• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Malpraktek dengan Resiko Medik

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Malpraktek

3. Perbedaan Malpraktek dengan Resiko Medik

5) Pompe menerjemahkan, perkataan “straafbaar feit” itu secara teoretis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”. Secara teoritis setiap pelanggaran norma atau setiap normo-vertreding itu harus merupakan suatu perilaku atau

gedraging yang telah dengan sengaja ataupun telah tidak dengan sengaja dilakukan oleh seorang pelaku, yang di dalam penampilannya merupakan suatu perilaku yang bersifat bertentangan dengan hukum atau “in strijd met het recht” atau bersifat “wederrechtelijk”.

3. Perbedaan Malpraktek dengan Resiko Medik

Luka berat, atau bahkan meninggalnya pasien seringkali dikaitkan dengan malpraktek, sehingga menjadi masalah pidana. Kasus Dr. Setianingrum yang pasien meninggal setelah dilakukan tindakan medik, kasus Muhidin di RSU Syamsuddin di Sukabumi (tahun 1986) yang mengakibatkan dokternya dituntut di pengadilan menunjukkan bahwa masyarakat mulai mengerti akan hak-hak

kesehatannya, sehingga menganggap kasus diatas sebagai kesalahan atau kelalaian dokter.26

26

Harjo Wisnoewardono, Fungsi Medical Record sebagai Alat Pertanggungjawaban

Pidana Dokter terhadap Tuntutan Malpraktek, 2002, Malang, Arena Hukum No. 17, FH Unbraw, hal 106.

Akan tetapi, setelah dilakukan pemeriksaan atas Dr. Setianingrum, Mahkamah Agung memutuskan bebas karena tidak ada bentuk kelalaian dan kealpaan yang dilakukan Dr. Setianingrum, meski pasien telah meninggal dunia.

Berdasarkan hal tersebut diatas, diperlukan suatu pemikiran dan langkah-langkah yang bijaksana dalam menyikapi masalah akibat tindakan medik yang membahayakan nyawa karena di samping dapat dianggap sebagai malpraktek dapat pula merupakan resiko medik dari tindakan medik tersebut.

Di dalam menegakkan diagnosa, memberi terapi, sampai dengan melakukan tindakan medik, dokter harus melakukannya dengan secara lege artis, agar dokter selamat dari tuduhan malpraktek. Semua perlakuan yang diberikan kepada pasien harus selalu berpedoman kepada prosedur yang telah ditetapkan oleh ikatan profesinya, yang tertuang di dalam standar pelayanan medik.

Niat seorang dokter adalah menolong pasiennya dan berupaya untuk memberikan kesembuhan bagi pasien yang memohon bantuannya. Namun kadang-kadang yang didapat justru sebaliknya dari niat tersebut. Pasien tidak mendapatkan kesembuhan, malahan mendapat cacat atau bahkan kematian. Bila hal itu terjadi dan dimuat di media massa maka biasanya orang akan beranggapan bahwa dokter tersebut telah melakukan malpraktek.

Menentukan suatu kelalaian seorang dokter bukanlah hal yang mudah, karena dalam ilmu kedokteran, tidak ada dua kasus yang sama persis. Banyak faktor yang mempengaruhi dan menjadi latar belakang dari kasus-kasus yang terjadi tersebut, baik dari pihak dokter maupun pihak pasien pasien antara lain :

1. Dari pihak dokter : a. Penatalaksanaannya b. Cara pemeriksaan

c. Kecermatan dan ketelitian 2. Dari pihak pasien :

a. Tingkat keseriusan pasien b. Daya taya tubuh pasien c. Usia

d. Kemauan pasien untuk sembuh

e. Komplikasi dan penyakitnya, dan sebagainya.

Walaupun untuk menentukan kelalaian adalah hal yang tidak mudah, tetapi sebagai manusia biasa yang mempunyai banyak kepentingan , kelalaian dokter pasti dapat saja terjadi. Karena itu kelalaian ini tetap harus dapat dibuktikan, agar dokter tidak mengulangi kesalahan yang sama dan masyarakat dapat terlindungi haknya dalam mencari kesembuhan.

Di dalam ilmu hukum kedokteran, terdapat rumusan tentang kelalaian yang sudah berlaku universal yang dapat dipakai sebagai pedoman, yaitu:

”Kelalaian adalah kekurangan ketelitian yang wajar, tidak melakukan apa yang seorang lain dengan ketelitian serta hati-hati akan melakukannya dengan wajar, atau melakukan apa yang seorang lain dengan ketelitian yang wajar justru tidak akan melakukannya.”

Sedangkan M. Jusuf Hanafiah, merumuskan kelalaian sebagai melakukan tindakan kedokteran di bawah standar pelayanan medik.27

Jika kelalaian sampai menimbulkan kerugian materi, mencelakakan dan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka kelalaian ini merupakan kelalaian serius dan dapat dikatakan sebagai kelalaian berat (culpa lata), yang dapat dilihat berdasarkan tolak ukur sebagai berikut:28

1. Bertentangan dengan hukum 2. Akibatnya dapat dibayangkan 3. Akibatnya dapat dihindarkan 4. Perbuatannya dapat dipersalahkan

Jadi, meskipun ada unsur ketidakpastian dari pihak dokter dalam menyembuhkan pasiennya, tetapi dokter tidak bisa bersembunyi di balik ketidakpastian tersebut. Dokter dapat dituduh melakukan malpraktek bila pasien mengalami cedera atau kematian sebagai akibat sang dokter melakukan kelalaian yang berat dan memberikan pelayanan kedokteran di bawah standar.

27

M. Jusuf Hanafiah & Amri Amir, Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan, Buku

Kedokteran EGC, Jakarta,1999, hal 67.

28

Seperti pendapat yang diungkapkan Danny, beliau menjelaskan bahwa ada 3 aspek hukum yang dapat dipakai untuk menentukan malpraktek, yaitu:29

1. Penyimpangan dari standar profesi medis.

2. Kesalahan yang dilakukan dokter, baik berupa kesengajaan maupun kelalaian.

3. Akibat yang terjadi disebabkan oleh tindakan medis yang menimbulkan kerugian baik materiil maupun non materiil, atau fisik (luka atau kematian) atau mental.

Sedangkan Jusuf menyebutkan bahwa dokter dikatakan melakukan malpraktek jika:

1. Dokter kurang menguasai iptek kedokteran yang sudah berlaku umum di kalangan profesi kedokteran.

2. Memberikan pelayanan kedokteran di bawah standar profesi (tidak lege artis)

3. Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak hati-hati

4. Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum

Berbeda dengan pengertian resiko medis (ada yang menyebut dengan kecelakaan medis), karena pada resiko medis ini dokter atau dokter gigi tidak dapat diminta pertanggungjawaban atas akibat yang tidak dikehendaki dalam melakukan pelayanan medis (dalam malpraktek dokter atau dokter gigi dapat dituntut secara hukum).

Resiko medis adalah suatu keadaan yang tidak dikehendaki baik oleh pasien maupun oleh dokter atau dokter gigi itu sendiri, setelah dokter atau dokter gigi berusaha semaksimal mungkin dengan telah memenuhi standar profesi, standar pelayanan medis dan standar operasional prosedur, namun kecelakaan tetap juga terjadi. Dengan demikian resiko atau kecelakaan medis ini mengandung

unsur yang tidak dapat dipersalahkan (verwijtbaar-heid), tidak dapat dicegah

(vermijtbaarheid) dan terjadinya tidak dapat diduga sebelumnya

(verzienbaarheid).30

30

Machmud Syahrul, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter Yang

Diduga Melakukan Malpraktek, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal 165.

Sebagaimana yang telah diuraikan didepan bahwa dalam melakukan transaksi terapeutik antara dokter dan pasien bentuknya adalah inspanning verbintenis (perjanjian upaya) karena dokter atau dokter gigi tidak memberikan jaminan akan penyembuhan pasien. Dalam pengertian ini yang dapat dipertanggungjawabkan adalah upaya atau usaha maksimal dokter atau dokter gigi dalam upayanya melakukan pelayanan medis, jadi bukan terletak pada hasilnya. Oleh karena itu apabila seorang dokter telah berusaha semaksimal mungkin dalam melakukan pelayanan medis dengan memenuhi persyaratan standar yang telah ditetapkan, namun juga terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti meninggalnya pasien atau gagal dalam upaya penyembuhan sakit pasien atau tidak sepenuhnya sembuh dari penyakit semula, maka untuk kasus semacam ini dokter atau dokter gigi dilepaskan dari tuntutan hukum. Dokter atau dokter gigi harus berupaya semaksimal mungkin dengan segenap ilmu, kepandaian, keterampilan serta pengalaman yang dimilikinya disertai sikap hati-hati dan teliti menyembuhkan pasiennya.

Dengan demikian, agar suatu tindakan medis tidak bersifat melawan hukum, maka tindakan hukum tersebut harus :

1. Dilakukan sesuai dengan standar profesi kedokteran atau dilakukan secara

lege artis, yang tercermin dari:31

a. Adanya indikasi medis yang sesuai dengan tujuan perawatan yang konkrit.

b. Dilakukannya sesuai dengan prosedur ilmu kedokteran yang baku.

2. Dipenuhinya hak pasien mengenai imformed consent.

Dari uraian yang telah dikemukakan tersebut, dapat dipakai bahwa standar kedua yang dapat dipakai untuk membedakan antara malpraktek dengan resiko adalah kemampuan dan kemauan dokter untuk dapat melaksanakan pofesinya dengan selalu berpedoman kepada standar pelayanan medis yang telah digariskan oleh ikatan profesi dalam bidang keahliannya.

Bila pelayanan medis telah dilakukan sesuai dengan standar yang telah digariskan oleh profesi, namun kematian atau cedera tetap terjadi juga, ini merupakan resiko medis dan bukan malpraktek medis.

Dokumen terkait