• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIK DI POLIKLINIK THT-KL RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2017 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROFIL PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIK DI POLIKLINIK THT-KL RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2017 SKRIPSI"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

PROFIL PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIK

DI POLIKLINIK THT-KL RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2017

SKRIPSI

Oleh :

ANDRE FELLINO MUHAMMAD HARAHAP 150100093

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

PROFIL PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIK

DI POLIKLINIK THT-KL RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2017

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :

ANDRE FELLINO MUHAMMAD HARAHAP 150100093

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(3)

i

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP Haji Adam Malik Tahun 2017” ini sebagai salah satu syarat kelulusan Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari orangtua dan berbagai pihak, mulai dari pemilihan topik dan judul hingga terbentuk hasil skripsi yang sudah mumpuni ini. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp. S(K), selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Ferryan Sofyan, Sp.THT-KL(K), selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan banyak waktu dan tanpa mengenal lelah dalam memberikan dorongan, bimbingan dan petunjuk sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

3. dr. Ashri Yudhistira, M.Ked, Sp.THT-KL(K), selaku ketua penguji dan dr. Aryani Atiyatul Amra, M.Ked(Oph), Sp.M(K), selaku anggota penguji yang

telah memberikan nasihat dan saran yang sangat membangun sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan sebaik – baiknya.

4. Ayahanda dr. Muhammad Rusda, M.Ked(OG), Sp.OG(K) dan Ibunda dr.

Andrina Yunita Murni Rambe, Sp.THT-KL(K) yang telah mengasuh, membesarkan dan membimbing serta senantiasa memberikan semangat dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Adinda Akmal Nauval Muhammad Harahap yang senantiasa memberikan

(5)

6. Teman-teman sejawat dan seperjuangan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan motivasi, semangat, dan saran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan sebaik-baiknya.

Penulis menyadari bahwa skripsi yang merupakan hasil penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan dari berbagai sisi, baik dari segi struktur dan isi. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang berguna untuk memperbaiki kekurangan tersebut. Semoga penelitian ini dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan dunia kedokteran.

Medan, 5 Desember 2018 Penulis,

AND RE FELLINO MUHAMMAD HARAHAP 150100093

iii

(6)

ABSTRAK

Latar Belakang. Rinosinusitis kronik merupakan suatu penyakit inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal, yang ditandai dengan ditemukannya 2 atau lebih dari 4 gejala mayor, yaitu; kongesti nasal, nasal discharge purulen, rasa nyeri atau tertekan pada wajah dan anosmia atau hiposmia; yang berlangsung selama lebih dari 12 minggu. Selain gejala mayor terdapat juga gejala minor, seperti halitosis, demam, sakit kepala, serta nyeri pada gigi dan telinga. Tujuan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran penderita rinosinusitis kronik berdasarkan usia, jenis kelamin, gejala klinis, serta hasil rinoskopi anterior, nasoendoskopi dan CT Scan Sinus Paranasal. Metode. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross-sectional dan sampel dikumpulkan secara total sampling. Penelitian ini menggunakan data rekam medik untuk menilai parameter-parameter yang diteliti.

Hasil. Didapatkan 50 pasien rinosinusitis kronik yang berobat ke Poliklinik THT-KL RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2017, dimana distribusi frekuensi pasien rinosinusitis kronik terbanyak berjenis kelamin perempuan (52%); dalam kelompok usia 16-30 tahun (40%); keluhan utama yang paling sering dijumpai adalah hidung tersumbat (74%); temuan nasoendoskopi yang paling banyak dijumpai adalah konka media eutrofi (64,52%); dan sinus yang paling banyak terlibat adalah sinus maksilaris tunggal (22%). Kesimpulan. Dapat disimpulkan bahwa rinosinusitis kronik paling banyak terjadi pada usia remaja-dewasa muda, jenis kelamin perempuan, dan keluhan utama yang paling sering dijumpai adalah hidung tersumbat.

Kata kunci: Rinosinusitis kronik, profil, inflamasi.

(7)

ABSTRACT

Background. Chronic rhinosinusitis can be defined as an inflammatory disease affecting the mucosa of the nose and paranasal sinuses, which is characterized by the findings of 2 or more of the 4 major symptoms: nasal congestion, purulent nasal discharge, sensation of pain or fullness in the face, and anosmia or hyposmia. There are also some minor symptoms, including halitosis, fever, headache, toothache and aural pain. Aim. The purpose of this study is to observe the chronic rhinosinusitis patient’s profile based on age, gender, and the findings of anterior rhinoscopy, nasoendoscopy, and CT scan of the paranasal sinuses. Method. This study is a cross- sectional with an observational approach, which samples will be collected in total sampling. This study uses the data of the patients’ medical records to observe the parameters which are going to be studied. Results. 50 patients were treated at Haji Adam Malik General Hospital in 2017, where the frequency distribution of chronic rhinosinusitis patients is mostly female (52%), at the age group 16-30 years old (40%);

the most common major symptom is nasal congestion (74%); the most commonly found nasoendoscopic findings are eutrophy of the concha media (64,52%); and the most frequently involved sinus is the maxillary sinus (22%). Conclusion. It is concluded that chronic rhinosinusitis is mostly found in young adults, females, with nasal congestion as the most common major symptom.

Keywords: Chronic rhinosinusitis, profile, inflammation.

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN………..

KATA PENGANTAR………..……….

i ii ABSTRAK…... iv DAFTAR ISI……... vi DAFTAR TABEL…...

DAFTAR GAMBAR……….

DAFTAR SINGKATAN……….

DAFTAR RIWAYAT HIDUP………

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS………..

viii ix x xi xiii BAB I PENDAHULUAN...

1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah... 4 1.3 Tujuan Penelitian...

1.3.1 Tujuan Umum...

1.3.2 Tujuan Khusus...

4 4 4 1.4 Manfaat Penelitian...

1.4.1 Manfaat Ilmiah...

1.4.2 Manfaat Metodologi………...

1.4.3 Manfaat bagi Masyarakat...

5 5 5 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 6

2.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal...

2.1.1 Anatomi Hidung………..

2.1.2 Anatomi Sinus Paranasal………

6 6 8 2.2 Rinosinusitis Kronik…...

2.2.1 Definisi...

2.2.2 Etiologi... ...

12 12 12

(9)

2.2.3 Faktor Risiko...

2.2.4 Patofisiologi……...

2.2.5 Manifestasi Klinis...

2.2.6 Diagnosis...

2.2.7 Tatalaksana...

2.2.8 Komplikasi...

14 16 19 20 21 23

2.3 Kerangka Teori... 25

2.4 Kerangka Konsep... 26

BAB III METODE PENELITIAN... 27

3.1 Jenis dan Desain Penelitian... 27

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian... 27

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian... 3.3.1 Populasi Penelitian... 3.3.2 Sampel Penelitian... 3.3.2.1 Kriteria Inklusi... 3.3.2.2 Kriteria Eksklusi... 27 27 27 27 28 3.4 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data... 3.4.1 Jenis Data... 3.4.2 Teknik Pengumpulan Data... 28 28 28 3.5 Definisi Operasional... 29

3.6 Metode Analisis Data... 31

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN…………... 32

4.1 Hasil Penelitian... 32

BAB V 4.2 Pembahasan…... KESIMPULAN DAN SARAN………. 5.1 Kesimpulan….…………..……….……… 5.2 Saran……….……….. 36 39 39 39 DAFTAR PUSTAKA... 41 LAMPIRAN

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 5.1 Distribusi Berdasarkan Kelompok Usia………. 33 Tabel 5.2

Tabel 5.3 Tabel 5.4 Tabel 5.5

Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin………...

Distribusi Berdasarkan Keluhan Utama………..

Distribusi Berdasarkan Temuan Nasoendoskopi………

Distribusi Berdasarkan Sinus yang Terlibat………

33 34 34 35

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Septum Nasal... 7 Gambar 2.2 Potongan Koronal Rongga Hidung………... 9 Gambar 2.3 CT Scan Sinus Paranasal... 9 Gambar 2.4

Gambar 2.5

Kerangka Teori Penelitian...

Kerangka Konsep Penelitian ……….………..

25 26

ix

(12)

DAFTAR SINGKATAN

BSEF : Bedah Sinus Endoskopik Fungsional CT : Computed Tomography

CRSwNP : Chronic Rhinosinusitis with Nasal Polyps CRSsNP : Chronic Rhinosinusitis without Nasal Polyps DEPKES : Departemen Kesehatan

KOM : Kompleks Ostio-meatal

PPOK : Penyakit Paru Obstruktif Kronik RSK : Rinosinusitis Kronik

THT-KL : Telinga, Hidung, Tenggorok – Kepala Leher

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rinosinusitis didefinisikan sebagai suatu penyakit inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal. Istilah rinosinusitis lebih tepat digunakan dibanding sinusitis dikarenakan sinusitis hampir selalu disertai oleh adanya inflamasi pada rongga hidung (rinitis). Rinosinusitis dapat diklasifikasikan menurut durasinya sebagai akut jika dibawah empat minggu, sub akut jika berlangsung antara empat sampai dua belas minggu, dan kronik jika berlangsung selama lebih dari dua minggu. (Rosenfeld et al.

2015).

Rinosinusitis kronik ditandai dengan ditemukannya dua atau lebih dari empat gejala kardinal, yang meliputi nyeri atau rasa penuh pada wajah, anosmia/hiposmia, rinore , dan obstruksi nasal yang dialami selama minimal dua belas minggu, dan inflamasi dapat dibuktikan dengan adanya temuan dari satu atau lebih hal berikut;

mucus purulen atau edema di meatus media atau daerah anterior ethmoid, adanya polip pada rongga hidung atau meatus media, dan atau adanya gambaran radiografi yang menunjukkan adanya inflamasi sinus paranasalis. (Rosenfeld et al. 2017).

Rinosinusitis memiliki angka kejadian yang relatif tinggi di masyarakat.

Sebuah penelitian dilakukan di Kanada pada tahun 2009, dengan menggunakan sebanyak 73.364 sampel (34.241 pria dan 39.123 wanita) yang berusia diatas dua belas tahun, yang ikut serta dalam National Health Survey siklus kedua pada tahun 1996 sampai 1997. Masing-masing sampel ditanya apakah mereka mengalami kondisi kesehatan kronis tertentu yang telah terjadi selama kurang lebih enam bulan, termasuk rinosinusitis. Dari jumlah sampel tersebut, kejadian rinosinusitis ditemukan lebih

1

(14)

banyak pada wanita (5,7 %) dibanding pria (3,4 %). Angka kejadian meningkat seiring dengan usia dan menjadi seimbang pada usia enam puluh. Terkhusus pada subjek wanita, insidensi sedikit lebih tinggi pada sampel yang tinggal di daerah timur dan warga negara Kanada, dibanding dengan yang tinggal di daerah sentral atau barat dan merupakan imigran. Merokok dan penghasilan rendah juga memiliki pengaruh terhadap meningkatnya prevalensi rinosinusitis. Rinosinusitis lebih sering terjadi pada orang-orang yang memiliki riwayat alergi, asma, atau PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik). Kebiasaan olahraga dan konsumsi alkohol tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap prevalensi terjadinya rinosinusitis. (Chen, Dales, dan Lin, 2009).

Epidemiologi rinosinusitis hampir menyamai common cold. Di Amerika Serikat, insidensi common cold adalah sebanyak 2 sampai 3 kali per tahun per orang untuk orang dewasa, dam 5 sampai 7 kali per tahun per orang untuk anak-anak. Infeksi bakteri pada sinus diestimasi terjadi pada sekitar 0,5-2% dari kasus infeksi saluran nafas atas (ISPA) viral pada orang dewasa dan 6-13% pada anak-anak. Sebuah penelitian kohort terbaru yang dilakukan pada anak menunjukkan bahwa sinusitis menjadi komplikasi ISPA sebanyak sekitar 8,8% dari seluruh kasus ISPA. Ini menjadikan sinusitis sebagai salah satu infeksi terbanyak yang ditangani oleh tenaga kesehatan primer. Pada sebuah survei kesehatan nasional di Amerika Serikat pada tahun 2008, sebanyak 11% orang dewasa dilaporkan telah didiagnosa dengan sinusitis dalam setahun terakhir. Diperkirakan bahwa sinusitis dan komplikasinya bertanggung jawab atas 23 juta kunjungan berobat ke layanan kesehatan setiap tahunnya , dan pada prosesnya menghasilkan sekitar 20 juta peresepan antibiotik. (DeMuri dan Wald, 2015).

Pada survei nasional yang dilakukan di Korea Selatan, prevalensi keseluruhan dari rinosinusitis, yang didefinisikan sebagai adanya 3 atau lebih gejala hidung yang berlangsung selama minimal 3 bulan disertai dengan hasil endoskopi yang menunjukkan adanya polip nasal dan atau adanya discharge mukopurulen di meatus

2

(15)

media adalah sebanyak 1,01 %, tanpa ada perbedaan menurut kelompok umur maupun jenis kelamin. (Fokkens et al. 2012).

Data dari DEPKES RI tahun 2003 juga menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Data yang diperolah dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM pada kurun waktu Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada waktu itu berjumlah 435 pasien, dan dari angka tersebut 69 persen merupakan pasien sinusitis. (Arrivalagan dan Rambe, 2011).

Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Arrivalagan (2011), ditemukan sebanyak 190 kasus rinosinusitis kronis di RSUP Haji Adam Malik. Penelitian lain yang dilakukan pada tahun 2013 menjumpai sebanyak 120 pasien rinosinusitis kronik yang berobat ke Poliklinik THT RSUP Haji Adam Malik Medan (Lubis, 2015).

Dari seluruh penderita rinosinusitis kronik, 25-30% menderita rinosinusitis dengan polip nasal (CRSwNP). CRSwNP biasa menyerang orang-orang pada usia paruh baya, dengan onset rata-rata pada usia 42 tahun dan didiagnosa pada rentang usia 40-60 tahun. CRSwNP lebih banyak diderita oleh pria dibanding wanita. Tetapi, pada studi tahun 2015 yang dilakukan oleh Stevens dkk. tentang pasien-pasien yang menjalani operasi sinus di layanan kesehatan tersier menunjukkan bahwa pasien wanita rata-rata memiliki kondisi yang lebih buruk dibandingkan dengan pasien pria. Dari studi ini, 38% dari pasiennya adalah wanita dan 62% adalah pria. Dibanding pria, wanita biasanya menunjukkan perkembangan penyakit sinus yang lebih signifikan secara radiografis, cenderung lebih sering menggunakan kortikosteroid sistemik pada saat menjalani operasi sinus, dan lebih sering membutuhkan operasi sinus berulang.

(Stevens, Schleimer dan Kern, 2016).

Tingginya prevalensi kejadian rinosinusitis kronik dan masih minimnya data mengenai profil penderita rinosinusitis kronik di RSUP HAM membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai rinosinusitis kronik berdasarkan

3

(16)

prevalensi, usia, jenis kelamin, gejala klinik, hasil pemeriksaan rinoskopi anterior, nasoendoskopi dan CT-Scan sinus paranasal, sehingga akan didapatkan data dasar mengenai profil penderita pasien rinosinusitis kronik.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah profil penderita rinosinusitis kronik di Poliklinik THT-KL RSUP HAM pada tahun 2017?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui profil pasien penderita rinosinusitis kronik di Poliklinik THT RSUP HAM pada periode 1 Januari-31 Desember 2017.

1.3.2 Tujuan Khusus

Untuk mengetahui profil penderita rinosinusitis kronik berdasarkan:

1. Usia

2. Jenis Kelamin 3. Keluhan Utama 4. Nasoendoskopi

5. CT Scan Sinus Paranasal 1.4 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan beberapa manfaat, yaitu diantaranta dapat digunakan sebagai tambahan informasi mengenai data epidemiologik penderita rinosinusitis kronik; dapat digunakan sebagai sumber atau referensi penelitian berikutnya dengan sampel yang lebih besar, waktu penelitian yang lebih

4

(17)

lama, dan tempat yang lebih banyak; diharapkan mampu memberi informasi dan pengetahuan lebih kepada masyarakat mengenai rinosinusitis, sehingga masyarakat diharapkan mampu membantu dan mendampingi anggota keluarganya yang menderita rinosinusitis untuk melakukan pengelolaan secara mandiri untuk mencegah terjadinya komplikasi; dan diharapkan mampu memberi informasi yang bermanfaat untuk penelitian lebih lanjut.

5

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hidung dan Sinus Paranasal 2.1.1 Anatomi Hidung

Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian karena merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung berbentuk piramid, kira-kira dua perlima bagian atasnya terdiri dari tulang dan tiga perlima bawahnya tulang rawan (Ballenger, 2003).

Kavum nasi dimulai di bagian anterior yang disebut vestibulum nasi dengan bagian posteriornya disebut limen nasi nasal valve. Nasal valve merupakan bagian tersempit dari saluran pernapasan hidung dan bertanggungjawab terhadap hampir setengah dari resistensi aliran udara total. Septum nasi merupakan struktur yang berada di tengah- tengah kavum nasi, membaginya menjadi kavum kanan dan kiri. (Ballenger, 2003).

Tiga konka di kedua sisi hidung membagi lumen hidung menjadi meatus- meatus. Ruang antara konka inferior dan dasar hidung disebut meatus inferior., ruang antara konka media dan konka inferior disebut meatus media, dan ruang diatas konka media disebut meatus superior. Konka superior dan media merupakan ekstensi dari os etmoid, sedangka konka inferor merupakan tulang terpisah dimana batas atasnya bersatu dengan dinding lateral hidung. Pada ujung anterior dari konka media dan inferior dapat ditemukan sel-sel epitel skuamosa dan kuboid. (Ballenger, 2003).

6

(19)

Gambar 2.1. Septum Nasal

Meatus superior, atau sering juga disebut fisura etmoid, merupakan rongga diatas konka media dan terletak diantara septum nasi dengan tulang etmoid.

Pembukaan dari sel-sel etmoid posterior mengarah ke bagian sentral dari meatus ini.

Meatus media berada diantara konka media dan inferior. Meatus ini mengandung orifisium dari sinus maksila dan frontal, serta bagian anterior dari sel-sel etmoid.

Terdapat juga infundibulum, yang terttup oleh bagian anterior dari konka media.

Lubang atau pembukaan yang berbentuk seperti bulan sabit disebut hiatus semilunaris.

Dinding bagian inferior medial dari infundibulum membentuk prosesus unsinatus, yang diatasnya terdapat bula etmoid. Meatus inferior terletak dibawah konka inferior.

Pada permukaan bagian lateralnya, 3-5 cm dibelakang nares, terdapat orifisium dari duktus kelenjar lakrimal. Dasar dari meatus inferior bersatu dengan atap dari rongga mulut. (Ballenger, 2003).

Columella Lower Lateral Cartilage

Upper Lateral Cartilage

Quadrilateral Cartilage

Perpendicular Plate of Ethmoid Bone

Vomer

Nasal Crest of Pallatine Bone

Premaxilla

7

(20)

2.1.2 Anatomi Sinus Paranasal

Terdapat 4 pasang sinus paranasal, yaitu sinus frontalis, maksilaris, etmoid, dan sfenoid. Pada keadaan normal, sinus-sinus ini berisi udara dan terhubung ke lumen hidung melalui suatu ostium atau lubang. Masing-masing sinus dilapisi oleh membrane mukosa yang relatif tipis dan bersilia. Semakin mendekati ostium, jumlah silia juga semakin banyak. (Ballenger, 2003).

Untuk tujuan klinis, sinus-sinus ini dibagi menjadi dua kelompok, yaitu anterior dan posterior, berdasarkan lokasi mereka terhadap perlekatan antara konka media dengan dinding lateral hidung. Sinus frontal, maksila, dan etmoid anterior termasuk bagian anterior yang membuka kearah infundibulum, sedangkan sinus sfenoid dan etmoid posterior termasuk bagian posterior yang membuka ke meatus superior.

Gambar 2.2. Potongan Koronal Rongga Hidung Ethmoid Sinuses

Zygoma

Middle and Inferior Turbinates

Maxilla Maxillary Sinus

Orbit

8

(21)

Gambar 2.3. CT-Scan Sinus Paranasal

Sinus maksilaris. Sinus maksilaris (disebut juga antrum Highmore) menempati tubuh dari maksila. Sinus maksilaris berbentuk pyramidal, dimana dasarnya dibentuk olah dinding lateral dari rongga hidung dan apeksnya mengarah ke prosesus zigomatikus. Pada anak, bagian dasar dari sinus lebih tinggi dari dasar rongga hidung, sedangkan pada orang dewasa dasar sinus lebih rendah 5-10 cm dari dasar rongga hidung. Sinus maksilaris mendapat suplai darah dari cabang-cabang a.

sfenopalatina, a. palatina desendens, dan a. alveolaris, sedangkan drainase vena melalui v. maksilaris. Sinus maksilaris mendapat inervasi dari r. nasal lateroposterior dan r.

alveolaris superior dari n. infraorbitalis, yang berasal dari n. maksilaris (N. V2).

(Ballenger, 2003).

Sinus Etmoid. Berdasarkan letaknya terhadap perlekatan konka media dengan dinding lateral hidung, sel-sel sinus etmoid dibagi menjadi anterior dan posterior. Sel- sel etmoid anterior membuka kearah infundibulum di meatus media, sedangkan sel-sel etmoid posterior membuka kearah meatus superior. Konka media dapat menjadi tempat sel-sel etmoid, membentuk konka bulosa, yang dapat menyebabkan obstruksi drainase

9

(22)

sinus tetapi biasanya asimtomatis. Sinus etmoid mendapat suplai darah dari a.

sfenopalatina r. nasalis, a. etmoid anterior dan posterior, dan cabang-cabang a.

optalmika, sedangkan drainase venanya melalui v.maksilaris yang terhubung dengan sinus kavernosus. Cabang nasal posterior dari n. maksilaris (N. V2) beserta cabang etmoid anterior dan posterior dari n. optalmikus (N. V1) mempersarafi sinus etmoid.

(Ballenger, 2003).

Sinus Frontalis. Sinus frontalis jarang bisa dilihat melalui proses imaging sebelum usia 2 tahun. Saat usia 2 tahun, sinus ini mulai menginvasi tulang frontal dan memiliki banyak variasi bentuk. Sinus frontalis mendapat suplai darah dari r.supratroklearis dan r.supraorbital dari a. optalmika, sedangkan drainase venanya melalui sinus kavernosus. Sinus frontalis dipersarafi oleh n. optalmikus r.

supratroklearis dan r. supraorbital. (Ballenger, 2003).

Sinus Sfenoid. Pneumatisasi (pengisian oleh udara) dari tulang sfenoid berlangsung pada pertengahan masa kanak-kanak, dan berkembang secara cepat mulai usia 7 tahun, hingga mencapai bentuk matangnya pada usia 12-15 tahun. Masing- masing sinus terhubung dengan resesus sfenoetmoidalis dari meatus superior nasi melalui celah sempit berukuran 0,5-4 mm. Sinus sfenoid mendapat suplai darah dari cabang-cabang a. sfenopalatina dan a. etmoid posterior. Persarafan sinus sfenoid disuplai oleh n. etmoid posterior (cabang dari n. optalmikus) dan r. sfenopalatina dari n. maksilaris. (Ballenger, 2003).

Kompleks Ostio-meatal. Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, frontal, dan etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat pada prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila. (Soepardi et al. 2015)

10

(23)

Sistem Mukosiliar. Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir diatasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. (Soepardi et al. 2015)

Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran transport mukosiliar dari sinus.

Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapat adanya post-nasal drip tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung. (Soepardi et al.

2015)

2.2 Rinosinusitis Kronik 2.2.1 Definisi

Rinosinusitis dapat diartikan sebagai penyakit inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal. Rinosinusitis dapat didefinisikan sebagai suatu penyakit inflamasi sinus paranasal yang bertahan selama lebih dari 12 minggu. Sekarang istilah rinosinusitis lebih banyak digunakan dibanding sinusitis karena inflamasi pada sinus paranasal hampir selalu diiringi oleh adanya inflamasi pada rongga hidung di saat bersamaan. Pada tahun 1997, the Rhinosinusitis Task Force of the American Academy of Otolaryngology–Head and Neck Surgery membuat suatu klasifikasi yang telah diterima secara luas tentang rinosinusitis. Klasifikasi ini mengandalkan gejala-gejala klinis yang ditemukan untuk penegakan diagnosis. Gejala-gejala ini dibagi menjadi gejala mayor – yaitu nasal discharge purulent, kongesti nasal, rasa nyeri atau tertekan pada wajah, dan anosmia atau hiposmia – serta beberapa gejala minor – halitosis, demam, sakit kepala, nyeri pada gigi, batuk, serta nyeri pada telinga. Seorang pasien dapat didiagnosa dengan rinosinusitis jika dijumpai 2 atau lebih gejala mayor atau 1

11

(24)

gejala mayor disertai 2 atau lebih gejala minor. Belakangan ini, klasifikasi rinosinusitis yang lebih spesifik telah diajukan berdasarkan temuan endoskopik, yaitu rinosinusitis dengan polip nasal (CRSwNP) dan rinosinusitis tanpa polip nasal (CRSsNP).

(Benninger dan Stokken, 2015).

2.2.2 Etiologi

Rinosinusitis kronik sering bermula dari infeksi virus dan kemudian berkembang menjadi infeksi bacterial. Penyebab lain yang mungkin adalah infeksi jamur, infeksi gigi, refluks laringofaring, fraktur dan tumor. (Benninger dan Stokken, 2015)

Pada semua kelompok umur penderita rinosinusitis bakteri, Haemophilus influenza dan Streptococcus pneumonia merupakan bakteri patogen yang paling sering dijumpai. Meskipun begitu, sejumlah spesies bakteri-bakteri lain juga telah didapatkan dari sinus pasien-pasien yang terinfeksi. Pada anak-anak, sekitar 90% dari seluruh kasus rinosinusitis disebabkan oleh 5 organisme: H. influenza, S. pneumonia, Moraxella catarrhalis, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pyogenes. Sejumlah keraguan telah muncul mengenai apakah S. aureus merupakan salah satu penyebab rinosinusitis pada anak-anak. Hal ini disebabkan karena keberadaan S. aureus yang lumrah dan biasa pada hidung anak-anak, dan memungkinkan terjadi kontaminasi pada saat melakukan puncture sinus maksilaris maupun bedah endoskopik. Keraguan yang sama juga muncul menganai Streptococcus α-hemolyticus, Staphylococcus koagulase negative dan beberapa bakteri anaerob lainnya karena juga merupakan bagian dari flora normal hidung.

Pada pasien-pasien remaja, organisme yang sama, ditambah dengan bakteri- bakteri anaerob sensitif penisilin bertanggung jawab pada sebagian besar kasus.

Beberapa bakteri gram-negatif enterik dan bacillus lain juga telah ditemukan pada pasien-pasien dengan rinosinusitis, terutama pada pasien-pasien yang telah diberi

12

(25)

yang sebelumnya dianggap non-patogen, seperti Staphylococcus epidermidis, juga telah dipertimbangkan sebagai salah satu faktor etiologis. (Cherry, Kuan dan Shapiro, 2017).

Banyak faktor yang berperan dalam rinosinusitis bakteri akut juga berperan dalam rinosinusitis kronik, yaitu obstruksi ostium sinus, gangguan mukosilier, dan menebalnya sekret. Walapun banyak studi mikrobiologik yang ekstensif telah dilakukan, namun peran yang pasti dari mikroorganisme masih belum jelas. Spesies- spesies bakteri yang sama yang ditemukan pada rinosinusitis akut (S. pneumonia dan H. influenzae) juga ditemukan pada rinosinusitis kronik. Bakteri-bakteri lainnya seperti S. aureus, bakteri enterik gram negatif dan beberapa bakteri anaerob juga telah didapatkan pada pungsi sinus. Kendatipun mikroorganisme-mikroorganisme tersebut telah berhasil diisolasi, peran patogenik mereka masih belum diketahui secara pasti.

Ada teori yang mengatakan bahwa pada rinosinusitis kronik, sistem pertahanan tubuh dan transpor mukosilier telah terganggu sedemikian rupa sehingga rongga sinus telah kehilangan sterilitasnya dan dikolonisasi oleh flora normal, sehingga menurut teori tersebut rinosinusitis kronik bisa jadi bukanlah merupakan sebuah proses infeksius, tetapi kelainan atau gangguan pada system anatomis normal yang bertanggung jawab atas drainase dan kerusakan pada mukosa hidung dan rongga sinus. Seringnya didapatkan isolasi bakteri-bakteri dengan patogenisitas rendah seperti Corynebacterium sp. dan Staphylococcus koagulase negatif juga mendukung hipotesis tersebut. (DeMuri dan Wald, 2015)

2.2.3 Faktor Risiko

1. Ciliary Impairment

Sistem mukosiliar berperan penting dalam pembersihan sinus dan mencegah terjadinya inflamasi kronis. Beberapa kasus secondary ciliary dyskinesia ditemukan pada kasus rinosinusitis kronik, meskipun sebagian besar bersifat reversibel, sedangkan pasien-pasien dengan sindroma Kartagener dan

13

(26)

primary ciliary dyskinesia, rinosinusitis merupakan temuan umun dan biasanya pasien-pasien tersebut memiliki riwayat panjang infeksi saluran napas.

2. Alergi

Beberapa review article mengenai rinosinusitis kronik menunjukkan bahwa adanya riwayat atopi berpengaruh dalam perkembangan penyakit rinosinusitis. Ada sejumlah pendapat yang dikemukakan bahwa pembengkakan pada mukosa hidung pada rinitis alergi yang berlokasi didekat ostium sinus dapat memperburuk ventilasi sinus dan bahkan menyebabkan obstruksi, yang akan menyebabkan retensi mukus dan infeksi.

3. Asma

CRSwNP seringkali dikaitkan dengan asma, meskipun hubungan keduanya belum dapat diketahui secara pasti. Studi radiografis dari pasien-pasien asma yang menunjukkan abnormalitas pada mukosa sinus memiliki prevalensi yang cukup tinggi. Seluruh pasien dengan steroid-dependent asthma didapati memiliki abnormalitas sinus, dibanding dengan 88% pada penderita asma ringan dan sedang. Wheezing dan respiratory discomfort dijumpai pada 31%

dan 42% dari pasien-pasien CRSwNP, dan asma dijumpai pada sekitar 26%

dari pasien CRSwNP, dibanding dengan 8% pada kelompok kontrol.

4. Sensitivitas Aspirin

Pada pasien dengan sensitivitas aspirin, sekitar 31% menderita CRSwNP dan diatas 96% menunjukkan perubahan radiografis pada sinus paranasal mereka.

Pasien-pasien dengan sensitivitas aspirin, asma, dan polip hidung biasanya non-atopik dan prevalensinya meningkat pada usia diatas 40 tahun.

14

(27)

5. Keadaan Immunocompromised

Dari seluruh kondisi yang berhubungan dengan gangguan system imun, imunodefisiensi kongenital bermanifestasi pada usia dini. Namun, disfungsi system imun dapat terjadi pada usia lebih tua dan bermanifestasi sebagai rinosinusitis kronik. Pada sebuah review retrospektif dari pasien-pasien rinosinusitis refrakter, Chee dkk. menemukan insidensi yang tinggi dari disfungsi system imun. Dari 60 pasien yang melakukan tes limfosit-T in vitro, 55% menunjukkan proliferasi abnormal sebagai respon terhadap recall antigen. Penurunan titer IgM dan IgA juga ditemukan pada 5% dan 17%.

6. Kehamilan dan Status Endokrin

Pada masa kehamilan, kongesti nasal terjadi pada sekitar seperlima dari seluruh ibu hamil. Disamping efek langsung dari hormone estrogen, progesteron dan placental growth faktor pada mukosa hidung, efek hormonal tidak langsung seperti perubahan vaskular juga ditemukan. Pada sebuah studi prospektif kecil, Sobol dkk. mendapatkan bahwa 61% dari ibu hamil mengalami kongesti nasal, meskipun hanya 3% yang menderita rinosinusitis.

7. Faktor Lokal

Beberapa kondisi anatomis seperti konka bulosa, deviasi septum hidung dan disposisi prosesus unsinatus juga merupakan faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis kronik.

8. Faktor Lingkungan

Merokok, baik aktif maupun pasif dihubungkan dengan peningkatan prevalensi rinosinusitis kronik di Kanada. Sebuah studi yang dilakukan oleh GALLEN juga menunjukkan bahwa merokok memang berdampak terhadap

15

(28)

insidensi rinosinusitis kronik di seluruh Eropa. Penghasilan minim juga diasosiasikan dengan peningkatan kejadian CRSsNP. Koh dkk.

menginvestigasi hubungan antara rinosinusitis kronik dengan pekerjaan dan menyimpulkan bahwa prevalensi rinosinusitis kronik meningkat pada pekerja-pekerja pabrik (terutama yang berhubungan dengan mesin), pekerja seni, pengrajin, pemahat dan juga pada pengangguran. (Fokkens et al. 2012) 2.2.4 Patogenesis

Berbeda dengan rinosinusitis akut, etiologi dan patogenesis dari rinosinusitis kronik masih banyak mengundang perdebatan. Rinosinusitis kronik dianggap lebih condong kearah sebuah proses multifaktorial, yang ditandai dengan adanya disfungsi dari interaksi faktor local host dan lingkungan. Pada rinosinusitis kronik, faktor predisposisi lebih berperan, dan jikapun ditemukan adanya agen patogenik, maka patogen tersebut lebih kepada disease modifier dibanding faktor etiologis. (Soepardi et al. 2015)

Senior dan Kennedy (1996) menyatakan bahwa kesehatan sinus setiap orang bergantung pada sekresi mukus yang normal baik dari segi viskositas, volume dan komposisi; transport mukosiliar yang normal untuk mencegah stasis mukus dan kemungkinan infeksi; serta patensi kompleks ostiomeatal untuk mempertahankan drainase dan aerasi (Selvianti dan Kristyono); sedangkan menurut Mangunkusumo dan Soetjipto, kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar di dalam kompleks ostio-meatal (KOM). (Soepardi et al. 2015)

Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula berupa serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bakterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari

16

(29)

merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri, dan sekret yang dihasilkan pun menjadi purulen. Keadaan ini disebut rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik. (Soepardi et al. 2015)

Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa akan semakin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya terjadi hipertrofi pada mukosa, serta dapat terjadi pembentukan polip atau kista.

Keadaan ini yang biasanya terjadi pada rinosinusitis kronik. (Soepardi et al. 2015) Selain faktor hambatan ostia, fungsi silia juga berperan penting dalam patogenesis rinosinusitis kronik. Pada keadaan normal, silia bersamaan dengan mukus diharapkan dapat mampu menjaga rongga sinus dari berbagai patogen. Silia-silia pada sinus mendorong mukus kearah ostianya masing-masing, dan dari sana, silia pada rongga hidung akan mendorong mucus blanket tersebut kearah posterior yaitu ke faring. Hal apapun yang dapat merusak epitel bersilia dan mempengaruhi morfologi, jumlah dan fungsi silia serta kerusakan apapun yang menyebabkan gangguan sekresi mukus, baik jumlah maupun viskositasnya akan menyebabkan obstruksi dari aliran mukus, yang akan memungkinkan inokulasi dari berbagai mikroorganisme yang nantinya dapat menyebabkan infeksi. (Cherry, Kuan dan Shapiro, 2017)

Salah satu faktor terpenting yang dapat menyebabkan infeksi purulen pada sinus adalah riwayat infeksi saluran napas atas (ISPA). Sebuah studi yang dilakukan oleh Wald dkk. dengan sampel anak berusia dibawah 3 tahun menunjukkan bahwa kasus rinosinusitis meningkat hingga 2 kali lipat pada anak-anak yang berada di day- care dibandingkan yang tidak. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh paparan yang lebih tinggi terhadap penyakit-penyakit pernapasan viral kepada anak-anak yang berada di fasilitas day-care. Studi radiografis pada anak-anak dengan demam akut juga menunjukkan abnormalitas pada sinus maksila, yang mana menunjukkan infeksi yang melibatkan area tersebut. (Cherry, Kuan dan Shapiro, 2017)

17

(30)

Mekanisme dari infeksi viral saluran napas atas dapat menyebabkan infeksi sinus cukup kompleks dan belum terlalu dimengerti. Menggunakan hibridisasi in-situ, didapatkan RNA rinovirus pada sel epitel sinus maksila pada 50% dari sekelompok kecil orang dewasa penderita rinosinusitis. Temuan ini patut diperhatikan karena pada infeksi rinovirus eksperimental, hanya sebagian kecil dari sel epitel rongga hidung maupun sinus yang mengandung RNA rinovirus. (Cherry, Kuan dan Shapiro, 2017)

Beberapa iritan lain juga dapat mempermudah terjadinya infeksi pada sinus.

Berenang di danau, laut, atau kolam renang yang telah diklorinisasi juga dapat berpengaruh pada infeksi sinus. Mengeringnya mukosa hidung, yang sering terjadi terutama pada musim dingin, juga dapat menjadi salah satu faktor predisposisi.

(Cherry, Kuan dan Shapiro, 2017)

Infeksi pada gigi ataupun ekstraksi gigi juga dapat menjadi salah satu faktor predisposisi sinusitis maksilaris, jika akar dari gigi yang bersangkutan dekat atau menembus dasar dari sinus maksila. Perubahan tekanan yang terjadi secara tiba-tiba, seperti pada saat menyelam atau berada di pesawat, juga dapat melemahkan mekanisme pertahanan mukosiliar dan dapat menyebabkan onset tiba-tiba dari rinosinusitis akut. (Cherry, Kuan dan Shapiro, 2017)

Sejumlah faktor host dan faktor mikrobiologik juga dikaitkan dengan kejadian rinosinusitis kronik dan rekuren. Rinosinusitis kronik rekuren menunjukkan adanya masalah pada transport mukosiliar, defek pada imunitas sistemik, atau obstruksi sinus permanen. Pada banyak kasus, beberapa faktor predisposisi memberi dampak secara bersamaan, contohnya seperti pada anak dengan deformitas septum dan infeksi virus.

Pada rinosinusitis kronik ditemukan penebalan mukosa, edema, vasodilatasi dan infiltrasi dari sel-sel inflamatori. Kepadatan sel goblet berkurang dan kelenjar seromukosa meningkat dibanding dengan sinus normal. (Cherry, Kuan dan Shapiro, 2017)

18

(31)

2.2.5 Manifestasi Klinis

Rinosinusitis kronik didefinisikan sebagai suatu inflamasi pada rongga hidung dan sinus paranasal, yang ditandai dengan ditemukannya 2 atau lebih dari 4 gejala utama yang berlangsung selama lebih dari 12 minggu. Gejala-gejala tersebut adalah:

 Kongesti nasal

Nasal discharge

Rasa nyeri, penuh, atau tertekan pada wajah

Hiposmia atau anosmia (Bachert, Claus, dan Gevaert, 2013)

Selain gejala-gejala diagnostik diatas, ada juga beberapa gejala minor yang mungkin ditemukan, seperti rasa nyeri atau tertekan pada telinga, pusing, halitosis, nyeri gigi, iritasi pada faring, laring, atau trakea, disfonia, batuk, malaise, dan gangguan tidur. (Fokkens et al. 2012)

2.2.6 Diagnosis

 Klinis

Rinosinusitis kronik, dengan atau tanpa polip nasi, didefinisikan sebagai proses peradangan pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan ditemukannya 2 atau lebih dari 4 gejala utama, dengan salah satu diantaranya merupakan kongesti nasal ataupun nasal discharge (anterior/posterior nasal drip), yang berlangsung selama lebih dari 12 minggu. (Fokkens et al. 2012)

 Rinoskopi Anterior

Walapun kegunaannya sangat terbatas, rinoskopi anterior tetap merupakan langkah pertama dalam pemeriksaan pasien dengan rinosinusitis kronik. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan hiperemia dan pembengkakan pada konka inferior, deformitas struktural dari septum, dan sekresi purulen dari sinus yang ditemukan di meatus media. (Bachert, Claus, dan Gevaert, 2013)

19

(32)

 Nasoendoskopi

Pemeriksaan nasoendoskopik juga dapat membantu dalam mendiagnosa rinosinusitis kronik sebagai pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan nasoendoskopi pada pasien rinosinusitis kronik dapat ditemukan adanya polip, discharge mukopurulen, dan edema atau obstruksi mukosa. (Fokkens et al.2012)

 Transiluminasi Sinus

Pemeriksaan transiluminasi sinus dilakukan di ruangan yang gelap. Sumber cahaya kemudian diletakkan didalam mulut pasien pada satu sisi palatum durum, maka cahaya akan dihantarkan ke sinus maksilaris yang nantinya akan tampak seperti bentuk bulan sabit dibawah area mata. Pada keadaan normal, terangnya cahaya pada kedua sisi normal. Untuk pemeriksaan sinus frontal, sumber cahay diletakkan di area sedikit dibawah alis, maka akan tampak cahaya diatas mata. Transiluminasi tidak dapat digunakan untuk memeriksa sinus etmoid dan sfenoid. (Swartz, 2014)

 Computed Tomography (CT) Scan

Pemeriksaan CT-scan merupakan pemeriksaan imaging yang paling utama untuk sinus paranasal dikarenakan kemampuannya menampilkan tulang dan jaringan lunak dengan jelas (Fokkens et al.2012). Pada CT-scan sinus paranasal dapat dijumpai obstruksi dari kompleks ostio-meatal, penebalan mukosa, atau opasifikasi dari sinus paranasal. (Hauser dan Kingdom, 2015)

2.2.7 Tatalaksana

Tatalaksana rinosinusitis kronik dapat berupa terapi medikamentosa maupun pembedahan. Adapun tujuan dari tatalaksana rinosinusitis kronik adalah untuk mempercepat penyembuhan dan mencegah komplikasi. Prinsip pengobatannya adalah

20

(33)

untuk menghilangkan obstruksi pada KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus dapat berfungsi normal kembali. (Soepardi, 2012)

Tatalaksana rinosinusitis kronik memerlukan terapi yang lebih agresif, dengan beragai efek samping yang juga patut diperhitungkan. Jika rinosinusitis kronik dicurigai, sebaiknya CT-scan sinus paranasal dilakukan terlebih dahulu untuk memastikan diagnosis sebelum dilakukan terapi lebih lanjut. Selain untuk mengkonfirmasi diagnosis dan keparahan infeksi, CT-scan juga dapat mengidentifikasi abnormalitas yang nantinya dapat menyebabkan kurangnya respon terhadap pemberian obat-obatan maupun terapi lainnya. Beberapa contohnya adalah deviasi septum, polip, dan beberapa kelainan lainnya. (O’Handley et al. 2015)

Perlu diketahui bahwa tidak ada satupun medikasi yang telah diindikasikan oleh Food and Drugs Association (FDA) sebagai terapi rinosinusitis kronik. Kendati demikian, beberapa pilihan medikasi telah terbukti efektif dalam meredakan dan mengurangi gejala rinosinusitis kronik. Cuci hidung dengan menggunakan larutan saline untuk mengurangi gejala cukup efektif dengan efek samping minimum.

(O’Handley et al. 2015)

Kortikosteroid topikal maupun sistemik dapat digunakan untuk memperbaiki drainase dengan cara mengurangi inflamasi mukosa, edema, dan produksi mukus.

Hampir semua kortikosteroid topikal/intranasal harus digunakan setiap hari untuk beberapa minggu untuk memberi efek yang signifikan. Kendatipun kortikosteroid oral dapat mengurangi gejala secara signifikan, efeknya mungkin tidak bertahan lama, dan efek sampingnya juga harus diperhitungkan. Pasien dengan riwayat alergi juga harus diterapi, tetapi perlu diingat bahwa pemberian antihistamin dapat menyebabkan kekeringan mukosa dan mukostasis. (O’Handley et al. 2015)

Penggunaan antibiotik juga sangat lazim dalam pengobatan rinosinusitis kronik. Beberapa studi melaporkan bahwa pemberian antibiotik efektif dalam mengobati pasien-pasien rinosinusitis kronik dewasa, namun tidak pada anak-anak.

21

(34)

Dikarenakan hal inilah, antibiotik lebih banyak digunakan pada pasien dewasa (O’Handley et al. 2015).

Terapi antibiotik untuk penanganan rinosinusitis kronik masih kontroversial, dan kemungkinan paling tepat untuk menangani rinosinusitis kronik eksaserbasi akut.

Terapi farmakologis yang diberikan harus termasuk antibiotik spektrum luas dan kortikosteroid intranasal untuk mengatasi inflamasi pada penyakit ini. Terapi antibiotik mungkin perlu diberikan hingga 4 sampai 6 minggu. Sediaan antibiotik yang diberikan bukan hanya sediaan yang dapat mengatasi organisme-organisme yg menyebabkan rinosinusitis akut, tetapi juga Staphylococcus sp. dan berbagai bakteri anaerob. Ini termasuk amoxicilline-clavulanate, cefpodoxime, proxetil, cefuroxime, gatifloxacin, dan levofloxacin. Sementara sediaan kortikosteroid intranasal yang lazim diberikan adalah fluticasone, mometasone, budesonide, dan triamcinolone. Penggunaan kortikosteroid oral jangka pendek juga dapat digunakan untuk penebalan mukosa dan kongesti yang parah atau polip. (Radojicic, 2009)

Pada kasus kegagalan terapi dengan pemberian obat-obatan atau intoleransi obat, maka tindakan operasi perlu diperhitungkan. Bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF) telah menjadi pilihan utama dalam intervensi bedah rinosinusitis kronik. BSEF memiliki keunggulan karena tidak meninggalkan luka luar, dan yang paling penting dapat langsung mengakses area yang terpenting pada sinus, yaitu kompleks ostio- meatal. Prosedur ini biasanya dilakukan dengan anestesi umum, tetapi juga bisa dilakukan dengan anestesi lokal. Angka kesuksesan tindakan ini mencapai lebih dari 90%. Meskipun begitu, beberapa pasien dapat mengalami relaps, terutama pada paien dengan polip hidung (CRSwNP). Bedah revisi biasanya dianjurkan dalam kasus ini dan memiliki angka keberhasilan yang cukup tinggi. (O’Handley et al. 2015).

2.2.8 Komplikasi

Komplikasi dari rinosinusitis kronik jarang ditemukan, dan biasanya melibatkan tulang-tulang disekitar sinus tersebut. Diantaranya termasuk erosi atau

22

(35)

ekspansi tulang, yang disebabkan oleh mukokel atau polip, osteitis, pembentukan tulang metaplastic, atau optik neuropati.

1. Pembentukan Mukokel

Mukokel adalah sebuah kantung berlapis epitel yang bisa membesar dan memenuhi sinus paranasal, yang mana berbeda dengan obstruksi sinus yang hanya disebabkan oleh mukus. Mukokel sangat jarang ditemukan, dan biasanya unilokular (92%) dan unilateral (90%). Patogenesisnya secara pasti belum diketahui, tetapi sering dihubungkan dengan obstruksi outflow sinus atau inflamasi kronis.

2. Osteitis

Osteitis sering dikaitkan dengan rinosinusitis kronik, tetapi dianggap lebih dianggap termasuk dalam proses patofisiologis dibanding sebagai komplikasi. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Kennedy dkk. terhadap kelinci menunjukkan bahwa adanya osteitis berperan sebagai stimulan terhadap inflamasi mukosa yang persisten dengan resorpsi osteoklastik dari tulang yang berdekatan dengan sinus yang terinfeksi.

3. Ekspansi dan Erosi Tulang

Kebalikan dari proses pengerasan tulang (sclerosis) yang disebabkan oleh osteitis adalah penipisan atau erosi tulang yang dapat terjadi pada kasus-kasus CRSwNP yang cukup parah. Keadaan ini berbeda dengan pembentukan mukokel murni dan biasanya mengenai tulang etmoid, dimana lamina papirasea biasanya menipis.

4. Metaplasia Tulang

Walaupun jarang, metaplasia tulang terkadang ditemukan pada saluran aerodigestif atas sebagai respon terhadap inflamasi kronis, baik disertai polip atau tidak, atau riwayat pembedahan.

5. Optik Neuropati

Optik neuropati telah sering dikaitkan dengan rinosinusitis kronik, biasanya melibatkan area sfenoid atau etmoid posterior. Paling sering ditemukan pada kasus- kasus rinosinusitis fungal eosinofilik.

23

(36)

2.3 Kerangka Teori

Gambar 2.4 Kerangka Teori Penelitian Akut Rinosinusitis

Sub-akut

Kronik

Definisi

Etiologi

Faktor Risiko

Patofisiologi Gejala Klinis

Nasoendoskopi

CT Scan Sinus Paranasal

Diagnosis

Tatalaksana

24

(37)

2.4 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah suatu visualisasi atau uraian mengenai kaitan antara konsep-konsep atau variabel-variabel yang akan diteliti.

Gambar 2.5 Kerangka Konsep Penelitian Usia

Jenis Kelamin

Gambaran Penderita Rinosinusitis Kronik

Temuan Nasoendoskopi

Hasil CT Scan Sinus Paranasal Keluhan Utama

25

(38)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain penelitian cross-sectional.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Haji Adam Malik Medan pada bulan Juni 2018.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien rinosinusitis kronik yang berobat ke Poliklinik THT RSUP Haji Adam Malik Medan mulai dari tanggal 1 Januari sampai 31 Desember 2017.

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian diambil dari data rekam medik pasien rinosinusitis kronik di RSUP HAM pada tahun 2017 yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi berikut:

3.3.2.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi dalam penelitian ini meliputi:

1. Pasien sudah didiagnosis menderita rinosinusitis kronik.

2. Pasien memiliki data mengenai keluhan utama, jenis kelamin, usia,

(39)

3. Pasien memiliki hasil laboratorium Patologi Anatomi yang membuktikan adanya massa polip (untuk kasus CRSwNP).

3.3.2.2 Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi yang ditentukan dalam penelitian ini meliputi:

1. Pasien menderita rinosinusitis kronik disertai adanya tumor.

3.4 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data 3.4.1 Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari rekam medis pasien penderita rinosinusitis kronik di RSUP Haji Adam Malik yang telah terkumpul mulai tanggal 1 Januari hingga 31 Desember 2017.

3.4.2 Teknik Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dari rekam medik poliklinik RSUP Haji Adam Malik setelah sebelumnya diberi izin berdasarkan surat pengantar pengambilan data untuk keperluan penulisan Karya Tulis Ilmiah (KTI) dari pihak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

27

(40)

3.5 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Cara Ukur

Hasil Ukur Skala Ukur

Keluhan Utama

Keluhan yang paling berat dirasakan pasien, sehingga

menyebabkan pasian tersebut berobat ke dokter.

Observasi rekam medis.

1. Hidung tersumbat 2. Rinore 3. Nyeri atau tertekan pada

wajah.

4. Hiposmia atau anosmia.

Nominal

Usia Satuan yang mengukur lama keberadaan suatu makhluk

atau benda.

Observasi rekam medis.

• 0-15 tahun

• 15-30 tahun

• 30-45 tahun

• 45-60 tahun

• >60 tahun

Interval

Jenis Kelamin Atribut-atribut anatomis dan fisiologis yang membedakan antara laki-

laki dan perempuan.

Observasi rekam medis.

• Laki-laki

• Perempuan

Nominal 28

(41)

Variabel Definisi Operasional Cara Ukur

Hasil Ukur Skala

Ukur Nasoendoskopi Suatu prosedur

diagnostik untuk memeriksa hidung,

faring, dan laring dengan endoskopi

yang dimasukkan melalui lubang

hidung.

Observasi rekam medis.

 Sekret: ditemukan/tidak ditemukan

 Septum: normal/deviasi

 Konka media:

hipertrofi/eutrofi/edema

 Konka inferior:

hipertrofi/edema

 Massa: ditemukan/tidak ditemukan

 Post-nasal drip:

ditemukan/tidak ditemukan

Nominal

CT Scan Sinus Paranasal

Suatu pemeriksaan imaging dengan menggunakan sinar X

untuk menghasilkan gambaran detil sinus

paranasal.

Observasi rekam medis.

 Infeksi pada Sinus Maksila

 Infeksi pada Sinus Frontal

 Infeksi pada Sinus Etmoid

 Infeksi pada Sinus Sfenoid

Nominal 29

(42)

3.6 Metode Analisis Data

Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan aplikasi computer SPSS (Statistical Product and Service Solution). Data penelitian akan dianalisis secara univariat untuk melihat gambaran deskriptif dari penyakit yang diteliti.

30

(43)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL PENELITIAN

Penelitian tentang profil pasien rinosinusitis kronik tahun 2017 ini dilakukan di RSUP H. Adam Malik yang terletak di Jalan Bunga Lau, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan. RSUP H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit kelas A dengan SK Menkes No. 2233/Menkes/SK/XI/2011 dan juga sebagai Rumah Sakit Pendidikan yang juga merupakan pusat rujukan kesehatan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan Riau. Lokasinya dibangun di atas tanah seluas kurang lebih 10 Ha dan terletak di Jalan Bunga Lau No. 17 Km 12 Kecamatan Medan Tuntungan Kotamadya Medan Provinsi Sumatera Utara.

Responden yang menjadi sampel penelitian ini adalah seluruh pasien rinosinusitis kronik yang datang berobat ke Poliklinik THT-KL RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2017. Penelitian ini menggunakan metode total sampling dengan sampel yang diteliti sebanyak 50 orang. Karakteristik yang dinilai adalah berdasarkan usia, jenis kelamin, keluhan utama, temuan rinoskopi anterior, temuan nasoendoskopi, dan sinus yang terlibat (dengan hasil CT Scan). Berikut ini adalah tabel distribusi frekuensi dari variabel-variabel yang akan dinilai.

(44)

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok Usia

No Kelompok Usia Frekuensi (n) Persentase (%)

1. 0-15 tahun 7 14

2. 15-30 tahun 20 40

3. 30-45 tahun 9 18

4. 45-60 tahun 11 22

5. >60 tahun 3 6

Total 50 100

Dari hasil yang diperoleh, responden terbanyak berasal dari kelompok usia 15-30 tahun; yaitu berjumlah 20 orang (40%); dan yang paling sedikit berasal darikelompok usia diatas 60 tahun; yaitu berjumlah 3 orang (6%).

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

No. Jenis Kelamin Frekuensi (n) Persentase (%)

1. Laki-laki 24 48

2. Perempuan 26 52

Total 50 100

Dari hasil yang diperoleh, pasien rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik THT- KL RSUP Haji Adam Malik tahun 2017 lebih banyak berjenis kelamin perempuan;

dengan jumlah 26 orang (52%); dibanding laki-laki; dengan jumlah 24 orang (48%).

32

(45)

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Keluhan Utama

No. Keluhan Utama Frekuensi (n) Persentase (%)

1. Hidung tersumbat 37 74

2. Hidung berair 9 18

3. Nyeri wajah 3 6

4. Hiposmia/anosmia 1 2

Total 50 100

Dari hasil yang diperoleh, keluhan utama yang paling banyak ditemukan adalah hidung tersumbat (nasal blockage), yaitu ditemukan pada 37 orang (74%). Sementara keluhan utama yang paling sedikit ditemukan adalah hiposmia/anosmia, yaitu hanya ditemukan pada 1 orang (2%).

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Temuan Nasoendoskopi No. Temuan Nasoendoskopi Ditemukan Tidak

ditemukan

Total

1. Sekret 11 (35,48%) 20 (64,52%) 31 (100%)

2. Deviasi septum 5 (16,13%) 26 (83,87%) 31 (100%) 3. Konka media hipertrofi 2 (6,45%) 29 (93,55%) 31 (100%) 4. Konka media eutrofi 20 (64,52%) 11 (35,48%) 31 (100%) 5. Konka media edema 2 (6,45%) 29 (93,55%) 31 (100%) 6. Konka inferior hipertrofi 15 (48,39%) 16 (51,61%) 31 (100%) 7. Konka inferior edema 8 (25,81%) 23 (74,19%) 31 (100%)

8. Massa 4 (12,90%) 27 (87,10%) 31 (100%)

9. Post-nasal drip 5 (16,13%) 26 (83,87%) 31 (100%) 33

(46)

Dari 50 sampel penelitian, hasil pemeriksaan nasoendoskopi yang dapat diperoleh hanya untuk 31 pasien. Dari jumlah tersebut, temuan nasoendoskopi yang paling banyak ditemukan adalah konka media eutrofi, yaitu pada sebanyak 20 pasien (64,52%). Sementara temuan nasoendoskopi yang paling sedikit ditemukan adalah deviasi septum dan post-nasal drip, dimana masing-masing ditemukan pada 5 pasien (16,13%).

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Sinus yang Terlibat Berdasarkan Hasil CT Scan Sinus Paranasal

No. Sinus yang Terlibat Frekuensi (n) Persentase (%)

1. Maksilaris 11 22

2. Etmoid 6 12

3. Frontalis 3 6

4. Sfenoid 1 2

5. Maksilaris, Etmoid 5 10

6. Maksilaris, Frontalis 3 6

7. Maksilaris, Etmoid, Frontalis 7 14

8. Maksilaris, Etmoid, Frontalis, Sfenoid

1 2

9. Data tidak lengkap 13 26

Total 50 100

Dari 50 sampel, hasil CT Scan yang dapat diperoleh hanya sebanyak 37 data.

Dari hasil tersebut ditemukan bahwa dari pasien rinosinusitis kronik, sinus yang paling banyak terkena adalah sinus maksilaris, yaitu pada 11 pasien (22%). Sementara yang paling sedikit adalah sinus sfenoid tunggal dan multisinusitis yang melibatkan sinus maksilaris, etmoid, frontalis, dan sfenoid, dengan masing-masing 1 pasien (2%).

34

(47)

4.2 PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang didapat dari data rekam medis pasien rinosinusitis kronik di Poliklinik THT-KL RSUP Haji Adam Malik tahun 2017, diperoleh data mengenai profil pasien sebagai berikut.

Angka kejadian rinosinusitis kronik di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2017 adalah sebanyak 50 orang. Lubis (2014) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa angka kejadian rinosinusitis kronik di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2013 adalah sebanyak 120 kasus. Sementara Trihastuti dkk. (2013) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa angka kejadian rinosinusitis kronik di RSUP Dr. M. Jamil Padang adalah sebanyak 63 kasus.

Menurut tabel 4.1 , pasien rinosinusitis paling banyak berasal dari kelompok usia 15-30 tahun, yaitu sebanyak 20 orang (40%). Hasil ini menunjukkan angka yang identik dengan penelitian yang dilakukan oleh Ardine (2014) di RS PHC Surabaya tahun 2013, dimana dari 110 sampel yang diteliti, rinosinusitis kronik paling banyak ditemukan pada usia 15-24 tahun, yaitu sebanyak 34 orang (30,6%). Hasil ini sedikit berbeda dari hasil penelitian yang dikemukakan Fokkens (2012), dimana pada penelitian tersebut dinyatakan bahwa prevalensi rinosinusitis kronik meningkat seiring bertambahnya usia sampai usia 59 tahun, lalu prevalensi akan menurun setelah usia 60 tahun.

Berdasarkan tabel 4.2, pasien rinosinusitis kronik lebih banyak yang berjenis kelamin perempuan dibanding laki-laki, dengan rincian pasien perempuan berjumlah 26 orang (52%) dan laki-laki berjumlah 24 orang (48%). Hasil ini menunjukkan angka yang sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Lubis (2014) di RSUP Haji Adam Malik Medan, dimana dari 120 sampel yang diteliti, 67 orang berjenis kelamin perempuan (55,8%). Hasil serupa juga dijumpai pada penelitian yang dilakukan oleh Arrivalagan (2012) di RSUP Haji Adam Malik tahun 2011, dimana dari 190 sampel yang diteliti, 103 berjenis kelamin perempuan (54,2%). Menurut Fokkens (2012), hal

35

(48)

ini disebabkan oleh adanya efek hormonal dari estrogen, progesteron, dan placental growth hormon pada mukosa nasal dan pembuluh darah yang mungkin berpengaruh terhadap terjadinya rinosinusitis kronis.

Menurut tabel 4.3, keluhan utama dari pasien rinosinusitis kronik yang paling banyak ditemui adalah hidung tersumbat, yang mana ditemukan pada 37 orang (74%).

Multazar (2011) dalam Lubis (2014) juga mendapatkan bahwa keluhan utama yang paling banyak ditemukan pada pasien rinosinusitis kronik adalah hidung tersumbat, yaitu sebanyak 78,6%.

Menurut Mangunkusumo (2011) dalam Lubis (2014), hidung tersumbat terjadi karena adanya proses inflamasi yang disebabkan adanya infeksi. Bila terjadi infeksi organ-organ yang membentuk KOM (kompleks ostiomeatal), maka akan mengalami edema, sehingga mukosa yang berhadapan akan saling menempel. Hal ini menyebabkan silia tidak bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya ostium sehingga terjadi penghambatan drainase sinus.

Berdasarkan tabel 4.4 , temuan nasoendoskopi yang paling banyak didapatkan adalah konka media eutrofi, yang ditemukan pada 20 pasien (64,52%) dari 31 sampel yang memiliki data hasil pemeriksaan nasoendoskopi. Trihastuti dkk. (2013) dalam penelitiannya di RSUP Dr. M. Jamil Padang menemukan bahwa konka eutrofi ditemukan pada sebanyak 49 pasien (77,8%) dari total 63 sampel yang diteliti.

Menurut tabel 4.5, sinus yang paling banyak terlibat adalah sinus maksilaris (22%). Hasil ini identik dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2014), dimana dalam penelitiannya juga ditemukan bahwa sinus yang paling banyak terlibat adalah sinus maksilaris , yaitu sebanyak 55,8%. Sitinjak dkk. (2016) dalam penelitiannya tentang profil pasien rinosinusitis kronik di RS Santa Elisabeth Medan tahun 2011-2015 juga menemukan bahwa proporsi tertinggi pasien rinosinusitis kronik berdasarkan lokasi sinus adalah pada sinus maksilaris, yaitu sebanyak 150 orang (92%).

36

(49)

Sinus maksila merupakan sinus yang paling sering terinfeksi, karena merupakan sinus paranasal yang terbesar dan letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan juga drainase harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior, jika terjadi pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis (Soetjipto, 2011).

37

(50)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini didapatkan:

1 Pasien rinosinusitis kronik di RSUP HAM pada tahun 2017 terbanyak pada kelompok usia 15-30 tahun, yaitu sebanyak 20 orang (40%).

2. Pasien rinosinusitis kronik di RSUP HAM pada tahun 2017 lebih banyak berjenis kelamin perempuan; yaitu 26 orang (52%); dibanding laki-laki;

yaitu 24 orang (48%).

3. Keluhan utama rinosinusitis kronik yang paling banyak dirasakan pasien adalah hidung tersumbat (74%).

4. Temuan nasoendoskopi yang paling banyak ditemukan adalah konka media eutrofi (64,52%).

5. Sinus yang paling banyak terlibat adalah sinus maksilaris tunggal (22%).

5.2 SARAN

Hasil dari penelitian ini dapat memberikan beberapa saran, antara lain:

1. Penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar dan populasi yang berbeda diperlukan untuk menilai data yang lebih akurat mengenai variabel- variabel yang telah diteliti.

2. Perlu adanya edukasi yang baik diberikan kepada pasien agar pasien dapat memahami bahaya-bahaya yang dapat disebabkan rinosinusitis kronik agar pasien dapat mencari pengobatan yang tepat agar terhindar dari komplikasi

(51)

3. Bagi petugas kesehatan diharapkan mampu mendokumentasikan rekam medik pasien dengan lengkap agar data-data yang dibutuhkan mudah diperoleh.

39

(52)

DAFTAR PUSTAKA

Arrivalagan, P., Rambe, A., ‘Gambaran Rinosinusitis Kronik di RSUP HAM tahun 2011’. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.

Bachert, C., Calus, L., Gevaert, P., 2013. Middleton's Allergy E-Book: Principles and Practice, 8th ed. Elsevier Health Sciences.

Ballenger, J. J. 2003, Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, BC Decker, Ontario.

Benninger, M., Stokken, J. 2015. ‘Rhinosinusitis : Pathogenesis, Treatment and Complications’. Cummings Otolaryngology, 6th ed. Saunders, Philadelphia, USA.

Chen, Y., Dales, R. and Lin, M., The Epidemiology of Chronic Rhinosinusitis in Canadians. The Laryngoscope, 113: 1199-1205.

Cherry, J. D., Kuan, E. C., Shapiro, N. L. 2017, Feigin and Cherry’s Textbook of Infectious Diseases, 8th ed., Elsevier, Philadelphia, USA.

DeMuri, G. P., Wald, E. R. 2015, Mandell, Douglas, and Bennett’s Principle and Practice of Infectious Disease, 8th ed, Saunders, Kanada. 63, 774-784.

Fokkens, W., Lund, V., Mullol, J., Bachert, C. 2012, ‘European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps’, Official Journal of the European and International Societies, vol.50.

Fuadi, Emil. 2014, ‘Perbedaan Gender Dalam Pengambilan Keputusan Menjadi Wirausaha Pada Usaha Kecil Menengah (UKM) di Kota Pekanbaru’ . Diss.

Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2014.

Gambar

Gambar 2.1. Septum Nasal
Gambar 2.2.   Potongan Koronal Rongga Hidung Ethmoid Sinuses
Gambar 2.3.  CT-Scan Sinus Paranasal
Gambar 2.4  Kerangka Teori Penelitian Akut Rinosinusitis  Sub-akut Kronik  Definisi  Etiologi  Faktor Risiko Patofisiologi Gejala Klinis Nasoendoskopi CT Scan Sinus Paranasal Diagnosis Tatalaksana  24
+2

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

peran para Ilmuwan muslim dinasti Bani Umayyah dalam membangun kebudayaan/ peradaban Islam • Mengasosiasi. -

• Penilaian ini digunakan untuk menilai hasil pekerjaan baik individu maupun kelompok tentang adab membesuk orang sakit, takziyah dan ziarah kubur yang terjadi dalam

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan telah memacu pengguna dan pembuat teknologi untuk membuat aplikasi penjualan barang di mana pendataan datanya dapat lebih akurat yang semuanya

3 x 45 Menit • Buku Pedoman Guru Mapel Fikih-Ushul- Fikih, MA Peminatan Keagamaan Kemenag RI 2014 • Buku Pegangan Siswa Mapel Fikih-Ushul Fikih MA, Peminatan Keagamaan

Guru juga menyampaikan bahwa meskipun kita tidak memiliki hewan peliharaan kita harus tetap menjaga dan menyayangi hewan yang ada di sekitar kita.. Siswa akan

A convolutional neural network (CNN) is one of the deep learning architectures which have been applied in different fields of computer vision and machine

Sebagai seorang yang mendapatkan amanah untuk mengelola keuangan pada suatu unit bisnis, fungsi utama apa yang harus anda laksanakan.. Bila dikaitkan dengan Neraca sebagai

[r]