• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar belakang program EMAS

Program EMAS dibentuk dalam rangka mengurangi angka kematian ibu dan bayi. Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) masih tinggi di Indonesia, menurut survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 yaitu sebesar 228/100.000 kelahiran hidup dan 34/1000 kelahiran hidup. Hal ini masih jauh dari target Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015 yaitu 102/100.000 kelahiran hidup untuk AKI dan 23/1000 kelahiran hidup untuk AKB.

Kematian ibu dan bayi disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain penyebab langsung yang meliputi komplikasi persalinan yang terdiri dari perdarahan, pre/eklamsia, infeksi, dan jantung. Penyebab tidak langsung yang berhubungan dengan pendidikan dan budaya, faktor tiga terlambat yaitu terlambat mengenal tanda bahaya dan mengambil keputusan, terlambat mencapai fasilitas

commit to user

kesehatan, dan terlambat mendapat pertolongan difasilitas kesehatan serta faktor 4 yaitu terlalu muda punya anak, terlalu banyak melahirkan, terlalu rapat jarak melahirkan dan terlalu tua.

Dalam Zulhadi, Trisnantoro dan Zaenab (2012) dijelaskan bahwa berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menurunkan angka kematian ibu dan kematian bayi, antara lain melalui penempatan bidan di desa, pemberdayaan keluarga dan masyarakat dengan menggunakan buku Kesehatan Ibu dan Anak (buku KIA) dan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K), serta penyediaan fasilitas kesehatan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) di puskesmas dan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) di rumah sakit. Namun hal ini masih tidak dapat menurunkan secara signifikan AKI dan AKB di Indonesia.

Berdasar pada hal itulah States Agency for International Development (USAID) memberikan dana hibah dan asistensi teknis untuk bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan RI dalam mengembangkan model untuk mempercepat penurunan AKI dan AKB melalui program EMAS. EMAS (Expanding Maternal and Neonatal Survival) adalah program kerjasama RI dan USAID selama lima

tahun (2012-2016) dalam rangka mengurangi AKI dan AKB dengan mendukung pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten dalam berjejaring dengan Organisasi Masyarakat Sipil, fasilitas kesehatan publik dan swasta, asosiasi rumah sakit, organisasi profesi, dan sektor swasta.

Hal ini sejalan dengan Zulhadi, Trisnantoro dan Zaenab (2012), bahwa memperkuat sistem rujukan merupakan salah satu cara dalam mempercepat penurunan angka kematian ibu. Dengan memperkuat sistem rujukan adanya

commit to user

problem dan tantangan puskesmas dalam mendukung sistem rujukan maternal ke Rumah Sakit Umum Daerah dapat diatasi.

Jawa Timur terpilih menjadi pelaksana program EMAS karena memiliki kotribusi terhadap 50% kematian ibu dan bayi. Pertama kali di implementasikan di dua kabupaten salah satunya adalah kabupaten Malang karena kabupaten Malang dapat menunjukkan komitmen dan usaha yang konsisten dalam menurunkan AKI dan AKB.

Puskesmas Turen terpilih karena memiliki kemampuan dari segi sumber daya tenaga kesehatan, fasilitas puskesmas yang memadai, dan jumlah pasien yang banyak. Meskipun bukan puskesmas PONED, namun puskesmas Turen merupakan puskesmas dengan rawat inap standar serta memiliki dokter dan petugas PONED.

Puskesmas PONED merupakan puskesmas rawat inap dengan kemampuan serta fasilitas PONED siap 24 jam melayani ibu hamil, bersalin dan nifas dan bayi baru lahir dengan komplikasi baik yang datang sendiri atau atas rujukan kader, masyarakat, bidan, Puskesmas non PONED dan melakukan rujukan ke RS Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) (Wijaya, 2012).

Meskipun puskesmas Turen belum merupakan puskesmas PONED, namun puskesmas Turen merupakan puskesmas rawat inap standar yang memiliki fasilitas kesehatan yang memadai dan tenaga kesehatan yang kompeten serta mampu melakukan penanganan komplikasi kehamilan dan persalinan.

commit to user 2. Pelaksanaan program EMAS

Program EMAS bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal di fasilitas kesehatan dan meningkatkan sistem rujukan yang efektif, efisien, berkualitas dan aman pada kasus kegawatdaruratan maternal dan neonatal.

Peningkatan pelayanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal penting sekali dilakukan guna mengurangi angka kesakitan dan kematian ibu dan bayi.

Faktor keterlambatan yang menjadi penyebab tidak langsung kematian ibu dan bayi salah satunya adalah terlambat mendapatkan pertolongan difasilitas kesehatan. Keterlambatan mendapatkan pertolongan di fasilitas kesehatan dapat disebabkan oleh adanya komunikasi yang kurang baik dan proses perujukan yang kurang efektif. Sistem perujukan yang baik perlu dilakukan agar proses rujukan dan penanganan pasien dapat berlangsung cepat.

Sistem rujukan adalah suatu sistem jaringan fasilitas pelayanan kesehatan yang memungkinkan terjadinya penyerahan tanggung jawab secara timbal-balik atas masalah yang timbul baik secara vertikal (komunikasi antara unit yang sederajat) maupun horizontal (komunikasi inti yang lebih tinggi ke unit yang lebih rendah) ke fasilitas pelayanan yang lebih kompeten, terjangkau, rasional dan tidak dibatasi oleh wilayah administrasi (Syafrudin, 2009).

Penatalaksanaan kasus kegawatdaruratan pada pasien dengan melakukan stabilisasi kondisi pasien sebelum dirujuk yaitu pemasangan infus dan pemberian obat-obatan sesuai dengan kasus kemudian pemberian informasi kepada tempat

commit to user

rujukan dilakukan dengan mengirimkan sms gateway yang disebut dengan sijariemas.

Carwoto dan Wijayanto (2013) menjelaskan, awalnya pesan singkat (SMS) rujukan gawatdarurat yang dikirim oleh tenaga kesehatan perujuk ke nomor terminal gateway melalui SMS Center terlebih dahulu. Pesan singkat tersebut kemudian diterima oleh interface berupa modem yang telah terhubung ke server SIJARIEMAS melalui kabel data. Pesan yang dikirimkan oleh tenaga kesehatan perujuk tersebut di terima oleh mesin SMS Gateway. Selanjutnya pesan tersebut diteruskan dan di simpan ke dalam database SIJARIEMAS. Melalui antarmuka berbasis web, petugas IGD Rumah Sakit kemudian menjawab permintaan rujukan.

Berdasarkan jawaban petugas IGD Rumah Sakit atas permintaan rujukan tersebut, maka aplikasi server SIJARIEMAS akan membalasnya sesuai dengan format yang telah ditentukan dan mengirimkannya kembali ke mesin SMS Gateway. Pesan balasan dari mesin SMS Gateway kemudian di ambil oleh GSM interface melalui kabel data. Setelah itu pesan diteruskan ke telepon genggam tenaga kerja perujuk, sehingga perujuk mendapatkan informasi sesuai isi informasi yang telah dikirimkan dari server SIJARIEMAS.

Rumah sakit rujukan yang menjadi mitra dari puskesmas Turen adalah RS Bokor Turen, RS Mitra Delima, RSI Gondanglegi dan RSUD Kepanjen.

Pelaksanaan sistem rujukan di Indonesia telah diatur dengan bentuk bertingkat atau berjenjang, yaitu pelayanan kesehatan tingkat pertama, kedua dan ketiga, di mana dalam pelaksanaannya tidak berdiri sendiri-sendiri namun berada di suatu sistem dan saling berhubungan. Apabila pelayanan kesehatan primer tidak dapat

commit to user

melakukan tindakan medis tingkat primer maka ia menyerahkan tanggung jawab tersebut ke tingkat pelayanan di atasnya, demikian seterusnya.

Hasil penelitian oleh Carwoto dan Wijayanto (2013) setelah mengalami proses pengujian teknis dan diujicobakan secara langsung pada jejaring rujukan kegawatdaruratan di dua kabupaten di Jawa Tengah, sistem ini terbukti dapat mencegah terjadinya penolakan permintaan rujukan oleh semua rumah sakit, meningkatkan kesiapan pihak rumah sakit untuk menerima rujukan, serta mengurangi keterlambatan penanganan rujukan dalam jejaring pelayanan rujukan kegawatdaruratan maternal dan neonatal. Sistem informasi yang diimplementasikan juga dapat menjadi basis data yang bermanfaat bagi kepentingan pengambilan keputusan di rumah sakit maupun dinas kesehatan.

Dengan antarmuka berbasis web yang mudah dioperasikan dan mekanisme komunikasi menggunakan SMS yang sudah umum digunakan oleh tenaga kesehatan, sistem informasi ini memudahkan komunikasi antartenaga dan fasilitas kesehatan dalam menangani permintaan rujukan gawatdarurat.

Pelaksanaan program EMAS dilakukan secara tim yang disebut dengan tim emergensi terdiri dari tim merah, kuning dan hijau. Dalam hal ini setiap tim memiliki tugas masing-masing yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain.

Kerjasama yang baik akan memiliki dampak yang baik terhadap penanganan yang tepat dan cepat pada pasien, sehingga diharapkan tidak ada pasien yang mengalami keterlambatan mendapatkan penanganan.

Pendampingan diberikan oleh tim EMAS dengan mengirimkan dokter spesialis kandungan, meskipun tidak dilakukan secara intensif. Pendampingan ini

commit to user

dilakukan hanya sebatas mereview kembali tentang kasus kegawatdaruratan dan penatalaksanaannya serta arahan bagaimana mengenali tanda kasus kegawatdaruratan. Pelatihan internal juga dilakukan oleh tim emergensi secara berkala untuk menjaga dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para bidan.

Saat ini proses perujukan sudah dapat berjalan dengan baik, sudah adanya kesepakatan antara puskesmas dengan rumah sakit tentang tatacara perujukan yang tepat sehingga proses rujukan dapat berjalan lancar meskipun ada sedikit kendala tidak diterimanya rujukan dengan kasus-kasus tertentu. Pelaksanaan tindakan dan proses perujukan telah mengacu pada standar operasional prosedur (SOP) yang telah disepakati bersama-sama antara puskesmas dengan rumah sakit.

Diharapkan dengan adanya SOP yang telah disepakati secara bersama-sama ini dapat digunakan sebagai acuan yang mendasar bagi tenaga kesehatan dalam memberikan asuhan kegawatdaruratan dan pelaksanaan rujukan, sehingga tidak ada lagi pasien yang terlambat mendapatkan pertolongan yang akan berdampak pada kesakitan dan kematian.

Penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2013) bahwa proses pelaksanaan dalam rujukan didasarkan pada SOP dan Baksoku sehingga proses pelaksanaan rujukan berjalan aman tanpa mengakibatkan risiko kematian maternal maupun neonatal.

Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zulhadi, Trisnantoro dan Zaenab (2012) bahwa faktor utama yang mempengaruhi sistem rujukan seperti fasilitas, tenaga, SOP, kerjasama tim, transportasi, komunikasi,

commit to user

dan pendanaan perlu mendapatkan perhatian serius dari semua stakeholders yang terlibat dalam program kesehatan ibu.

Kesiapan untuk merujuk ibu dan bayinya ke fasilitas kesehatan rujukan secara optimal dan tepat waktu menjadi syarat bagi keberhasilan upaya penyelamatan. Setiap penolong persalinan harus mengetahui lokasi fasilitas rujukan yang mampu untuk penatalaksanaan kasus gawatdarurat obstetri dan bayi baru lahir dan informasi tentang pelayanan yang tersedia di tempat rujukan, ketersediaan pelayanan purna waktu, biaya pelayanan dan waktu serta jarak tempuh ke tempat rujukan. Persiapan dan informasi dalam rencana rujukan meliputi siapa yang menemani ibu dan bayi baru lahir, tempat rujukan yang sesuai, sarana tranfortasi yang harus tersedia, orang yang di tunjuk menjadi donor darah dan uang untuk asuhan medik, tranportasi, obat dan bahan (Dinkes, 2009).

Dokumen terkait