• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profesi kedokteran dan tenaga medis lainnya merupakan profesi yang sangat mulia dan terhormat dalam pandangan masyarakat. Seorang dokter sebelum melakukan praktek kedokterannya atau pelayanan medis telah melalui pendidikan dan pelatihan yang cukup panjang. Karena dari profesi inilah banyak sekali digantungkan harapan hidup dan/atau kesembuhan dari pasien serta keluarganya yang sedang menderita sakit. Dokter atau tenaga kesehatan lainnya tersebut sebagai manusia biasa yang penuh dengan kekurangan (merupakan kodrat manusia) dalam melaksanakan tugas kedokterannya yang penuh resiko ini tidak dapat menghindarkan diri dari kekuasaan kodrat Allah, karena kemungkinan pasien cacat bahkan meninggal dunia setelah ditangani dokter dapat saja terjadi, walaupun dokter telah melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi atau

Standart Operating Procedure (SOP) dan/atau standar pelayanan medik yang baik. Keadaan semacam ini seharusnya disebut dengan resiko medik, dan resiko ini terkadang dimaknai oleh pihak-pihak diluar profesi kedokteran sebagai

medical malpractice.

Sebagaimana profesi pada umumnya, pelayanan kesehatan merupakan suatu profesi yang didasarkan kerahasiaan dan kepercayaan seperti halnya profesi pengacara. Menurut Van der Mijn, ciri-ciri pokok dalam pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut :

1. Setiap orang yang meminta pertolongan professional, pada umumnya berada pada posisi ketergantungan, artinya bahwa ia harus meminta semacam pertolongan tertentu dengan maksud untuk mencapai tujuan khusus. Misalnya, untuk tujuan peningkatan kesehatannya seseorang minta pertolongan pada profesi dokter, kalau seseorang mempunyai tujuan melakukan suatu tuntutan hukum datang kepada profesi pengacara, sedang untuk tujuan menyatakan kehendaknya (membuat wasiat) minta pertolongan pada profesi notaris.

2. Setiap orang yang meminta pertolongan dari orang yang tidak mempunyai profesi yang bersifat rahasia, pada umumnya tidak dapat menilai keahlian profesional itu.

3. Hubungan antara orang yang meminta pertolongan dan orang yang memberi pertolongan bersifat rahasia dalam arti bahwa pihak yang pertama bersedia memberi keterangan-keterangan yang tidak akan ia ungkapkan kepada orang lain, dan pihak profesi harus bisa menjaga kerahasiaan tersebut.

4. Setiap orang yang menjalankan suatu profesi yang bersifat rahasia, hampir selalu memegang posisi yang tidak bergantung (bebas), juga apabila ia berpraktek swasta. Malah dalam kasus demikian, ada otonomi profesi dan hanya ada beberapa kemungkinan saja bagi pihak majikan untuk melakukan tindakan-tindakan korektif.

5. Sifat pekerjaan ini membawa konsekuensi pula bahwa hasilnya tidak selalu dapat dijamin, melainkan hanya ada kewajiban untuk melakukan yang terbaik. Kewajiban itu tidak mudah untuk diuji.2

Memang disadari oleh semua pihak, bahwa dokter hanya manusia biasa yang suatu saat bisa lalai dan salah, sehingga pelanggaran kode etik bisa saja terjadi, bahkan mungkin sampai pelanggaran norma-norma hukum. Soerjono Soekanto dan Kartono Muhammad berpendapat bahwa belum ada parameter yang tegas tentang batas pelanggaran kode etik dan pelanggaran hukum.3

Etika berbeda dengan hukum, karena hukum dibentuk oleh perangkat pembentuk undang-undang, ketaatan asas hukum tersebut dapat dipaksakan dari luar oleh aparat penegak hukum (law enforcement official) karena dikandung

2

D. Veronika Komalasari, Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter, Jakarta, Pustaka

Sinar Harapan, 1989, hal 14-15.

3

sanksi bagi pelanggarnya. Sedangkan etika, ketaatan dan kesadaran untuk melaksanakannya timbul dari dalam diri manusia secara pribadi, dari setiap kalbu insan tidak diperlukan sanksi yang berat. Etika kedokteran bersama-sama dengan norma hukum, mempunyai kaitan yang erat dan saling melengkapi dalam arti saling menunjang tercapainya tujuan masing-masing.

Namun demikian menurut Safitri Hariyanti, bahwa pelanggaran terhadap butir-butir Kodeki ada yang merupakan pelanggaran etik semata-mata, dan ada pula yang merupakan pelanggaran etik dan sekaligus pelanggaran hukum yang dikenal dengan istilah etikolegal.4

Demikian pula menurut Dedy Rasyid memberikan contoh pelanggaran etik kedokteran semata dan pelanggaran etik sekaligus pelanggaran hukum, yaitu sebagai berikut :5

1. Pelanggaran etik kedokteran :

a) Tidak memelihara kesehatannya sendiri dengan baik (melanggar Pasal 17 Kodeki).

b) Tidak mengutamakan/mendahulukan kepentingan masyarakat (melanggar Pasal 8 Kodeki).

2. Pelanggaran etik sekaligus pelanggaran hukum pidana

a) Menerbitkan surat keterangan palsu (melanggar Pasal 7 Kodeki sekaligus Pasal 267 KUHP).

4

Safitri Hariyani, Sengketa Medik : Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter

Dengan Pasien, Jakarta Diadit Media, 2005, hal 48.

5

Deddy Rasyid, Perbuatan Malpraktek Dokter Dalam Persfektif Hukum Pidana Di

b) Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter (melanggar Pasal 13 Kodeki sekaligus Pasal 322 KUHP).

Sekalipun pasien dan keluarganya mengetahui bahwa kualitas pelayanan yang diterimanya kurang memadai, seringkali pasien atau keluarganya lebih memilih diam karena kalau mereka menyatakan ketidak puasaannya kepada dokter, mereka khawatir kalau dokter akan menolak menolong dirinya yang pada akhirnya menghambat kesembuhan sang pasien.

Walaupun demikian, tidak semua pasien memilih diam apabila pelayanan dokter tidak memuaskan dirinya maupun keluarganya terutama bila salah satu anggota keluarganya ada yang mengalami cacat atau kematian setelah prosedur pengobatan dilakukan oleh dokter. Berubahnya fenomena tersebut terjadi karena perubahan sudut pandang terhadap pola hubungan antara dokter dan pasiennya.

Kedudukan pasien yang semula hanya sebagai pihak yang bergantung kepada dokter dalam menentukan cara penyembuhan (terapi), kini berubah menjadi sederajat dengan dokter. Dengan demikian dokter tidak boleh lagi mengabaikan pertimbangan dan pendapat pihak pasien dalam memilih cara pengobatan, termasuk pendapat pasien untuk menentukan pengobatan dengan operasi atau tidak. Akibatnya apabila pasien merasa dirugikan dalam pelayanan dokter, pasien akan mengajukan gugatan terhadap dokter untuk memberi ganti rugi terhadap pengobatan yang dianggap merugikan dirinya.

pasien untuk mendapatkan “second opinion” dari berbagai pihak baik dari dalam maupun dari luar negeri, yang pada akhirnya bila dokter tidak hati-hati dalam memberikan penjelasan kepada pasien akan berakibat kurangnya kepercayaan pasien kepada para dokter tersebut. Dunia kedokteran yang dahulu seakan tak terjangkau oleh hukum, dengan berkembangnya kesadaran masyarakat akan kebutuhannya tentang perlindungan hukum, menjadikan dunia pengobatan bukan saja sebagai hubungan keperdataan, bahkan sering berkembang menjadi persoalan pidana.

Belum adanya parameter yang tegas antara pelanggaran kode etik dan pelanggaran hukum di dalam perbuatan dokter terhadap pasien tersebut menunjukkan adanya kebutuhan akan hukum yang betul-betul bisa diterapkan dalam pemecahan masalah-masalah medik. Maraknya kasus dugaan malpraktek yang dimuat di media massa maupun elektronik, berita yang menyudutkan kalangan kedokteran karena salahnya praktik atau yang dikenal luas istilah

“malapraktek” semakin banyak bermunculan.

Menurut pandangan Endang Kusuma Astuti perubahan karateristik masyarakat dimana dokter sebagai pemberi dan perubahan masyarakat sebagai pengguna jasa kedokteran tersebut jika tidak didukung oleh peningkatan komunikasi antara dokter dan pasien, dapat menimbulkan ketidakpuasan dan konflik antara keduanya. Sebenarnya sorotan masyarakat terhadap profesi dokter merupakan suatu pertanda untuk menunjukkan, bahwa saat ini sebagian masyarakat belum puas terhadap pelayanan dan pengabdian profesi dokter kepada masyarakat pada umumnya atau pasien khususnya sebagai pengguna jasa dokter.

Pada umumnya, ketidakpuasan para pasien dan keluarga pasien terhadap pelayanan dokter karena harapannya yang tidak dapat dipenuhi oleh para dokter. Dengan perkataan lain, terdapat kesenjangan antara harapan pasien dan kenyataan yang didapat oleh pasien.6

Selain dokter, rumah sakit juga dapat dijadikan sebagai subyek hukum karena badan hukum juga dapat berperan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Rumah sakit sebagai organisasi yang melaksanakan tugas pelayanan kesehatan bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang terjadi di rumah sakit tersebut, yang secara umum dibebankan kepada Kepala Rumah Sakit yang bersangkutan.7

Rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang memberikan pelayan kesehatan kepada masyarakat memiliki peran yang sangat strategis dalam mempercepat derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu rumah sakit dapat dituntut untuk memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar yang ditetapkan dan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Menurut Azwar pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa layanan yang sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk serta penyelenggaraanya sesuai dengan standart dan kode etik profesi yang telah ditetapkan.8

Semakin berkembangnya dunia medis maka peranan rumah sakit sangat penting dalam menunjang kesehatan dari masyarakat. Maju atau mundurnya

6

Endang Kusuma Astuti, Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis di

Rumah Sakit, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2009, hal 238.

7

rumah sakit akan sangat ditentukan oleh keberhasilan dari pihak-pihak yang bekerja di rumah sakit, dalam hal ini dokter, perawat dan orang-orang yang berada di tempat tersebut. Rumah sakit diharapkan mampu memahami konsumennya dalam hal ini adalah pasien secara keseluruhan agar dapat maju dan berkembang serta menghindari terjadinya kelalaian-kelalaian medis yang ditimbulkan.

Menurut Bambang Purnomo kedudukan rumah sakit sebagai lembaga tempat asalnya masih memegang dasar “implied waiver” (yang relatif tidak bertanggung jawab secara hukum). Oleh karena itu, dianggap kebal terhadap hukum karena pada masa yang lalu rumah sakit merupakan suatu “charitable corporation” yang diartikan sekadar sebagai naungan tempat penyelenggaraan pengobatan. Namun perkembangan rumah sakit sudah berubah menjadi “health care center”, yang berubah fungsinya dalam arti “the hospital in action”, yang menghimpun segala arti organisasi pelayanan kesehatan sehingga menjadi subjek hukum.9

Dalam beberapa tahun belakangan ini yang dirasakan mencemaskan oleh dunia rumah sakit di Indonesia adalah meningkatnya tuntutan dan gugatan malpraktek baik secara pidana dan perdata dengan jumlah ganti rugi yang semakin hari semakin spektakuler. Tudingan-tudingan yang bernada miring seringkali terlontar dari mulut pasien dan keluarganya terhadap pelayan kesehatan (dokter dan perawat) dan bahkan terhadap rumah sakit karena kurang puas atas layanan kesehatan yang mereka terima.

9

Bambang Poernomo, Hukum Kesehatan, Program Pendidikan Pasca Sarjana, Fakultas

Hal yang perlu juga diketahui adalah, karena penyakit yang serius pada umumnya ditangani di rumah sakit, maka dapat dipahami bahwa 80% kasus malpraktek terjadi di rumah sakit, sedang sisanya terjadi di praktek pribadi dokter. Oleh karena itu dapat pula dimengerti, tuntutan terhadap malpraktek tidak saja ditujukan kepada dokter, tetapi sering pula melibatkan rumah sakit atau institusi tempat pelayanan tersebut berlangsung dan bisa pula melibatkan paramedis yang mendampingi dokter.

Oleh sebab itu pada kesempatan ini saya mencoba untuk mengangkat topik Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit Terhadap Tindak Pidana Malpraktek untuk membahas seberapa jauhnya rumah sakit sebagai badan hukum dapat dimintai tanggung jawab pidana terhadap tindak pidana malpraktek.

Dokumen terkait