• Tidak ada hasil yang ditemukan

LATAR BELAKANG

Dalam dokumen LEMBAR PENGESASAHAN PROPOSAL UNDANGAN (Halaman 30-33)

Foto 3x4 berwarna

SEMINAR HUKUM NASIONAL ONLINE PRE EVENT CONSTITUTIONAL LAW FESTIVAL

B. LATAR BELAKANG

Indonesia sebagai negara yang menganut civil law sistem tentunya menekankan pada kepastian hukum berupa adanya suatu peraturan perundang – undangan yang mengatur segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menjawab segala permasalahan yang ada di masyarakat. Konsep tersebut sejalan dengan adanya suatu fakta dalam mengartikan suatu kepastian hukum bahwa kepastian hukum merupakan sebuah pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif dan bukan melalui sosiologi. Sehingga, peraturan perundang-undanganlah yang menjadi jawaban pertama untuk menjawab pertanyaan kepastian hukum dalam masyarakat. Peraturan perundang-undangan tersebut disusun dan harus berdasar pada aturan dasar yang menjadi fundamental setiap produk hukum, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (yang selanjunya disingkat menjadi UUD NRI 1945). Secara hierarki peraturan perundang – undangan di Indonesia, kedudukan UUD NRI 1945 berada dalam posisi teratas dan pelaksanaan pasal – pasalnya dituangkan dalam suatu undang – undang. Hal ini berarti bahwa suatu undang – undang tidaklah boleh bertentangan dengan UUD NRI 1945. Selain sebagai pelaksanaan UUD NRI 1945, materi muatan suatu undang – undang dapat dikarenakan perintah suatu undang – undang lainnya, pengesahan perjanjian internasional tertentu, tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi, dan pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Auran-aturan dalam suatu undang-undang tersebut yang menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu dan akan menimbulkan kepastian hukum yang ingin dicapai.

Namun, dalam proses pembuatan suatu peraturan perundang-undangan acap kali terjadi suatu kesalahan sehingga berdampak pada kecacatan baik secara formil maupun materiilnya. Tidak menutup kemungkinan pula terdapat suatu inkonstitusional suatu pasal dalam undang – undang tersebut dengan UUD NRI 1945. Sehingga, untuk mengantisipasi dalam menyelesaikan hal tersebut sebagaimana telah diamanatkan oleh UUD NRI 1945 pada Pasal 24C ayat (1) bahwa yang berwenang untuk melakukan pengujian undang – undang terhadap UUD NRI 1945 adalah Mahkamah Konstitusi (yang selanjutnya disebut dengan MK). Tentunya hal ini tidak terlepas dari salah satu fungsi MK, yakni sebagai satu – satunya penafsir dari konstitusi (the sole intepretator of constitution). Hal ini semata – mata bertujuan agar tidak adanya suatu deligitimasi konstitusi, pelanggaran hak konstitusional warga negara, atau berujung pada ambruknya hukum tertinggi yakni konstitusi UUD NRI 1945 dan demokrasi.

Kewenangan MK untuk menguji suatu undang – undang terhadap UUD NRI 1945 yang putusannya bersifat final kemudian dipertegas kembali dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Secara implementatif klasifikasi putusan MK saat ini terdiri dari dua macam (menurut studi penelitian kepaniteraan dan sekertariat jenderal MK RI) yaitu pertama, Implementasi Putusan MK yang Langsung Dapat Dieksekusi (Self Implementing). Secara umum putusan-putusan yang bersifat self-implementing dapat ditelusuri dari sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi baik amarnya menyatakan batal (null and void) dan tidak berlaku lagi ataupun amarnya terdapat perumusan norma. Kedua, Implementasi Putusan MK yang Tidak Langsung Dapat Dieksekusi (Non-Self Implementing). Secara umum pelaksanaan putusan MK yang bersifat non-self implementing tersebut masih memerlukan tindak lanjut, karena putusan tersebut mempengaruhi norma-norma lain dan memerlukan revisi atau pembentukan undang-undang baru atau peraturan yang lebih operasional dalam pelaksanannya. Dengan kata lain, putusan ini tidak bisa serta merta dilaksanakan (tidak self implementing) tanpa adanya undang-undang baru karena menimbulkan kekosongan hukum.

Permasalahan kemudian muncul ketika putusan MK membutuhkan tindak lanjut untuk merealisasikannya dan menjadikan institusi lain untuk menindaklanjuti putusan tersebut. Faktanya, kekuatan final dan mengikat putusan MK tidak dapat diimplementasikan secara konkret (non-excutiable) dan hanya mengambang (floating execution). Namun demikian putusan MK terkadang diragukan efektivitasnya karena ada kecederungan tidak dipatuhi atau diabaikan dan tidak ditindaklanjuti oleh cabang kekuasaan negara baik eksekutif, legislatif, maupun cabang kekuasaan yudikatif yaitu Mahkamah Agung (MA) sebagai addressat putusan MK.

Sebagai contoh, putusan MK yang tidak dilaksanakan atau diabaikan adalah Putusan MK yang diabaikan oleh Mahkamah Agung misalnya adalah Putusan Nomor 34/PUU-XI/2013 yang membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Akibat hukum dari putusan tersebut yaitu bahwa Peninjauan Kembali (PK) dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya lebih dari sekali selama masih memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 268 ayat (2) KUHAP. Putusan MK ini kemudian dianulir oleh MA melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 07 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana. Substansi dari SEMA tersebut adalah untuk menegaskan bahwa PK hanya dapat dilakukan 1 kali.

Padahal kepatuhan dalam implementasi putusan MK itu dapat pula menjadi ukuran apakah UUD NRI 1945 yang menjadi hukum tertinggi dalam negara Indonesia. Harus diakui MK tidak memiliki aparat, polisi, juru sita pengadilan atau kelengkapan apapun (special enforcement agencies) untuk menjamin penegakan dan pelaksanaan keputusan yang dikeluarkan MK. Oleh sebab itu, kekuasaan kehakiman khususnya MK dapat dipandang sebagai cabang kekuasaan negara yang paling lemah (the least dangerous power, with no purse nor sword). MK bergantung pada cabang kekuasaan lain atau organ-organ lain, terkait putusan-putusannya diterima dan apakah addressat putusan MK siap untuk mematuhinya.

Namun di Indonesia, wewenang MK dalam hal Judicial Review diatur didalam UUD NRI 1945 dan Undang-Undang No. 8 tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, tidak terdapat suatu pasal yang tegas menyatakan batal secara hukum

apabila pengujian UU terhadap UUD NRI 1945 itu dikabulkan. Dalam Undang-Undang tentang MK tersebut yang ada hanyalah menyatakan bahwa Undang-Undang tersebut bertentangan dan tidak mempunyai kekuatan mengikat apabila permohonan Judicial Review dikabulkan. Berbeda dengan Jerman, apabila sebuah permohonan Judicial Review dikabulkan Mahkamah Konstitusi Federal maka Undang-Undang yang diajukan untuk pengujian dinyatakan batal secara hukum.

Apabila konsep Implementasi Putusan MK diperkuat lagi sehingga Putusan MK benar-benar dilaksanakan oleh semua pihak di negara ini, hal tesebut dapat menjadi langkah yang sangat tepat khususnya dalam mengawal dan menegakkan konstitusi sebagai hukum tertinggi. Namun sayangnya, Implementasi Putusan MK di Indonesia masih belum bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya karena adanya beberapa alasan yang telah disebutkan di atas. Sehingga, kami dari Forum Kajian dan Penelitian Hukum (FKPH), Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, berniat mengadakan sebuah Acara Seminar Hukum Nasional Online yang dikemas dalam suatu rangkaian acara “Pre Event Constitutional Law Festival”, yang nantinya akan mengundang pakar-pakar dalam bidang hukum ketatanegaraan untuk menjadi Narasumber yang menanggapi problematika implementasi kekuatan mengikat Putusan MK atas Judicial Review suatu undang – undang terhadap UUD NRI 1945 dalam kaitannya dengan pembangunan hukum nasional.

Dalam dokumen LEMBAR PENGESASAHAN PROPOSAL UNDANGAN (Halaman 30-33)

Dokumen terkait