• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Riwayat Merokok dengan Kejadian Karsinoma Nasofaring di Departement SMF Ilmu THT RSUP H Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Riwayat Merokok dengan Kejadian Karsinoma Nasofaring di Departement SMF Ilmu THT RSUP H Adam Malik Medan"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi

Nasofaring merupakan suatu ruangan yang terdapat di belakang rongga

hidung. Berbentuk kubus atau cederung trapezius. Dengan ukuran tinggi 4 cm,

lebar 4 cm dengan dimensi anteroposterior 3 cm. Adapun bagian bawah

nasofaring dibentuk oleh palatum molle. Dinding anterior nasofaring dibentuk

oleh koana dan batas posterior dari septum nasi.

Di bagian belakangnya berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia

prevertebralis dan otot dinding faring. Sedangankan bagian atapnya dibentuk oleh

tulang sfenoid,basioksiput, dan dua tulang cervikal. Bagian ini merupakan tulang

dasar otak, tempat masuknya saraf dan pembuluh darah. Pada masing-masing

bagian lateral dari nasofaring, terdapat tuba faringotimpanik (tuba Eustachius).

Muara tuba ini terletak sekitar 1 cm dari konka posterior bagian ujung

posteriornya. Bagian posterior dari orifisium tuba ini membentuk ruangan koma

yang disebut tonus tubarius. Dibelakang dan sedikit diatas dari tonus tubarius

terdapat faringeal reses atau fossa rossenmuler (Wei, 2006).

Nasofaring mendapat perdarahan dari cabang - cabang langsung arteri

carotis eksterna yaitu arteri palatina ascendens dan descenden, arteri faringeal

ascendens, dan cabang faringeal arteri sfenopalatina. Sedangkan plexus venanya

berhubungan dengan plexus pterigoid di atas dan vena jugularis interna dibawah.

Daerah nasofaring diinervasi oleh plexus faringeal yang merupakan gabungan dari

nervus glossofaringeus (IX), nervus vagus (X), dan serabut ganglion simpatis dari

(2)

Gambar 2.1. Anatomi Nasofaring (WHO, 2008)

2.2. Histologi

Epitel permukaan dari nasofaring membentuk tonjolan dan lipatan-lipatan

yang disebut dengan kripta. Sekitar 60% permukaan nasofaring dilapisi epitel

skuamusa berlapis. Disekitar koana dan atap dari nasofaring dilapisi oleh epitel

columnar bersilia. Sedangkan dinding lateral terdiri atas kumpulan epitel

skuamusa berlapis, epitel columnar bersilia dan sedikit epitel transisional.

Dipandang dari sisi onkologi, tempat peralihan antara dua epitel yang berbeda

jenis merupakan tempat yang dibiasa untuk terjadinya karsinoma.

2.3. Karsinoma Nasofaring

2.3.1. Definisi

Karsinoma nasofaring adalah jenis kanker ganas yang timbul di rongga

belakang hidung (nasofaring) dengan predileksi di fossa Rossenmuller pada

nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah

(3)

2.3.2. Epidemiologi

KNF tidak umum terjadi di Amerika Serikat dan dilaporkan bahwa

kejadian tumor ini adlaah kurang dari 1 dalam 100.000. Namun, KNF cukup unik

di beberapa daerah geografis, yaitu Cina Selatan, Suku Eskimo, dan orang- orang

di negara Asia Tenggara lainnya. KNF merupakan penyakit yang relative umum

dalam populasi di Cina Selatan (Nasional Cancer Institute, 2009). Pada tahun 2008 terdapat lebih dari 84.000 kasus baru karsinoma nasofaring degan 80% terjadi di Asia dan 5% di Eropa (Zhang et al, 2013). Terdapat juga daerah lain yang juga memiliki angka kejadian tinggi seperti Afrika bagian selatan, polinesia, Afrika bagian utara, Alaska, Greenland, dan Kanada utara (Jemal et al, 2011).

Di Indonesia, karsinoma nasofaring merupakan urutan ke-5 dari 10 besar

tumor ganas yang menyerang seluruh tubuh. Sedangkan di bagian telinga, hidung,

dan tenggorok, karsinoma nasofaring merupakan peringkat pertama.berdasarkan

data Globocan 2008, insidensi karsinoma nasofaring di Indonesia pada pria dan

wanita sebesar 4,9% setelah kanker payudara, paru, kolorektal dan abdomen.

Insidens karsinoma nasofaring di Indonesia terjadi sebanyak 6,5/100.000

penduduk (IARC, 2010).

2.3.3. Etiologi

Etiologi karsinoma nasofaring masih belum diketahui secara pasti. Namun

para ahli percaya bahwa etiologi karsinoma nasofaring ialah multifaktorial

termasuk genetik, virus, dan lingkungan.

a. Faktor genetik.

Faktor genetik diyakini berperan mempengaruhi faktor etiologi karsinoma

nasofaring. Keyakinan bahwa faktor ini berperan berdasarkan fakta-fakta bahwa

secara epidemiologi terdapat frekuensi yang nyata diantara berbagai kelompok

etnik tertentu.. Kerentanan genetik sebagai salah satu faktor pada kejadian

karsinoma nasofaring terlihat pada angka kejadian karsninoma nasofaring yang

tinggi pada etnis Cina di Cina Selatan. Karsinoma nasofaring juga banyak

(4)

genetik yang berperan adalah gen HLA, gen DNA repair serta gen enzim metabolik seperti CYP2E1 (Yang et al, 2005).

b. Faktor virus

Dari beberapa penelitian in vitro maupun in vivo mendukung peran VEB (virus Epstein-Barr) sebagai faktor etiologi utama terjadinya karsinoma nasofaring.

Virus Epstein-Barr adalah kelompok herpes virus umum yang merupakan

penyebab infeksi mononukleus akut dan salah satu faktor etiologi karsinoma

nasofaring, karsinoma gaster serta limfoma Burkitt. Virus Epstein-Barr termasuk

famili virus herpes dan subfamili gammaherpesviridae (Munir, 2009).

Virus Epstein-Barr merupakan virus yang terdapat dimana-mana dan menyebar

melalui penularan antar manusia. Pada infeksi laten, Virus Epstein-Barr banyak

dijumpai di saliva, sehingga penularannya terutama terjadi secara langsung

melalui percikan air liur dan juga kontak secara oral ataupun melalui saliva yang

tertinggal di alat makan. Infeksi biasa timbul dimasa kanak-kanak tanpa

menimbulkan gejala atau hanya gejala prodrormal biasa seperti demam dan

umumnya sembuh sendiri. Virus Epstein-Barr menginfeksi epitel nasofaring dan

limfosit B melalui reseptor CR2 atau molekul CD21 (Munir, 2009).

Berdasarkan struktur Virus Epstein-Barr, berbagai antigen yang disandi oleh virus

dapat diidentifikasi dalam nukleus, sitoplasma, dan membran sel yang terinfeksi.

Infeksi laten Virus Epstein-Barr pada limfosit B in vitro, mengekspresikan tiga membran protein yang disebut latent membrane protein (LMP) dan enam nuclear antigen yang disebut Epsteinn-Barr nuclear antigen (EBNA). Dengan adanya antigen permukaan sel, maka sistem imun akan merespon dengan pembentukan

antibodi oleh sel plasma. IgA dan IgG merupakan antibodi yang sering terbentuk

pada KNF (Munir, 2009).

Dari semua antigen laten yang diekspresikan oleh Virus Epstein-Barr, protein

LMP-1 sangat berperan pada patogenesis KNF dan menginduksi pertumbuhan sel

dan menggangu kontrol serta proses mitosis sel. Banyak bukti yang menunjukkan

bahwa LMP-1 berperan dalam proses keganasan. Telah ditemukan hubungan

(5)

ekspresi bcl2 sehingga terjadi penurunan indeks apoptosis, dan menyebabkan

proliferasi tanpa batas. Telah terbukti bahwa, KNF dengan LMP-1 positif akan

lebih cepat tumbuh dan lebih ekspansif dibanding KNF dengan LMP-1 negatif

(Munir, 2009).

c. Faktor Lingkungan

Bahan makanan dan zat kimia tertentu dicurigai berperan dalam etiologi

terjadinya karsinoma nasofaring. Makanan yang mengandung nitrosamine yang dikonsumsi di masa kecil mempunyai risiko untuk terjadinya karsinoma

nasofaring pada usia dewasa. Nitrosamine banyak dijumpai pada bahan makanan

yang diawetkan dengan cara pengasinan dan juga pengasapan seperti ikan asin.

Pada proses pengasinan atau pengeringan ikan dengan pemanasan sinar matahari,

terjadi reaksi biokimia berupa nitrosasi.

Nitrosamine merupakan mediator yang dapat mengaktifkan Virus Epstein-Barr. Bahan kimia ini merupakan pro-karsinogen serta promoter aktivasi Virus

Epstein-Barr (Munir, 2009).

Faktor lingkungan lainnya yang juga dapat meningkatkan resiko karsinoma

nasofaring adalah yang pernah dilaporkan adalah pemakaian obat-obatan

tradisional, dijumpai adanya nikel pada daerah endemik, infeksi jamur pada

kavum nasi dan mengkonsumsi alkohol (Chen et al, 2009). Merokok dan alkohol juga merupakan faktor resiko karsinoma nasofaring. Penelitian menunjukkan

adanya paparan alkohol dan asap rokok jangka panjang memegan peranan yang

penting untuk terjadinya karsinoma nasofaring (National Cancer, 2009).

2.3.4. Hubungan Merokok dan KNF

Istilah perokok mengacu kepada individu yang secara langsung merokok

(6)

Beberapa dampak negatif dari merokok yang telah terbukti dapat

mempengaruhi kesehatan adalah kanker, serebrovaskular, metabolisme endokrin,

gastrointerstinal, sistem reproduksi dan kehamilan serta kulit (Paul et al, 2004). Pada tahun 1986, International Agency for Research on Cancer (IARC) menemukan cukup bukti bahwa merokok dapat menyebabkan kanker pada

manusia, dapat disimpulkan bahwa rokok juga dapat menyebabkan kanker pada

saluran nafas bagian atas termasuk rongga mulut, faring, laring, dan esofagus.

Letak nasofaring pada saluran nafas bagian atas dimana merupakan tempat

lewatnya aliran udara respirasi yang masuk ke dalam tubuh. Oleh sebab itu, lokasi

nasofaring sangat rentan dengan pajanan polusi udara dan asap rokok. Mukosa

nasofaring dapat secara langsung terpapar oleh asap rokok yang dihisap dan

senyawa karsinogen dapat menginduksi mutasi pada level DNA sehingga dapat

menyebabkan kanker (Zhuolin et al, 2005).

Pada saat rokok dibakar, terjadi reaksi kimia dan fisika yang dibagi dalam

2 zona. Zona pertama yaitu combustion zone dan zona kedua disebut

pyrolisis/distillation/pyrosynthesis zone. Hasil reaksi di zona pertama meliputi karbon dioksida, karbon monoksida dan hidrogen sedangkan di zona kedua

menghasilkan sekitar 4700 senyawa kimia diantaranya polisiklik hidrokarbon

aromatik (PHA), nitrosamin (TSNAs), fitosterol, 1,3-butadien, formaldehid,

asetaldehid, akrolein, benzen, hidrogen sianida dan logam (Thielena et al, 2008). Sebagian besar komponen yang dihasilkan oleh proses pembakaran rokok,

telah diidentifikasikan oleh International Agency for Research on Cancer (IARC) sebagai zat yang telah terbukti karsinogen (IARC, 2004).

Komponen asap yang paling luas dikenal adalah tar, nikotin, dan karbon

monoksida (CO). Tar merupakan bagian partikel dalam asap rokok setelah

kandungan nikotin dan uap air dikeluarkan. Pada saat rokok dihisap, tar masuk ke

dalam rongga mulut sebagai uap padat asap rokok. Setelah dingin akan menjadi

padat dan membentuk endapan berwarna coklat pada permukaan gigi, saluran

pernapasan, dan paru. Pengendapan ini bervariasi antara 3-40 mg pr batang rokok,

(7)

menggunkan filter dapat mengalami penurunan 5-15 mg. Tar mengandung

kumpulan senyawa PHA yang bersifat karsinogenik (Fowles et al, 2000).

2.3.5. Histopatologi

Klasifikasi WHO membagi karsinoma nasofaring atas tipe karsinoma sel

skuamosa berkeratinisasi (WHO Tipe 1) ditandai dengan adanya keratin atau

intercellular bridge atau keduanya, karsinoma tidak berkeratinisasi (WHO Tipe 2)

ditandai dengan batas sel yang jelas, dan karsinoma tidak berdiferensiasi (WHO

tipe 3) ditandai oleh pola pertumbahan syntisial, sel-sel poligonal ukuran besar,

anak inti yang menonjol dengan adanya tampilan sel radang (Tabuchi et al, 2011). Pada penelitian yang dilakukan di Medan, dijumpai jenis histopatologi

yang paling banyak adalah WHO Tipe 3 (55%), sedangkan WHO Tipe 1 (29%)

dan WHO Tipe 2 (16%). Pada penelitian ini dijumpai stadium lanjut (III dan IV)

cenderung lebih banyak ditemukan dibanding dengan stadium dini. Stadium lanjut

ditemukan 93% dan stadium dini 7%. Stadium III paling banyak yaitu 68% dan

stadium IV sebesar 25%. Satdium II hanya 7%, sedengkan stadium I tidak

ditemukan. WHO Tipe 3 merupakan tipe histopatologi yang paling sering dan

endemik terutama di Asia Tenggara (Munir, 2009).

2.3.6. Stadium

Klasifikasi karsinoma nasofaring menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2010.

Tumor Primer (T)

o TX : Tumor primer tidak dapat ditentukan

o T0 : Tidak ditemukan adanya tumor primer

(8)

Nasofaring

o T1 : Tumor terbatas pada daerah nasofaring (lateral/poster osuperior/atap)

o T2 : Tumor meluas sampai pada jaringan lunak orofaring atau kavum nasi

tanpa penyebaran ke daerah parafaringeal

o T3 : Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan /atau sinus paranasal

o T4 : Tumor dengan perluasan intrakranial dan /atau terlibatnya saraf kranial

,hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa infratemporal/ ruang

mastikator.

Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) regional (N):

o Nx : KGB regional tidak dapat ditentukan

o No : Tidak ada pembesaran KGB regional

o N1 : Metastasis unilateral KGB dengan ukuran terbesar < 6 cm, terletak di atas

fossa supraklavikular

o N2 : Metastasis bilateral KGB dengan ukuran terbesar < 6 cm di atas fossa

supraklavikular

o N3 : Metastasis pada KGB

•Metastasis jauh (M)

o M0 : Tanpa metastasis jauh

(9)

Tabel 2.3.6. Stadium KNF (IARC, 2004)

Stadium T N M

Stadium 0 Tis N0 M0

Stadium I T1 N0 M0

Stadium IIA T2A N0 M0

Stadium IIB T1 N1 M0

T2 N1 M0

T2a N1 M0

T2b N1 M0

Stadium III T1 N2 M0

T2a N2 M0

T2b N2 M0

T3 N0 M0

Stadium IVA T4 N0 M0

T4 N1 M0

T4 N2 M0

Stadium IVB Semua T N3 M0

Stadium IVC Semua T Semua N M1

2.3.7. Gejala Klinis

Diagnosis karsinoma nasofaring sering terlambat ditegakkan, karena letak

anatomis nasofaring itu sendiri tersembunyi dibelakang rongga hidung. Akibatnya

diagnosis ditegakkan setelah tumor berada dalam stadium lanjut. Pada tahun 1859

Czermak memperkenalkan penggunaan kaca nasofaring untuk mendeteksi

kelainan di bagian nasofairing. Namun diperlukan ketrampilan khusus bagi

pemeriksa dan juga masih sering terjadi salah interpretasi dari pemeriksaan

(10)

Gejala awal karsinoma nasofaring sering minimal dan tidak khas. Ini

disebabkan gejala awal bergantung kepada lokasi tumor di nasofaring, sehingga

tidak jarang terjadi kesalahan mendiagnosis. Secara garis besar penderita

karsinoma nasfaring akan memiliki empat gejala yaitu gejala hidung, gejala

telinga, gejala neurologis, dan pembesaran kelenjar limfe servikal.

a. Gejala Hidung.

Gejala epistaksis dan ingus berdarah merupakan gejala tersering yang terjadi pada

hidung. Keluarnya darah ini biasanya sedikit, berulang-ulang disebabkan oleh

adanya iritasi ringan pada mukosa tumor yang rapuh. Sputum yang bercampur

darah juga sering dijumpai karena adanya mukosa yang mengalami ulserasi

(Hidayat, 2009).

Sumbatan hidung menetap biasanya dijumpai pada kasus KNF yang masa

tumornya telah menyumbat koana. Gejala berupa pilek kronis kadang disertai

gangguan penciuman.

b. Gejala Telinga

Gejala pada telinga yang paling sering muncul adalah gangguan pendengaran

disertai rasa penuh pada telinga dan rasa berdengung. Biasanya hanya mengenai

satu telinga. Hal ini disebabkan adanya penyumbatan pada tuba eustaskhius oleh

masa tumor. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini dan perlu diperhatikan

apakah gejala menetap atau tidak. Hal ini sering berlanjut pada ditemukannya

otitis media serosa sampai dengan terjadi perforasi membran timpani (Hidayat,

2009).

c. Gejala Neurologis

Gejala neurologis biasa yang biasa ditemukan pada pasien KNF ialah sakit kepala

atau gejala saraf kranial, yang menandakan telah terjadi penjalaran lokal dari

tumor. Sakit kepala merupakan gejala yang paling sering muncul pada pasien

KNF. Sakit kepala persisten unilateral merupakan salah satu gejala yang khas

(11)

kranialis. Saraf kranialis VI merupakan yang paling sering terkena sehingga akan

menyebabkan diplopia. Gejala lanjutan dari saraf ini adalah ptosis. Kombinasi

kelainan neurologis kranial yang sering tejadi adalah N II sampai N VI (Jacod’s syndrome) serta kelainan N IX sampai N XII (Villaret’s syndrome) (Hidayat, 2009).

Gejala neurologis lain ialah sindroma parafaring. Keadaan ini timbul jika telah

terjadi penjalaran tumor hingga masuk kedalam foramen jugularis dan infiltrasi

tumor pada kanalis nervus hipoglossus. Keluhan yang timbul dapat berupa nyeri

pada telinga atau otalgia. (Hidayat, 2009)

d. Limfadenopati Servikal

Kelenjar limfe leher merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk kasus

karsinoma nasofaring agar sel-sel kanker tidak langsung bermetastasis ke bagian

tubuh lain yang lebih jauh. Namun di dalam kelenjar ini sel-sel tumor dapat

berkembang biak sehingga akan menimbulkan pembengkakan. Sebagian besar

pasien datang dengan pembesaran kelenjar limfe leher yang biasanya unilateral

sesuai daerah tumor. Kondisi ini biasanya tidak disertai rasa nyeri sehingga sering

diabaikan pasien (Ahmad, 2002).

e. Gejala Tambahan dan Gejala Metastasis Jauh

Trismus merupakan gejala tambahan yang dapat terjadi pada kasus KNF. Hal ini

disebabkan infiltrasi tumor pada muskulus pterigoideus sehingga menyebabkan

kekauan untuk membuka mulut ( Munir, 2009).

Gejala metastasis jauh apabila sel-sel kanker telah menyebar ke bagian-bagian

tubuh lain yang letaknya jauh dari nasofaring. Ini disebabkan sel-sel kanker ikut

mengalir bersama aliran limfa atau darah. Gejala metastasis biasanya dijumpai

pada pasien stadium lanjut. Organ yang sering terkena ialah paru, tulang, hepar

dan otak. Hal ini tentunya akan berakibat fatal dan meningkatkan angka mortalitas

(12)

2.3.8. Diagnosis

a. Anamnesis

Diagnosis karsinoma nasofaring dapat ditegakkan dengan anamnesis yang terarah

dan teliti. Gejala yang timbul sangat bervariasi antara tiap individu. Namun

biasanya pada stadium awal gejala yang akan timbul adalah yang berhubungan

dengan gejala hidung, gejala telinga, dan gejala neurologis serta limfadenopati

leher. Gejala karsinoma nasofaring dapat berupa gangguan pendengaran, telinga

terasa penuh dan berdenging, hidung tersumbat serta ditemukannya pendarahan

dari hidung ataupun bercak pada ingus dan sputum. Gejala tersebut dicurigai

terutama bila tidak jelas penyebabnya dan bersifat unilateral. Pada kasus lanjut

maka gejala diatas akan semakin jelas terlihat ditambah adanya pembesaran

kelenjar limfe leher dan gangguan saraf kranialis bergantung kepada saraf

kranialis yang teriritasi. Pada stadium yang lebih lanjut akan ditemukan

tanda-tanda metastasis ke organ lain (Munir, 2009).

b. Pemeriksaan Nasofaring

Pemeriksaan ini harus dilakukan apabila dicurigai pada anamnesis adanya suatu

karsinoma nasofaring.

1. Rinoskopi Posterior

Pemeriksaan nasofaring secara konvensional dengan menggunakan kaca rinoskopi

posterior. Namun pada pemeriksaan ini sering ditemukan kesulitan terutama pada

pasien dengan variasi anatomi atau yang tidak kooperatif (Hidayat, 2009).

2. Nasofaringoskop

a. Nasofaringoskop rigid

Nasofaringoskop dapat dilakukan dengan dua cara yaitu transnasal (teleskop

(13)

b. Nasofaringosop lentur

Flexibible fibrescope merupakan alat yang bersifat lentur dengan dilengkapi alat biopsi pada ujungnya. Dengan alat ini dapat melihat nasofaring secara langsung

(Munir, 2009).

c. Pemeriksaan Penunjang

1. Biopsi nasofaring

Merupakan pemeriksaan utama dan prosedur tetap terhadap pasien yang

menderita karsinoma nasofaring. Agar biopsi dapat dilakukan dengan tepat

sasaran, sebaiknya biopsi dilakukan di bawah kontrol endoskopi dan dengan

bantuan anastesi. Obat anastesi lokal dapat disemprotkan ke daerah nasofaring dan

orofaring. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan posisi duduk atau telentang

(Hidayat, 2009).

2. Pemeriksaan plain x-ray

Pemeriksaan plain x-ray nasofaring dan dasar tulang tengkorak dapat mendeteksi tumor di nasofaring, erosi tulang pada dasar tengkorak dan metastasis di tulang

belakang (Munir, 2009).

3. CT-Scan Nasofaring

Pemeriksaan ini memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan plain x-ray

terutama pada stadium kanker dini. Pemeriksaan ini dapat juga mendeteksi

penyebaran tumor kejaringan sekitar yang belum terlalu luas, dan juga dapat

mendeteksi erosi dari tulang dasar tengkorak dan penjalaran tumor ke intrakranial.

Selain itu, dapat juga menilai kekambuhan tumor setelah pengobatan dan juga

komplikasi paska pengobatan seperti atrofi kelenjar hipofise (Hidayat, 2009).

4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI nasofaring lebih akurat dibandingkan dengan CT-Scan nasofaring dalam

mendeteksi dan menetapkan stadium dari karsinoma nasofaring. Tetapi seperti

sifat MRI yaitu kurang baik dalam mendeteksi kelainan pada tulang. Pemeriksaan

ini khusus untuk mendeteksi perluasan tumor pada perineural dan intrakranial.

(14)

normal seperti tumor dengan radanga atau jaringan parut setelah radioterapi

(Munir, 2009).

5. Positron Emission Tomography (PET)

Merupakan pemeriksaan yang paling sensitif untuk mendeteksi adanya tumor

residual atau rekuren pada nasofaring (Wei & Sham, 2005).

d. Pemeriksaan Patologi Anatomi

1. Sitologi

Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menegakkan diagnosa karsinoma

nasofaring. Bahan yang akan digunakan untuk pemeriksaan dapat diambil dari

permukaan nasofaring dengan menggunakan brush, swab atau alat khusus yang mempunyai penghisap. Fine Needle Aspiration (FNA) pada kelenjar limfe leher untuk pemeriksaan sitologi sangat membantu terutama jika tumor primer tidak

terdeteksi. Pemeriksaan sitologi dapat diwarnai untuk mendeteksi EBNA dengan

menggunakan antibodi monoklonal spesifik. Jika ditemukannya EBNA maka

keberadaan KNF sangat dicurgai (Munir, 2009).

2. Imunohistokimia

Pemeriksaan imunohistokimia adalah pemeriksaan dengan teknik deteksi antigen

dalam jaringan yang melibatkan deteksi subtansi kimia spesifik dalam jaringan

dengan menggunakan derivat antibodi terhadap substans. Antibodi digunakan

terhadap potongan jaringan dan dibiarkan berikatan dengan antigen yang sesuai.

Deteksi antibodi ini dihubungkan dengan molekul pertanda seperti zat fluorescent

(Hidayat, 2009).

3. Histopatologi

Histopatologi adalah pemeriksaan pasti untuk penegakan diagnosa karsinoma

nasofaring. Merupakan lanjutan dari pemeriksaan biopsi jaringan. Sediaan yang

telah diambil dari nasofaring dengan teknik biopsi selanjutnnya akan diberi

pewarna dan diamati dengan bantuan mikroskop. Selain itu, pemeriksaan ini dapat

(15)

4. Pemeriksaan Serologi

Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B

telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tetapi

hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan (Hidayat, 2009).

2.3.9. Pengobatan

a. Radioterapi

Radioterapi merupakan pilihan utama pada karsinoma nasofaring. Karsinoma

nasofaring sangat radio sensitif dengan angka harapan hidup 5 tahun sekitar 84%

pada stadium I dan 68% pada stadium II. Namun angkanya berukuran pada pasien

dengan stadium yang lebih lanjut. Pasien yang mengalami rekuren lokal, radiasi

ulang juga dapat menyelamatkan 30% penderita. Radioterapi juga sangat efektif

sebagai terapi paliatif pada kasus yang telah bermatastasis jauh. Radioterapi

terbagi atas dua tipe yaitu radioterapi eksternal dan brakhiterapi. Mekanisme kerja

dari radioterapi adalah dengan cara mematikan sel dengan cara merusak DNA dan

mengakibatkan destruksi sel tumor. Dan juga radioterapi memiliki kemampuan

untuk mempercepat proses apopotosis sel tumor. Radioterapi juga dapat

mengurangi keluhan nyeri dan keluhan klinis lainnya karena dapat mengecilkan

ukuran tumor sehingga mengurangi pendesakan di daerah sekitarnya. Dosis

radioterapi untuk KNF adalah 1,8-2 Gy setiap pemberian, sebanyak lima kali

pemberian setiap minggu selama 7 minggu, dengan dosis total 60-70 Gy. Khusus

untuk keratinizing well-differentiating squamous cell carcinoma (WHO tipe 1) dibutuhkan total radiasi yang lebih tinggi. Radioterapi booster diberikan kepada

penderita dengan KNF yang telah meluas ke parafaring dengan dosis 20 Gy

sebagai tambahan dosis biasa. Apabila tumor primer masih ada setelah diberi

radioterapi eksternal, dapat diberikan brakhiterapi dengan dosis 45-50 Gy

kemudian diberikan tambahan 20 Gy. Brakhiterapi telah menunjukkan hasil yang

sangat baik dan diprediksi merupakan terapi pilihan di masa mendatang.

(16)

tube. Radioterapi memiliki banyak efek samping. Efek samping dari radioterapi ialah radiomukositis, stomatitis, hilangnya indra pengecapan, trismus, pigmentasi

kulit, osteoradionekrosis, dan sindroma Lhermitte (Munir, 2009).

b. Kemoterapi

Kemoterapi merupakan alternatif lain untuk karsinoma nasofaring yang telat jatuh

pada stadium lanjut. Kombinasi radioterapi dan kemoterapi telah diterima

kebanyakan ahli onkologi sebagai standart terapi untuk KNF stadium lanjut.

Penelitian dalam dua dekade terakhir ini menunjukkan keberhasilan terapi

kombinasi ini untuk kasus KNF stadium lanjut locoregional (Wei dan Sham, 2005).

Kemoterapi memiliki mekanisme kerja sebagai antimetabolit, menggangu struktur

dan fungsi DNA serta inhibitor mitosis. Antimetabolit bekerja dengan cara

menghambat biosintesis purin dan pirimidin, sehingga dapat mengubah struktur

DNA dan menahan replikasi sel. Dactinomycin dan doxorubicin dapat mengikat

dan menyelip diantara rangkaian nukleotida molekul DNA, sehingga menghambat

produksi mRNA. Alkaloid vinka seperti vincristine dan vinblastine, menyebabkan

inhibitor mitosis dengan mekansime kerja menahan pembelahan sel dan

menggangu filamen mikro pada kumparan mitosis (Munir, 2009).

c. Pembedahan

Terapi bedah tidak banyak mendapat peran dalam penganggulangan karsinoma

nasofaring. Tindakan bedah terbatas hanya untuk reseksi sisa masa tumor pasca

radioterapi. Tindakan ini biasa dilakukan apabila tumor primer sudah menghilang

namun masih tersisa nodul pada kelenjar leher dan belum terjadi metastasis jauh

(17)

2.3.10. Komplikasi

Komplikasi umunya terjadi akibat dari metastasis sel kanker ke organ-organ

penting seperti paru-paru, tulang, hati,dan otak. Hal ini merupakan keadaan yang

sangat buruk dan dapat mengakibatkan mortilitas. Komplikasi dapat juga terjadi

akibat dari pengobatan karena obat yang diberikan tidak hanya menyerang sel

tumor namun juga sel normal yang membelah secara cepat seperti sel rambut, sel

sumsum tulang, dan sel pada traktus gastrointestinal. Dapat terjadi mual dan

muntah, ulserasi saluran cerna, anoreksia, mudah terkena infeksi, kerusakan saraf,

dan yang paling nyata terlihat adalah rambut rontok. Komplikasi yang umum

terjadi pada pembedahan kepala dan leher adalah gangguan pada telinga,

gangguan motorik pada otot-otot wajah dan lengan atas. Hal ini dikarenakan

adanya saraf yang terganggu pada saat tindakan pembedahan (American Cancer

Society, 2013).

2.3.11. Prognosis

Prognosis karsinoma nasofaring cukup baik pada stadium I. Namun menurut

beberapa penelitian sebelumnya, dilaporkan pasien yang datang pada stadium I

hanya sekitar 10% dari semua kasus. Hal ini mungkin dikarenakan pada stadium I

pasien belum merasakan gejala yang serius dari manifestasi klinis karsinoma

nasofaring itu sendiri sehingga menyebabkan pasien mengacuhkan dan enggan

untuk memeriksakan diri secara dini. Adapun angka harapan hidup penderita

karsinoma nasofaring dalam waktu 5 tahun (five year survival rate) menurut

(18)

Tabel 2.3.11. Prognosis KNF (IARC, 2004)

Stadium Angka Harapan Hidup

I 72%

II 64%

III 62%

Gambar

Gambar 2.1. Anatomi Nasofaring (WHO, 2008)
Tabel 2.3.6.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Himpunan Peraturan Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2016 1... Himpunan Peraturan Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Tahun

Bahasa AYU sudah dapat digunakan sebagai bahasa pembelajaran yang cukup baik, karena telah mempunyai struktur yang sangat mendekati bahasa pemrograman sebenarnya Dalam tulisan

[r]

Untuk server dan klien yang menggunakan sistem operasi Windows maka akan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, namun dengan menggunakan sifat heterogen dalam jaringan tersebut,

[r]

Website toko ayiex furnitur ini juga dilengkapi dengan fasilitas pemesanan online, sehingga konsumen dapat mempersingkat waktu ketika

[r]