• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4 HASIL PENELITIAN. A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB 4 HASIL PENELITIAN. A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user 43 BAB 4

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Puskesmas Turen merupakan salah satu sarana kesehatan yang terdapat di Kecamatan Turen, dengan memiliki:

1. Visi

Terwujudnya masyarakat Turen sehat yang berkeadilan dan mandiri (Profil puskesmas, 2014).

2. Misi

a. Meningkatkan keterjangkauan akses pelayanan kesehatan di Kecamatan Turen yang berkualitas dan berkeadilan

b.Meningkatkan kemandirian masyarakat kecamatan Turen di bidang kesehatan melalui pemberdayaan masyarakat, swasta dan kerjasama lintas sektoral

c. Meningkatkan kualitas sumber daya kesehatan yang merata dan berkeadilan di masyarakat kecamatan Turen

d.Meningktakan kualitas manajemen pemerintahan bidang kesehatan di kecamatan Turen yang efektif dan professional (Profil puskesmas, 2014).

3. Peran Puskesmas Turen

a. Sebagai penyelenggara Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), dimana puskesmas bertugas memberikan pelayanan pengobatan kepada masyarakat yang datang ke puskesmas baik dalam bentuk konsultasi, pengobatan fisik serta rujukan.

(2)

commit to user

b.Berperan dalam bidang Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dengan melaksanakan program yang bersentuhan langsung dengan masyarakat diantaranya promosi kesehatan, kesehatan lingkungan, usaha kesehatan sekolah (UKS), pemberantasan penyakit menular, perbaikan gizi, kesehatan ibu dan anak serta lainnya (Profil puskesmas, 2014).

4. Batas wilayah

Puskesmas Turen berbatasan dengan:

a. Utara : Kecamatan Wajak b. Timur : Kecamatan Dampit

c. Selatan : Kecamatan Sumbermanjing Wetan

d. Barat : Kecamatan Gondanglegi (Profil puskesmas, 2014).

5. Wilayah kerja

Wilayah kerja Puskesmas Turen terdiri dari 2 Kelurahan dan 15 Desa, yaitu:

Kelurahan Turen dan Sedayu, Desa Sanankerto, Sananrejo, Kedok, Tumpukrenteng, Talangsuko, Jeru, Tanggung, Pagedangan, Talok, Undaan, Gedogkulon, Gedogwetan, Tawangrejeni, Sawahan dan Kemulan (Profil puskesmas, 2014).

6. Data Petugas

Data petugas Puskesmas Turen terdiri dari:

a. Tenaga Medis terdiri dari 2 dokter umum, dan 1 dokter gigi.

b.Tenaga Paramedis terdiri dari 5 bidan, 14 bidan desa, 24 perawat, 1 perawat gigi, 1 D3 Kesling sanitarian, 1 asisten apoteker, 1 analis laboratorium, dan 1 analis gizi.

(3)

commit to user

c. Tenaga Administrasi terdiri dari 2 tata usaha, 4 administrasi loket, 2 petugas apotek, 2 petugas dapur/cuci, 1 pramu kantor dan 4 petugas kebersihan (Profil puskesmas, 2014).

B. Hasil Penelitian 1. Latar belakang pelaksanaan program EMAS

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan 1 didapatkan bahwa program EMAS dibentuk dalam rangka mengurangi angka kematian ibu dan bayi baru lahir. Demikian kutipannya:

“Program EMAS dibentuk dalam rangka menurunkan angka kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir” (CL 1 hal.85)

Hasil wawancara dengan informan 1 menyebutkan bahwa puskesmas Turen terpilih dikarenakan memiliki kemampuan dari segi sumber daya tenaga kesehatan, fasilitas puskesmas yang telah memadai, dan jumlah pasien yang banyak. Tidak ada kriteria khusus untuk puskesmas pelaksana program EMAS ini namun puskesmas Turen merupakan puskesmas dengan rawat inap standar dan memiliki dokter serta petugas yang sudah PONED. Demikian diungkapkan oleh informan 1:

“Puskesmas Turen terpilih karena memiliki SDM dan sarana prasarana yang siap mendukung dalam pelaksanaan program ini... pasien kita juga banyak sehingga kita terpilih....Turen memang belum PONED, tetapi saya adalah dokter PONED, petugasnya adalah PONED. Dan memang kita sumber daya manusianya lebih bagus, sarana prasarana juga menunjang, pasien kita juga banyak sehingga kita terpilih. Karena percuma saja meskipun puskesmas yang sudah PONED tapi mereka tidak mempunyai pasien banyak, bagaimana program bisa terlaksana kalau seperti itu” (CL 1 hal.85)

(4)

commit to user

Hasil wawancara dengan responden 2 mengaku kurang memahami alasan puskesmas Turen terpilih, karena pada waktu itu justru angka kematian ibu dan bayi nol di wilayah puskesmas Turen. Demikian kutipannya:

“saya sendiri kurang begitu paham apa yang melatar belakangi puskesmas Turen terpilih, karena sebenarnya sebelum adanya program EMAS AKI dan AKB tidak ada (nol), justru setelah program ini jalan ada kematian” (CL 2 hal. 90)

Sudah ada SK penunjukan dari bupati kepada puskesmas Turen dan dokter serta bidan koordinator sebagai tim pendamping dan replikasi program EMAS, namun sayangnya tidak ada nomor SK dan tandatangan yang tertera dalam SK tersebut. Berikut bukti SK nya:

(5)

commit to user 2. Pelaksanaan program EMAS

Program EMAS bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal di fasilitas kesehatan dan meningkatkan sistem rujukan yang efektif, efisien, berkualitas dan aman pada kasus kegawatdaruratan maternal dan neonatal. Demikian diungkapkan oleh informan 1:

“program EMAS ini mengajarkan cara bagaimana penanganan kegawatdaruratan dan sistem rujukan yang tepat dan cepat, penanganan pasien di puskesmas sebelum dirujuk dan kesiapan tempat dan petugas di RS rujukan. Sebetulnya sebelum program EMAS ini telah ada program KIBBLA, namun kibbla merupakan penanganan kegawatdaruratan dengan melibatkan peran serta masyarakat untuk membawa pasien dari rumah ke puskesmas, namun program EMAS ini bagaimana dari puskesmas merujuk ke RS. Jadi pada program ini ada komunikasi yang efektif dengan RS rujukan” (CL 1 hal. 85).

Hal senada juga diungkapkan oleh informan 2:

“ada 2 hal yang menjadi inti dari program EMAS yaitu meningkatkan pelayanan pada kasus kegawatdaruratan maternal dan neonatal dan meningkatkan pelayanan rujukan kegawatdaruratan secara efektif dan efisien. Kalau dulu kita merujuk langsung saja pasien dibawa tapi sekarang harus memberikan informasi dulu, nama pasien, diagnosa, pembiayaan menggunakan apa” (CL 2 hal. 91).

Dalam pelaksanaan program EMAS ini dibentuk sebuah tim emergensi yang terdiri dari tim merah, kuning, dan hijau. Rincian tugas tim ini tampak dalam algoritma yang terpasang dipapan UGD. Demikian rincian tugasnya:

(6)

commit to user

Gambar 4.1 Struktur Tim Emergensi

Sumber: Algoritma terpasang didinding

Hasil wawancara dengan informan 2 menyebutkan bahwa setiap shift dinas pasti terdapat tim emergensi, untuk tim merah (pemberi perintah) tidak harus dikerjakan oleh bidan koordinator tetapi bidan pelaksana yang pada saat itu dinas, tetapi mereka semua telah diberi pelatihan.

“ dalam emas ini kita dituntut untuk tim. jadi tim merah sebagai koordinator memberi perintah, kuning sebagai pelaksana, hijau itu yang mobile menyiapkan rujukan, telpon dokter, telpon RS dsb....oh tidak harus saya, tapi siapa yang dinas pada saat itu tetapi mereka sudah di latih sebelumnya, saya yang melatih” (CL 2 hal. 92)

Hal senada juga diungkapkan oleh informan 3 TIM EMERGENCY DOKTER, BIDAN, PERAWAT

1. Mengatasi/menenangkan pasien dan keluarga 2. Anamnesa terarah 3. Pemeriksaan awal cepat 4. Membuat keputusan klinik 5. Koordinasi

penatalaksanaan awal 6. Pasang infus

7. Ambil contoh darah 8. Ikuti instruksi dokter 9. Tetap bersama pasien

A. Mempersiapkan penyediaan meja trolley emergensi

 Setiap ganti dinas

 Setiap selesai tindakan B. Saat emergency

 Membawa meja dorong emergency ketempat kejadian

 Melakukan observasi

 Bersama dengan

koordinator tetap bersama pasien

 Dokumentasi semua tindakan dan hasil

observasi, serta obat-obatan dan cairan

1. Membawa alat-alat seperti tiang infus dan suction unit

2. Memberi informasi dan memanggil dokter 3. Menghubungi dan bila

perlu mengantar serta mengambil hasil laboratorium

4. Memobilisasi alat dan bila perlu membawa pasien ke kamar tindakan bila

--- : Garis koordinasi

(7)

commit to user

“setiap shift ada timnya, tergantung yang pada saat itu ada. Saya sebagai tim merah, tapi juga pernah jadi tim hijau atau kuning tergantung kondisi. Tapi sudah di drill (dilatih) dulu oleh bikor” (CL 5 hal. 98)

Program ini mengajarkan bagaimana penanganan kasus kegawatdaruratan pada pasien sebelum dirujuk dan memberikan pendampingan yaitu komunikasi yang efektif dengan tempat rujukan. Komunikasi dengan rumah sakit dilakukan dengan mengirimkan sms gate way yang telah memiliki format khusus yang disebut dengan SIJARIEMAS. Contoh penggunaan sms sebagai berikut:

Kasus kegawatdaruratan maternal

R# kode praktek# nama ibu #umur#nama suami#asuransi#golongan darah#alat transportasi# diagnosa#tindakan prarujukan

R # 1# Intan# 20# Andik# Jampersal/Jamkesmas# O# Ambulan# GI P0 Ab0 TD 180/110 PEB# MgSO4

Kasus kegawatdaruratan neonatal

RB# kode praktek#nama ibu#umur bayi#nama suami#asuransi#golongan darah#alat transportasi# diagnosa#tindakan prarujukan

RB# Intan# 20# Andik# Jampersal/Jamkesmas# O# Ambulan# Asphixia#

Resusitasi

Hasil wawancara dengan informan 2 menyebutkan bahwa sms sijariemas ini tidak digunakan untuk semua kasus rujukan karena sms ini dinilai kurang efektif dan efisien. Proses pengiriman informasi dengan SIJARIEMAS dijelaskan oleh informan 2 sebagai berikut:

“Jadi kirim sms dengan menggunakan format yang telah ditentukan oleh program, sms ini akan diterima oleh RS jejaring emas, kita kan jejaringnya dengan RS Bokor. Di UGD RS akan berbunyi sebagai tanda ada kasus, kemudian dari RS akan membalas sms tersebut bahwa pasien boleh dikirim. Jika di RS tidak siap

(8)

commit to user

misalkan tempat penuh atau dokter tidak ada mereka akan membalas untuk dirujuk saja ke RSUD. Sms yang kami kirim tadi akan diteruskan oleh RSBK ke RSUD, kemudian pihak RSUD akan konfirmasi ulang ke kami apakah benar kami yang ingin melakukan rujukan. Jika sudah selesai konfirmasi baru mereka sms lagi bahwa tempat telah siap dan pasien bisa dirujuk. Semua nomer bidan puskesmas sebelumnya didaftarkan ke sijari emas tadi” (CL 2 hal. 91-92 )

“....tetapi agak ribet. Kalau sudah ada kasus gawat kelamaan kalau harus ngetik sms jd langsung via telpon. Baru kalau kasus RDB kita menggunakan sms... kalau pada kasus APB, PEB, HPP yang gawat darurat seperti ini kita langsung lewat telpon tapi kalau yang rujukan dini berencana misal riwayat SC, KPD itu menggunakan sijari emas” (CL 2 hal. 92)

Hal senada juga diungkapkan oleh informan 3:

“pake telepon kalo untuk rujukan, karena lama kalo pake sms. Pasiennya sudah gawat kelamaan. Tapi pas pasien sudah dirujuk baru kita kirim sms dengan format, karena ketentuannya begitu. Sebenarnya memang harus kirim sms” (CL 5 hal. 98)

Hasil dari penelusuran dokumen menyebutkan bahwa rumah sakit rujukan yang menjadi mitra dari puskesmas Turen adalah RS Bokor Turen, RS Mitra Delima, RSI Gondanglegi dan RSUD Kepanjen.

Hasil wawancara dengan informan 1 menyebutkan bahwa selama ini rumah sakit yang sering digunakan untuk merujuk adalah RSUD Kepanjen. Untuk RS swasta pernah digunakan namun terkendala dengan pembiayaan pasien karena sebagian besar pasien menggunakan jampersal karena di RS swasta ada keterbatasan dalam melayani pembiayaan tersebut. Berikut cuplikan wawancaranya:

“kita RS nya kan tidak hanya RSUD saja, tapi ada RS Bokor, Mitra Delima, RSI Gondanglegi... ke Bokor pernah, Mitra Delima juga pernah tetapi yang lebih sering ke RSUD dan tergantung juga permintaan pasien.... dengan adanya jampersal dan kepercayaan pasien ke kami akhirnya mereka berbondong- bondong melahirkan ke puskesmas. Namun ini juga menimbulkan kendala pada

(9)

commit to user

perujukan ke Bokor/ mitra delima karena memang RS tersebut jatahnya untuk jampersal kan terbatas. Sehingga pada saat ada kasus kita akan bertanya dulu mana RS yang bisa untuk merujuk jampersal, ya paling sering akhirnya di RSUD karena memang disana banyak jatahnya” (CL 1 hal. 88-89 )

Hasil wawancara dengan informan 1 menyatakan bahwa program EMAS hanya memberikan pendampingan saja tanpa adanya pelatihan.

“emas tidak memberikan pelatihan, hanya kami pada saat itu diberi contoh kita dibawa ke RS Budi kemuliaan disana di berikan contoh bagaimana menangani pasien gawat darurat. Lalu emas tidak merubah apapun, emas hanya mentaati sebuah aturan yang sudah ada tadi. Aturan tersebut dari mana? Ya dari kemenkes yang sudah sesuai dengan standar tadi....Bagaimana mungkin sistem itu akan berjalan kalau mereka semua tidak pernah berlatih. Ada jadwal-jadwal tertentu yang telah dibuat untuk mereka berlatih penanganan kegawatdaruratan, ada atau tidak ada pasien harus tetap berlatih. Jadi semua tindakan kegawatdaruratan dalam program ini harus diperagakan” (CL 1 hal. 89-90)

Namun menurut informan 2 program EMAS memberikan pelatihan dan pendampingan oleh dokter spesialis kandungan yang telah ditunjuk oleh tim EMAS, namun kedatangannya tidak rutin. Demikian cuplikannya:

“...Emas mengirimkan Dokter SpOG biasanya tiap 3 bulan sekali, kemaren terakhir bulan februari datang kesini untuk refresh materi. Dan dokter juga akan menampung permasalahan-permasalahan yang mungkin dihadapi baik di puskesmas atau RS untuk nanti disampaikan ke emas sebagai bahan untuk perbaikan” (CL 2 hal. 93)

Bidan koordinator yang telah dilatih oleh EMAS bertindak sebagai mentor untuk melatih petugas yang lain. Latihan tersebut biasa dikerjakan minimal 4 bulan sekali dan sewaktu-waktu jika dirasa perlu atau pada saat ada kasus. Ada bukti dokumentasi dari kegiatan tersebut.

(10)

commit to user

“iya ada. Tapi kami juga menyesuaikan dengan kondisi teman-teman disini jika tidak sibuk dengan kegiatan kita refresh tindakan, biasanya 4 bulan sekali. Dan juga jika ada kasus kita pasti sharing bersama. Biasanya kita bentuk kelompok kecil 3 orang, jadi mereka nanti bergantian mempraktekkan ada yang sebagai tim merah, kuning, hijau. Jadi biar semua merasakan” (CL 2 hal. 93)

Hasil wawancara dengan informan 1 menyebutkan bahwa pada saat ini hubungan puskesmas dengan rumah sakit sudah baik dalam hal rujukan, yang dahulu sebelum ada program EMAS sering terjadi kesalahpahaman dalam tatacara merujuk yang tepat menurut rumah sakit tetapi setelah ada kesepakatan antara EMAS dan rumah sakit, proses perujukan dapat berjalan baik.

“kalau dulu ada komunikasi yang kurang baik setelah program ini berjalan tidak ada lagi kendala karena kita antara puskesmas dengan RS rujukan telah duduk bersama membicarakan hal-hal apa yang menyebabkan kendala dalam rujukan, sehingga jika kita memberikan informasi akan merujuk pasti disana telah disiapkan” (CL 1 hal. 88).

Hal senada juga diungkapkan oleh informan 2:

“kalau dulu kan masih saling menyalahkan sehingga takut merujuk tapi sekarang kita sudah satu suara. Kita sudah duduk bersama membahas, apa sih yang diinginkan RS tentang cara merujuk yang benar dan itu sudah ada hasil kesepakatnnya” (CL 2 hal. 92)

Namun masih ada kasus kasus tertentu yang terkadang tidak diterima oleh rumah sakit dan dikembalikan lagi ke puskesmas karena menurut rumah sakit pasien tersebut dapat ditangani di puskesmas, selain itu belum terdapatnya komunikasi yang baik antara bidan yang bertugas di UGD rumah sakit dengan yang bertugas di kamar bersalin karena tidak semua bidan yang bertugas dirumah sakit mendapat pelatihan program EMAS.

Demikian diungkapkan oleh informan 2:

“ mungkin memang ada komunikasi yang belum semua tersampaikan pada bidan di RS, antara mereka yang telah mengikuti program emas dengan yang belum.

(11)

commit to user

Karena setahu saya bidan RS yang selama ini ikut emas adalah yang ada di kaber.

Kalau yang di UGD belum, sepertinya masih ada missed komunikasi. Tetapi tidak semua bidan dan tidak semua kasus” (CL 3 hal. 96).

EMAS memfasilitasi pertemuan antara rumah sakit, dan puskesmas dalam membahas kesulitan yang selama ini dihadapi dalam proses perujukan. Standar operasional prosedur (SOP) yang telah mereka miliki (dari dinas kesehatan) lalu dibahas dan disamakan persepsinya sehingga saat ini SOP tersebut telah digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan.

Demikian diungkapkan oleh informan 1:

“emas tidak memberikan SOP, ya kita sendiri yang harus mencari SOP tersebut dari Dinkes, atau harus kita sesuaikan dengan RS rujukan. Dan SOP tersebut kita sepakati bersama antara puskesmas dengan RS rujukan” (CL 1 hal. 90)

Hal senada juga diungkapkan oleh informan 2:

“ada. Dan itu sudah saya sampaikan ke teman-teman semua jika ada kasus seperti ini nanti merujuknya seperti ini. SOP juga ada dan sudah dibukukan, itu hasil dari pertemuan kita. Algoritma juga ada sudah ditempel semua” (CL 2 hal. 93)

Dari hasil penelusuran dokumen didapatkan bahwa SOP telah dibukukan, SOP tersebut meliputi asuhan kebidanan pada ibu dan bayi meliputi kasus fisiologis, patologis dan rujukan.

Hasil wawancara dengan informan 2 menyebutkan bahwa penatalaksanaan kegawatdaruratan yang dibina EMAS meliputi pada ibu dengan kasus pre eklamsi berat (PEB), hemorraghia post partum (HPP), ante partum bleeding (APB) dan

(12)

commit to user

syok sedangkan pada bayi yaitu penatalaksanaan metode kanguru (PMK), resusitasi, inisiasi menyusu dini (IMD), diare, kejang dan infeksi.

Hasil observasi juga didapatkan bahwa algoritma telah terpasang dengan rapi di kamar bersalin dan UGD serta mudah untuk dibaca. Algoritma tersebut meliputi tatalaksana pemberian MgSO4 untuk pre-eklamsia dan eklamsia, membantu bayi bernafas, “ABCCCD” dari manajemen eklamsia, manajemen bayi baru lahir dengan asfiksia, penatalaksaan atonia uteri, estimasi blood loss, penatalaksanaan syok hipovolemik, penatalaksanaan retensio plasenta, langkah- langkah APN, langkah pemeriksaan bayi baru lahir, dan tatalaksana konseling.

Selain algoritma juga terpasang SOP maternal selama transportasi (rujukan) yang meliputi kasus HPP-syok, sepsis, PEB/eklamsia.

3. Hasil program EMAS

Hasil wawancara dengan informan 1 menyebutkan bahwa dengan program EMAS ini tidak membuat angka kematian nol di puskesmas Turen.

“ kalau anda bertanya tentang kematian, kematian tidak menurun. Tetapi kematian itu tidak terjadi di puskesmas” (CL 1 hal. 86)

Hal ini dikuatkan dengan hasil penelusuran dokumen didapatkan bahwa angka kematian ibu meningkat dari nol pada tahun 2012 menjadi 5 kematian pada tahun 2013 dengan 4 kasus karena pre eklamsi berat (PEB) dan 1 kasus karena kelainan darah.

Menurut informan 2 hal ini dipicu oleh banyaknya kasus PEB yang meningkat drastis di puskesmas pada saat itu, namun informan telah menekankan

(13)

commit to user

bahwa pasien ini tidak meninggal di puskesmas karena tidak dilakukannya tindakan, namun pasien ini meninggal di rumah sakit rujukan karena komplikasi pasca persalinan.

“sebelum adanya program EMAS AKI dan AKB tidak ada (nol), justru setelah program ini jalan malah ada kematian itupun yang 4 karena PEB, 1 karena kelainan darah dan memang pada saat itu kasus PEB meningkat... kematian itupun tidak terjadi di puskesmas tetapi di RS pada 8 hari post SC, 10 hari post SC.” (CL 2 hal. 90)

Hasil penelusuran dokumen didapatkan bahwa jumlah kasus rujukan mengalami peningkatan dikarenakan meningkatnya jumlah persalinan. Dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 4.1 Daftar Kasus Rujukan di Puskesmas Turen Tahun 2012 dan 2013

Tahun Persalinan dan rujukan

Tahun 2012 Kasus rujukan:

1. PEB

2. Retensio plasenta 3. Kala I lama 4. KPD 5. PER 6. APB 7. HPP 8. Post date 9. Letsu 10. CPD

11. Kehamilan resti

382 persalinan 70 kasus

30 5 2 10

3 2 8 2 3 3 2 Tahun 2013

Kasus rujukan:

1. PEB

2. Retensio plasenta 3. Kala I lama 4. KPD 5. PER 6. APB 7. HPP 8. Post date 9. Letsu 10. CPD

11. Kehamilan resti 12. Riwayat SC

453 persalinan 166 kasus

70 16 4 28

5 4 14

7 5 3 8 2

Sumber: buku register persalinan tahun 2012 dan 2013

(14)

commit to user

Dari tabel 4.1 dapat dilihat bahwa jumlah persalinan mengalami peningkatan sebesar 15% pada tahun 2013.

Menurut informan 1 meningkatnya pasien ini dikarenakan pasien merasa nyaman melahirkan di puskesmas sehingga menyebabkan jumlah pasien juga mengalami peningkatan.

“dengan kesiapan para petugas ini membuat pasien merasa nyaman melahirkan di puskesmas. Program ini tidak hanya sekedar memberikan pelayanan tindakan saja tetapi bagaimana cara berkomunikasi yang baik dan efektif kepada pasien.

Sehingga dengan adanya hal itu pasien merasa senang dan membuat jumlah pasien juga meningkat” (CL 1 hal. 86)

Hasil wawancara dengan informan 2 menyebutkan bahwa dengan dilaksanakannya program EMAS ini pengetahuan dan ketrampilan mereka bertambah, sehingga lebih percaya diri dan mantap dalam memberikan asuhan pada pasien dengan kegawatdaruratan.

“kami menjadi lebih percaya diri dan mantap dalam memberikan tindakan, lebih terampil. dulu sebelum program ini jika ada pasien dengan PEB hanya kita pasang infus lalu dirujuk tetapi sekarang tidak seperti itu. Kami melakukan stabilisasi dahulu dengan memberikan MgSO4 baru dilakukan rujukan. Kami sudah percaya diri memberikan MgSO4. dulu kita masih khawatir, takut ada keracunan dsb tetapi sekarang sudah tidak” (CL 2 hal. 93)

Hal senada juga diungkapkan oleh informan 3:

“kami senang, lebih terampil, lebih percaya diri lagi dalam memberikan penanganan pada kasus emergensi. Kalau dulu kan tidak berani alhamdulillah sekarang sudah percaya diri” (CL 5 hal. 98)

(15)

commit to user

Hasil wawancara dengan informan 1 menyebutkan bahwa puskesmas pernah dijadikan tempat studi banding dari puskesmas diluar kabupaten Malang, namun sayangnya tidak ada bukti dokumentasi pelaksanaan kegiatan.

“karena dengan adanya pasien meningkat, rasa percaya diri meningkat akhirnya ada pada saat itu dari pasuruan datang untuk melihat bagaimana sih pelayanan yang ada di puskesmas Turen” (CL 1 hal. 86).

Hal senada juga diungkapkan oleh informan 2:

“Ada dari pasuruan. Ingin melihat apa sih yang dikerjakan dalam program emas ini” (CL 2 hal. 94)

Hasil wawancara yang dilaksanakan terhadap informan 2 menyatakan bahwa bidan koordinator telah ditunjuk oleh tim EMAS sebagai mentor dalam pelatihan untuk puskesmas daerah lain yang digagas oleh EMAS, namun sayang tidak ada bukti SK ditunjuknya bidan oleh tim EMAS dan tidak ada dokumentasi hasil kegiatan tersebut.

“di puskesmas blitar. Saya mendapat perintah langsung dari emas, jadi emas yang mengijinkan saya ke dinkes untuk ijin tidak masuk kerja. Tidak ada surat hanya via telpon saja langsung dari dinkes” (CL 3 hal. 96)

Wawancara dengan informan 4 menyatakan pasien merasa puas dengan tindakan yang telah diberikan oleh petugas karena cepat dalam penanganan, jumlah petugas banyak, tanggap, ramah dan selalu memberikan informasi dengan jelas. Pemberian informasi diberikan mulai masa kehamilan dalam bentuk penyuluhan maupun konseling mengenai tanda bahaya kehamilan, tanda-tanda

(16)

commit to user

persalinan, tatalaksana jika ada tanda bahaya tersebut sampai dengan pemberian informasi mengenai proses rujukan.

“Saya senang sekali. Petugasnya ramah, banyak, kita datang ga pake nunggu langsung dipriksa ditangani. Cara memberikan informasinya juga baik...Banyak yang disampaikan, ya tentang kehamilan, trus persalinan. Juga dikasi tau kalau ada apa-apa langsung saja datang kepuskesmas. Pernah dikasi penyuluhan tentang tanda bahaya kehamilan, trus pas habis dipriksa pernah dikasi tau tentang tanda- tanda persalinan. Waktu mau dirujuk itu juga dijelaskan dulu ke saya, ke suami saya”(CL 4 hal. 98)

Hasil wawancara dengan responden 2 menyebutkan bahwa penilaian kepuasan pasien telah dilakukan oleh puskesmas dengan memberikan kuesioner pada ibu bersalin, kuesioner tersebut dibuat secara bersama-sama oleh tim bidan.

“ ada ceklisnya yang kita berikan ke pasien...ya kita yang buat. Pernah juga ada pasien yang mengatakan kepada saya, saya senang sekali melahirkan disini.

Penanganannya cepat, petugasnya banyak” (CL 3 hal. 97)

Hasil penelusuran dokumen didapatkan bahwa hal yang dinilai dalam kuesioner tersebut adalah penilaian terhadap sikap petugas dalam memberikan pelayanan, komunikasi petugas dengan pasien, kenyamanan dan kebersihan sarana prasarana serta penyajian menu makanan..

Meskipun peneliti menilai bahwa kuesiner tersebut kurang memberikan gambaran yang obyektif terhadap pelayanan di puskesmas karena jumlah pertanyaan yang relatif sedikit dan kurang terperinci, namun dengan adanya kuesioner tersebut sudah menunjukkan bahwa upaya untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja puskesmas.

(17)

commit to user

Hasil dari wawancara dengan informan 1 menyebutkan bahwa emas selama ini tidak memberikan bantuan dana maupun alat, emas hanya memberikan pendampingan dan sistem

“Perlu saya sampaikan bahwa program emas ini hanya memberikan kita pendampingan, jadi tidak ada pendanaan, tidak ada pelatihan, tidak ada penambahan alat (hanya yang kecil-kecil itu saja). Emas hanya memberikan pelajaran suatu sistem” (CL 1 hal. 89).

Namun menurut informan 2 puskesmas mendapatkan bantuan alat berupa trolley emergensi yang berisi stilet, laringoskop, oksigen, mamanataly, neonataly dimana sebagian dari alat ini memang belum dimiliki oleh puskesmas karena sulit dicari dan harganya cukup mahal. Selain itu mendapatkan bantuan berupa korden, kipas angin, tempat tissue, tempat antis untuk dipasang di kamar bersalin. Alat- alat yang didapatlkan ini dinilai sangat memberikan manfaat.

“troli emergency. Isinya stilet, laringoskop, oksigen, mamanataly, neonataly.

Kita dikasi semua, sekarang sudah lengkap. Dulu memang kita coba beli tidak ada, tapi sekarang sudah dipenuhi emas dan memang itu kan mahal. Korden, kipas angin, tempat tisu, tempat antis yang ada di kaber itu juga kita dikasi. Tapi untuk di ruangan lain kita lengkapi sendiri” (CL 3 hal. 97).

4. Kendala program EMAS

Hasil wawancara dengan informan 1 menyebutkan bahwa tidak ada kendala berarti selama pelaksanaan program ini, dari segi sarana prasarana telah memenuhi dan sudah adanya kesepakatan antara puskesmas dengan rumah sakit rujukan tentang tata cara melakukan rujukan yang benar sehingga sudah tidak ada kesalahpahaman yang terjadi dan ini menjadikan akses merujuk lebih mudah.

“tidak ada kendala besar, sekali lagi bahwa puskesmas turen ini puskesmas besar sehingga bisa mendanai kalau untuk beli alat yang kurang, tapi tentunya bukan alat-alat yang besar. Saya kira tidak ada....“karena baik sopir, ambulannya ataupun tenaga yang lain sudah bisa melaksanakan dengan baik” (CL 1 hal. 87-88)

(18)

commit to user

“kalau dulu ada komunikasi yang kurang baik setelah program ini berjalan tidak ada lagi kendala karena kita antara puskesmas dengan RS rujukan telah duduk bersama membicarakan hal-hal apa yang menyebabkan kendala dalam rujukan, sehingga jika kita memberikan informasi akan merujuk pasti disana telah disiapkan” (CL 1 hal. 88)

Hal senada juga diungkapkan oleh informan 2:

“puskesmas dengan RS itu sekarang sudah satu kata sepakat” (CL 2 hal. 92) Namun menurut analisis yang dilakukan oleh peneliti ada beberapa kendala yang masih terjadi selama pelaksanaan program emas ini diantaranya penggunaan sms gateway yang disebut sijariemas dinilai kurang efektif digunakan dalam melakukan rujukan, para bidan lebih sering menggunakan telepon untuk merujuk karena dinilai lebih cepat dan mudah, sms ini digunakan pada kasus rujukan dini berencana (RDB). Demikian diungkapkan oleh informan 2:

“tetapi agak ribet. Kalau sudah ada kasus gawat kelamaan kalau harus ngetik sms jd langsung via telpon. Baru kalau kasus RDB kita menggunakan sms... kalau pada kasus APB, PEB, HPP yang gawat darurat seperti ini kita langsung lewat telpon tapi kalau yang rujukan dini berencana misal riwayat SC, KPD itu menggunakan sijari emas” (CL 2 hal. 92).

Hal senada juga diungkapkan oleh informan 3:

“pake telepon kalo untuk rujukan, karena lama kalo pake sms. Pasiennya sudah gawat kelamaan. Tapi pas pasien sudah dirujuk baru kita kirim sms dengan format, karena ketentuannya begitu. Sebenarnya memang harus kirim sms” (CL 5 hal. 98)

Pelaksanaan rujukan ke rumah sakit umum dinilai masih ada kendala karena belum adanya sosialisasi secara menyeluruh antara bidan yang dinas di UGD dan di kamar bersalin, beberapa bidan belum mendapatkan pelatihan dari program EMAS. Sehingga masih adanya kesalahpahaman dalam pelaksanaan rujukan. Demikian diungkapkan oleh informan 2:

(19)

commit to user

“ya ada kasus tertentu saja, yang katanya RS masih bisa lahir di puskesmas akhirnya dikembalikan. Pernah juga kata dokternya tentang kasus KPD pada waktu itu, sudah suruh merujuk tetapi setelah kita telpon ke RS disuruh besok saja ke poli (CL 3 hal. 96).

“mungkin memang ada komunikasi yang belum semua tersampaikan pada bidan di RS, antara mereka yang telah mengikuti program emas dengan yang belum.

Karena setahu saya bidan RS yang selama ini ikut emas adalah yang ada di kaber.

Kalau yang di UGD belum, sepertinya masih ada miss komunikasi. Tetapi tidak semua bidan dan tidak semua kasus” (CL 3 hal. 96).

Perihal pembiayaan yang dipakai oleh pasien masih menjadi kendala dalam pelaksanaan rujukan, karena selama ini pasien lebih banyak menggunakan jampersal sehingga puskesmas hanya bisa melakukan rujukan ke rumah sakit pemerintah. Demikian diungkapkan oleh informan 1:

“kita RS nya kan tidak hanya RSUD saja, tapi ada RS Bokor, Mitra Delima, RSI Gondanglegi... ke Bokor pernah, Mitra Delima juga pernah tetapi yang lebih sering ke RSUD dan tergantung juga permintaan pasien.... dengan adanya jampersal dan kepercayaan pasien ke kami akhirnya mereka berbondong- bondong melahirkan ke puskesmas. Namun ini juga menimbulkan kendala pada perujukan ke Bokor/Mitra Delima karena memang RS tersebut jatahnya untuk jampersal kan terbatas. Sehingga pada saat ada kasus kita akan bertanya dulu mana RS yang bisa untuk merujuk jampersal, ya paling sering akhirnya di RSUD karena memang disana banyak jatahnya” (CL 1 hal. 88-89).

Meskipun komunikasi dengan tempat rujukan telah terjalin dengan baik, namun ketidakberadaan dokter spesialis kandungan dan tidak adanya dokter jaga di puskesmas menjadi kendala dalam melakukan konsultasi pada saat ada kasus kegawatdaruratan. Demikian diungkapkan informan 2:

“Juga kendala untuk konsultasi dengan dokter, karena kan di puskesmas tidak ada dokternya (spesialis) dan dokter jaga pun tidak ada” (CL 2 hal. 92-93).

Hal senada juga diungkapkan informan 3:

“tidak ada dokter spesialis, jadi konsulnya ya ke dokter umum. Via telpon kalau pas sore/malam hari” (CL 5 hal. 98)

(20)

commit to user

C. Pokok-pokok Temuan Penelitian

1. Latar Belakang pelaksanaan Program EMAS

a. Program EMAS dibentuk dalam rangka mengurangi angka kematian ibu dan bayi.

b. Puskesmas Turen terpilih karena memiliki kemampuan dari segi sumber daya tenaga kesehatan, fasilitas puskesmas yang memadai, dan jumlah pasien yang banyak. Meskipun bukan puskesmas PONED, namun puskesmas Turen merupakan puskesmas dengan rawat inap standar serta memiliki dokter dan petugas PONED.

2. Pelaksanaan program EMAS

a. Program EMAS bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal di fasilitas kesehatan dan meningkatkan sistem rujukan yang efektif, efisien, berkualitas dan aman pada kasus kegawatdaruratan maternal dan neonatal.

b. Pelaksanaan program EMAS dilakukan secara tim yang disebut dengan tim emergensi terdiri dari tim merah, kuning dan hijau.

c. Penatalaksanaan kasus kegawatdaruratan pada pasien dengan melakukan stabilisasi kondisi pasien sebelum dirujuk, pemberian informasi kepada tempat rujukan dilakukan dengan mengirimkan sms gateway yang disebut dengan sijariemas.

d. Rumah sakit rujukan yang menjadi mitra dari puskesmas Turen adalah RS Bokor Turen, RS Mitra Delima, RSI Gondanglegi dan RSUD Kepanjen.

(21)

commit to user

e. Pendampingan diberikan oleh tim EMAS dengan mengirimkan dokter spesialis kandungan, meskipun tidak dilakukan secara intensif.

f. Pelatihan internal dilakukan oleh tim emergensi secara berkala untuk menjaga dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para bidan.

g. Sudah adanya kesepakatan antara puskesmas dengan rumah sakit tentang tatacara perujukan yang tepat sehingga proses rujukan dapat berjalan lancar meskipun ada sedikit kendala tidak diterimanya rujukan dengan kasus-kasus tertentu.

h. Pelaksanaan tindakan dan proses perujukan telah mengacu pada standar operasional prosedur (SOP) yang telah disepakati bersama-sama antara puskesmas dengan rumah sakit.

3. Hasil yang dicapai dalam program EMAS

a. Angka kematian ibu meningkat dari nol pada tahun 2012 menjadi 5 kasus pada tahun 2013.

b. Jumlah persalinan meningkat yang diikuti dengan peningkatan kasus kegawatdaruratan (rujukan). Peningkatan jumlah persalinan di puskesmas tidak terlepas dari kepuasan pasien terhadap kinerja puskesmas.

c. Puskesmas Turen pernah dijadikan sebagai tempat studi banding dari puskesmas daerah lain diluar kabupaten Malang.

d. Bidan koordinator bertindak sebagai mentor dalam kegiatan pelatihan di daerah lain yang digagas oleh EMAS.

4. Kendala yang dihadapi dalam program EMAS

a. Sms gateway sijariemas dinilai kurang efektif dan efisien untuk pengiriman informasi rujukan.

(22)

commit to user

b. Pengiriman rujukan lebih sering dilakukan ke rumah sakit pemerintah (RSUD) dikarenakan terkendala dengan pembiayaan jampersal yang kuotanya sedikit di rumah sakit swasta.

c. Belum adanya sosialisasi yang menyeluruh tentang program EMAS di rumah sakit rujukan acapkali menyebabkan terjadinya missed komunikasi dalam hal menerima rujukan antar petugas yang satu dengan yang lainnya.

d. Belum adanya dokter spesialis kandungan sebagai konsultan di puskesmas dan belum adanya dokter jaga setiap saat kadangkali menyebabkan kesulitan dalam hal konsultasi.

D. Pembahasan

1. Latar belakang program EMAS

Program EMAS dibentuk dalam rangka mengurangi angka kematian ibu dan bayi. Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) masih tinggi di Indonesia, menurut survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 yaitu sebesar 228/100.000 kelahiran hidup dan 34/1000 kelahiran hidup. Hal ini masih jauh dari target Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015 yaitu 102/100.000 kelahiran hidup untuk AKI dan 23/1000 kelahiran hidup untuk AKB.

Kematian ibu dan bayi disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain penyebab langsung yang meliputi komplikasi persalinan yang terdiri dari perdarahan, pre/eklamsia, infeksi, dan jantung. Penyebab tidak langsung yang berhubungan dengan pendidikan dan budaya, faktor tiga terlambat yaitu terlambat mengenal tanda bahaya dan mengambil keputusan, terlambat mencapai fasilitas

(23)

commit to user

kesehatan, dan terlambat mendapat pertolongan difasilitas kesehatan serta faktor 4 yaitu terlalu muda punya anak, terlalu banyak melahirkan, terlalu rapat jarak melahirkan dan terlalu tua.

Dalam Zulhadi, Trisnantoro dan Zaenab (2012) dijelaskan bahwa berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menurunkan angka kematian ibu dan kematian bayi, antara lain melalui penempatan bidan di desa, pemberdayaan keluarga dan masyarakat dengan menggunakan buku Kesehatan Ibu dan Anak (buku KIA) dan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K), serta penyediaan fasilitas kesehatan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) di puskesmas dan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) di rumah sakit. Namun hal ini masih tidak dapat menurunkan secara signifikan AKI dan AKB di Indonesia.

Berdasar pada hal itulah States Agency for International Development (USAID) memberikan dana hibah dan asistensi teknis untuk bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan RI dalam mengembangkan model untuk mempercepat penurunan AKI dan AKB melalui program EMAS. EMAS (Expanding Maternal and Neonatal Survival) adalah program kerjasama RI dan USAID selama lima

tahun (2012-2016) dalam rangka mengurangi AKI dan AKB dengan mendukung pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten dalam berjejaring dengan Organisasi Masyarakat Sipil, fasilitas kesehatan publik dan swasta, asosiasi rumah sakit, organisasi profesi, dan sektor swasta.

Hal ini sejalan dengan Zulhadi, Trisnantoro dan Zaenab (2012), bahwa memperkuat sistem rujukan merupakan salah satu cara dalam mempercepat penurunan angka kematian ibu. Dengan memperkuat sistem rujukan adanya

(24)

commit to user

problem dan tantangan puskesmas dalam mendukung sistem rujukan maternal ke Rumah Sakit Umum Daerah dapat diatasi.

Jawa Timur terpilih menjadi pelaksana program EMAS karena memiliki kotribusi terhadap 50% kematian ibu dan bayi. Pertama kali di implementasikan di dua kabupaten salah satunya adalah kabupaten Malang karena kabupaten Malang dapat menunjukkan komitmen dan usaha yang konsisten dalam menurunkan AKI dan AKB.

Puskesmas Turen terpilih karena memiliki kemampuan dari segi sumber daya tenaga kesehatan, fasilitas puskesmas yang memadai, dan jumlah pasien yang banyak. Meskipun bukan puskesmas PONED, namun puskesmas Turen merupakan puskesmas dengan rawat inap standar serta memiliki dokter dan petugas PONED.

Puskesmas PONED merupakan puskesmas rawat inap dengan kemampuan serta fasilitas PONED siap 24 jam melayani ibu hamil, bersalin dan nifas dan bayi baru lahir dengan komplikasi baik yang datang sendiri atau atas rujukan kader, masyarakat, bidan, Puskesmas non PONED dan melakukan rujukan ke RS Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) (Wijaya, 2012).

Meskipun puskesmas Turen belum merupakan puskesmas PONED, namun puskesmas Turen merupakan puskesmas rawat inap standar yang memiliki fasilitas kesehatan yang memadai dan tenaga kesehatan yang kompeten serta mampu melakukan penanganan komplikasi kehamilan dan persalinan.

(25)

commit to user 2. Pelaksanaan program EMAS

Program EMAS bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal di fasilitas kesehatan dan meningkatkan sistem rujukan yang efektif, efisien, berkualitas dan aman pada kasus kegawatdaruratan maternal dan neonatal.

Peningkatan pelayanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal penting sekali dilakukan guna mengurangi angka kesakitan dan kematian ibu dan bayi.

Faktor keterlambatan yang menjadi penyebab tidak langsung kematian ibu dan bayi salah satunya adalah terlambat mendapatkan pertolongan difasilitas kesehatan. Keterlambatan mendapatkan pertolongan di fasilitas kesehatan dapat disebabkan oleh adanya komunikasi yang kurang baik dan proses perujukan yang kurang efektif. Sistem perujukan yang baik perlu dilakukan agar proses rujukan dan penanganan pasien dapat berlangsung cepat.

Sistem rujukan adalah suatu sistem jaringan fasilitas pelayanan kesehatan yang memungkinkan terjadinya penyerahan tanggung jawab secara timbal-balik atas masalah yang timbul baik secara vertikal (komunikasi antara unit yang sederajat) maupun horizontal (komunikasi inti yang lebih tinggi ke unit yang lebih rendah) ke fasilitas pelayanan yang lebih kompeten, terjangkau, rasional dan tidak dibatasi oleh wilayah administrasi (Syafrudin, 2009).

Penatalaksanaan kasus kegawatdaruratan pada pasien dengan melakukan stabilisasi kondisi pasien sebelum dirujuk yaitu pemasangan infus dan pemberian obat-obatan sesuai dengan kasus kemudian pemberian informasi kepada tempat

(26)

commit to user

rujukan dilakukan dengan mengirimkan sms gateway yang disebut dengan sijariemas.

Carwoto dan Wijayanto (2013) menjelaskan, awalnya pesan singkat (SMS) rujukan gawatdarurat yang dikirim oleh tenaga kesehatan perujuk ke nomor terminal gateway melalui SMS Center terlebih dahulu. Pesan singkat tersebut kemudian diterima oleh interface berupa modem yang telah terhubung ke server SIJARIEMAS melalui kabel data. Pesan yang dikirimkan oleh tenaga kesehatan perujuk tersebut di terima oleh mesin SMS Gateway. Selanjutnya pesan tersebut diteruskan dan di simpan ke dalam database SIJARIEMAS. Melalui antarmuka berbasis web, petugas IGD Rumah Sakit kemudian menjawab permintaan rujukan.

Berdasarkan jawaban petugas IGD Rumah Sakit atas permintaan rujukan tersebut, maka aplikasi server SIJARIEMAS akan membalasnya sesuai dengan format yang telah ditentukan dan mengirimkannya kembali ke mesin SMS Gateway. Pesan balasan dari mesin SMS Gateway kemudian di ambil oleh GSM interface melalui kabel data. Setelah itu pesan diteruskan ke telepon genggam tenaga kerja perujuk, sehingga perujuk mendapatkan informasi sesuai isi informasi yang telah dikirimkan dari server SIJARIEMAS.

Rumah sakit rujukan yang menjadi mitra dari puskesmas Turen adalah RS Bokor Turen, RS Mitra Delima, RSI Gondanglegi dan RSUD Kepanjen.

Pelaksanaan sistem rujukan di Indonesia telah diatur dengan bentuk bertingkat atau berjenjang, yaitu pelayanan kesehatan tingkat pertama, kedua dan ketiga, di mana dalam pelaksanaannya tidak berdiri sendiri-sendiri namun berada di suatu sistem dan saling berhubungan. Apabila pelayanan kesehatan primer tidak dapat

(27)

commit to user

melakukan tindakan medis tingkat primer maka ia menyerahkan tanggung jawab tersebut ke tingkat pelayanan di atasnya, demikian seterusnya.

Hasil penelitian oleh Carwoto dan Wijayanto (2013) setelah mengalami proses pengujian teknis dan diujicobakan secara langsung pada jejaring rujukan kegawatdaruratan di dua kabupaten di Jawa Tengah, sistem ini terbukti dapat mencegah terjadinya penolakan permintaan rujukan oleh semua rumah sakit, meningkatkan kesiapan pihak rumah sakit untuk menerima rujukan, serta mengurangi keterlambatan penanganan rujukan dalam jejaring pelayanan rujukan kegawatdaruratan maternal dan neonatal. Sistem informasi yang diimplementasikan juga dapat menjadi basis data yang bermanfaat bagi kepentingan pengambilan keputusan di rumah sakit maupun dinas kesehatan.

Dengan antarmuka berbasis web yang mudah dioperasikan dan mekanisme komunikasi menggunakan SMS yang sudah umum digunakan oleh tenaga kesehatan, sistem informasi ini memudahkan komunikasi antartenaga dan fasilitas kesehatan dalam menangani permintaan rujukan gawatdarurat.

Pelaksanaan program EMAS dilakukan secara tim yang disebut dengan tim emergensi terdiri dari tim merah, kuning dan hijau. Dalam hal ini setiap tim memiliki tugas masing-masing yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain.

Kerjasama yang baik akan memiliki dampak yang baik terhadap penanganan yang tepat dan cepat pada pasien, sehingga diharapkan tidak ada pasien yang mengalami keterlambatan mendapatkan penanganan.

Pendampingan diberikan oleh tim EMAS dengan mengirimkan dokter spesialis kandungan, meskipun tidak dilakukan secara intensif. Pendampingan ini

(28)

commit to user

dilakukan hanya sebatas mereview kembali tentang kasus kegawatdaruratan dan penatalaksanaannya serta arahan bagaimana mengenali tanda kasus kegawatdaruratan. Pelatihan internal juga dilakukan oleh tim emergensi secara berkala untuk menjaga dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para bidan.

Saat ini proses perujukan sudah dapat berjalan dengan baik, sudah adanya kesepakatan antara puskesmas dengan rumah sakit tentang tatacara perujukan yang tepat sehingga proses rujukan dapat berjalan lancar meskipun ada sedikit kendala tidak diterimanya rujukan dengan kasus-kasus tertentu. Pelaksanaan tindakan dan proses perujukan telah mengacu pada standar operasional prosedur (SOP) yang telah disepakati bersama-sama antara puskesmas dengan rumah sakit.

Diharapkan dengan adanya SOP yang telah disepakati secara bersama-sama ini dapat digunakan sebagai acuan yang mendasar bagi tenaga kesehatan dalam memberikan asuhan kegawatdaruratan dan pelaksanaan rujukan, sehingga tidak ada lagi pasien yang terlambat mendapatkan pertolongan yang akan berdampak pada kesakitan dan kematian.

Penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2013) bahwa proses pelaksanaan dalam rujukan didasarkan pada SOP dan Baksoku sehingga proses pelaksanaan rujukan berjalan aman tanpa mengakibatkan risiko kematian maternal maupun neonatal.

Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zulhadi, Trisnantoro dan Zaenab (2012) bahwa faktor utama yang mempengaruhi sistem rujukan seperti fasilitas, tenaga, SOP, kerjasama tim, transportasi, komunikasi,

(29)

commit to user

dan pendanaan perlu mendapatkan perhatian serius dari semua stakeholders yang terlibat dalam program kesehatan ibu.

Kesiapan untuk merujuk ibu dan bayinya ke fasilitas kesehatan rujukan secara optimal dan tepat waktu menjadi syarat bagi keberhasilan upaya penyelamatan. Setiap penolong persalinan harus mengetahui lokasi fasilitas rujukan yang mampu untuk penatalaksanaan kasus gawatdarurat obstetri dan bayi baru lahir dan informasi tentang pelayanan yang tersedia di tempat rujukan, ketersediaan pelayanan purna waktu, biaya pelayanan dan waktu serta jarak tempuh ke tempat rujukan. Persiapan dan informasi dalam rencana rujukan meliputi siapa yang menemani ibu dan bayi baru lahir, tempat rujukan yang sesuai, sarana tranfortasi yang harus tersedia, orang yang di tunjuk menjadi donor darah dan uang untuk asuhan medik, tranportasi, obat dan bahan (Dinkes, 2009).

3. Hasil Program EMAS

Hasil dari obervasi dokumen menunjukkan bahwa kematian ibu pada tahun 2013 sebanyak 5 kasus dengan rincian 4 kasus karena PEB dan 1 kasus karena kelainan darah. Hal ini justru mengalami peningkatan, yang pada tahun sebelumnya angka kematian nol. Terjadinya peningkatan kematian ibu dikarenakan terjadinya peningkatan kasus PEB selama tahun 2013, dan kematian ini tidak terjadi pada saat pasien berada di puskesmas karena telat mendapat pertolongan melainkan pada saat pasien telah berada di tempat rujukan dan telah selesai persalinan.

Banyak faktor yang mempengaruhi kematian ibu, dari tabel 4.1 bisa dilihat bahwa pada tahun 2012 kasus rujukan 42,85% disebabkan karena PEB sedangkan

(30)

commit to user

tahun 2013 42,16% kasus rujukan juga disebabkan oleh PEB. Data LKI Jawa Timur tahun 2011 menyebutkan bahwa pre eklamsi/eklamsi menjadi faktor terbesar kedua (27,27 %) penyebab kematian ibu. Selain itu faktor tiga terlambat (3T) yaitu terlambat mengenal tanda bahaya dan mengambil keputusan, terlambat mencapai fasilitas kesehatan, dan terlambat mendapatkan pertolongan difasilitas kesehatan juga merupakan faktor tidak langsung yang dapat mempengaruhi.

Menurut peneliti hal ini kemungkinan besar bahwa pasien terlambat mengenali tanda bahaya kehamilan sehingga pada saat tiba di puskesmas sudah dalam kondisi pre eklamsi berat, selain itu pre eklamsi merupakan sebuah penyakit yang cukup sulit untuk diprediksi. Meskipun selama kehamilan tidak mengalami pre eklamsi, bisa saja menjelang persalinan muncul pre eklampsi atau kemungkinan telah mengalami pre eklampsi ringan dan menjelang persalinan menjadi pre eklampsi berat.

Hasil Survei Dasar Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukan bahwa AKI 359 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini lebih besar dibanding pencapaian tahun 2007 yaitu sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup.

Meningkatnya AKI dan rendahnya penurunan AKB dan AKABA menunjukan ada kesalahan dalam arah, strategi dan program yang dirancang pemerintah dalam bidang kesehatan terutama kesehatan ibu dan anak. AKI, AKA dan AKABA dalam sistem kesehatan masyarakat merupakan indikator penting yang menilai seberapa efektif suatu program kesehatan masyarakat dilaksanakan (Saputra, 2013).

Meskipun terjadi peningkatan kematian karena terjadi peningkatan kasus, namun dengan adanya program EMAS ini memberikan banyak manfaat bagi

(31)

commit to user

tenaga kesehatan yang bekerja di puskesmas yaitu meningkatnya pengetahuan dan ketrampilan dalam penatalaksanaan kegawatdaruratan maternal dan neonatal.

Hal ini sesuai dengan teknis kegiatan program EMAS yang salah satunya adalah upaya penguatan kualitas pelayanan klinik kebidanan dan bayi baru lahir.

Dari hasil observasi didapatkan bahwa jumlah kunjungan pasien bersalin mengalami kenaikan 15,67% dari 382 persalinan pada tahun 2012 menjadi 453 persalinan pada tahun 2013. Hal ini tentunya tidak terlepas dari kepuasan pasien dalam mendapatkan asuhan yang bermutu, karena jika pasien puas dengan layanan yang diberikan otomatis mereka akan kembali lagi datang ke puskesmas dan kemungkinan besar juga akan menyampaikan kepada masyarakat luas bahwa ternyata pelayanan di puskesmas memuaskan.

Menurut Pohan (2006) kepuasan pasien adalah suatu tingkat perasaan pasien yang timbul sebagai akibat dari kinerja layanan kesehatan yang diperolehnya setelah pasien membandingkannya dengan apa yang diharapkannya.

Aspek-aspek yang mempengaruhi kepuasan pasien diantaranya kesembuhan, ketersediaan obat puskesmas, privasi selama di kamar periksa, kebersihan puskesmas, informasi yang menyeluruh, jawaban yang dimengerti atas pertanyaan pasien, memberikan kesempatan bertanya, penggunaan bahasa daerah, kesinambungan petugas kesehatan, dan ketersediaan toilet.

Untuk menilai kepuasan pasien telah dilakukan dengan cara memberikan kuesioner kepada pasien rawat inap khususnya pasien bersalin, meskipun peneliti menganggap kuesioner tersebut belum terlihat obyektif karena jumlah pertanyaan yang terlalu sedikit dan kurang memberikan gambaran terhadap kualitas

(32)

commit to user

pelayanan petugas karena masih bersifat umum, namun hal tersebut telah mampu menggambarkan persaan pasien terhadap kualitas pelayanan di puskesmas Turen.

Sejalan dengan penelitian Supardil, Handayani dan Notosiswoyo (2008) bahwa kepuasan pasien rawat inap dan rawat jalan di puskesmas dinilai dalam hal waktu menunggu, keramahan petugas, kejelasan informasi, keikutsertaan mengambil keputusan berobat, kepercayaan terhadap petugas, kebebasan memilih tempat berobat dan kebersihan ruangan pengobatan.

Selain hal yang telah disebutkan diatas, dengan adanya program EMAS ini puskesmas dijadikan sebagai tempat studi banding daerah lain yang ingin mengetahui lebih banyak bagaimana pelaksanaan program EMAS. Bidan koordinator juga telah ditunjuk oleh tim EMAS untuk memberikan pelatihan di puskesmas lain.

Sesuai dengan intervensi yang ditetapkan EMAS bahwa akan membangun jaringan “Vanguard” dimana Dinas Kesehatan Kabupaten, Rumah Sakit Daerah, RS Swasta dan Puskesmas yang sudah cukup kuat didorong agar berjejaring dan membimbing kebupaten lain untuk membangun jaringan masing-masing (EMAS, 2012). Hal ini berarti puskesmas dan bidan dirasa telah mampu melaksanakan program EMAS ini dengan baik sehingga mereka mendapatkan kesempatan dan kepercayaan untuk ikut membimbing puskesmas lain.

4. Kendala yang dihadapi dalam program EMAS

Penggunaan SMS sijariemas ini untuk sistem rujukan dinilai kurang efektif oleh pelaksana rujukan di puskesmas Turen karena dengan adanya format penulisan sms yang begitu panjang sehingga mempersulit dan membuang waktu,

(33)

commit to user

apalagi jika harus menunggu balasan rujukan padahal kondisi pasien sudah gawat darurat, sehingga penggunaan telepon masih lebih efektif.

Padahal menurut Saputra dan Feni (2012), layanan SMS diminati masyarakat karena beberapa keunggulan, diantaranya biaya relatif murah, pengiriman terjamin sampai ke nomor tujuan dengan catatan nomor dalam keadaan aktif, waktu pengiriman cepat, waktu pengiriman fleksibel (kapan saja di mana saja), serta mudah digunakan.

Namun demikian sms sijariemas ini tetap digunakan pada kasus rujukan dini berencana (RDB), dan kasus gawat darurat tetapi pengirimannya dilakukan pada saat pasien sudah dalam proses perujukan. Pengiriman informasi dengan sijariemas ini merupakan sebuah keharusan yang dilaksanakan setiap kali merujuk pasien. Hal ini dilaksanakan sesuai dengan pendekatan yang dilakukan oleh program EMAS yaitu pemanfaatan teknologi informasi mutakhir (SMS, hotline, media sosial) untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam pelayanan kegawatdaruratan kesehatan ibu dan bayi baru lahir.

Menurut Carwoto dan Wijayanto (2013) bahwa sistem informasi yang diimplementasikan ini dapat menjadi basis data yang bermanfaat bagi kepentingan pengambilan keputusan di rumah sakit maupun dinas kesehatan. Dengan antarmuka berbasis web yang mudah dioperasikan dan mekanisme komunikasi menggunakan SMS yang sudah umum digunakan oleh tenaga kesehatan, sistem informasi ini memudahkan komunikasi antartenaga dan fasilitas kesehatan dalam menangani permintaan rujukan gawatdarurat.

Meskipun jejaring rujukan puskesmas Turen dengan beberapa RS pemerintah dan swasta, namun untuk melakukan lebih sering menggunakan

(34)

commit to user

puskesmas pemerintah dikarenakan adanya kendala dengan pembiayaan pasien yang lebih banyak menggunakan jampersal.

Jampersal (jaminan persalinan) adalah perluasan kepesertaan dari jamkesmas dan tidak hanya mencakup masyarakat miskin saja. Penerima jampersal dapat memanfaatkan pelayanan diseluruh fasilitas kesehatan tingkat pertama pemerintah (puskesmas dan jaringannya) dan swasta serta fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (Rumah Sakit) pemerintah dan swasta (berdasarkan rujukan) di rawat inap kelas III (Juknis jampersal, 2011).

Meskipun RS swasta mendapatkan hak untuk mengikuti program jampersal, namun kemungkinan pada saat itu tidak semua RS rujukan yang telah melakukan kerjasama dengan pemerintah dalam menerima pasien jampersal selain itu adanya faktor keterbatasan jumlah pasien yang diterima (kuota) pada RS swasta menyebabkan rujukan tidak dapat sepenuhnya dilaksanakan disana.

Adanya missed komunikasi antara petugas UGD yang belum mendapatkan sosialisasi tentang program EMAS dengan petugas kamar bersalin menyebabkan adanya penolakan rujukan pada kasus-kasus tertentu. Meskipun mungkin dinilai pada kasus tertentu masih bisa ditangani di puskesmas namun perlunya persamaan persepsi antar tenaga kesehatan sangat dibutuhkan untuk menghindari kesalahpahaman.

Belum adanya dokter spesialis sebagai konsultan dan dokter jaga yang tidak ada dirasa menjadi kendala sendiri untuk proses konsultasi, meskipun sebenarnya konsultasi ini masih bisa dilakukan via telepon dengan dokter umum namun konsultasi yang cepat dibutuhkan untuk segera tertanganinya pasien.

(35)

commit to user

Penelitian yang dilakukan oleh Zulhadi, Trisnantoro, dan Zaenab (2013) meneybutkan Rumah Sakit Kabupaten dengan Dokter Sp.OG dan Sp.A secara fungsional mempunyai peran dan tanggungjawab yang sangat essential dalam melaksanakan pembinaan secara pro-aktif untuk pengembangan SDM kesehatan.

Penyegaran bagi tenaga kesehatan dokter/bidan puskesmas mengenai PONED, dan bidan di desa mengenai asuhan persalinan normal dengan keterampilan penanganan pertolongan pertama pada kegawatdaruratan obstetri termasuk penanganan komplikasi persalinan dini seharusnya dilaksanakan secara reguler.

Pengurangan kematian ibu dan anak melalui reformasi kebijakan sistem dan penguatan manajemen. Perbaikan meliputi pengorganisasian di tingkat kabupaten untuk menguatkan kerjasama tim. Dinas kesehatan bertindak sebagai pemimpin dan pengelola jaringan KIA sedangkan Dokter Spesialis bertindak sebagai pemimpin klinis.

Kerjasama tim sangat dibutuhkan untuk peningkatan pelayanan kasus kegawatdaruratan dan peningkatan proses rujukan yang efektif dan efisien, sehingga jika hal ini dapat terlaksana dengan baik maka kebutuhan pasien untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik dapat menjadi faktor yang sangat mendukung.

Gambar

Gambar 4.1 Struktur Tim Emergensi
Tabel 4.1 Daftar Kasus Rujukan di Puskesmas Turen Tahun 2012 dan 2013

Referensi

Dokumen terkait

Berikut hasil rekapitulasi kuisioner tertutup kepentingan atribut untuk Kipas angin KAD-927 PL dapat dilihat pada tabel 4.5.. Tabel 4.5 Rekapitulasi Kuesioner

Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh dari kedua variabel prediktor tersebut dicari seberapa besar kontribusinya sehingga diketahui bahwa kontribusi perhatian

Jika Anda ingin membuat sebuah gambar transparan, tutup kotak dialog ini, klik tombol Set Transparent Color ( ) pada toolbar Picture , lalu klik bagian gambar yang Anda

Dalam hal ini pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis Product moment dan telah dikemukakan bahwa hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi marketing politik yang digunakan pada saat pemilu 2014 berhasil untuk mendapatkan dukungan dari para pemilih pada

Pembahasan pada bab ini menjelaskan tentang pembahasan gambaran objek penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, terlebih dahulu di jelaskan beberapa data yang

Dengan hal tersebut peneliti banyak menjumpai beberapa hal,misalnya bahwa tidak semua pekerja freelance hanya bekerja dirumah produksi 700 pictures dalam produksi film catatan harian

Dari penelitian yang telah dilakukan, peneliti memberikan saran kepada Warung Pecel Dedy yaitu: Sebaiknya Warung Pecel Dedy membangunkan bangunan pada rumah