• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar belakang Ritual Yawe Adat Desa Walla Ndimu Kecamatan Kodi Bangedo Kabupaten Sumba Barat Daya.

PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A Paparan Data

B. Temuan Penelitian

1. Latar belakang Ritual Yawe Adat Desa Walla Ndimu Kecamatan Kodi Bangedo Kabupaten Sumba Barat Daya.

Latar belakang ritual Yawe adalah pandangan orang Sumba menganggap kematian itu sebagai hal yang penting. Kematian berarti memulai kehidupan baru di alam akhirat. Karena itu memberikan bekal bagi orang yang telah meninggal bukanlah tindakan mubazir. Semakin tinggi kedudukan seseorang didalam masyarakat, dari golongan bangsawan (maramba) semakin besar upacara yang dikehendaki untuk diselenggarakan. Pelaksanan ritual Yawe adalah bentuk kepatuhan masyarakat adat di desa Walla Ndimu kecamatan Walla Ndimu Kodi pada hukum adat.

Upacara ritual Yawe meruoakan suatu upacara adat yang diwariskan secara turun temurun oleh masyarakat Kodi pada umumnya, khusunya masyarakat yang masih menganut kepercayaan marapu, upacara tersebut diselenggarakan oleh masyarakat dalam rangka memanggil arwah orang yang meninggal tidak wajar seperti; meninggal karena dibunuh, jatuh dari pohon, disambar petir, terbawa arus, rumah terbakar, padi di kebun terbakar, dan juga diadakan dalam rangka persiapan pesta adat untuk membereskan ‘hutang’ yang belum beres agar perayaan pesta tidak menemui hambatan.

Berdasakan hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa ritual Yawe dimaksudkan untuk mencari tahu sebab-sebab sakitnya seseorang. Orang marapu mempunyai keyakinan bahwa seseorang yang meninggal sebelum usia tua, dalam hal ini meninggal karena kecelakaan atau yang karena sakit, merupakan hukuman karena kesalahan-kesalahan yang dilakukannya sendiri ataupun yang dilakukan oleh leluhurnya. Sehubungan dengan itu,

keluarga berkewajiban melakukan ritual yawe sebagai salah satu upaya pemulihan agar ciri dan cara kematian yang sama tidak terulang lagi pada turunan/generasi berikutnya.

Berdasarkan hasil penelitian teantang asal-usul upacara Yawe maka dapat diketahui bahwa ritual Yawe dimaksudkan untuk mencari tahu sebab-sebab sakitnya seseorang. Orang marapu mempunyai keyakinan bahwa seseorang yang meninggal sebelum usia tua, dalam hal ini meninggal karena kecelakaan atau yang karena sakit, merupakan hukuman karena kesalahan-kesalahan yang dilakukannya sendiri ataupun yang dilakukan oleh leluhurnya. Hasil ini sejalan dengan pernyataan Ronald Robertson,(1988:1) bahwa agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang tingkah laku manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat (setelah mati),yakni sebagai manusia yang bertakwa kepada Tuhannya, baradab,dan manusiawi yang berbeda dengan cara-cara hidup hewan atau mahluk gaib yang jahat dan berdosa. Namun dalam agama-agama lokal atau primitif ajaran-ajaran agama tersebut tidak di lakukan dalam bentuk tertulis tetapi dalam bentuk lisan sebagaimana terwujud dalam tradisi- tradisi atau upacara-upacara. Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktifitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa roh nenek moyang,atau mahluk halus lain, dan dalam usahannya untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan mahluk gaib lainnya.Ritus atau upacara religi itu biasanya berlangsung

secara berulang-ulang, baik setiap hari, setiap musim atau kadang-kadang saja.

2. Proses Ritual Yawe Adat Desa Walla Ndimu Kecamatan Kodi Bangedo Kabupaten Sumba Barat Daya.

Ritual Yawe dilaksanakan jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit tetapi tidak diketahui penyakitnya itu. Penyakit yang diderita biasanya susah disembuhkan dengan cara biasa. Ritual Yawe dilaksanakan dalam beberapa tahapan.

a) Tahap pertama adalah perencanaan

Sebelum upacara Yawe dilaksanakan terlebih dahulu keluarga bermusyawarah untuk memanggil Rato untuk memimpin acara Yawe. Ketua adat yang dipanggil Rato ini diminta untuk mencari tahu penyebab salah satu anggota keluarga itu sakit-sakitan dan tidak sembuh-sembuh

b) Tahap Persiapan

Menyiapkan ranting bambu yang diikat bersama parang dan tombak dengan menggunakan kain warna kuning dan juga menyiapkan abu dapur yang ditaruh dalam nyiru, tapi abu tersebut harus bersih supaya saat arwah turun jejaknya dapat terlihat dengan jelas, selain itu pihak penyelenggara harus menyiapkan hewan kurban.

c) Tahap Penyelenggaraan (1) Tahap awal

Ketika hari sudah malam pihak penyelenggara menyiapkan materi dan properti yang akan digunakan dalam upacara Yaw. Upacara dibuka dengan teriakan tiga kali lalu turunlah Rato menuju pelataran kampung. Gong, gendang dan tambur dibunyikan.

(2) tahap Inti

pada tahap imti dilaksanakanlah upacara Yawe oleh Rato yang memimpin upacara.

(3) Tahap Penutup

Setelah Rato menuturkan tuturan tersebut dengan demikian upacara Yawe sudah selesai dan Rato pun berbicara untuk terakhir kalinya bahwa arwah sudah turun dari matahari dan bulan semua orang bisa melihat tanda pada abu dapur yang ditaruh dalam nyiru. Lalu rato Marapu memecahkan telur sebagai tanda penutup dari kegiatan itu. Proses penyelenggaraan upacara yawe sebagai bentuk kepatuhan terhadap nenek moyang ini sesuai dengan pendapat Hanapi Dollah & Mohd. Nazri Ahmad (2008:132-133) menjelaskan kepercayaan magis ialah percaya terhadap kuasa ghaib untuk keperluan segera. Pakar dalam bidang ini diistilahkan sebagai bomoh, pawang, dalang, bobohizan, poyang, bidan dan lainlain. Mereka tidak mempunyai tempat atau ‘rumah ibadat’ yang khas. Kepercayaan magis berbeza daripada kepercayaan agama.\Kepercayaan agama ialah kepercayaan terhadap kuasa ghaib untuk tujuan jangka panjang. Pakarnya diistilahkan sebagai imam, bilal, tok guru, paderi sami dan lain-lain. Mereka mempunyai rumah ibadat secara khusus seperti surau, masjid, gereja, kuil dan lain-lain. Ritual dianggap ‘lambang’ kerana ritual merupakan satu cara

hubungan. Smith (2005) berpendapat ritual merujuk kepada idea dan hubungan yang bukan sahaja berlaku antara seorang dengan seorang lain tetapi juga antara suatu zaman dengan zaman yang lain. Idea yang tidak dimuatkan dalam mitos dan tradisi lisan yang lain – iaitu idea yang tidak terucap – diluahkan melalui ritual. Ritual sebagai satu cara berhubungan termuat secara terperinci dalam adat.

Ritual yang pelbagai rupa itu boleh diklasifikasikan pelbagai ‘cara’ dan meliputi tujuan (ritual magis dan ritual agama), jadual (berkala dan tidak berkala) ataupun fungsinya. Pengkategorian mengikut fungsi membahagikan ritual kepada apa yang disebut sebagai rites de passage. Gennep (1960) mengemukakan istilah rites de passage yang merujuk kepada ritual yang membawa perubahan (peralihan) dalam kitaran hidup (life-cycle) seseorang individu, persekitaran mahupun komuniti. Beliau mendapati hampir semua masyarakat mempunyai ritual yang berkaitan dengan kelahiran, keremajaan dan perkahwinan, dan ritual diadakan dengan tujuan untuk menandakan peralihan atau transisi daripada satu tahap ke satu tahap lain dalam kehidupan. Secara umum ritual mempunyai tiga struktur atau lapisan, yaitu ritual pemisahan (rites de seperation), ritual peralihan (rites de marge) dan ritual penggabungan (rites de aggregation). Sesuatu ritual mungkin juga mempunyai hanya satu lapis struktur seperti kelahiran dan kematian. Seseorang yang lahir ke dunia akan terpisah daripada tahap awalnya, iaitu semasa dalam kandungan dan begitu juga mati akan terpisah daripada kehidupan dunia. Terdapat juga upacara yang mempunyai ketiga-tiga lapisan seperti disebutkan di atas – iaitu pemisahan, peralihan dan penggabungan.

3. Sarana dan prasarana Ritual Yawe Adat Desa Walla Ndimu Kecamatan Kodi Bangedo Kabupaten Sumba Barat Daya.

Untuk melaksanakan Proses adat ini maka diperlukan syarat- syarata yang harus di laksanakan, adapun syarat-syarat untuk melakasakan Yawe adalah sebagai berikut : Tala (gong), Bedu (tambur), Dilor (gendang), Kranga ongol (ranting bambu), Katopo (parang), Nambu (tombak), Kaba rara (kain warna kuning), Rabok Laklidi (abu dapur dalam nyiru), dan Daun Siri dan Buah Pinang.

Hasil penelitian tentang sarana dan prasarana ritual Yawe ini sejalan dengan pendapat Fox (2002: 90) yang menyatakan dalam ritus liturgis

Marapu yang menjadi hal pokok adalah ta’ liyo (doa yang dikemas dalam

bentuk pantun-pantun) dan kurban hewan. Isi doa yang disampaikan kepada Marapu dalam bentuk pantun tersebut dapat berisikan pujian, syukur, dan permohonan. Dalam ta’ liyo doa-doa itu berupa yaigho (atau zaizo), doa-doa untuk mencari sebab-akibat dari penderitaan atau kematian. Dalam ta’ liyo

doa dan pantun tersebut dapat bersifat monolog (doa dari sang Ratu Marapu

saja) dan juga dialog antara seorang atau semua peserta dengan Ratu

Marapu. Dalam Marapu doa sangat penting dinyanyikan diiringi gendang

yang ditabuhkan dalam keadaan berdiri. Kulit gendang diduga terbuat dari kulit manusia. Hal ini dimaksudkan untuk mengiringi roh yang sedang berkelana bersama doa yang dipanjatkan pendeta menuju ke dunia atas. Dalam upacara besar digunakan juga seperangkat gong dan tanbur yang

dipegang, bunyinya sebagai tanda utusan roh. Adat Sumba sangat menekankan iringan kata-kata dalam doa dan musik dalam upacara

Kurban berupa hewan menjadi unsur yang penting juga dalam ritus

terhadap Marapu. Pada saat doa disembeli beberapa ekor ayam (manu)

sebagai bentuk pengesahan terhadap doa. Darah ayam yang mengucur dan membasahi katonga (bale-bale dari bambu yang menjadi lantai rumah) adalah simbol penyerahan hidup manusia karena darah adalah simbol hidup. Marapu, setelah mencium bau darah tersebut, akan menerima penyerahan itu dan merestui permintaan manusia. Selain ayam, ada juga hewan lain yang biasa disembeli dalam upacara Maprapu yakni, anjing (ahu), babi (wei) , kuda (njara), dan dalam upacara yang besar sebaiknya menyembeli kerbau (karambua). Hal ini maksudkan agar setiap orang yang menghadiri upacara mendapat makan dan jatah dagingnya yang dapat dibawa pulang

(Mali, 2010: 73).

Dalam upacara Marapu diperdengarkan bunyi gong dan tambur. Bunyi-bunyi yang dihasilkan dengan nada-nada yang berbeda sesuai dengan maksud tertentu. Pada malam sebelum diadakan upacara biasanya ditabuhkan dengan ritme yang sendu. Sedangkan pada saat pesta biasanya dibunyikan dengan nada gembira.

4. Makna Ritual Yawe Adat Desa Walla Ndimu Kecamatan Kodi Bangedo Kabupaten Sumba Barat Daya

a) Makna Sosial

Dari dimensi ini, ternyata makna kebersamaan secara sosial merupakan aspek yang tidak boleh diabaikan di dalam seluruh rangkaian ritual Yawe. Makna kebersamaan dalam dimensi sosial itu tampak pada beberapa aktivitas, sebagai berikut; mencari bambu di hutan, menyiapkan parang, dan menyiapkan upacara. Dalam hal ini diperlukan kerja sama; bambu dipotong oleh pria yang bukan dari anggota keluarga penyelenggara ritual, parang disiapkan oleh laki- laki sulung, dan potong ayam dilakukan oleh Rato.

Hasil penelitian yang menyatakan bahwa makna ritual Yawe memiliki makna secara sosial ini sejalan dengan pendapat Hambalai (2004 : 18 ) yang mengemukakan bahwa upacara dengan sistem-sistem simbol yang ada didalamnnya berfungsi sebagai pengintegrasian antara etos dan pandangan hidup, yang dimaksudkan dengan etos merupakan sistem nilai budaya sedangkan pandangan hidup merupakan konsepsi warga masyarakat yang menyangkut dirinya, alam sekitar dan segala sesuatu yang ada dalam lingkungan sekitarnya. Sedangkan menurut Suwandi Notosudirjo, (1990 : 330) fungsi sosial upacara adat tradisional dapat dilihat dalam kehidupan sosial masyarakatnya yakni adanya pengendalian sosial, media sosial, norma sosial, serta pengelompokkan sosial. Bagi masyarakat tradisional dalam rangka mencari hubungan dengan apa menjadi kepercayaan biasanya dilakukan dalam suatu wadah dalam bentuk upacara keagamaan yang bisanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat dan mempunyai fungsi sosial untuk mengitensifkan solidaritas masyarakat

Makna ritual Yawe dapat dicermati melalui media di luar bahasa. Media nonligual juga berperan penting di dalam menentukan “kekuatan” tuturannya. Tuturan ritual sebagai media untuk membangun relasi vertikal antara manusia dengan ina-ama dan leluhur jika tidak ditunjang oleh kebersamaan antara para pelibat ritual, tidak akan sukses pelaksanaannya.

Makna persatuan dengan leluhur ini membangun nilai religius. Nilai ini kemudian membangun perantara berupa doa-doa tradisi. Nilai ini juga sekaligus melahirkan pengertian dan persepsi bahwa doa merupakan sara untuk komunikasi dan membangun relasi antara manusia dengan leluhur dan antara manusia dengan penciptanya.

Relasi dengan Leluhur merupakan bagian dari pandangan orang Sumba. Orang Sumba mempunyai keyakinan bahwa leluhur, atas restu Inya ama berperan penting didalam memberikan ketentraman, kedamaian, keselamatan, kesejahteraan, dan keberhasilan dalam hidup.

Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Soemarman (2003: 15) yang menyatakan bahwa adat merupakan wujud idil dari kebudayaan yang berfungsi sebagai pengaturan tingkah laku. Dalam kebudayaannya sebagai wujud idil kebudayaan dapat dibagi lebih khusus dalam empat yakni tingkat budaya, tingkat norma-norma, tingkat hukum dan aturan-aturan khusus. Pendapat lain tentang pengertian ada juga dikemukakan oleh Arjono Suryono (1985: 4) bahwa adat merupakan kebiasaan yang bersifat magis religius dari kehidupan suatu penduduk asli yang meliputi kebudayaan, norma dan aturan- aturan yang saling berkaitan dan kemudian menjadi suatu sistem atau pengaturan tradisional. Upacara adat tradisional masyarakat merupakan

perwujudan dari sistem kepercayaan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai universal yang dapat menunjang kebudayaan nasuonal.Upacara tradisional ini bersifat kepercayaan dan dianggap sakral dan suci. Dimana setiap aktifitas manusia selalu mempunyai maksud dan tujuan yang ingin dicapai, termasuk kegiatan-kegiatan yang bersifat religious. Dengan mengacu pada pendapat ini maka upacara adat tradisional merupakan kelakuan atau tindakan simbolis manusia sehubungan dengan kepercayaan yang mempunyai maksud dan tujuan untuk menghindarkan diri dari gangguan roh-roh jahat. Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa upacara adat tradisional merupakan suatu bentuk trdisi yang bersifat turun- temurun yang dilaksanakan secara teratur dan tertib menurut adat kebiasaan masyarakat dalam bentuk suatu permohonan, atau sebagai dari ungkapan rasa terima kasih.

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut,

1. Yawe adalah senbuah ritual yang diadakan untuk memanggil arwah orang