• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Kasus Rinosinusitis Kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Kasus Rinosinusitis Kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2014"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : MHD. SYAHWILDAN

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat/Tanggal Lahir : Pasar Hilir/22 Agustus1994 Warga Negara : Indonesia

Status : Belum Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jl. Setia Budi Pasar III Gg. Bunga Cempaka No.15 Nomor Handphone : 082132454112

Email : muhammadsyahwildan@gmail.com

Riwayat Pendidikan :

1. SD N 4 Panyabungan (2000-2006) 2. SMP N 2 Panyabungan (2006-2009) 3. SMA N 2 Plus Panyabungan (2009-2012)

(2)

Organisasi :

1. Wakil Ketua Satgas TBM FK USU Periode 2015

(3)

DATA PENELITIAN NO Jenis

kelamin

usia pekerjaan Keluhan

utama

Lokasi

sinus

Jenis sinus

terlibat Faktor mempengaruhi tatlaksa na kel.usia

1 perempuan 26 mahasiswa hidung tersumbat

maksila ris

singel alergi medika mentos a

16-30

2 perempuan 49 ibu rumah tangga hidung tersumbat maksila ris, etmoid alis, frontali s dan spenoid alis

pansinusitis hipertropi konka operasi 46-60

3 laki-laki 50 petani hidung tersumbat

maksila ris

multisinus polip medika mentos a

46-60

4 laki-laki 32 petani hidung tersumbat maksila ris, etmoid alis, frontali s dan spenoid alis

pansinusitis polip medika mentos a

31-45

5 laki-laki 33 wiraswasta hidung tersumbat

maksila ris

singel deviasi septum medika mentos a

31-45

6 laki-laki 34 wiraswasta hidung tersumbat

maksila ris dan etmoid alis

multisinus polip operasi 31-45

7 perempuan 28 tidak bekerja hidung tersumbat

maksila ris

singel alergi medika mentos a

16-30

8 perempuan 55 PNS/TNI/POL RI

hidung tersumbat

maksila ris

singel alergi medika mentos a

46-60

9 laki-laki 25 wiraswasta hidung tersumbat

maksila ris

singel polip medika mentos a

16-30

10 laki-laki 12 pelajar epitaksis maksila ris

singel hipertropi konka medika mentos a

0-15

11 laki-laki 66 pekerja lepas hidung tersumbat

maksila ris

singel hipertropi konka medika mentos a

>60

12 perempuan 12 pelajar epitaksis maksila ris

singel alergi medika mentos a

0-15

13 laki-laki 35 petani hidung tersumbat

maksila ris

singel alergi medika mentos a

31-45

14 perempuan 45 ibu rumah tangga hidung tersumbat maksila ris dan frontali s

multisinus alergi medika mentos a

31-45

15 perempuan 39 petani sakit kepala

maksila ris

singel deviasi septum medika mentos a

31-45

16 perempuan 26 petani hidung tersumbat

maksila is, etmoid

multisinus alergi medika mentos a

(4)

frontali s 17 perempuan 69 pesiunan post nasal

drip

maksila ris

singel hipertropi konka medika mentos a

>60

18 perempuan 35 wiraswasta hidung tersumbat

maksila ris dan etmoid alis

multisinus alergi medika mentos a

31-45

19 perempuan 20 mahasiswa hidung tersumbat

maksila ris

singel hipertropi konka medika mentos a

16-30

20 perempuan 22 mahasiswa hidung tersumbat maksila is, etmoid alis dan frontali s

multisinus infeksi gigi medika mentos a

16-30

21 perempuan 76 petani hidung tersumbat maksila ris, frontali s, spenoid alis

multisinus alergi medika mentos a

>60

22 laki-laki 42 wiraswasta nyeri pipi maksila ris dan etmoid alis

multisinus hipertropi konka medika mentos a

31-45

23 laki-laki 40 wiraswasta sakit kepala

maksila ris dan etmoid alis

multisinus alergi medika mentos a

31-45

24 perempuan 54 wiraswasta hidung tersumbat

maksila ris

singel deviasi septum medika mentos a

46-60

25 perempuan 32 petani nyeri pipi maksila ris

singel infeksi gigi medika mentos a

31-45

26 laki-laki 38 wiraswasta hidung berair

maksila ris

singel alergi medika mentos a

31-45

27 laki-laki 31 wiraswasta hidung tersumbat

maksila ris

singel polip operasi 31-45

28 perempuan 16 pelajar hidung tersumbat

maksila ris

singel polip medika mentos a

16-30

29 perempuan 25 pegawai swata hidung tersumbat

maksila ris

singel alergi medika mentos a

16-30

30 perempuan 17 pelajar hidung tersumbat

maksila ris dan etmoid alis

multisinus alergi medika mentos a

16-30

31 laki-laki 39 wiraswasta hidung tersumbat

maksila ris

singel alergi medika mentos a

31-45

32 laki-laki 40 wiraswasta hidung tersumbat

maksila ris

singel infeksi gigi medika mentos a

31-45

33 perempuan 51 wiraswasta epitaksis maksila ris

singel alergi medika mentos a

46-60

34 perempuan 23 wiraswasta nyeri pipi maksila ris

singel hipertropi konka medika mentos a

16-30

35 laki-laki 30 petani nyeri pipi maksila ris, etmoid

pansinusitis hipertropi konka medika mentos a

(5)

alis, frontali s dan spenoid alis 36 perempuan 32 petani nyeri pipi maksila

ris

singel infeksi gigi medika mentos a

31-45

37 perempuan 54 PNS/TNI/POL RI

sakit kepala

etmoid alis

singel deviasi septum medika mentos a

46-60

38 perempuan 43 wiraswasta hidung berair

maksila ris

singel alergi medika mentos a

31-45

39 perempuan 17 pelajar hidung tersumbat

maksila ris dan etmoid alis

multisinus alergi medika mentos a

16-30

40 laki-laki 34 wiraswasta hidung tersumbat maksila is, etmoid alis dan frontali s

multisinus polip operasi 31-45

41 laki-laki 8 pelajar hidung tersumbat

maksila ris

singel hipertropi konka medika mentos a

0-15

42 perempuan 51 wiraswasta epitaksis maksila ris dan spenoid alis

multisinus hipertropi konka medika mentos a

46-60

43 laki-laki 40 wiraswasta hidung tersumbat

maksila ris

singel infeksi gigi medika mentos a

31-45

44 laki-laki 40 wiraswasta hidung tersumbat

maksila ris

singel polip medika mentos a

31-45

45 perempuan 44 wiraswasta hidung tersumbat

maksila ris

singel infeksi gigi medika mentos a

31-45

46 perempuan 54 ibu rumah tangga hidung tersumbat maksila ris dan etmoid alis

multisinus deviasi septum medika mentos a

46-60

47 laki-laki 44 PNS/TNI/POL RI

hidung berair

maksila ris

singel polip operasi 31-45

48 perempuan 31 pegawai swata hidung tersumbat maksila is, etmoid alis dan frontali s

multisinus polip operasi 31-45

49 perempuan 45 wiraswasta hidung tersumbat

maksila ris dan spenoid alis

multisinus deviasi septum medika mentos a

31-45

50 laki-laki 27 PNS/TNI/POL RI

hidung tersumbat

maksila ris

singel deviasi septum medika mentos a

16-30

51 laki-laki 54 PNS/TNI/POL RI hidung tersumbat etmoid alis dan frontali s

multisinus polip operasi 46-60

52 perempuan 47 PNS/TNI/POL RI sakit kepala maksila ris dan etmoid alis

multisinus alergi medika mentos a

(6)

RI berair ris mentos a 54 laki-laki 32 PNS/TNI/POL

RI

nyeri pipi maksila ris dan etmoid alis

multisinus deviasi septum medika mentos a

31-45

55 perempuan 46 ibu rumah tangga hidung tersumbat maksila ris, etmoid alis, frontali s dan spenoid alis

pansinusitis polip operasi 46-60

56 laki-laki 34 PNS/TNI/POL RI

hidung tersumbat

maksila ris

singel polip medika mentos a

31-45

57 perempuan 52 ibu rumah tangga hidung tersumbat maksila ris dan etmoid alis

multisinus polip operasi 46-60

58 perempuan 32 petani nyeri pipi maksila ris

singel infeksi gigi medika mentos a

31-45

59 perempuan 54 wiraswasta hidung tersumbat

maksila ris

singel deviasi septum medika mentos a

46-60

60 perempuan 15 pelajar hidung tersumbat

maksila ris

singel infeksi gigi medika mentos a

0-15

61 perempuan 26 tidak bekerja hidung tersumbat

maksila ris dan frontali s

multisinus deviasi septum operasi 16-30

62 perempuan 10 pelajar post nasal drip

maksila ris dan etmoid alis

multisinus alergi medika mentos a

0-15

63 perempuan 30 ibu rumah tangga

hidung tersumbat

maksila ris

singel polip operasi 16-30

64 laki-laki 45 pekerja lepas hidung tersumbat

maksila ris dan etmoid alis

multisinus deviasi septum medika mentos a

31-45

65 laki-laki 57 petani hidung tersumbat maksila ris, etmoid alis, frontali s dan spenoid alis

pansinusitis polip medika mentos a

46-60

66 laki-laki 48 PNS/TNI/POL RI

hidung tersumbat

maksila ris

singel hipertropi konka medika mentos a

46-60

67 perempuan 75 petani hidung tersumbat maksila ris, etmoid alis, frontali s dan spenoid alis

pansinusitis deviasi septum medika mentos a

>60

68 laki-laki 69 pesiunan hidung tersumbat

maksila ris

singel alergi medika mentos a

>60

69 perempuan 61 ibu rumah tangga

hidung tersumbat

frontali s

singel alergi medika mentos

(7)

a 70 perempuan 15 pelajar nyeri pipi maksila

ris dan etmoid alis

multisinus alergi medika mentos a

0-15

71 laki-laki 33 PNS/TNI/POL RI

hidung tersumbat

maksila ris

singel deviasi septum medika mentos a

31-45

72 perempuan 41 PNS/TNI/POL RI hidung tersumbat maksila ris dan frontali s

multisinus alergi medika mentos a

31-45

73 perempuan 27 wiraswasta hidung tersumbat

maksila ris

singel alergi medika mentos a

16-30

74 perempuan 55 PNS/TNI/POL RI hidung tersumbat maksila ris dan etmoid alis

multisinus deviasi septum medika mentos a

46-60

75 perempuan 14 pelajar bersin-bersin

maksila ris

singel alergi medika mentos a

0-15

76 perempuan 13 pelajar hidung berair

maksila ris

singel alergi medika mentos a

0-15

77 perempuan 53 ibu rumah tangga hidung tersumbat maksila ris, etmoid alis, frontali s dan spenoid alis

pansinusitis polip operasi 46-60

78 perempuan 49 ibu rumah tangga

hidung tersumbat

maksila ris

singel alergi medika mentos a

46-60

79 perempuan 37 PNS/TNI/POL RI hidung tersumbat maksila ris dan etmoid alis

multisinus deviasi septum medika mentos a

31-45

80 laki-laki 12 pelajar hidung tersumbat maksila ris, etmoid alis, frontali s dan spenoid alis

pansinusitis polip operasi 0-15

81 laki-laki 33 PNS/TNI/POL RI hidung berair maksila ris, etmoid alis, frontali s dan spenoid alis

pansinusitis hipertropi konka medika mentos a

31-45

82 perempuan 45 ibu rumah tangga

hidung tersumbat

maksila ris

singel alergi medika mentos a

31-45

83 perempuan 29 tidak bekerja hidung tersumbat

maksila ris

singel alergi medika mentos a

16-30

84 laki-laki 28 wiraswasta hidung tersumbat

maksila ris dan etmoid alis

multisinus polip operasi 16-30

(8)

a 86 laki-laki 56 pesiunan hidung

tersumbat

maksila ris dan etmoid alis

multisinus hipertropi konka medika mentos a

46-60

87 perempuan 44 ibu rumah tangga

hidung tersumbat

maksila ris

singel hipertropi konka medika mentos a

31-45

88 laki-laki 34 wiraswasta hidung tersumbat

maksila ris dan etmoid alis

multisinus hipertropi konka medika mentos a

31-45

89 perempuan 18 pelajar hidung tersumbat

maksila ris

singel deviasi septum medika mentos a

16-30

90 perempuan 11 pelajar hidung tersumbat maksila ris, etmoid alis, frontali s dan spenoid alis

pansinusitis alergi medika mentos a

0-15

91 laki-laki 29 wiraswasta hidung tersumbat

maksila ris dan etmoid alis

multisinus polip operasi 16-30

92 laki-laki 32 petani hidung tersumbat

maksila ris

singel polip operasi 31-45

93 laki-laki 29 wiraswasta hidung tersumbat

maksila ris

singel deviasi septum operasi 16-30

94 laki-laki 69 pesiunan hidung tersumbat

maksila ris dan etmoid alis

multisinus polip operasi >60

95 laki-laki 32 petani hidung tersumbat

maksila ris dan frontali s

multisinus polip operasi 31-45

96 perempuan 36 wiraswasta hidung tersumbat

maksila ris dan etmoid alis

multisinus deviasi septum operasi 31-45

97 perempuan 31 pegawai swata hidung tersumbat

etmoid alis dan spenoid alis

multisinus polip operasi 31-45

98 perempuan 13 pelajar hidung berair

maksila ris

singel deviasi septum medika mentos a

0-15

99 perempuan 23 wiraswasta halitosis maksila ris

singel deviasi septum medika mentos a

16-30

100 perempuan 55 ibu rumah tangga

hidung berair

maksila ris

singel deviasi septum medika mentos a

46-60

101 laki-laki 38 pekerja lepas hidung tersumbat

maksila ris

singel hipertropi konka medika mentos a

31-45

102 perempuan 22 wiraswasta post nasal drip

maksila ris

singel hipertropi konka medika mentos a

16-30

103 perempuan 72 pesiunan hidung tersumbat maksila is, etmoid alis dan frontali s

multisinus hipertropi konka medika mentos a

(9)

104 laki-laki 50 petani hidung tersumbat

maksila ris dan spenoid alis

multisinus polip medika mentos a

46-60

105 laki-laki 53 petani hidung tersumbat

maksila ris dan etmoid alis

(10)

Statistics kelmpok usia

N

Valid 105

Missing 0

kelmpok usia

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

0-15 11 10.5 10.5 10.5

16-30 24 22.9 22.9 33.3

31-45 40 38.1 38.1 71.4

46-60 22 21.0 21.0 92.4

>60 8 7.6 7.6 100.0

Total 105 100.0 100.0

Statistics Jenis Kelamin

N

Valid 105

Missing 0

Jenis Kelamin

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

laki-laki 42 40.0 40.0 40.0

perempuan 63 60.0 60.0 100.0

(11)

Statistics Jenis Pekerjaan

N

Valid 105

Missing 0

Jenis Pekerjaan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

ibu rumah tangga 13 12.4 12.4 12.4

pesiunan 5 4.8 4.8 17.1

tidak bekerja 3 2.9 2.9 20.0

pelajar 15 14.3 14.3 34.3

mahasiswa 3 2.9 2.9 37.1

petani 16 15.2 15.2 52.4

wiraswasta 29 27.6 27.6 80.0

PNS/TNI/POLRI 15 14.3 14.3 94.3

pegawai swata 3 2.9 2.9 97.1

pekerja lepas 3 2.9 2.9 100.0

(12)

Statistics Keluhan Utama

N

Valid 105

Missing 0

Keluhan Utama

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

hidung tersumbat 76 72.4 72.4 72.4

nyeri pipi 8 7.6 7.6 80.0

sakit kepala 4 3.8 3.8 83.8

epitaksis 4 3.8 3.8 87.6

hidung berair 8 7.6 7.6 95.2

post nasal drip 3 2.9 2.9 98.1

bersin-bersin 1 1.0 1.0 99.0

halitosis 1 1.0 1.0 100.0

(13)

Lokasi Sinus

N Valid 105

Missing 0

Lokasi Sinus

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

maksilaris 56 53.3 53.3 53.3

maksilais, etmoidalis dan frontalis

5 4.8 4.8 58.1

maksilaris, etmoidalis, frontalis dan spenoidalis

10 9.5 9.5 67.6

maksilaris, frontalis, spenoidalis

1 1.0 1.0 68.6

etmoidalis 1 1.0 1.0 69.5

frontalis 1 1.0 1.0 70.5

(14)

maksilaris dan frontalis 4 3.8 3.8 98.1

etmoidalis dan spenoidalis 1 1.0 1.0 99.0

etmoidalis dan frontalis 1 1.0 1.0 100.0

Total 105 100.0 100.0

Statistics Jenis Sinus Terlibat

N

Valid 105

Missing 0

Jenis Sinus Terlibat

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

singel 57 54.3 54.3 54.3

multisinus 38 36.2 36.2 90.5

pansinusitis 10 9.5 9.5 100.0

Total 105 100.0 100.0

Statistics Faktor yang Mempengaruhi

N

Valid 105

Missing 0

Faktor yang Mempengaruhi

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

alergi 31 29.5 29.5 29.5

deviasi septum 21 20.0 20.0 49.5

polip 27 25.7 25.7 75.2

hipertropi konka 18 17.1 17.1 92.4

infeksi gigi 8 7.6 7.6 100.0

Total 105 100.0 100.0

(15)

N Valid 105

Missing 0

Jenis Terapi

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

medika mentosa 83 79.0 79.0 79.0

operasi 22 21.0 21.0 100.0

(16)
(17)
(18)
(19)
(20)

DAFTAR PUSTAKA

Arivalagan, P., 2011. Gambaran Rinosinusitis kronik di RSUP H. Adam Malik

Medan Pada Tahun 2011. Available from:

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/37595. [Acessed 22 April 2015].

Adams, G.L., Boies, L.R., and Hilger, P.A., 2013. Boies- Buku Ajar Telinga Hidung dan Tenggorokkan. Edisi ke-6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 473-479.

Angraini, R., 2005. Anatomi dan Fungsi Sinus Paranasal. Available from: http://library.usu.ac.id/download/fk/06001191.pdf. [Acessed 22 April 2015].

Adani, Nabila., 2011. Profil penderita rinosinusitis kronik di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2013. Universitas Sumatera Utara. Available from: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/43261. [Accessed 10 november 2015]

Bachert, C., et al., 2014. ICON : chronic rhinosinusitis. World Allergy Organization Journal. Vol 7, Number 25: 1-28.

Ballenger JJ., 2004. Infeksi Sinus Paranasal dalam Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jilid satu. Edisi 13. Binarupa Aksara. Jakarta. hal: 232-246.

(21)

43

Brook, I., 2012. Chronic Sinusitis. WebMD LLC. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/232791-overview. [Acessed

22 April 2015].

Busquets et al., 2006. Non Polypoid Rhinosinusitis : Classification, Diagnosis and Treatment. In : Bailey BJ, Johnson JT, Kohut RI, Pillsbury HC, Tardy ME. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 4th Edition. Vol 2. Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkins. hal: 405-416.

Bubun, J., Azis, A., Akil, A., dan Perkasa, F., 2009. Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay. ORLI. Vol 39, No.2: 78-90.

Cohen NA., 2006. Sinonasal mucociliary clearance in health and disease. Ann Otol Rhinol Laryngol Suppl: 196:20-6

Desrosiers, M., et al., 2011. Canadian clinical practice guidelines for acute and chronic rhinosinusitis. Allergy, Ashtma & Clinical Immunology. Vol 7, Number 2: 1-38.

Dalimunthe, S.A., 2010. Gambaran Penderita Rinosinusitis di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010. Universitas Sumatera Utara. Available from: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/31597. [Accessed 10 November 2015].

Fokkens, W.J., Lund, V.J., Mullol J., Bachert, C., et al., 2012. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps. Rhinology Official Journal of the European and International Societies.Vol 50, Supplement 23: 1-298.

Frisdiana, Y., 2010. Karakteristik penderita rinosinusitis kronik rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan pada tahun 2006-2010. Universitas

Sumatera Utara. Available from:

(22)

Giannoni, C.M. and Weinberger D.G., 2006. Complications of Rhinosinusitis. In: Bailey, B.J., et al. Head & Neck Surgery - Otolaryngology. 4th ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins, 495-504.

Green, B.J., et al., 2014. Allergic sensitization in Canadian chronic rhinosinusitis patients. Allergy, Ashtma & Clinical Immunology. Vol 10, Number 15: 1-7.

Halawi, A.M., Smith, S.S., and Chandra, R.K., 2013. Chronic rhinosinusitis: epidemiology and cost. Allergy and Asthma Proceedings. Vol 34, Number 4: 328.

Hwang PH, Abdalkhani A., 2009. Embriology, anatomy and physiology of nose and paranasal sinuses. Dalam: Snow JB, Wackym PA, editor. Ballenger’s otolaryngology, head and neck surgery. Edisi ke-17. Shelton: BC Decker Inc. hal: 455-463.

Hamilos, Daniel L., 2011. Chronic rhinosinusitis: Epidemiology and medical management. Journal Allergy Clinical Immunology. Vol 128, Number 4: 693-707.

Hilger, Peter A., 2013. Penyakit Sinus Paranasalis. In: Adams, G.L., ed. Boies: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 240-260.

Lund VJ., 2007. Surgical managament of rhinosinusitis. In : Scott-Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. Volume 2. Hodder Arnold an Hachette UK Company, London. hal: 1478-90.

Mangunkusumo, E., dan Soetjipto, D., 2011. Sinusitis. In: Soepardi, E.A., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. hal: 150-154.

Manor, Y. et al., 2010. Late signs and symptoms of maxillary sinusitis after

sinus augmentation, School of Dental Medicine, Tel-Aviv University.

(23)

45

from:http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S107921041

0001575.[Acessed 22 April 2015].

Moore, K.L, Agur, A.M.R., 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates. hal: 397-401.

Multazar, A., 2011. Karakteristik Penderita Rinosinusitis Kronik di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2008. Tesis. Medan: Program Pendidikan Magister Kedokteran Ilmu Kesehatan THT-KL FK USU.

Rosenfeld, R.M., et al., 2007. Clinical Practice Guideline: Adult Sinusitis. American of Otolaryngology-Head and Neck Surgery Foundation (137): S1-S31.

Selvianti., dan Kristyono, Irwan., 2008. Patofisiologi, Diagnosis, dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Tanpa Polip Nasi pada Orang Dewasa. Jurnal THT-KL Universitas Airlangga. Vol 1, No.1.

Snell, Richard S., 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC, 205-223.

(24)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Berdasarkan uraian di atas peneliti ingin mengetahui karakterisitik penderita rinosinusitis di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RSUP Haji Adam Malik-Medan pada periode 1 Januari 2015 sampai dengan 31 Desember 2015.

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Karakteristik Penderita :  Usia

 Jenis Kelamin  Pekerjaan  Keluhan Utama  Lokasi Sinus yang

Terkena

 Jenis Sinus yang Terlibat

(25)

24

3.2. Variabel dan Definisi Operasional

Tabel 3.1. Definisi Operasional Penelitian

No Variabel Defenisi Operasional Cara

Pengukuran Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur 1. 2. Rinosinusitis kronik Usia

Inflamasi dari mukosa hidung dan sinus paranasal selama 12 minggu atau lebih. Penderita rinosinusitis kronik adalah orang yang dianyatakan mengalami

rinosinusitis kronik dan berobat di RSUP Haji Adam Malik Medan.

Jumlah tahun hidup responden sejak lahir sampai didiagnosis menderita rinosinusitis yang dinyatakan dalam satuan tahun. Pembagian kelompok umur:

1. 0-15 tahun 2. 16-30 tahun 3. 31-45 tahun 4. 46-60 tahun 5. Diatas 60

tahun Observasi Observasi Rekam medik Rekam medis

Persentase Ordinal

3. Jenis Kelamin Sifat jasmani yang membedakan dua makhluk sebagai laki-laki dan perempuan.

Observasi Rekam medis

(26)

4. Pekerjaan Kegiatan rutin atau sehari-hari yang dilakukan penderita rinosinusitis.

Kelompok pekerjaan : 1. Pelajar/Mahasiswa 2. PNS/TNI/POLRI 3. Pegawai Swasta 4. Pensiunan PNS/TNI/POLRI 5. Wiraswasta

6. Ibu Rumah Tangga 7. Petani

8. Pekerja lepas 9. Tidak Bekerja/ di bawah umur

Observasi Rekam medis

Persentase Nominal

5. Keluhan Utama

Keluhan yang paling berat yang dirasakan oleh pasien

rinosinusitis yang menyebabkan pasien berobat ke dokter, terdiri dari gejala mayor, gejala minor, dan gejala tambahan.

Observasi Rekam medis

Persentase Nominal

6. Lokasi Sinus yang Terkena

Organ sinus yang mengalami kelainan pada penderita rinosinusitis dibagi atas : sinus maksilaris, sinus etmoidalis, sinus frontalis, sinus

sfenoidalis, dan lebih dari satu sinus.

Observasi Rekam medis

Persentase Nominal

7. Jenis Sinus yang Terlibat

Jenis sinus yang terlibat mengalami kelainan pada pasien rinosinusitis.

1. Singel rinosinusitis 2. Multisinusitis 3. Pansinusitis

Observasi Rekam medis

(27)

26

8. Faktor yang Mempengaruhi

semua faktor atau riwayat yang dapat mempengaruhi

terjadinya rinosinusitis kronik yaitu alergi, hipertropi konka, deviasi septum, polip, dan infeksi gigi.

Observasi Rekam medis

Persentase Nominal

9. Jenis Terapi Penatalaksanaan yang menjadi pilihan untuk mengobati penderita rinosinusitis kronik. Jenis terapi yang dipilih ada 2, yaitu secara medikamentosa dan tindakan operasi.

Observasi Rekam medis

(28)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat deskriptif yaitu untuk mengetahui gambaran rinosinusitis kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2014 dengan desain penelitian cross sectional study dan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari data rekam medis pasien.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada Juli 2015 hingga September 2015 yang bertempat di RSUP Haji Adam Malik Medan. Rumah sakit ini adalah milik pemerintah dan merupakan rumah sakit tipe A. Rumah sakit ini juga berperan sebagai rumah sakit rujukan dari beberapa rumah sakit yang ada di kawasan Sumatera.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita rinosinusitis kronik yang tercatat dalam rekam medis di RSUP Haji Adam Malik Medan pada periode 1 Januari 2014 sampai dengan 31 Desember 2014.

4.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah penderita rinosinusitis kronik yang berobat di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2014. Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling, yaitu dengan mengambil seluruh anggota populasi sebagai subjek penelitian dengan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

4.3.3. Kriteria Inklusi

(29)

28

4.3.4. Kriteria eksklusi

Data rekam medis yang tidak lengkap.

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari pencatatan data rekam medis pasien penderita rinosinusitis kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2014.

4.5. Pengolahan dan Analisa Data

(30)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Instalasi Rekam Medis yang berada di RSUP Haji Adam Malik Medan. Rumah sakit ini berlokasi di Jalan Bunga Lau No. 17 km. 12, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara. RSUP Haji Adam Malik adalah rumah sakit milik pemerintah dan dikelola oleh Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Daerah Prov. Sumatera Utara. RSUP Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990. Sebagaimana predikat tersebut, rumah sakit ini telah memiliki fasilitas kesehatan yang memenuhi standar dan tenaga kesehatan yang kompeten, serta merupakan pusat rujukan kesehatan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi provinsi Sumatera Utara, D.I. Aceh, Sumatera Barat, dan Riau. Selain itu, RSUP Haji Adam Malik Medan juga ditetapkan sebagai Rumah Sakit Pendidikan berdasarkan SK Menkes No. 502/Menkes/ SK/IX/1991.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel

(31)

30

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Penderita Rinosinusitis Kronik Berdasarkan Usia

No Usia Frekuensi (n) Persentase (%)

1. 2. 3. 4. 5.

0-15 tahun 16-30 tahun 31-45 tahun 46-60 tahun Diatas 60 tahun

11 24 40 22 8

10.5 22.9 38.1 21.0 7.6

Total 105 100

[image:31.595.113.519.165.580.2]

Berdasarkan tabel 5.1. didapati bahwa penderita rinosinusitis kronik yang tertinggi terdapat pada kelompok usia 31-45 tahun yaitu sebanyak 40 orang (38,1%), sedangkan yang terendah terdapat pada kelompok usia diatas 60 tahun yaitu sebanyak 8 orang (7,6%).

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Penderita Rinosinusitis Kronik Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Frekuensi (n) Persentase (%)

1. 2.

Laki-laki Perempuan

42 63

40.0 60.0

Total 105 100

(32)
[image:32.595.116.512.167.589.2]

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Penderita Rinosinusitis Kronik Berdasarkan Pekerjaan

No Pekerjaan Frekuensi (n) Persentase (%)

1. Ibu rumah tangga 13 12.4

2. Pesiunan 5 4.8

3. Tidak bekerja 3 2.9

4. Pelajar 15 14.3

5. Mahasiswa 3 2.9

6. Petani 16 15.2

7. Wiraswasta 29 27.6

8. PNS/TNI/POLRI 15 14.3

9. Pegawai swata 3 2.9

10. Pekerja lepas 3 2.9

Total 105 100

(33)
[image:33.595.115.513.174.589.2]

32

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Penderita Rinosinusitis Kronik Berdasarkan Keluhan Utama

No Keluhan Utama Frekuensi (n) Persentase (%)

1. Hidung tersumbat 76 72.4

2. Nyeri pipi 8 7.6

3. Sakit kepala 4 3.8

4. Epitaksis 4 3.8

5. Hidung berair 8 7.6

6. Post nasal drip 3 2.9

7. Bersin-bersin 1 1.0

8. Halitosis 1 1.0

Total 105 100

(34)
[image:34.595.109.519.165.587.2]

Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Penderita Rinosinusitis Kronik Berdasarkan Lokasi Sinus yang Terkena

No Sinus yang Terkena Frekuensi (n) Persentase (%)

1. Maksilaris 56 53.3

2. maksilais, etmoidalis dan frontalis 5 4.8

3. maksilaris, etmoidalis, frontalis dan spenoidalis

10 9.5

4. maksilaris, frontalis dan spenoidalis 1 1.0

5. Etmoidalis 1 1.0

6. Frontalis 1 1.0

7. maksilaris dan etmoidalis 22 21.0

8. maksilaris dan spenoidalis 3 2.9

9. maksilaris dan frontalis 4 3.8

10. etmoidalis dan spenoidalis 1 1.0

11. etmoidalis dan frontalis 1 1.0

Total 105 100

(35)
[image:35.595.106.517.165.272.2]

34

Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi Penderita Rinosinusitis Kronik Berdasarkan Jenis Sinus yang Terlibat

No Jenis Sinus yang Terlibat Frekuensi (n) Persentase (%)

1. Singel 57 54.3

2. Multisinus 38 36.2

3. Pansinusitis 10 9.5

Total 105 100

Pada tabel 5.6. didapati bahwa pada penderita rinosinusitis kronik, jenis sinus yang terlibat paling sering adalah singel rinosinusitis yaitu sebanyak 57 orang (54,3%), dan yang paling jarang terkena adalah pansinusitis yaitu sebanyak 10 orang (9,5%).

Tabel 5.7. Distribusi Frekuensi Penderita Rinosinusitis Kronik Berdasarkan Faktor yang Mempengaruhi

No Faktor yang Mempengaruhi Frekuensi (n) Persentase (%)

1. Alergi 31 29.5

2. Deviasi Septum 21 20.0

3. Polip 27 25.7

4. Hipertropi Konka 18 17.1

5. Infeksi Gigi 8 7.6

Total 105 100

[image:35.595.108.516.301.585.2]
(36)
[image:36.595.112.506.265.591.2]

Tabel 5.8. Distribusi Frekuensi Penderita Rinosinusitis Kronik Berdasarkan Jenis Terapi yang Diberikan

No Jenis Terapi Frekuensi (n) Persentase (%)

1. Medikamentosa 83 79.0

2. Operasi 22 21.0

Total 105 100

(37)

36

5.2. Pembahasan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di RSUP H Adam Malik dengan menggunakan data sekunder yang didapat dari data rekam medis penderita rinosinusitis kronik 1 Januari sampai dengan 31 Desember tahun 2014, diperoleh data mengenai gambaran kasus penderita yang dijabarkan sebagai berikut.

Berdasarkan tabel 5.1 dijelaskan bahwa penderita rinosinusitis kronik yang paling banyak berada pada rentang usia 31-45 tahun yaitu sebanyak 40 orang (38,1%). Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Multazar (2011) di RSUP. Haji Adam Malik Medan bahwa proporsi tertinggi penderita rinosinusitis adalah kelompok usia 20-50 tahun.

Menurut Fokkens (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa prevalensi rinosinusitis kronik meningkat seiring pertambahan usia, sementara itu setelah usia 60 tahun, prevalensi menurun menjadi 4,7%. Desrosiers (2011) dalam penelitiannya menyatakan angka kejadian rinosinusitis kronik meningkat pada usia ≥12 tahun dan bertambah banyak dengan pertambahan usia. Halawi (2013) menyebutkan bahwa rinosinusitis kronik biasa terjadi pada usia 18-64 tahun.

Dari data di atas diketahui bahwa kejadian rinosinusitis kronik lebih banyak mengenai kelompok usia dewasa. Hal ini mungkin dikarenakan usia dewasa lebih aktif beraktivitas di luar rumah sehingga lebih sering terpapar alergen atau polutan, juga seiring dengan perubahan gaya hidup dan pola makan (Multazar, 2011).

Berdasarkan tabel 5.2. dijelaskan bahwa penyakit rinosinusitis kronik lebih sering diderita oleh perempuan dengan jumlah 63 orang (60,0%), berbanding dengan laki-laki 42 orang (40,0%). Hasil ini sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, bahwa perempuan lebih banyak mengalami rinosinusitis kronik daripada laki-laki.

Penelitian yang dilakukan Multazar (2011) menyatakan proporsi penderita rinosinusitis kronik lebih banyak dijumpai pada jenis kelamin perempuan sebanyak 57,09%, sedangkan laki-laki 42,9%.

(38)

perempuan lebih banyak dan lebih cepat berobat ke rumah sakit. Sementara itu menurut Fokkens (2012), terdapat efek hormonal pada perempuan dari estrogen, progesteron, dan placental growth hormon pada mukosa nasal dan pembuluh darah yang mungkin berpengaruh terhadap terjadinya rinosinusitis kronik. Oleh sebab itu, penderita rinosinusitis pada penelitian ini lebih banyak berjenis kelamin perempuan.

Berdasarkan tabel 5.3. pekerjaan yang paling banyak terdapat pada penderita rinosinusitis kronik yaitu pekerjaan sebagai wiraswasta yang berjumlah 29 orang (27,6%). Menurut Pujiwati (2006) dalam Multazar (2011), yang melakukan penelitian terhadap 80 orang pekerja, didapatkan yang menderita rinosinusitis kronik akibat kerja sebanyak 35 orang (43,8%).

Tingginya angka kejadian rinosinusitis kronik yang ditemukan pada wiraswasta mungkin disebabkan oleh seringnya terpapar oleh alergen atau polutan yang berpotensi menyebabkan rinosinusitis kronik. Apabila terus-menerus terpapar oleh lingkungan yang berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok yang lama akan menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia (Mangunkusumo, 2011).

Berdasarkan tabel 5.4. keluhan paling berat sehingga menyebabkan penderita rinosinusitis kronik memeriksakan diri ke dokter adalah keluhan hidung tersumbat sebanyak sebanyak 76 orang (72,4%).

Menurut Multazar (2011), pada penelitiannya terdapat proporsi keluhan hidung tersumbat sebanyak 78,6%. Penelitian Adani (2013) di RSUP H. Adam Malik Medan yang menyatakan bahwa keluhan utama terbanyak adalah hidung tersumbat dengan penderita 89 orang (74,2%).

Penelitian case series oleh Frisdiana (2010) di RS. Santa Elisabeth Medan pada tahun 2006-2010 juga didapati bahwa keluhan utama yang paling banyak ditemukan adalah hidung tersumbat yaitu 63,7%. Gejala yang paling sering terdapat pada penderita rinosinusitis kronik adalah sumbatan hidung (Bachert, 2014).

(39)

38

penyumbatan pada hidung dan kompleks osteo meatal tertutup sehingga aliran mukus menjadi terhambat. Hal tersebut akan menyebabkan mukus terakumulasi. Jika memungkinkan akan tumbuh bakteri patogen di sinus yang mengalami penyumbatan, maka akan terjadi infeksi sekunder oleh bakteri tersebut (Mangunkusumo, 2011). Dengan demikian, edema yang menyebabkan tertutupnya kompleks osteo meatal sebagai awal timbulnya sinusitis akan memberikan gejala hidung tersumbat.

Berdasarkan tabel 5.5. sinus yang paling sering terkena pada penderita rinosinusitis kronik adalah sinus maksilaris yaitu sebanyak 56 orang (53,3%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Dalimunthe (2010) yang menyatakan bahwa rinosinusitis maksilaris merupakan yang terbanyak yang diderita yaitu sebanyak 62 orang (64,6%). Bubun (2009), yang menyatakan bahwa lokasi sinus yang terbanyak ditemukan yaitu di sinus maksila kanan maupun kiri, diikuti secara berturut-turut sinus etmoid anterior dan posterior, sinus frontalis, dan paling sedikit sinus sfenoid.

Sinus maksila merupakan sinus yang paling sering terinfeksi, karena merupakan sinus paranasal yang terbesar dan letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan juga drainase harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior, jika terjadi pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis (Soetjipto, 2011).

Berdasarkan tabel 5.6. jenis sinus yang terlibat paling sering adalah singel rinosinusitis yaitu sebanyak 57 orang (54,3%). Hal ini sejalan dengan penelitian Multazar (2011), dalam penelitian beliau dinyatakan bahwa yang paling banyak terlibat berdasarkan foto polos sinus paranasal adalah singel rinosinusitis sebesar 87,8% dan paling rendah adalah pansinusitis sebesar 0,4%.

(40)

Tingginya proporsi singel rinosinusitis dapat dikaitkan dengan tingginya proporsi sinusitis maksilaris. Dari 170 penderita rinosinusitis kronik tahun 2014 di RSUP H. Adam Malik, ada 95 orang (55,9%) yang lokasi rinosinusitis pada sinus maksila.

Bedasarkan tabel 5.7. dijelaskan bahwa dari penelitian ini didapatkan alergi menjadi faktor yang banyak dialami penderita rinosinusitis kronik yaitu sebanyak 31 orang (29,5%). Hasil ini sesuai dengan penelitian Green (2014) yang menyatakan prevalensi alergi sebanyak 84% pada penderita rinosinusitis kronik. Penelitian Adani (2013) di RSUP H. Adam Malik Medan yang menyatakan alergi menjadi faktor yang banyak dialami penderita rinosinusitis kronik yaitu sebanyak 35 orang (29,2%).

Alergi juga dapat merupakan predisposisi infeksi karena terjadi edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak dapat menyumbat ostium sinus dan mengganggu drainase, menyebabkan infeksi lebih lanjut, yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan, dan siklus seterusnya berulang (Hilger, 2013).

Berdasarkan tabel 5.8. terapi yang paling sering diberikan adalah terapi medikamentosa sebanyak 83 orang (79,0%), sesuai dengan penelitian Multazar (2011), proporsi penatalaksanaan pada penderita rinosinusitis kronik yang terbanyak adalah dengan medikamentosa sebanyak 77,36%.

(41)

40

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa gambaran kasus penderita rinosinusitis kronik yang terdapat di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2014 adalah sebagai berikut.

1. Penderita rinosinusitis kronik sebanyak 105 orang.

2. Distribusi penyakit rinosinusitis kronik berdasarkan usia yang paling banyak terdapat pada kelompok usia 31-45.

3. Distribusi penyakit rinosinositis kronik berdasarkan jenis kelamin lebih banyak diderita oleh perempuan.

4. Penyakit rinosinusitis kronik lebih banyak didapati pada seseorang yang bekerja sebagai wiraswasta.

5. Keluhan utama yang paling sering menjadi penyebab penderita rinosinusitis kronik berobat ke dokter adalah akibat sumbatan hidung.

6. Sinus yang paling sering terkena pada penderita rinosinusitis kronik adalah sinus maksilaris.

7. Jenis sinus terlibat yang paling sering pada penderita rinosinusitis kronik adalah singel rinosinusitis.

8. Faktor predisposisi yang dapat mempengaruhi terjadinya rinosinusitis kronik yang paling banyak adalah alergi.

(42)

6.2. Saran

1. Perlu adanya edukasi kepada penderita tentang bahaya yang dapat terjadi akibat penyakit rinosinusitis kronik, sehingga penderita dapat terhindar dari komplikasi lebih lanjut dan memperbaiki kualitas hidupnya.

(43)

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Hidung

Bentuk luar hidung sangat bervariasi dalam hal ukuran dan bentuk, terutama karena perbedaan tulang-tulang rawan hidung. Punggung hidung meluas dari akar hidung di wajah ke puncaknya (ujung hidung). Pada permukaan inferior terdapat dua lubang, yakni naris anterior yang terpisah satu dari yang lain oleh septum nasi. Septum nasi ini yang untuk sebagian berupa tulang dan untuk sebagian berupa tulang rawan, membagi kavum nasi menjadi dua rongga kanan dan kiri (Moore, 2002).

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi dan tepat di belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut vibrise (Soetjipto, 2011).

Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding lateral, medial, inferior, dan superior. Dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka inferior adalah yang terbesar dan letaknya paling bawah, konka media yang lebih kecil, konka superior yang lebih kecil lagi, dan konka suprema adalah yang terkecil (Soetjipto, 2011).

Konka nasalis superior, konka nasalis media, dan konka nasalis inferior membagi kavum nasi menjadi empat lorong : meatus nasalis superior, meatus nasalis medius, meatus nasalis inferior, dan hiatus semilunaris (Moore, 2002).

Meatus nasalis superior adalah sebuah lorong yang sempit antara konka nasalis superior dan konka nasalis media dan merupakan tempat bermuaranya sinus etmoidalis superior melalui satu atau lebih lubang (Moore, 2002).

(44)

sinus frontalis ke infundibulum terjadi melalui duktus frontonasalis. Sinus maksilaris juga bermuara ke dalam meatus nasalis medius (Moore, 2002).

Meatus nasalis inferior adalah sebuah lorong horizontal yang terletak inferolateral terhadap konka nasalis inferior. Duktus nasolakrimalis bermuara dibagian anterior meatus nasalis inferior (Moore, 2002).

Hiatus semilunaris adalah sebuah alur yang berbentuk setengah lingkaran dan merupakan muara sinus frontalis. Bulla etmoidalis adalah sebuah tonjolan yang membuat di sebelah superior hiatus semilunaris, dan baru terlihat setelah konka nasalis media disingkirkan. Bulla etmoidalis ini dibentuk oleh cellulae ethmoidales tengah yang membentuk sinus etmoidalis (Moore, 2002).

Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian atas dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoidalis dan bagian posterior dibentuk oleh os vomer. Bagian tulang rawan yaitu kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Pada bagian tulang rawan septum dilapisi perikondrium, bagian tulang dilapisi periosteum, sedangkan bagian luar dilapisi mukosa hidung (Snell, 2006; Soetjipto, 2011).

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung yang dibentuk oleh os maksilaris dan os palatum (permukaan atas palatum durum). Dinding superior atau atap hidung yang sempit dibentuk oleh lamina kribosa, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribosa merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoidalis, tulang ini berlubang-lubang tempat masuknya serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk os sfenoidalis (Snell, 2006; Soetjipto, 2011).

(45)

7

sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena-vena ini membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat di bawah membrana mukosa. Drainase vena terutama melalui vena oftalmika, fasialis anterior, dan sfenopalatina (Soetjipto, 2011; Snell, 2006).

Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi yang membentuk Kompleks ostiomeatal adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoidalis, hiatus semilunaris, bula etmoidalis, agger nasi, dan resesus frontalis. Kompleks ostiomeatal adalah unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang terletak di anterior yaitu sinus maksilaris, etmoidalis anterior, dan frontalis. Bila terjadi obstruksi pada KOM, maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus yang terkait (Soetjipto, 2011).

2.2. Anatomi Sinus Paranasal 2.2.1. Sinus Maksilaris

Pada waktu lahir sinus maksilaris berupa celah kecil di sebelah medial orbita. Pada awalnya dasarnya lebih tinggi daripada dasar rongga hidung, kemudian terus mengalami penurunan, sehingga pada usia delapan tahun menjadi sama tinggi. Perkembangannya berjalan kearah bawah dan amembentuk sempurna setelah erupsi gigi permanen. Ukuran rata-rata pada bayi yang baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan pada usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm dan isinya kira-kira 15 ml. (Ballenger, 2004)

(46)

Sinus maksilaris bermuara ke dalam meatus nasi medius melalui hiatus semilunaris. Karena sinus etmoidalis anterior dan sinus frontalis bermuara ke infundibulum, kemudian ke hiatus semilunaris, kemungkinan penyebaran infeksi dari sinus-sinus ini ke sinus maksilaris adalah besar (Snell, 2006).

[image:46.595.117.540.263.586.2]

Membrana mukosa sinus maksilaris dipersarafi oleh nervus alveolaris superior dan nervus infraorbitalis (Snell, 2006).

Gambar 2.1. Anatomi Sinus Paranasal (Hwang PH, 2009).

2.2.2. Sinus Frontalis

Bentuk dan ukuran sinus frontalis sangat bervariasi, dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Ukuran rata-rata sinus frontalis yaitu tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm dan isi rata-rata 6-7 ml. Dinding depan sinus frontalis hampir selalu diploik, terutama pada bagian luar atau sudut infero-lateral dan pada sulkus superior tempat pertemuan dinding anterior dan posterior (Benninger et al, 2003).

(47)

9

ke posterior, sehingga sinus yang satu bisa lebih besar daripada yang lain. Sinus frontalis bermuara ke dalam meatus medius melalui duktus nasofrontalis. Kadang-kadang kedua sinus frontalis tidak terbentuk atau yang lebih lazim tidak terbentuk salah satu sinus (Hilger, 2013).

2.2.3. Sinus Sfenoidalis

Sinus sfenoidalis terletak di dalam korpus os sfenoidalis di belakang sinus etmoidalis posterior. Sinus sfenoidalis dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoidalis. Batas-batas sinus ini adalah bagian superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofise, sebelah inferior adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna, dan di sebelah posterior berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons (Soetjipto, 2011).

2.2.4. Sinus Etmoidalis

Sinus etmoidalis terdapat di dalam os etmoidalis, di antara konka media dan dinding medial orbita. Sinus etmoidalis terdiri dari sel-sel yang jumlahnya bervariasi. Sinus ini terpisah dari orbita oleh selapis tipis tulang, sehingga infeksi dengan mudah menjalar dari sinus ke dalam orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoidalis dibagi menjadi sinus etmoidalis anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoidalis posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoidalis anterior biasanya kecil dan banyak, terletak di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoidalis posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis (Snell, 2006; Soetjipto, 2011).

(48)

menyebabkan sinusitis frontalis dan bila di infundibulum menyebabkan sinusitis maksilaris. Membrana mukosa dipersarfi oleh nervus etmoidalis anterior dan posterior (Soetjipto, 2011; Snell, 2006).

2.3. Fisiologi Sinus Paranasal 2.3.1. Sistem Mukosiliar

Sistem mukosiliar akan menjaga agar saluran napas atas selalu bersih dan sehat dengan mengalirkan keluar partikel debu, bakteri, virus, alergen, toksin dan lain-lain yang terperangkap pada lapisan mukus ke arah nasofaring. Silia memiliki gerakan-gerakan teratur, bersama palut lendir akan mendorong partikel-partikel asing dan bakteri yang terhirup ke rongga hidung menuju nasofaring dan orofaring. Partikel-partikel asing tersebut selanjutnya akan ditelan dan dihancurkan di lambung dengan demikian mukosa saluran napas mempunyai kemampuan untuk membersihkan dirinya sendiri (Cohen, 2006).

Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke satu arah (active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakkan lapisan tersebut. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung yang tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi gerak silia kira-kira 3:1, sehingga gerakannya seolah-olah menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia tidak bergerak secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino (metachronical waves) dengan arah yang sama pada satu area. Gerak silia mempunyai frekuensi denyut (ciliary beat frequency) sebesar 1000 getaran per menit (Hwang PH, 2009).

(49)

11

histopatologi sel hidung, hambatan sel sekresi atau obstruksi anatomi (Cohen, 2006).

2.3.2. Fungsi Sinus Paranasal

Beberapa teori mengemukakan, fungsi sinus paranasal yaitu: (1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu keseimbangan kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan udara, dan (6) membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung (Soetjipto, 2011).

Penelitian yang paling terbaru pada fungsi sinus berfokus pada molekul nitrat oksida (NO). Studi menunjukkan bahwa produksi nitrat oksida sinus intranasal adalah secara primer pada sinus. Telah diketahui bahwa nitrat oksida beracun pada bakteri, jamur, dan virus pada tingkatan sama rendah 100ppb. Konsentrasi dari unsur ini dapat menjangkau 30.000 ppb dimana beberapa peneliti sudah berteori tentang mekanisme dari sterilisasi sinus. Nitrat oksida juga meningkatkan pergerakan silia (Angraini, 2005).

2.4. Defenisi Rinosinusitis Kronik

Rinosinusitis kronik merupakan inflamasi dari mukosa hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan dua atau lebih gejala, dimana salah satu gejalanya merupakan hidung tersumbat atau sekret hidung selama 12 minggu atau lebih, serta diikuti ada atau tanpa nyeri tekan di daerah wajah dan penurunan atau hilangnya daya penghidu (Fokkens et al, 2012).

Berdasarkan anatomi sinus yang terlibat, sinusitis dapat diklasifikasikan sebagai sinusitis maksilaris, sinusitis etmoidalis, sinusitis frontalis, dan sinusitis sfenoidalis. Sinus yang paling sering terkena infeksi adalah sinus maksilaris dan sinus etmoidalis, sedangkan sinus frontalis dan sinus sfenoidalis lebih jarang (Mangunkusumo, 2011).

(50)

kronik, gagal jantung kongestif, dan nyeri punggung. Dampak penyakit rinosinusitis kronik terhadap kualitas hidup pasien sebanding dengan keparahan penyakit kronik lainnya. Oleh karena itu, sama halnya dengan penyakit kronik yang lain, penyakit rinosinusitis kronik sebaiknya ditangani secara proaktif (Desrosiers, 2011).

2.5. Etiologi dan Faktor Predisposisi 2.5.1. Virus

Rhinosinusitis akibat virus disebut common cold. Virus yang menginfeksi antara lain : rhinovirus (50%), coronavirus (20%), influenza, parainfluenza, respiratory syncytial virus, adenovirus dan enterovirus (Mangunkusumo, 2011).

2.5.2. Bakteri

Bakteri patogen yang sering menyebabkan rinosinusitis bakteri akut adalah S. pneumoniae dan H. influenza. Patogen ini menjadi penyebab utama terjadinya rinosinusitis sejak kali pertama dilakukan penelitian. Sedangkan patogen yang sering pada rinosinusitis bakteri kronik adalah Staphylococcus aureus, bakteri anaerob dan bakteri gram negatif (Mangunkusumo, 2011)

2.5.3. Jamur

(51)

13

2.5.4. Alergi

Rinitis adalah suatu reaksi alergi yang diperantarai oleh imunoglobulin. Reaksi ini melibatkan suatu antibodi, biasanya IgE, yang mana bagian Fc antibodi melekat pada suatu sel yang mengandung mediator atau prekursornya (sel mast, basofil, eosinofil, makrofag). Bagian Fab dari antibodi ini berinteraksi dengan alergen spesifik dan akibatnya terjadi aktivasi beberapa enzim membran. Hasil pembelahan enzimatik menyebabkan pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin dan leukotrien. Mediator ini menyebabkan suatu reaksi tipe segera yang timbul, misalnya edema. Selain itu, juga akan terjadi reaksi lambat yang selanjutnya cenderung terjadi akibat pelepasan mediator dari sel mast dan demikian pula eosinofil, makrofag dan trombosit (Boies, 2013).

2.5.5. Kelainan Anatomi dan Struktur Hidung

Kelainan anatomi hidung dan sinus dapat mengganggu fungsi mukosiliar secara lokal. Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan mendekat atau bertemu satu sama lain, maka aktivitas silia akan terhenti. Deviasi septum, polip, konka bulosa atau kelainan struktur lain di daerah kompleks osteomeatal dan ostium sinus dapat menghalangi transportasi mukosiliar (Hilger, 2013).

2.5.6. Hormonal

Pada penelitian Sobot et al didapati bahwa 61% wanita yang hamil pada trimester pertama menderita nasal congestion. Namun patogenesisnya masih belum jelas (Brook, 2012).

Terdapat efek hormonal dari estrogen, progesteron, dan placental growth hormon pada mukosa nasal dan pembuluh darah yang mungkin berpengaruh terhadap terjadinya rinosinusitis kronik (Fokkens et al, 2012)

2.5.7. Lingkungan

(52)

lingkungan yang mendadak dapat merangsang kongesti hidung dan/atau rinore (Hilger, 2013).

Apabila terus-menerus terpapar oleh lingkungan yang berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok yang lama akan menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia (Mangunkusumo, 2011).

2.6. Patofisiologi

Lapisan mukoperiosteum sinus paranasalis mempunyai daya tahan luar biasa terahadap penyakit selain kemampuan untuk memulihkan dirinya sendiri. Pada dasarnya, faktor-faktor lokal yang memungkinkan penyembuhan mukosa sinus yang terinfeksi adalah drainase dan ventilasi yang baik. Bila faktor anatomi menyebabkan kegagalan drainase dan ventilasi sinus, maka terbentuk suatu medium untuk infeksi selanjutnya oleh kokus mikroaerofilik atau anaerobik, akibatnya berupa edema, sumbatan, dan infeksi (Hilger, 2013).

Sekresi lendir yang menetap dalam sinus bisa dipicu oleh 1) Obstruksi mekanik di kompleks ostiomeatal karena faktor anatomi atau 2) Edema mukosa yang disebabkan oleh berbagai etiologi (misalnya, rinitis alergi, rinitis virus, rinistis bakteri akut). Stagnasi lendir di sinus membentuk media yang kaya untuk pertumbuhan berbagai patogen. Tahap awal sinusitis sering infeksi virus yang umumnya berlangsung hingga 10 hari dan yang benar-benar sembuh dalam 99% kasus. Namun, sejumlah kecil pasien dengan infeksi bakteri akut sekunder dapat berkembang yang umumnya disebabkan oleh bakteri aerobik (misalnya, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis). Awalnya, sinusitis akut yang dihasilkan hanya melibatkan satu jenis bakteri aerobik. Dengan terjadinya infeksi, flora campuran, organisme anaerob, dan, kadang-kadang, jamur memberikan kontribusi untuk pathogenesis (Brook, 2012).

(53)
[image:53.595.124.564.132.521.2]

15

Gambar 2.2. Patofisiologi Rinosinusitis (Hilger, 2013).

2.7. Gejala Klinis

(54)

2.7.1. Gejala Subjektif a. Nyeri

Nyeri yang sesuai dengan daerah sinus yang terkena. Pada peradangan aktif sinus maksilaris atau frontalis, nyeri biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Pada sinus yang letaknya lebih dalam seperti sinus etmoidalis posterior dan sfenoidalis, nyeri terasa jauh di dalam kepala, tak jelas letaknya atau disebarkan ke perifer kepala di daerah yang tidak ada hubungan dengan lokasi sinus (Ballenger, 2004).

b. Sakit kepala

Sakit kepala pada penyakit sinus lebih sering unilateral atau lebih terasa di satu sisi atau dimulai sebagai nyeri kepala unilateral dan meluas ke sisi lainnya. Sakit kepala yang bersumber di sinus akan meningkat jika membungkukkan badan ke depan dan jika badan tiba-tiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat istirahat. Sakit kepala akibat penyakit di sinus frontalis dinyatakan sebagai nyeri yang tajam, menusuk-nusuk, melalui mata atau nyeri dan rasa berat yang biasanya menetap (Ballenger, 2004).

c. Nyeri pada penekanan

Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi pada penyakit sinus yang berhubungan dengan permukaaan wajah seperti sinus frontalis, sinus etmoidalis anterior dan sinus maksilaris. Nyeri tekan pada os frontalis apabila ada penekanan di sudut medial rongga orbita. Pada pemeriksaan sel-sel etmoidalis anterior, tekanan dilakukan pada sudut medial orbital pada planum orbita os etmoidalis. Pada pemeriksaan sinus maksilaris, harus dilakukan penekanan pada fosa kanina os maksilaris superior (Ballenger, 2004).

d. Gangguan Penciuman

(55)

17

2.8. Diagnosis

Rinosinusitis kronik ditegakkan jika pasien memiliki dua atau lebih gejala mayor atau satu gejala mayor dan dua atau lebih gejala minor yang menetap lebih dari 12 minggu, rinosinusitis kronik harus dipertimbangkan dalam diferensial diagnosis jika pasien memiliki satu faktor mayor atau dua lebih faktor minor selama lebih dari 12 minggu (Benninger et al, 2003).

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas adalah adanya pus di meatus medius atau di daerah meatus superior. (Mangunkusumo, 2011).

2.8.1. Anamnesa

Riwayat gejala yang diderita lebih dari 12 minggu, dan sesuai dengan dua gejala mayor atau satu gejala mayor ditambah dua gejala minor dari kumpulan gejala dan tanda menurut Rhinosinusitis Task Force 2006. Yang termasuk gejala mayor adalah: nyeri atau rasa tertekan pada daerah wajah, hidung tersumbat, ingus purulen, gangguan penghidu. Gejala-gejala minor antara lain: sakit kepala, demam, halitosis, nyeri gigi dan batuk (Busquets et al, 2006).

Sakit kepala merupakan salah satu tanda yang paling umum dan paling penting pada sinusitis. Sakit kepala yang timbul merupakan akibat adanya kongesti dan edema di ostium sinus dan sekitarnya. Sakit kepala yang bersumber dari sinus akan meningkat jika membungkukkan badan dan jika badan tiba-tiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat istirahat atau saat berada di kamar gelap. Hal ini berbeda dengan sakit kepala yang disebabkan oleh mata (Fokkens et al, 2012; Ballenger, 2004).

(56)

kenyataannya peradangan pada satu atau semua sinus sering kali menyebabkan nyeri di daerah frontalis (Ballenger, 2004).

Gangguan penghidu (hiposmia) terjadi akibat sumbatan pada fisura olfaktorius di daerah konka media. Pada kasus-kasus kronik, hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filamen terminal nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan kasus, indera penghidu dapat kembali normal setelah proses infeksi hilang (Fokkens et al, 2012; Ballenger, 2004).

2.8.2. Pemeriksaan Fisik

Inspeksi yang diperhatikan adanya pembengkakan pada muka. Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerahan mungkin menunjukkan sinusitis maksilaris. Pembengkakan di kelopak mata atas mungkin menunjukkan sinusitis frontalis. Sinusitis etmoidalis jarang menyebabkan pembengkakan di luar, kecuali bila telah terbentuk abses (Soetjipto, 2011).

Rinoskopi anterior adalah alat dasar untuk pemeriksaan fisik yang paling spesifik yang berkaitan dengan keadaan patologis pada daerah sinunasal. Rinoskopi adalah pemeriksaan yang tepat untuk mengevaluasi pasien sebelum dan sesudah pemakaian dekongestan topikal. Sebelum dekongesti, pemeriksa mengevaluasi permukaaan anterior nasal. Biasanya hanya setelah dekongesti, middle turbinate dapat divisualisasi secara jelas (Benninger et al, 2003). Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang rongga hidung sekaligus untuk melihat keadaan nasofaring (Soepardi, 2011; Shah, 2008).

2.8.3. Pemeriksaan Penunjang

(57)

19

yang gelap mungkin berarti sinusitis atau hanya menunjukkan sinus yang tidak berkembang (Soetjipto dan Mangunkusumo 2011).

Endoskopi nasal dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi kompleks osteomeatal, ukuran konka nasi, edema disekitar orifisium tuba, hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus. Endoskopi nasal lebih baik dalam penerangan daripada rinoskopi anterior untuk pemeriksaan meatus medius dan superior. Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif mengalami kegagalan (Selvianti, 2008; Fokkens et al, 2012).

Pemeriksaan penunjang pilihan utama untuk menilai gambaran sinus adalah CT-scan. Kelebihannya adalah mampu memberi gambaran sinus pada rinosinusitis kronik yang gejalanya tidak sesuai dengan pemeriksaan klinis. Diagnosis dapat ditegakkan dengan atau tanpa naso-endoskopi. Namun, CT-scan memiliki keterbatasan yaitu sulit membedakan rinosinusitis dengan infeksi virus saluran pernafasan bagian atas, kecuali jika sudah timbul komplikasi. Visualisasi optimal didapatkan dengan coronal scans (Shah, 2008). Pemeriksaan penunjang yang lain adalah foto polos, yaitu dengan posisi Waters, PA dan lateral. Biasanya foto tersebut hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksilaris dan frontalis (Mangunkusumo, 2011). Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksilaris melalui meatus inferior dan dengan alat endoskopi bisa dilihat kondisi sinus maksilaris yang sebenarnya. Tindakan selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi. MRI hanya dilakukan jika ada kecurigaan komplikasi pada orbita dan intrakranial (Shah, 2008).

2.9. Penatalaksanaan

(58)

2.9.1. Terapi Medikamentosa

Antibiotik yang dipilih adalah yang berspektrum luas, yaitu golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika kuman resisten terhadap amoksisilin, maka diberikan amoksisilin-klavulanat atau sefalosporin generasi ke-2. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang (Mangunkusumo, 2011). Jika penderita tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam, maka dilakukan reevaluasi dan mengganti antibiotik yang sesuai.

Kortikosteroid sebagai anti inflamasi yaitu berefek untuk mengurangi besarnya polip, memperbaiki gejala seperti hidung tersumbat, rinore, post nasal drip, dan berkurang atau hilangnya daya penghidu. Kortikosteroid nasal berupa flutikason propionat, mometason furoat, betametason, dan lainnya (Desrosiers, 2011; Fokkens et al, 2012).

Terapi tambahan lainnya berupa dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis alfa adrenergic, saline irrigation, anti histamine, mukolitik, antagonis leukotriene, anti mikotik, imunomodulator, dan aspirin desentisisasi (Desrosiers, 2011).

Pengobatan secara medikamentosa menunjukkan hasil yang lebih memuaskan jika diberikan sesuai dengan hasil kultur (Busquets et al, 2006). Gold standard untuk kultur sinus adalah pungsi sinus maksilaris, namun hal ini harus dilakukan pada pasien tertentu dan dilakukan dengan hati-hati karena dapat menyebabkan komplikasi minor seperti nyeri dan perdarahan. Kultur sinus sangat penting dalam memilih jenis obat pada rinosinusitis kronik karena organisme patogennya berbeda dengan ABRS. Antibiotik yang biasanya diberikan pada rinosinusitis kronik adalah yang sesuai untuk kuman gram negatif (S. aureus) dan anaerob (Shah, 2008).

2.9.2. Penatalaksanaan Operatif

(59)

21

drainase sinus. Indikasi untuk terapi pembedahan ini yaitu : (1) obstruksi hidung yang komplit dikarenakan polip atau medialisasi dinding hidung lateral, (2) abses orbital, (3) komplikasi intakranial, (4) polip antrokoana, (5) rinosinusitis fungal (Hamilos, 2011).

Bedah sinus terbuka kadang diperlukan walaupun dengan keragaman prosedur endoskopi. Sebagai contoh yaitu operasi Caldwell-Luc dimana sinus maksilaris dimasuki melalui insisi sublabia. Melalui operasi Caldwell-Luc ini dapat dilakukan biopsi dari isi sinus, dan sekaligus jendela untuk drainase akan terbentuk ke kavum nasal (Shah, 2008).

2.10. Komplikasi 2.10.1. Kelainan Orbita

Infeksi dari sinus paranasal dapat meluas ke orbita secara langsung atau melalui sistem vena yang tidak berkatup. Komplikasi orbita ini dapat berupa selulitis orbita dan abses orbita. Gejalanya dapat dilihat sebagai pembengkakan kelopak mata, atau edema merata di seluruh orbita, atau gangguan gerakan bola mata dan gangguan visus sampai jelas adanya abses yang mengeluarkan pus. Pasien harus dirawat dan diberikan antibiotik dosis tinggi intravena dan dirujuk ke dokter spesialis THT. Bila keadaan tidak membaik dalam 48 jam atau ada tanda-tanda komplikasi ke intrakranial, perlu dilakukan tindakan bedah (Giannoni et al, 2006).

2.10.2. Kelainan Intrakranial

(60)

2.10.3. Kelainan Tulang (Osteomielitis )

Paling sering timbul akibat sinusitis frontalis dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksilaris dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi. Nyeri dan nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise demam dan menggigil. Pembengkakan di atas alis mata juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila terbentuk abses subperiosteal, diman

Gambar

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 3.1. Definisi Operasional Penelitian
Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Penderita Rinosinusitis Kronik Berdasarkan
Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Penderita Rinosinusitis Kronik Berdasarkan
+7

Referensi

Dokumen terkait

KARAKTERISTIK PENDERITA RINOSINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN PADA TAHUN

mengetahui : “bagaimana gambaran biokimia hati pada anak thalassemia mayor. di RSUP Haji Adam

Karya tulis ilmiah yang dilaksanakan ini berjudul ” Gambaran Penyakit Vitiligo di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2012-2014 ” yang merupakan salah satu syarat

Dapat mengembangkan pengetahuan tentang vitiligo dan mendapatkan gambaran penyakit vitiligo pada pasien di RSUP Haji Adam Malik Medan.. 1.4.2 Bagi

Sebagai informasi gambaran kasus maternal near miss di RSUP Haji Adam Malik Medan dari tahun 2011-2013 dan juga sebagai evaluasi pelayanan kesehatan terutama pada

Mengetahui karakteristik penderita kanker paru di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2016-2018. Mengetahui kecenderungan kunjungan penderita kanker paru rawat inap di RSUP Haji

RSUP Haji Adam Malik Medan periode tahun 2014 dan 2015. Mengetahui sebaran etiologi pasien CTS di RSUP Haji

Karya tulis ilmiah ini berjudul, “ Gambaran Hasil Kesimpulan Bone Marrow Puncture (BMP) pada Penderita Leukemia di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2011 ”dibuat