluruh duktus ini, selain duktus ejakulator dilapisi oleh sel sekretori kolumnar dan terpisah dari stroma prostat oleh lapisan sel basal yang berasal dari membrana basal (Schoor, 2009).

Gambar 2.4. Histologi prostat

2.3.3. Pengertian BPH

Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering diketemukan pada pria yang menapak usia lanjut. Istilah BPH atau benign prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon testosterone, yang di dalam sel kelenjar prostat, hormon ini akan dirubah menjadi metabolit aktif dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim 5α-reduktase. Dihidrotestosteron inilah yang secara langsung memicu m-RNA di dalam sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein

(44)

berusia 80 tahun. Pembesaran kelenjar prostat mengakibatkan terganggunya aliran urine sehingga menimbulkan gangguan miksi (Purnomo, 2001).

2.3.4. Patofisiologi BPH

Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan, efek perubahan juga terjadi perlahan. Pada tahap awal pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika. Keadaan ini menyebabkan tekanan intravesikal meningkat, sehingga untuk mengeluarkan urin, kandung kemih harus berkontraksi lebih kuat untuk melawan tahanan tersebut. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik yaitu hipertrofi otot detrusor. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi dinding otot. Apabila keadaan berlanjut, otot detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi. Apabila kandung kemih menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin di dalam kandung kemih, dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi obstruksi total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi, pada suatu saat kandung kemih tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika terus meningkat. Apabila tekanan kandung kemih menjadi lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesikoureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi, penderita seringkali mengedan sehingga lama-kelamaan biasa menyebabkan hernia atau hemoroid (Rodrigues, 2008).

(45)

atau pembesaran prostat merangsang kandung kemih sehingga sering berkontraksi meskipun belum penuh. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks, dapat terjadi pielonefritis (Samira, 2011). Menurut Brown (1982), Blandy (1983), Burkit (1990), Forrest (1990), dan Weinerth (1992) dalam Furqan (2003) gejala-gejala klinik BPH dapat berupa :

1. Gejala pertama dan yang paling sering dijumpai adalah penurunan kekuatan pancaran dan kaliber aliran urin, oleh karena lumen uretra mengecil dan tahanan di dalam uretra meningkat, sehingga kandung kemih harus memberikan tekanan yang lebih besar untuk dapat mengeluarkan urin.

2. Sulit memulai kencing (hesitancy) menunjukan adanya pemanjangan periode laten, sebelum kandung kemih dapat menghasilkan tekanan intravesika yang cukup tinggi.

3. Diperlukan waktu yang lebih lama untuk mengosongkan kandung kemih, jika kandung kemih tidak dapat mempertahankan tekanan yang tinggi selama berkemih, aliran urin dapat berhenti dan dribbling (urine menetes setelah berkemih) bisa terjadi. Untuk meningkatkan usaha berkemih pasien biasanya melakukan menauver valvasa sewaktu berkemih.

4. Otot-otot kandung kemih menjadi lemah dan kandung kemih gagal mengosongkan urin secara sempurna, sejumlah urin tertahan dalam kandung kemih sehingga menimbulkan sering berkemih (frequency) dan sering berkemih malam hari (nocturia).

5. Infeksi yang menyertai residual urin akan memperberat gejala karena akan menambah obstruksi akibat inflamasi sekunder dan edema.

6. Residual urin juga dapat sebagai predisposisi terbentuknya batu kandung kemih.

7. Hematuria sering terjadi oleh karena pembesaran prostat menyebabkan pembuluh darahnya menjadi rapuh.

(46)

9. Bila obstruksi cukup berat, dapat menimbulkan gagal ginjal (renal failure) dan gejala-gejala uremia berupa mual, muntah, somnolen atau disorientasi, mudah lelah dan penurunan berat badan.

Gejala dan tanda ini dievaluasi menggunakan International Prostate Symptom Score (IPSS) untuk menentukan beratnya keluhan klinis (Furqan, 2003).

2.4. International Prostate Symptom Score (IPSS)

Ini adalah nilai skala beratnya keluhan dalam tujuh kategori (pengosongan lengkap, frekuensi, intermittensi, urgensi, pancaran lemah, mengejan, nokturia) dengan total skor 35 menunjukkan gejala terberat. Ada juga skala enam poin untuk menilai kualitas hidup. Dengan demikian, pedoman AUA baru ini diterbitkan merekomendasikan menunggu waspada untuk untuk pasien dengan gejala ringan (skor gejala dari 0 hingga 7). Manajemen medis umumnya rekomendasi pertama untuk pasien dengan skor gejala lebih besar dari 7, jika mereka terganggu oleh gejalanya (Vaughan, 2003).

IPSS mempunyai manfaat untuk : 1. Menilai tingkat keparahan gejala.

Tujuh index gejala IPSS masing-masing mempunyai skala 0 sampai 5, sehingga skor total yang diperoleh berkisar antara 0-35. Dinyatakan dengan IPSS ringan : skor 0-7. IPSS sedang : skor 8-19, IPSS berat : skor 20-35, sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 hingga 7. Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot buli-buli untuk mengeluarkan urin. Pada suatu saat, otot buli-buli mengalami kepayahan (fatique) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut. Timbulnya dekompensasi buli-buli biasanya didahului oleh beberapa faktor pencetus, antara lain:

(47)

c. Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor atau yang dapat mempersempit leher buli-buli (Purnomo, 2011). 2. Menentukan cara penanganan.

Gambar2.5. Algoritme pengelolaan BPH (Nugroho, 2A02)

3. Evaluasi perkembangan penyakit pada penderita yang menjalani pengawasan (watchful waiting).

Menurut Netto (1999) dalam penelitiannya terhadap 479 pasien, mendapati 50 pasien dengan IPSS berat dimana 16 pasien (32%) diantaranya dengan BOO. Setetah menjalani pengawasan (watchfull waiting) selama periode 9-22 bulan, 16 pasien tersebut dievaluasi. 13 pasien (81%) stabil, dan 3 pasien (l9%) mengalami peningkatan IPSS menjadi sedang dimana dua pasien memilih terapi medikamentosa dan 1 pasien menjalani TURP.

4. Menilai hasil terapi.

Index gejala pada IPSS telah terbukti sensitif terhadap suatu perubahan, Barry (1992) melaporkan terdapat penurunan IPSS preoperative rata-rata 17,6 menjadi 7,1 pasca prostatektomi (p<0,001).

5. Menilai pengaruh gejala yang dialami penderita terhadap kualitas hidup. 6. Sebagai alat pengukuran yang konsisten dan telah teruji, memungkinkan untuk

(48)
(49)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Menurut sejarah, sejumlah istilah seperti gejala Benign Prostate Hyperplasia (BPH), dan clinical BPH telah digunakan untuk menggambarkan gejala yang berhubungan dengan proses berkemih pada pria yang lebih tua. Istilah

Lower Urinary Tract Symptom (LUTS) telah diadopsi dan beberapa konsensus dan pedoman komisi telah berusaha untuk mendefinisikan istilah yang tepat untuk mengelompokkan kondisi patofisiologi yang mendasari LUTS pada laki-laki.

Lower Urinary Tract Symptom (LUTS), seperti yang didefinisikan oleh

Internationol Continence Society) adalah indikator subjektif dari penyakit atau perubahan kondisi yang dirasakan oleh pasien dan pasangannya dan dapat menyebabkan mereka mencari bantuan ke tenaga kesehatan professional (Rosette, 2011).

Lower Urinary Tract Symptom (LUTS) adalah masalah umum, terutama bagi pria yang lebih tua. Telah dilaporkan bahwa 90% dari pria yang berusia 50 sampai 80 tahun menderita LUTS. Prevalensi gejala penyimpanan meningkat dan 3% pada pria yang berusia 40 hingga 44 tahun menjadi 42% pada mereka yang 75 tahun baya atau lebih tua. Satu studi menemukan bahwa prevalensi nokturia pada pria berusia di atas 85 adalah sekitar 69% dibandingkan dengan 49% pada wanita. Sekitar sepertiga dari pria akan mengembangkan gejala saluran kemih (outflow), yang penyebab utamanya adalah benign prostatic hyperplasia (BPH). Setelah gejala muncul, kemajuan gejala tersebut adalah bervariasi dan tak terduga dengan sekitar sepertiga dari pasien membaik, sepertiga memburuk dan yang tersisa stabil (Rodrigues, 2008).

(50)

BPH memberikan keluhan yang menjengkelkan dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat atau benign prostate enlargement (BPE) yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate obstruction (BPO). Obstruksi ini lama kelamaan dapat menimbulkan perubahan struktur buli-buli maupun ginjal sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah. Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptom) maupun iritasi (storage symptom) yang meliputi: frekuensi miksi meningkat, urgensi nokturia pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus (intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis miksi, dan tahap selanjutnya terjadi retensi urin. Hubungan antara BPH dengan LUTS sangat kompleks. Tidak semua pasien BPH mengeluhkan gangguan miksi dan sebaliknya tidak semua keluhan miksi disebabkan oleh BPH (Barkin, 2011).

(51)

gejala “ringan”, 9-20 untuk gejala “moderat”, dan 2l-35 untuk gejala “parah”. Tanggapan terhadap kwalitas berbagai pertanyaan kehidupan dari 0 (senang) sampai 6 (mengerikan) (Speakman, 2008). Uji klinis untuk pengobatan BPH dan LUTS mencari “gejala respon” yang adalah perubahan skor IPSS dan baseline

setelah diukur pada waktu yang 3 ditentukan setelah mulai pengobatan. Pasien bertindak sebagai kontrol mereka sendiri. Uji coba menunjukkan bahwa untuk melihat manfaat klinis dari terapi, pasien membutuhkan peningkatan 3-point minimum IPSS. Selain itu, jika skor pasien pada kwalitas hidup adalah 3 atau lebih tinggi, pasien “cukup terganggu” dengan gejala-gejala yang akan termotivasi untuk mencari pengobatan dan akan lebih mungkin untuk menerima/mematuhi pengobatan. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa jika BPH tidak diobati, sering berlangsung, menyebabkan gejala memburuk, komplikasi, kebutuhan untuk intervensi bedah, dan kwalitas hidup yang buruk (Velho, 2013).

Faktor resiko terbesar untuk diprediksi perkembangan BPH adalah: usia yang lebih tua dari 50, gejala prostat sedang (IPSS≥8), dan volume prostat lebih besar dari 30cc atau PSA>1,5 ng/mL, dimana PSA adalah tanda pengganti untuk volume prostat) pada saat diagnosis. Parameter berikut adalah tanda-tanda perkembangan BPH: perubahan dalam skor gejala (IPSS), peningkatan sisa (PVR) volume urin postvoid, infeksi saluran kemih berulang, gagal ginjal hematuria imbulnya retensi urin, dan kebutuhan untuk operasi.

(52)

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui nilai IPSS pada pasien BPH dan menganalisis gejala-gejalanya di Poliklinik Urologi RSUP. Haji Adam Malik Medan yang merupakan rumah sakit pusat rujukan tipe A seluruh lapisan masyarakat kota Medan, yang menarik minat peneliti untuk melakukan penelitian ini karena belum pernah diteliti sebelum ini di kota Medan, Sumatera Utara.

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut masalah yang mejadi dasar dilakukannya penelitian ini adalah bahwa penulis ingin mengetahui: “Bagaimana gambaran nilai IPSS pada pasien BPH di Poliklinik Urologi RSUP Haji Adam Malik Medan?”

1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1. Umum

Untuk mengetahui nilai IPSS pada pasien BPH di Poliklinik Urologi RSUP. Haji Adam Malik Medan.

1.3.2. Khusus

Untuk mengetahui gejala yang paling sering muncul dari gejala IPSS pada penderita BPH di Poliklinik Urologi RSUP. Haji Adam Malik Medan.

1.4.Manfaat Penelitian 1.4.1. Bidang Akademik

Mengetahui nilai IPSS pada pasien BPH.

1.4.2. Bidang pelayanan kesehatan :

(53)

ABSTRAK

Angka kejadian Benign Prostate Hyperplasia (BPH) di dunia, terutama di Indonesia masih cukup tinggi, meskipun pemerintah Indonesia dan WHO telah melakukan berbagai usaha dalam penemuan kasus dan pengobatan BPH. RSUP.H.Adam Malik Medan, sebagai rumah sakit negri yang menjadi pusat rujukan tipe A di Sumatera Utara harus mengenali gambaran kelompok-kelompok beresiko tinggi terhadap BPH, agar dapat melakukan pencegahan,diagnosa dan pengobatan dengan lebih efisien.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai International Prostate Symptom Score (IPSS) dan gejala yang paling sering muncul dari 7 gejala IPSS pada pasien BPH di Poliklinik Urologi RSUP.H.Adam Malik Medan.

Penelitian yang dilakukan adalah deskriptif dengan jumlah sampel sebanyak 56 pasien yang didiagnosa BPH. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan total sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner IPSS. Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif.

Hasil yang diperoleh setelah proses analisia data menunjukkan bahwa gejala yang paling sering muncul dari 7 gejala IPSS pada pasien BPH adalah nokturia dan pancaran lemah. Untuk tingkat keparahan diperoleh 3,6% responden tergolong ringan, 71,4% responden tergolong sedang, dan 25,0% responden tergolong berat.

(54)

ABSTRACT

The incidence of benign prostate hyperplasia ( BPH ) in the world , especially in Indonesia is still quite high , although the Indonesian government and the World Health Organization has made great efforts in case detection and treatment of BPH . RSUP.H.Adam Malik , a country that became a hospital referral centers in North Sumatra type A should recognize the description of the groups at high risk for BPH , in order to carry out the prevention , diagnosis and treatment more efficiently.

This study aims to determine the value of International Prostate Symptom Score ( IPSS ) and the most frequent symptom from 7 symptoms of IPSS of BPH patients at the Urology Polyclinic RSUP.H.Adam Malik Medan.

Descriptive study was chosen in this study . The number of samples is as much as 56 patients who were diagnosed BPH . Sampling technique used was total sampling . The data was collected using the IPSS questionnaire and analyzed by using desciptive statistic.

The results obtained after analyzed the data showed that the most frequent symptoms from 7 symptoms of IPSS in patients with BPH are nocturia and poor stream . For severity obtained 3.6 % of respondents classified as mild , 71.4 % of respondents classified as moderate , and 25.0 % of respondents classified as severe .

(55)

KULIAH TULIS ILMIAH

GAMBARAN NILAI INTERNATIONAL PROSTATE SYMPTOM SCORE

PADA PASIEN BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA

DI POLIKLINIK UROLOGI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN

OLEH:

KAMALESWARAN CHANDRASEGARAN 100100418

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(56)

GAMBARAN NILAI INTERNATIONAL PROSTATE SYMPTOM SCORE

PADA PASIEN BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA

DI POLIKLINIK UROLOGI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN

“Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran”

OLEH:

KAMALESWARAN CHANDRASEGARAN 100100418

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(57)
(58)

ABSTRAK

Angka kejadian Benign Prostate Hyperplasia (BPH) di dunia, terutama di Indonesia masih cukup tinggi, meskipun pemerintah Indonesia dan WHO telah melakukan berbagai usaha dalam penemuan kasus dan pengobatan BPH. RSUP.H.Adam Malik Medan, sebagai rumah sakit negri yang menjadi pusat rujukan tipe A di Sumatera Utara harus mengenali gambaran kelompok-kelompok beresiko tinggi terhadap BPH, agar dapat melakukan pencegahan,diagnosa dan pengobatan dengan lebih efisien.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai International Prostate Symptom Score (IPSS) dan gejala yang paling sering muncul dari 7 gejala IPSS pada pasien BPH di Poliklinik Urologi RSUP.H.Adam Malik Medan.

Penelitian yang dilakukan adalah deskriptif dengan jumlah sampel sebanyak 56 pasien yang didiagnosa BPH. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan total sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner IPSS. Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif.

Hasil yang diperoleh setelah proses analisia data menunjukkan bahwa gejala yang paling sering muncul dari 7 gejala IPSS pada pasien BPH adalah nokturia dan pancaran lemah. Untuk tingkat keparahan diperoleh 3,6% responden tergolong ringan, 71,4% responden tergolong sedang, dan 25,0% responden tergolong berat.

(59)

ABSTRACT

The incidence of benign prostate hyperplasia ( BPH ) in the world , especially in Indonesia is still quite high , although the Indonesian government and the World Health Organization has made great efforts in case detection and treatment of BPH . RSUP.H.Adam Malik , a country that became a hospital referral centers in North Sumatra type A should recognize the description of the groups at high risk for BPH , in order to carry out the prevention , diagnosis and treatment more efficiently.

This study aims to determine the value of International Prostate Symptom Score ( IPSS ) and the most frequent symptom from 7 symptoms of IPSS of BPH patients at the Urology Polyclinic RSUP.H.Adam Malik Medan.

Descriptive study was chosen in this study . The number of samples is as much as 56 patients who were diagnosed BPH . Sampling technique used was total sampling . The data was collected using the IPSS questionnaire and analyzed by using desciptive statistic.

The results obtained after analyzed the data showed that the most frequent symptoms from 7 symptoms of IPSS in patients with BPH are nocturia and poor stream . For severity obtained 3.6 % of respondents classified as mild , 71.4 % of respondents classified as moderate , and 25.0 % of respondents classified as severe .

(60)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan petunjuk dan rahmatNya saya dapat selesaikan Karya Tulis Ilmiah ini yang berjudul “Gambaran Nilai International Prostate Symptom Score

pada Pasien Benign Prostate Hyperplasia di Poliklinik Urologi RSUP Haji Adam Malik Medan” tepat ada waktunya.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah turut serta membantu penulis menyelesaikan laporan hasil penelitian ini, diantaranya :

1. Kepada Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp. PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Kepada dosen pembimbing penulis penelitian ini, dr.Yacobda H.Sigumonrong, Sp.U, yang dengan sepenuh hati telah meluangkan segenap waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan laporan hasil penelitian.

3. Tenaga kerja di bagian Poliklinik UrologiRSUP Haji Adam Malik Medan atas izin dan segala bantuan yang telah diberikan semasa menjalankan penelitian ini.

4. Keluarga tercinta yang senantiasa memberikan motivasi kepada penulis baik bersifat materi mauun non materi.

5. Teman-teman penulis yang ikut memberi ide dan saling memberi motivasi sehingga dapat selesaikan tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa proposal penelitian ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran agar penulis dapat lebih baik dalam bidang penelitian ke depannya kelak. Demikian dan terima kasih.

(61)
(62)

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 20

3.1. Kerangka Konsep ... 20

3.2. Definisi Operasiona1 ... 20

3.3. Alat Ukur ... 21

3.4. Cara Ukur ... 21

BAB 4 METODE PETELITIAN ... 22

4.1. Desain Penelitian ... 22

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 22

4.3. Subyek Penelitian ... 22

4.3.1. Populasi ... 22

4.3.2. Sampe1 ... 22

4.4. Cara Penelitian ... 23

4.5. Analisis Data ... 23

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 24

5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian……… 24

5.2. Deskripsi Karakteristik Responden………. 24

5.2.1. Umur Responden……… 24

5.3. Hasil Analisa Data dan Pembahasan……… 25

5.3.1. Hasil Analisa Data……….. 25

5.3.2. Pembahasan...………. 31

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN……… 33

6.1. Kesimpulan ………. 33

6.2. Saran……… 33

(63)

DAFTAR GAMBAR

2.1. Anatomi Sistem Perkemihan ... 6

2.2. Fisiologi Sistem Perkemihan... 11

2.3. Kelenjar Prostat ... 13

2.4. Histologi Prostat ... 14

(64)

DAFTAR TABEL

5.1. Distribusi Responden Berdasarkan Umur Responden 24 5.2. Distribusi Frekuensi Gejala Kategori Lengkap Pengosongan pada

Responden

25

5.3. Distribusi Frekuensi Gejala Kategori Frekuensi pada Responden 26 5.4. Distribusi Frekuensi Gejala Kategori Intermitten pada Responden 26 5.5. Distribusi Frekuensi Gejala Kategori Urgensi pada Responden 27 5.6. Distribusi Frekuensi Gejala Kategori Pancaran Lemah pada

Responden

28

(65)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Riwayat Hidup LAMPIRAN 2 Lembar Penjelasan LAMPIRAN 3 Informed Consent LAMPIRAN 4 Kuesioner

LAMPIRAN 5 Lembar Ethical Clearance

LAMPIRAN 6 Surat Izin Penelitian LAMPIRAN 7 Master Table

Gambar

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Responden
Tabel 5.2. Distribusi  Frekuensi Gejala Kategori Pengosongan Lengkap
Tabel 5.3. Distribusi  Frekuensi Gejala Kategori Frekuensi pada Responden
Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Gejala Kategori Urgensi pada Responden
+7

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor resiko terjadinya BPH dan kanker prostat, namun penelitian terbaru menunjukkan bahwa kadar serum PSA pada pria

Hasil : Dari hasil penelitian didapatkan dari 255 sampel pasien Benign Prostate Hyperplasia (BPH) terdapat 25 sampel yang mengalami kejadian batu saluran

HUBUNGAN ANTARA KADAR SERUM LIPID DENGAN VOLUME PROSTAT PADA PENDERITA BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA DI RSUP.. H ADAM MALIK MEDAN

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor resiko terjadinya BPH dan kanker prostat, namun penelitian terbaru menunjukkan bahwa kadar serum PSA pada pria

Effect of Body Mass Index on Serum Prostate-Specific Antigen Levels among Patients Presenting with.. Lower Urinary

Juga pemeriksaan Elektrolit, Blood Urea Nitrogen, dan Kreatinin evaluasi ini adalah alat screening yang berguna untuk insufisiensi ginjal kronis pada pasien yang memiliki

9 Gejala epistaksis dan ingus berdarah merupakan gejala pada hidung yang paling sering. Sputum yang berdarah dari mukosa yang ulserasi sering

Didapatkan 50 pasien rinosinusitis kronik yang berobat ke Poliklinik THT-KL RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2017, dimana distribusi frekuensi pasien rinosinusitis kronik