• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

5.2. Saran

mahasiswa sebagai pelaku demonstrasi hendaknya memahami dengan benar apa maksud dan tujuan dari demonstrasi. Mahasiswa juga harusnya menguasai dengan jelas apa yang menjadi tuntutan dan wacana dalam demonstrasi sehingga emosi mahasiswa tidak gampang tersulut. Hal ini bisa dibangun dengan diskusi yang intens dan perencanaan strategi demonstrasi yang matang dalam bentuk manajemen aksi.

Metode dan strategi yang digunakan juga hendaknya jauh dari tindak kekerasan. Bila kekerasan digunakan sebagai blower-up isu, maka kekerasan bisa diganti dengan aksi-aksi kreatif yang dapat memancing perhatiaan publik. Kekerasan hendaknya merupakan jalan terakhir.

Selain itu, ketiga elemen utama dalam demonstrasi antara lain mahasiswa, aparat kemanan, dan pemerintah harusnya melakukan komunikasi yang intens agar kekerasan dan kerusuhan dalam demonstrasi tidak terjadi. Penulis menggambarkannya dalam Segitiga Dialog, seperti dibawah ini :

Gambar 5.1. Segitiga Dialog

1. Antara mahasiswa dan aparat yang berjaga melakukan dialog agar

mahasiswa diijinkan berdemonstrasi dan aparat memfasilitasi

Mahasiswa Aparat Pemerintah

mahasiswa yang berdemonstrasi untuk membantu menyampaikan aspirasi kepada pemerintah.

2. Aparat menyampaikan keinginan mahasiswa kepada pemerintah.

3. Pemerintah dan mahasiswa melakukan audiensi untuk membicarakan

apa yang menjadi tuntutan mahasiswa atas nama rakyat, dan pemerintah sebagai wakil rakyat menjadikan itu input dalam membuat kebijakan.

Yang terakhir adalah peninjauan kembali Undang-Undang nomor 9 tahun 1998 mengenai kebebasan penyampaian pendapat di muka umum, agar tidak terjadi tumpang tindih dan ambiguitas dalam menjadikan pedoman berdemonstrasi.

Aksi demonstrasi menolak kenaikan BBM yang terjadi di Bandara Polonia Medan pada 26 Maret 2012 boleh jadi dikatakan sebagai salah satu aksi menolak kenaikan harga BBM yang berpengaruh di Indonesia. Aksi demonstrasi yang diikuti oleh ribuan massa aksi itu menyebabkan kelumpuhan lalu lintas jalan raya Kota Medan dan lalu lintas udara. Beberapa penerbangan terpaksa ditunda keberangkatan dan kedatangannya guna mengantisipasi kerusuhan demonstrasi. Bentrok antara aparat dan demonstran pun tak terelakkan. Puluhan aparat dan massa aksi mengalami luka-luka akibat bentrok tersebut. Walau demikian, aksi ini merupakan pemantik untuk aksi-aksi di Indonesia.

Dikatakan sebagai pemantik, para demonstran kota Medan membuat gebrakan dengan terblokirnya Bandara Internasional Polonia yang merupakan akses masuk wilayah Sumatera Utara sekaligus merupakan pintu gerbang Indonesia regional Sumatera. Strategi aksi ini pun kemudian diikuti oleh beberapa demonstran di beberapa daerah di Indonesia. Demonstran di daerah lain ikut

memblokir sejumlah sarana transportasi seperti Stasiun Kereta Purwokerto dan stasiun Gambir di Jakarta, lalu Bandara Ternate, Riau, Yogyakarta, dan beberapa daerah lainnya. Aksi demonstrasi yang dilakukan di berbagai daerah dengan masiv dan intens, boleh dikatakan cukup memepengaruhi kebijakan pemerintah. Terbukti beberapa hari setelah hampir setiap hari terjadi unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM, pada tanggal 30 Maret 2012, Rapat Paripurna DPR RI memutuskan untuk menunda kenaikan harga BBM sampai enam bulan ke depan.

Dengan sederet ‘keberhasilan’ demonstrasi yang diwarnai dengan kekerasan, bukan berarti tindak kekerasan dijadikan pembenaran dalam demonstrasi. Yang mesti dipahami, penyampaian pendapat di muka umum dalam bentuk demonstrasi dilakukan untuk menyampaikan aspirasi rakyat di hadapan publik agar sampai kepada para pemangku kebijakan. Dengan kata lain, demonstrasi dilakukan guna mencari perhatian publik supaya apa yang menjadi tuntutan bisa sampai kepada sasaran.

Ada banyak cara agar demonstrasi mendapat perhatian publik, tidak selalu kekerasan menjadi jalan satu-satunya untuk memblow-up isu demonstrasi. Audiensi, dialog, diskusi, mimbar bebas, atau cara-cara dengan seni dan kreativitas seperti teatrikal, deklamasi puisi, atau bisa saja dengan konvoi seperti yang dilakukan dalam gerakan mahasiswa ’65 - ‘66. Dan kekerasan harusnya adalah jalan terakhir untuk menggelar demonstrasi agar menjadi perhatian publik. Bukan pula, kekerasan sebagai jalan satu-satunya menghentikan demonstrasi.

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Gerakan Sosial sebagai Aksi Kolektif

Gerakan sosial adalah tindakan atau agitasi terencana yang dilakukan sekelompok masyarakat yang disertai program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat yang ada. Dalam sosiologi, gerakan tersebut di atas diklarifikasikan sebagai suatu bentuk perilaku kolektif tertentu yang diberi nama gerakan sosial. Sejumlah ahli sosiologi menekankan pada segi kolektif dan gerakan sosial ini, sedangkan diantara mereka ada pula yang menambahkan segi kesengajaan, organisasi dan kesinambungan. Sebagai sebuah aksi kolektif, umur gerakan sosial tentu sama tuanya dengan perkembangan peradaban manusia. Perubahan suatu peradaban ke peradaban lain tidaklah selalu melalui jalan “damai” bahkan sejarah membuktikan perubahan peradaban masyarakat kerap terjadi melalui gerakan-gerakan kolektif atau yang lebih dikenal dengan

istilah gerakan sosial sekarang ini14

Alain Touraine

. 15

14

Situmorang, Abdul Wahib. 2007. Gerakan Sosial (Studi Kasus Beberapa Perlawanan). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

15

http://iesdepedia.com/blog/2013/01/13/new-sosial-movement/ (diakses 13 Desember 2013, 1.07 WIB)

, seorang sosiolog asal Perancis mengatakan bahwa gerakan sosial merupakan perilaku/tindakan kolektif yang terorganisir dari aktor berbasiskan kelas yang berjuang melawan kelas yang menjadi lawan (musuh) dalam untuk mengambil kontrol sosial secara

historis dalam sebuah komunitas yang konkret. Historisitas yang dimaksud Touraine tersebut adalah keseluruhan sistem pemaknaan (system of meaning) yang menciptakan aturan-aturan dominan dalam sebuah masyarakat yang sudah terbentuk.

Aturan-aturan dominan yang dimaksud disini adalah kebijakan pemerintah yang cenderung menjadi “musuh” bagi masyarakat. Gerakan sosial timbul apabila masyarakat sudah menyadari bahwa mereka memiliki musuh bersama sehingga dilakukan aksi perlawanan untuk menciptakan suatu perubahan sosial.

Alain Touraine berpendapat pada John Scott (2012), yang memegang peranan paling penting dalam perlawanan dan perjuangan kelas ini adalah mahasiswa karena mahasiswa-lah yang paling terpapar kekuasaan teknokratis, selama pendidikan mereka dan juga ketika masuk ke pasar kerja. Touraine juga melihat unsur utama dari pergerakan mahasiswa adalah bahwa mahasiswa berbicara berdasarkan pengetahuan untuk melawan aparat yang berusaha untuk menundukkan pengetahuan pada kepentingan mereka sendiri, dan mereka menyekutukan diri terhadap mereka yang dipaksa untuk menyingkir oleh perangkat pusat dan tunduk

pada kekuasaannya16

1. Spontanitas para pelaku.

. Itulah mengapa mahasiswa selalu digaungkan sebagai agen perubahan.

Hariman Siregar (1994) menyebutkan gerakan mahasiswa memiliki ciri-ciri tersendiri, yaitu :

16

Scott, John. 2012. Teori Sosial Masalah-masalah Pokok Dalam Sosiologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar (hal 328).

Ini karena persamaan perasaan dan pikiran terhadap nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kemerdekaan. Persamaan perasaan dan pikiran terhadap nilai-nilai tersebut sangat kuat di kalangan mahasiswa sehingga mendorong mereka pada tindakan yang sama.

2. Pengorganisasian bersifat gerakan yang tidak punya hirarki

ketat, tidak birokratis dan sangat desentralisir.

3. Tidak memiliki ideologi yang ketat.

Meski selalu mengenai prinsip-prinsip dasar yang berbangsa dan bernegara. Umumnya menghendaki pemerintah yang lebih terbuka dan demokratis, menjamin hak dan keselamatan rakyatnya, dan berusaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

2.2. Perilaku Kolektif

Paul B. Horton dan Charles L. Hunt (Razak : 2007) berpendapat

bahwa perilaku kolektif ialah mobilisasi berlandaskan pandangan yang mendefinisikan kembali tindakan sosial. Menurut Stanley Milgam (Razak : 2007) perilaku kolektif ialah suatu perilaku yang lahir secara spontan, relatif, tidak terorganisasi serta hampir tidak bisa diduga sebelumnya, proses kelanjutannya tidak terencana dan hanya tergantung pada stimulasi

timbal balik yang muncul di kalangan para pelakunya17

Adapun ciri-ciri perilaku kolektif (Komsiah : 2010) adalah sebagai berikut

.

18

1. Dilakukan bersama oleh sejumlah orang.

:

17

Yusron Razak. 2007. Sosiologi Sebuah Pengantar. Bandung : Gamma Press (hal. 24)

18

Komsiah, Siti. S.IP, M.Si., Modul Pengantar Sosiologi, Jakarta : Pusat Pengembangan Bahan Ajar Universitas Mercu Buana, 2010 (hal 4)

2. Tidak bersifat rutin / hanya insidential.

3. Dipacu oleh beberapa rangsangan masalah

Perilaku kolektif bisa terjadi dimasyarakat mana saja, baik masyarakat yang sederhana maupun yang kompleks. Menurut teori Le Bon perilaku

kolektif dapan ditentukan oleh 6 faktor19

1. Situasi sosial

, yaitu :

Situasi yang menyangkut ada tidaknya pengaturan dalam instansi tertentu.

2. Ketegangan struktural

Adanya perbedaan atau kesenjangan disuatu wilayah akan menimbulkan ketegangan yang dapat menimbulkan bentrok ketidakpahaman

3. Berkembang dan menyebarnya suatu kepercayaan umum.

Misalnya : berkembangnya isu-isu tentang pelecehan suatu agama atau penindasan suatu kelompok yang dapat menyinggung kelompok lain

4. Faktor yang mendahului

Yakni faktor-faktor penunjang kecemasan dan

kecurigaan yang dikandung masyarakat. Misalnya desas-desus isu kenaikan harga BBM, yang diperkuat dengan pencabutan subsidi BBM, hal ini dapat memicu kuat sekelompok orang untuk protes.

19

5. Mobilisasi perilaku oleh pemimpin untuk bertindak.

Perilaku kolektif akan terwujud apabila khalayak ramai dikomando/dimobilisasikan oleh pimpinannya.

6. Berlangsungnya suatu pengendalian sosial (kontrol sosial)

Merupakan hal penentu yang dapat menghambat, menunda bahkan mencegah ke 5 faktor diatas, misalnya : pengendalian polisi dan aparat penegak hukum lainnya.

Dari keenam faktor penentu tersebut merupakan suatu rangkaian yang dapat menyebabkan terjadinya suatu perilaku kolektif dengan berbagai macam bidang. Menurut John Lofland ada empat bidang-bidang perilaku kolektif antara lain : kerumunan (crowd), masa (mass), publik

(public), dan gerakan sosial (social movement)20.

Gerakan sosial dianggap memiliki keistimewaan dibanding perilaku kolektif yang lain, utamanya tentang pengorganisasian kelompok yang tidak kelihatan pada jenis perilaku kolektif yang lain.

2.3. Demonstrasi sebagai Protes

20

John Lofland. 2003. PROTES. Yogyakarta : InsisT Press. (hal 43)

John Lofland dalam bukunya yang berjudul Protes (2003) berpendapat demonstrasi merupakan bentuk perjuangan lewat protes yang dalam pelaksanaannya selalu dihadapkan pada pilihan antara pejuangan santun dan perjuangan dengan kekerasan karena di satu sisi protes berusaha menghindari kerusakan fisik yang berlebihan apabila

menggunakan perjuangan dengan kekerasan21. Namun di sisi lain juga tidak bisa menerima perjuangan santun seperti lobbying, negosiasi melalui representatif kelompok yang berkepentingan yang terkadang malah terjebak dalam praktik-praktik ilegal seperti penyuapan. Sehingga protes merupakan bentuk perjuangan yang posisinya di tengah (middle force) antara sopan dan tidak sopan.

1.

John Lofland (2003), mengajukan empat kelas aksi protes yang sistem tantangan dan keseriusan defenisi sosialnya dapat diurut mulai dari terendah sampai ke yang tertinggi, yaitu :

2.

Protes Simbolik, yaitu cara-cara teratur, tidak merusak dan kurang begitu atraktif yang dilakukan secara kolektif untuk mengemukakan keluhan. Ada tiga bentuk utama protes simbolik meliputi prosesi (contoh : jalan kaki/march, parade), pertemuan/assembly (contoh : rapat umum, mimbar bebas), dan beragam aksi publik termasuk pagar betis/picketing.

Anti kerja sama, atau non-coperation adalah penolakan untuk meneruskan tatanan sosial yang ada. Ini merupakan bentuk protes yang sepenuhnya tanpa kekerasan. Yang paling umum adalah seperti aksi mogok, boikot, pemnggembosan, dan sebagainya.

21

3. •

Intervensi. Dibedakan menjadi empat pola, yaitu :

Harrasment (pelecehan), dilakukan melalui kegiatan-kegiatan menentang orang yang dimaksud dengan cara-cara yang tidak lazim.

System Overloading, karena terlalu banyaknya proses-proses yang diintervensi.

Blockade, pemrotes secara temporer menghambat gerakan orang atau properti dari pihak yang ditentang.

4.

Occupation, atau pendudukan yang dilakukan dengan memasuki atau menolak meninggalkan tempat-tempat yang tidak diinginkan atau dari tempat yang dilarang.

Lembaga Alternatif. Jika aksi protes lembaga alternatif menggantikan loyalitas masyarakat, maka aksi telah mencapai jenis protes yang paling serius dan paling penting. Aksi ini mampu memicu perubahan yang sangat besar, bahkan revolusi, yang tidak mungkin dipicu oleh ketiga jenis kelas protes lainnya.

Dilihat dari tahap-tahapan atau tingkat aksi protes di atas, dalam setiap aksi demonstrasi sangat dihindari terjadinya tindakan kekerasan. Namun dalam situasi tertentu, demonstrasi bisa berubah tingkatan kelas protesnya. Tergantung sejauh mana tanggapan publik yang bersangkutan terhadap isu yang diangkat.

Seperti pada tahap protes simbolik, dikatakan demikian karena pihak berwajib atau masyarakat luas sudah siap dengan berlangsungnya

aksi tersebut tanpa penolakan/hambatan. Namun jika masyarakat (pihak berwajib atau masyarakat luas) telah menganggap aksi simbolik sebagai susutau yang mengancam sehingga harus dihentikan atau dikendalikan, maka aksi kelas pertama ini naik kelas menjadi intervensi.

Kontrol sosial atau pengendalian sosial menurut Robert Z. Lawang, adalah semua cara yang dipergunakan suatu masyarakat untuk mengembalikan si penyimpang pada garis yang normal atau yang sebenarnya. Sedangkan menurut Paul B. Horton dan Charles L. Hunt, pengendalian sosial adalah segenap cara dan proses yang ditempuh oleh sekelompok orang atau masyarakat sehingga para anggotanya dapat bertindak sesuai dengan harapan kelompok atau masyarakat itu sendiri

Aksi demonstrasi menolak kebijakan kenaikan harga BBM yang terjadi di Kota Medan, sepanjang perjalanannya tidak pernah serta-merta langsung terjadi chaos, bentrok atau bahkan blokade terhadap sarana-sarana. Blokade Bandara Polonia oleh pengunjuk rasa pada tanggal 26 Maret 2012 bisa dikatakan sebagai puncaknya aksi menolak kenaikan harga BBM di Kota Medan. Pada hari-hari sebelumnya, demonstrasi mahasiswa terjadi di beberapa lokasi namun demonstrasi hanya berbentuk orasi, teatrikal, march, dan berbagai bentuk lainnya yang tidak berpotensi pada tindak kekerasan dan cenderung tidak diperhatikan. Dengan kata lain, aksi demonstrasi harus melalui proses dan tahapan kelas agar tepat sasaran

2.4. Kontrol Sosial

22

22

Nana Supriatna, dkk. 2006. Ilmu Pengetahuan Sosial Sosiologi. Grafindo (hal 280)

Demonstrasi mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah merupakan bentuk kontrol sosial mahasiswa terhadap kinerja pemerintah. Artinya apabila pemerintah menetapkan kebijakan yang menyimpang dari kepentingan rakyat, maka mahasiswa akan melakukan kontrol sosial terhada pemerintah melalui demonstrasi.

Soerjono Soekanto mengatakan terdapat beberapa teknik yang

digunakan dalam pengendalian sosial23

1. Persuasif

, yaitu :

Merupakan cara pengendalian sosial tanpa menggunakan kekerasan. Biasanya digunakan dalam masyarakat yang relatif tentram dan cenderung tidak berubah.

2. Koersif

Merupakan pengendalian sosial yang sudah menggunakan paksaan dan biasanya dilakukan pada masyarakat yang sedang berubah. Dalam keadaan seperti ini, pngendalian sosial juga berfungsi untuk mengganti kaidah-kaidah lama yang telah goyah dengan kaidah baru.

3. Compulsion

Dalam compulsion, biasanya diciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga suatu pihak terpaksa taat atau mengubah sikapnya dan menghasilkan kepatuhan secara tidak langsung.

4. Pervassion

23

Nilai atau norma diulang-ulang penyampaiannnya, sehingga pihak yang menjadi target pengendalian sosial akan mengubah sikapnya sesuai yang selalu digaungkan.

Mahasiswa kerap dikatakan sebagai sosial of control-nya pemerintah. Ketika pemerintah menetapkan kebijakan-kebijakan yang cenderung menyimpang dari kepentingan rakyat, maka mahasiswa dapat melakukan tindakan pengendalian melalui demonstrasi.

2.5. Kekerasan dan Perilaku Kolektif

Disadur dari tulisan Makarim Mufti (2012) seorang penggiat anti kekerasan di KontraS, kekerasan (violence) secara etimologi berasal dari kata Vi (Bahasa Latin) yang berati kekuasaan/berkuasa. Violence dimaknai sebagai ekspresi fisik maupun verbal yang mencerminkan tindakan agresi dan penyerangan terhadap kebebasan atau martabat seseorang, oleh perorangan atau kelompok, yang didasarkan pada ‘kewenangan’. Artinya, violence (kekerasan) adalah penggunaan kewenangan tanpa keabsahan atau tindakan sewenang-wenang Makarim Mufti juga mengatakan bahwa

kekerasan adalah setiap tindakan/kebijakan disertai penggunaan

kekuasaan/kekuatan dengan tujuan buruk (yang eksplisit maupun implisit)

dan/atau menentang nilai tertentu (yang sah/disepakati/logis)24.

24

Dalam tulisannya, Makarim Mufti juga mengutip rumusan WHO yang dideklarasikan pada tahun 1996 oleh Dewan Kesehatan Dunia (World Health Assembly) mengenai resolusi WHA 4925 yang menyatakan

2014, 23 : 34 WIB)

kekerasan sebagai masalah kesehatan publik yang utama dan meminta WHO merumuskan tipologi kekerasan yang menjelaskan beragam tipe

kekerasan25. Rumusan WHO membagi kekerasan dalam tiga kategori

besar berdasarkan karakteristik pelaku kekerasan, yaitu: 1). Kekerasan terhadap diri sendiri (self-directed violence); 2). Kekerasan antar-perseorangan (interpersonal violence); dan 3). Kekerasan kolektif (collective violence

Kekerasan kolektif dilakukan oleh segerombolan orang (mob) dan kumpulan banyak orang (crowd). Kekerasan dapat digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (deffensive). Jack Douglas dan France Waksler dalam Thomas Santoso membagi empat jenis kekerasan yang dapat diidentifikasi

).

26

1. kekerasan terbuka, kekerasan yang dapat dilihat.

:

2. kekerasan tertutup, kekerasan yang tidak dilakukan secara

langsung atau tersembunyi.

3. kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk

perlindungan tapi untuk mendapatkan sesuatu.

4. Kekerasan defensif, kekerasan yang dilakukan untuk melindungi

diri.

Sejarawan Inggris, Norman Gash, menuliskan tentang Perang Napoleon : “kerusuhan dan kekacuan merupakan reaksi orang kebanyakan yang sudah lama ada terhadap kesukaran dan keluhan.

25

Ibid

26

Pecahnya Ludisme yang sangat terlokalisir disebabkan oleh ciri-ciri masyarakat Inggris yang lebih permanen dan lebih luas : kurang memadainya bantuan disaat menganggur, hubungan industri yang kurang baik, kurangnya metode negosiasi upah yang diterima semua pihak, rentannya majikan terhadap aksi kekerasan, tidak adanya polisi yang efektif, dan kelemahan umum kekuatan hukum dan ketertiban. Kekerasan terjadi dimana-mana sebab kekerasan adalah jawaban naluriah dan karena tidak ada yang dapat digunakan untuk menghentikannya pada tahap-tahap awalnya.”dituliskan Charles Tilly27

Berpulang dari perilaku kolektif yang dilakukan mahasiswa sebagai pelaku gerakan sosial, kekerasan kolektif seperti yang dikatakan oleh Gash merupakan kekerasan yang timbul akibat kesamaan latar belakang dan masalah. Douglas dan Waksler menyebutkan : “pada umumnya kekerasan kolektif muncul dari situasi konkrit yang sebelumnya

.

Yang dikatakan oleh Gash diatas walaupun menggambarkan tentang kondisi Britania pasca Perang Napoleon, lebih kurang juga mendeskripsikan kondisi Indonesia. Hanya saja, aksi kolektif yang berujung pada kekerasan di Indonesia pada beberapa momentum banyak digawangi oleh pelajar dan mahasiswa. Fungsi pelajar dan mahasiswa sebagai agent of change dan penyalur aspirasi rakyat terhadap pemerintah menyebabkan mahasiswa berinisiatif membentuk gerakan sosial secara kolektif, walaupun kekerasan tidak selalu dijadikan strategi gerakan untuk menciptakan perubahan sosial.

27

didahului oleh sharing gagasan, nilai, tujuan dan masalaha bersama dalam periode waktu yang lebih lama. Masalah bersama adalah faktor paling penting dan bisa melibatkan peraaan akan bahaya, dendam atau marah. Suatu masalah bisa langsung memicu suatu pemberontakan, assa tapi harus ada sejarah bersama yang bisa menentukan langkah bersama. Pemberontakan massa bisa menjadi pemicu yang mendorong terjadinya kekerasan, tetapi harus ada semacam semangat kultural bersama agar pemberontakan massa tersebut bisa menjadi pemicu yang efektif bagi terjadinya kekerasan.”28

Selain itu, kekerasan yang terjadi saat demonstrasi juga diakibatkan oleh represifitas aparat. Seperti yang didefenisikan Johan Galtung bahwa kekerasan adalah sebagai segala sesuatu yang menyebabkan orang

Kekerasan kolektif muncul dari sekumpulan (crowd) yang memiliki permasalahan atau semua jenis tingkat budaya dan organisasi yang sama. Mulanya karena masih bersifat kerumunan, crowd relatif tidak terorganisasi. Namun akibat kesamaan masalah dalam periode waktu yang lama, sehingga anggota kumpulan crowd mencoba untuk mempererat ikatan mereka dengan pengorganisasian perkumpulan. Pada akhirnya crowd yang sudah teroganisir lebih baik sehingga memiliki mobilisasi politik yang tinggi, menimbulkan kekerasan kolektif sebagai respon yang masuk akal karena didasari oleh masalah bersama untuk menciptakan revolusi.

28

terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar29

29

Ibid (hal 2)

. Kekerasan struktural yang dikemukakan Galtung menunjukkan bentu kekerasan tidak langsung, tidak tampak, statis serta memperlihatkan stabilitas tertentu. Dengan demikian, kekerasan tidak hanya dilakukan oleh aktor/ kelompok akor semata, tetapi juga oleh struktur seperti aparatur negara.

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gerakan sosial adalah tindakan atau agitasi terencana yang dilakukan sekelompok masyarakat yang disertai program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat yang ada. Dalam sosiologi, gerakan tersebut di atas diklarifikasikan sebagai suatu bentuk perilaku kolektif tertentu yang diberi nama gerakan sosial.

Menurut Alan Touraine - sosiolog Prancis, gerakan sosial merupakan perilaku/tindakan kolektif yang terorganisir dari aktor berbasiskan kelas yang berjuang melawan kelas yang menjadi lawan (musuh) dalam untuk

mengambil kontrol sosial1

Touraine berpendapat, yang memegang peranan paling penting dalam perlawanan dan perjuangan kelas ini adalah mahasiswa karena . Mahasiswa mewujudkan suatu gerakan sosial yang berfungsi sebagai kontrol sosial dalam bentuk demonstrasi. Gerakan sosial yang berfungsi sebagai kontrol sosial ini dilakukan secara historis dalam sebuah komunitas yang konkret. Historisitas yang dimaksud Touraine adalah keseluruhan sistem pemaknaan (system of meaning) yang menciptakan aturan-aturan dominan atau kebijakan-kebijakan yang cenderung tidak berpihak pada rakyat dalam sebuah masyarakat yang sudah terbentuk.

1

Scott, John. 2012. Teori Sosial Masalah-masalah Pokok Dalam Sosiologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar (hal 328).

mahasiswa-lah yang paling terpapar kekuasaan teknokratis, selama pendidikan mereka dan juga ketika masuk ke pasar kerja. Touraine juga melihat unsur utama dari pergerakan mahasiswa adalah bahwa mahasiswa berbicara berdasarkan pengetahuan untuk melawan aparat yang berusaha untuk menundukkan pengetahuan pada kepentingan mereka sendiri, dan mereka menyekutukan diri terhadap mereka yang dipaksa untuk menyingkir

oleh perangkat pusat dan tunduk pada kekuasaannya2

2 Ibid

Hari-hari masayarakat Kota Medan terus diakrabkan dengan aksi demonstrasi mahasiswa terkait dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat. Namun yang membuat miris adalah, masyarakat sendiri tidak lagi simpati terhadap demonstrasi yang dilakukan mahasiswa. Hal ini dikarenakan aksi demonstrasi mahasiswa yang terlampau sering berujung dengan kekerasan. Sehingga masyarakat menjadi antipati dan waspada ketika demonstrasi berlangsung. Kekerasan yang sering terjadi adalah tindak perusakan fasilitas dan sarana publik seperti perusakan lampu lalu lintas, perubuhan plang-plang iklan, dan kemacetan. Kemacetan, walaupun tidak bisa dikategorikan sebagai tindakan kekerasan, namun

Dokumen terkait